Friday, September 28, 2007

BAJU BARU, ALHAMDULILLAH

“Baju baru Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah ki, kemarin ada lebihan rezeki, ana belikan baju ini, sekalian buat shalat lebaran ki..........” Jawab Maula.

“Syukurlah Nak Mas, semoga baju baru yang Nak Mas kenakan, juga akan memperbaharui keimanan dan ketaqwaan Nak Mas kepada Allah swt.....” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah, amiiin.......” Maula mengamini do’a Ki Bijak.

“Aki sedikit prihatin ketika kemarin aki melihat seorang anak muda yang mengenakan kaos bergambar kepala setan ketika shalat tarawih, gambarnya sangat mengganggu sekali, selain warnanya merah, seringai gambar itu sepertinya kurang pantas untuk dikenakan ketika kita shalat..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana juga beberapa kali menemukan orang yang shalat dengan mengenakan pakaian seperti itu, ala kadarnya bahkan cenderung sembarangan....” Timpal Maula.

“Iya Nak Mas, masih banyak diantara kita yang lebih mementingkan berpakaian rapih ketika kita menghadiri undangan atau jamuan makan, hingga banyak diantara kita sampai bingung milih baju yang mana yang harus kita kenakan agar terlihat “pantas” dimata orang lain...., tapi justru kita hampir tidak pernah peduli dengan pakaian kita ketika kita hendak menghadiri “undangan Allah” untuk shalat.....” Kata Ki Bijak.

“Kadang kita shalat dengan baju yang lusuh sehabis tidur, kadang kita shalat dengan baju yang bau keringat sehabis olahraga, kadang kita pakai kaos oblong yang belel dimakan usia, end toh kita tetap merasa “percaya diri” dihadapan Allah, sementara ketika kita berpakaian seperti itu keundangan, pasti kita merasa tak punya muka karenannya.......” Sambung Ki Bijak.

“Iya ki, kadang kita sudah sedemikian pandai beretika dihadapan orang lain, tapi belum pandai beretika dihadapan Allah ya ki...........” Kata Ki Bijak.

“Kalau kekantor saja kita harus sedemikian rupa memperhatikan penampilan dan pakaian kita, tidakkah seharusnya kita lebih memperhatikan penampilan kita dihadapan Allah..........?” Kata Ki Bijak setengah bertanya.

“Ki, kalau ada orang yang beralasan “yang penting kan hatinya”, sehingga ia berpakaian ala kadarnya ketika shalat bagaimana ki......” Tanya Maula.

“Dari satu sisi, hal itu mungkin benar, tapi seperti yang pernah aki katakan pada Nak Mas beberapa waktu lalu, bahwa apa yang nampak pada kondisi lahiriah kita adalah juga cerminan apa yang ada didalam dada ini, apa yang nampak pada cara berpakaian kita, juga merupaka salah satu cerminan kondisi hati kita......”,

“Coba Nak Mas perhatikan ayat berikut ini;

31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

“Kadang kita terlalu mengedepankan asumsi kita sendiri, padahal dengan sangat jelas ayat diatas mengajarkan pada kita bagaimana seharusnya kita berpakaian, meski ukuran pakain terbaik dan indah itu berbeda untuk setiap orang...........” Kata Ki Bijak lagi.

“Kalau orang itu memang tidak memiliki baju baru atau orang tidak mampu bagaimana ki.....” Tanya Maula.

“Tidak harus baju baru atau baju yang mahal Nak Mas, seperti aki bilang tadi, ukuran indah itu berbeda bagi setiap orang, kalau memang baju terindah yang kita miliki itu hanya baju lengan pendek atau kaos, ya tidak apa-apa................., tapi yang aki maksudkan adalah mereka yang ketika ke undangan pakai batik yang mahal, mengenakan jas yang serba wah, atau dadakan beli baju baru, sementara ketika shalat atau datang kemasjid sama sekali tidak mempedulikan penampilannya, itu yang aki prihatin Nak Mas...........”Kata Ki Bijak

“Ki, pakaian model apa yang terindah untuk kita kenakan ki..........” Tanya Maula.

“Pakaian takwa Nak Mas...........” Kata Ki Bijak.

“Baju koko, ki.............” Tanya Maula.

“Nak Mas perhatikan lagi surat Al A’raf ayat 26;

26. Hai anak Adam[530], Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.

“Pakaian takwa itu pakain yang paling baik, terlepas dari model baju apa yang kita kenakan, selama kita membalut diri kita dengan nilai-nilai tauhid yang benar, kita mempercantik diri kita dengan sifat tawadlu dan tawakal serta senantiasa memperindah penampilan kita dengan dzikir dan tafakur serta taubat, insya Allah kita akan nampak indah dalam pandangan Allah swt.............” Kata Ki Bijak.

“Tauhid, tawadlu, tawakal, taubat adalah pakaian terindah kita ki...........?” Kejar Maula.

“Benar Nak Mas, nilai ketakwaan kita diukur dari bagaimana tingkat ketauhidan kita kepada Allah, dinilai dengan seberapa baik tawadlu kita disisi Allah, berapa intens dzikir dan tafakur kita kepada Allah serta berapa besar kesigapan kita untuk menggapai fasilitas taubat yang disiapkan Allah untuk kita, disamping nilai zuhud dan wara’ kita dalam pandangan Allah swt.......” Kata Ki Bijak.

“Jadi baju dan pakaian baru yang kita kenakan pada hari lebaran, seharusnya merupakan cerminan pembaharuan ketakwaan kita ya ki.........” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, shaum ramadhan ini seharusnya dapat kita jadikan mesin pencuci kotoran dan dosa kita atau untuk melepaskan “pakaian usang” kita yang lusuh dan robek karena goresan salah dan khilaf kita, setelah ramadhan, seharusnya kita sudah berganti pakaian dengan pakaian yang baru, dan sebaik-baik pakaian kita adalah pakaian takwa..............” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, rasanya menjadi mubazir kalau pakaian dan baju yang mahal yang kita beli, tidak diimbangi dengan keindahan ruhani kita ya ki.......” Kata Maula.

“Semahal apapun pakaian kita, sebagus apapun modelnya, atau siapapun perancangnya, ketika nilai baju lahiriah yang kita kenakan lebih berharga dari pakaian takwa kita, maka sesungguhnya kita adalah termasuk orang-orang yang merugi..............” Kata Ki Bijak.

“Ya Allah, perbaharui ketakwaan hamba kepada-Mu ya Allah, agar hamba tidak termasuk orang-orang yang merugi.................” Kata Maula

“Semoga Nak Mas, semoga baju baru ini akan juga menjadi pembaharu ketakwaan Nak Mas disisi Allah.............” Kata Ki Bijak.

“Amiiin............” Maula mengamini perkataan gurunya.

Wassalam

September 28, 2007

Wednesday, September 26, 2007

HATI-HATI

“Nak Mas masih suka bawa motor ketempat kerja...?” Tanya Ki Bijak.

“Masih ki, motornya ana titipkan dekat gerbang tol, lalu ana ikut mobil teman ketempat kerja.......”Kata Maula.

“Hati-hati ya Nak Mas, tidak perlu ngebut, jangan terpengaruh pengendara lain, biar saja mereka ngebut....” Nasehat Ki Bijak.

“Iya Ki, lagian jaraknya juga tidak terlalu jauh, jadi ana bisa santai...........”Kata Maula.

“Nak Mas tahu tidak kenapa tadi Aki mengatakan “hati-hati”, padahal kan tangan Nak Mas yang pegang kemudi, kaki Nak Mas yang menginjak rem dan memindah-mindahkan transmisi, kemudian mata Nak Mas yang melihat jalan, tapi kenapa kita tidak bilang “tangan-tangan” atau “kaki-kaki” saja misalnya, untuk mengingatkan seseorang.....” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kenapa kita bilang hati-hati, padahal hati kita tidak melakukan apapun ketika seseorang berkendara.....” Maula baru menyadari ungkapan “hati-hati” yang selama ini sering ia dengar.

“Nak Mas perhatikan lagi hadits berikut; Nabi saw bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.”[HR. Bukhari-Muslim].
“Kenapa kita mengatakan “hati-hati” adalah karena seperti hadits diatas, hati-lah yang menggerakan tangan kita untuk memegang kemudi, hatilah yang menggerakan kaki kita untuk menginjak rem dan memindahkan transmisi, hatilah yang menuntun mata kita untuk melihat jalan, baik keadaan hati kita ketika berkendara, insya Allah baik pula laju kendaraan kita, buruk kondisi hati kita ketika kita berkendara, maka insya Allah laju kendaraan kitapun akan oleng kekiri – kekanan sesuai dengan gerak hati, terlepas dari tangan yang mengemudikannya....” Kata Ki Bijak.

“Demikian besar peran hati kita ya ki....” Kata Maula.

“Bahkan sangat besar Nak Mas, karena hati kita adalah ibarat “Raja” dalam kerajaan diri kita, sementara tangan, kaki, mata, mulut dan semua anggota tubuh lain “hanyalah” seperangkat alat dan tentara-tentara hati....” Kata Ki Bijak.

“Apa kata sang raja, maka itu pula kata rakyat dan tentaranya, ketimur hati mengarah, kesana pula tentaranya menuju, kebarat hati berpaling, kebarat pula tentara mengarah, benar tidaknya kata hati, akan menjadi terlihat dari benar tidaknya mulut berucap, serta benar tidaknya anggota badan kita berperilaku........”Kata Ki Bijak.
“Iya ki, ana beberapa kali mendengar kasus kecelakaan yang diakibatkan oleh pengemudinya ugal-ugalan, atau pengemudinya tidak “berhati-hati”.....”Kata Maula.

“Untuk itulah kita harus menjaga hati kita agar tetap sehat, sehingga mampu memimpin bala tentaranya dengan baik dan benar....” Kata Ki Bijak lagi.

“Memang hati kita bisa juga sakit ki.....” Tanya Maula.

“Hati kita bisa menjadi sakit atau bahkan “mati” Nak Mas............” Kata Ki Bijak.

“Ki, apakah kita bisa melihat perbedaan antara hati yang sakit, hati yang mati atau bagaimana kondisi hati yang sehat ki.....” Tanya Maula.

“Seperti Aki bilang diatas, secara lahiriah, sakit atau sehatnya hati akan tercermin dari bagaimana anggota tubuh lainnya berperilaku, hati yang sakit (al Qalbu al maridh), seperti hati yang limbung, akan mengakibatkan pendirian seseorang demikian labil, hati yang keras, akan membentuk watak yang kasar, hati yang berpenyakit, akan nampak dari sifat iri, dengki dan hasut sipemiliknya............” Kata Ki Bijak.

“Apa yang menyebabkan hati kita sakit ki....?” Tanya Maula

“Banyak sekali penyebabnya Nak Mas, beberapa diantaranya adalah kegemaran kita berdusta, kegemaran kita berghibah, kegemaran kita mengingkari janji, kegemaran kita untuk melakukan dosa-dosa yang menurut kita kecil, seperti melalaikan shalat, menunda zakat dan masih banyak lagi.........” Kata Ki Bijak.

“Ki, ada gitu orang yang memiliki “kegemaran” seperti yang aki sebutkan.....? Tanya Maula.

“Contoh kecilnya begini Nak Mas, ada karyawan yang biasa datang terlambat, kemudian ia nitip absen sama temannya, dengan tujuan waktu kehadirannya menjadi “baik” dimata HRD, tapi sebenarnya ia telah “membohongi Allah” dan dirinya sendiri......, ia lebih takut mendapatkan teguran dari atasannya, daripada malu kepada Allah swt.......” Kata Ki Bijak.

“Contoh lainnya, ada karyawan yang kalau Jum’at atau hari Senin tidak masuk dengan berbagai alasan, tapi justru Sabtu-Minggu-nya masuk untuk mendapatkan lemburan, benar dia akan mendapatkan gaji lebih besar dari lemburnya, tapi sebenarnya ia sedang menabur benih-benih penyakit dalam hatinya.........”,

“Ada juga karyawan yang sehari-harinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk browsing-lah, untuk urusan pribadinya-lah, hingga ia harus mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya dengan lembur, itupun sebuah benih penyakit hati yang tanpa kita sadari telah kita semai sendiri, dan masih banyak lagi kegemaran-kegemaran kita yang berpotensi menjadi penyakit hati, tapi kita tidak menyadarinya.......” Sambung Ki Bijak.

“Setiap “dosa” yang kita anggap kecil, ibarat debu yang samar pada awalnya, tapi jika ini berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama, akan membuat hati hitam kelam, sehingga menjadi sakit atau bahkan mati.............” Kata Ki Bijak.

“Sementara hati yang sehat dan terpelihara akan tercermin dari bagaimana hati kita senantiasa terpaut dengan penciptanya, hati yang sehat senantiasa berdzikir dalam setiap keadaan, hati yang sehat juga akan menjauhi hal-hal yang mungkin mengotorinya, ia akan sangat berhati-hati dalam perkataan, ia akan sangat penuh pertimbangan dalam setiap perbuatannya, waktunya selalu diukur dan dijaga dari kesia-siaan, langkahnya selalu dihitung dan diukur, apakah langkahnya sudah sesuai dengan syari’at, apakah langkahnya sudah mengikuti jalan yang benar, apakah langkahnya juga dibenarkan secara hakekat, semuanya terukur............” Kata Ki Bijak.

“Jadi dengan mengatakan “hati-hati” sebenarnya secara tidak langsung kita mengatakan “kendalikan tanganmu dengan hatimu, kendalikan lidahmu dengan hatimu, kendalikan kaki dan matamu dengan hatimu”, bukan demikian ki......” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, karena kendali hati adalah kendali yang paling efektif untuk mengarahkan kita pada arah dan jalan yang benar, hanya kadang kita yang sering “tidak mau” menuruti kata hati kita.........” Kata Ki Bijak.

“Kenapa kita tidak mau menuruti hati kita ki....?” Tanya Maula.

“Karena kita belum mengenal hati kita Nak Mas............., Kata Ki Bijak.

“Seperti ketika kita belum mengenal seseorang dengan baik, tentu kita tidak akan mempercayai apa yang disarankannya, terlepas nasehatnya itu bagus atau tidak..., tapi ketika kita sudah mengenal betul karateristik dan sifat seseorang, tentu dengan mudah kita akan dapat memutuskan apakah kita akan menerima atau menolak apa yang dikatakannya........”

“Pun demikian dengan hati, kenali hati kita dengan baik, maka kita akan mudah memahami apakah ini dorongan hati yang bersumber pada sifat-sifat ilahiyah yang terdapat didalamnya, atau justru dorongan sifat syaitoniyah yang juga bermukim disana, dengan demikian kita tidak akan terjebak pada kata hati yang salah...........’ Kata Ki Bijak.

“Kita harus benar-benar “hati-hati” dalam memahami hati kita ya ki........” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, berhati-hatilah dengan hati kita.......” Kata Ki Bijak menutup perbincangan.

Wassalam

September 26, 2007

Monday, September 24, 2007

HARIMAU YANG “LUCU”

“Nak Mas ini photo siapa...?” Tanya Ki Bijak sambil menunjuk sebuah photo gadis kecil yang sedang berpose dengan seekor anak harimau.

“Ini Dinda Ki, ini photo ketika kami berlibur ke Taman Safari beberapa tahun lalu.....” Jawab Maula.

“Pinter sekali anak ini berpose......” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, Dinda memang paling seneng kalau diphoto.....” Jawab Maula.

“Nak Mas...., Nak Mas melihat “sesuatu” dalam photo ini.....?” Tanya Ki Bijak

“Selain keindahan panorama alam pengunungan yang melatar belakangi photo ini, apa lagi ya ki......?” Kata Maula.

“Nak Mas perhatikan, bagaimana mungkin harimau yang kita kenal sebagai raja rimba, ganas dan gagah, bisa berada disamping seorang gadis kecil seperti Dinda....?” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kenapa Dinda tidak merasa takut dengan harimau itu...?, bahkan ketika ana tanya, Dinda bilang harimaunya lucu...., harimau kok lucu ya ki....”Kata Maula.

“Nak Mas tahu kenapa Dinda tidak takut dengan harimau itu dan bahkan mengatakan harimau itu lucu...?” Tanya Ki Bijak.

“Apa ya ki....?” Tanya Maula sambil menggeleng.

“Jawabannya adalah karena harimau itu berada diluar hutan, diluar habitat aslinya......” Kata Ki Bijak.

“Seekor harimau, sekecil apapun dia, ketika harimau itu berada dihabitat aslinya, berada ditengah hutan, pasti akan memiliki “wibawa” yang sangat kuat, jangankan gadis kecil, seorang pria dewasa bersenjata pun akan berpikir sekian kali untuk mendekatinya, apalagi sampai mengganggunya.......” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, ketika harimau itu sudah berada dikebun binatang, ia seperti kehilangan nalurinya, ia seperti kehilangan jati dirinya, sehingga ia mau saja distir oleh pawangnya.....”Kata Maula.

“Nak Mas benar, seandainya harimau itu tahu kekuatannya, tahu bahwa dirinya memiliki kekuatan yang hebat, jangankan seorang pawang, empat atau lima orangpun belum tentu mampu mengendalikan harimau itu....,”Kata Ki Bijak

“Nak Mas pernah kepikiran tidak bagaimana kondisi umat kita sekarang ini......?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, kadang ana suka kepikiran betapa kondisi umat islam sekarang ini, jauh sekali dari kata “hebat”, hampir disemua bidang dan lini kehidupan, umat islam lebih banyak menjadi penonton dari pada menjadi pelakon.., dibidang ekonomi, kita sepertinya mengalami “penjajahan”, dibidang politik, sosial dan budaya, kita tidak atau belum bisa menentukan jalan kehidupan kita sendiri ki....”Kata Maula

“Dan bahkan dalam kehidupan keberagamaan kitapun seakan kita tidak pernah bisa lepas dari campur tangan orang diluar islam, ada ustadz yang mengajak memerangi kemunkaran, dicap sebagai teroris, ada ajakan jihad, dicap teroris, ada madrasah yang mendidik santrinya untuk memahami al qur’an, malah dicurigai, kita sekarang ini seperti harimau diphoto itu, hanya manut saja apa kata orang......” Tambah Ki Bijak.

“Ki, apa yang salah dengan umat ini ki.....?” Tanya Maula.

“Merujuk firman Allah pada surat Ali Imran ayat 110 berikut;

110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

“seharusnya kita adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, jika kenyataan sekarang kita menjadi umat yang “terbalik”, bukan ayat itu yang salah, tapi lebih pada kitanya Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya Ki.......”Tanya Maula.

“Untuk mengalahkan harimau, orang tidak perlu secara langsung membunuhnya, tapi mereka lebih sering menggunakan cara yang lebih “halus”, yaitu dengan cara menggiring harimau-harimau tersebut menjauhi habitat aslinya, sehinga tanpa perlu kerja keras sekalipun, harimau-harimau yang sudah keluar dari habitatnya itu akan menderita, baik secara psikis maupun secara jasmani........,”

“Secara psikis, harimau itu akan kehilangan jati diri dan karakteristiknya, secara jasmani ia akan sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan lingkungan itu, dan pada kondisi ini, harimau akan “mati” dengan sendirinya...........” Kata Ki Bijak.

“Begitupun dengan kondisi kita Nak Mas, diakui atau tidak, jujur atau tidak, kita telah “digiring” oleh sebuah skenario besar orang-orang diluar Islam untuk keluar dari jati diri kita sebagai umat terbaik, yaitu umat yang senantiasa menyebarkan dari Amar ma’ruf Nahi Munkar, kemudian aqidah dan keimanan kitapun telah dicermari dengan berbagai tuhan-tuhan lain selain Allah, ada tuhan yang bernama harta, kita juga dicecoki dengan tuhan yang bernama kemegahan dunia dan lainnya.........” Kata Ki Bijak.

“Adakah kondisi kita separah itu ki......? Tanya Maula.

“Aki sangat berharap pendapat Aki yang keliru Nak Mas, Aki berharap kondisi umat ini jauh lebih baik dari apa yang Aki lihat, tapi Aki tidak bisa menutup mata menyaksikan bagaimana umat ini digiring untuk keluar dari lingkungan yang islami, mereka digiring kedalam dunia gemerlap, mereka diarahkan menuju lingkungan materialis, mereka kemudian dipalingkan dari al qur’an, mereka dijauhkan dari masjid dan ulama, dan pada titik ini, akan sangat sulit bagi kita untuk membentuk umat yang mempunyai karakteristik dan ciri-ciri yang dikehendaki Allah untuk menjadi umat terbaik.......”Kata Ki Bijak.

“Sehingga kemudian kita menjadi umat yang sangat bergantung kepada umat lain, kita menjadi umat yang mendewakan materi, kita menjadi kehilangan karakteristik dan jati diri, dan ketika itu terjadi, kewibawaan kita sebagai umat menjadi demikian rendah dimata umat lain, persis seperti harimau yang menjadi bahan tertawaan, bahkan oleh seorang gadis kecil sekalipun......”Sambung Ki Bijak.

“Apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan kejayaan dan kewibawaan umat ini ki.......?” Tanya Maula.

“Aki percaya bahwa sudah banyak kalangan cendekiawan dan alim ulama kita yang berupaya untuk mengembalikan citra umat islam sebagai umat terbaik, Aki hanya urun pendapat bahwa sebaik-baik cara untuk mengembalikan kita pada trek yang benar adalah dengan cara mengembalikan kita pada lingkungan alami kita, yaitu kembalikan umat ini pada Al qur’an, dekatkan umat ini pada alim ulama, tumbuhkan kembali kebutuhan dan kecintaan umat ini pada masjid, semai kembali bibit-bibit aqidah yang benar, serta tautkan umat ini dengan sunah-sunah nabinya,..........”Kata Ki Bijak.

“Insya Allah, dengan kita kembali kepada Al qur’an dan sunah, dengan kita kembali memfungsikan masjid sebagai mana rasulullah memakmurkannya, kita akan menemukan kembali ciri dan karakteristik kita sebagai umat terbaik, umat yang senantiasa menyeru pada kebenaran dan mencegah kemunkaran, umat yang hanya bertuhan pada satu Ilah yaitu Allah swt...............” Kata Ki Bijak lagi.

Maula menatap kembali photo ditangannya, ia memang menemukan “sesuatu yang aneh” ketika putri cantiknya bisa berphoto dengan harimau disampingnya.

“Mulailah dari putra-putri Nak Mas dulu, ajari dan didik mereka untuk tetap memegang erat al qur’an dan sunah, dan tanamkan mereka betapa mereka membutuhkan al qur’an dan sunah untuk menjadi seorang yang memiliki ciri dan karakteristik untuk menjadi muslim terbaik, syukur kalau kelak menjadi bagian dari umat terbaik seperti yang digambarkan Allah pada ayat diatas.........”Kata Ki Bijak.

“Doakan ana bisa mendidik pribadi ana untuk menjadi teladan bagi Dinda dan Ade ki.........” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas...........”Kata Ki Bijak sambil pamitan.

Wassalam

September 24, 2007

Friday, September 21, 2007

“DUUH RAMAINYA ANAK-ANAK”

“Nak Mas, masih banyak anak-anak yang minta tanda tangan buku kegiatan ramadhan....?” Tanya Ki Bijak.

“Masih Ki, masih banyak, padahal banyak diantara mereka yang tidak ikut shalat, tapi pas mau tanda tangan pada ngumpulin buku.......” Kata Maula.

“Ya itulah anak-anak Nak Mas, mereka mau datang kesini pun alhamdulillah, meski kedatangan mereka hanya sekedar untuk memperoleh tanda tangan untuk buku kegiatan ramadhannya...........” Kata Ki Bijak.

“Tapi setidaknya kita bisa belajar dari perilaku mereka yang datang kemasjid ini hanya ramadhan saja dan hanya untuk tanda tangan saja..........”Sambung Ki Bijak.

“Apa yang bisa kita pelajari dari mereka ki.....?” Tanya Maula.

“Kita pun kadang masih demikian Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya shalat dan ibadah kita ki....?” Tanya Maula lagi.

“Benar Nak Mas, shalat dan ibadah kitapun kadang masih kekanak-kanakan....” Kata Ki Bijak lagi.

“Nak Mas perhatikan anak-anak itu, sebagian besar dari mereka mau datang kemasjid ini karena dua hal, pertama karena mereka ingin nilai yang bagus dari gurunya dengan tanda tangan dibuku itu, yang kedua, mereka mau datang kemasjid ini, karena mereka takut dihukum oleh gurunya jika mereka tidak mengumpulkan buku kegiatan ramadhannya.....” Kata Ki Bijak.

“Lalu apa hubungannya dengan shalat dan ibadah kita ki........?” Tanya Maula.

“Shalat dan ibadah kitapun kadang karena dua faktor diatas Nak Mas, kita mau datang tarawihan disini, karena kita “diiming-imingi” dengan pahala tarawih sunah yang kata sebagian ustadz nilainya akan sama dengan ibadah wajib, yang kedua, kita “terpaksa” datang ke masjid ini karena “takut” dengan ancaman neraka.....” Kata Ki Bijak.

“Ki, bukankah memang ibadah kita untuk mengharap pahala dan takut ancaman neraka ki....?” Tanya Maula lagi.

“Secara umum benar Nak Mas, bahwa ibadah kita adalah karena dua hal diatas, tapi mari kita perhatikan lagi tingkah polah anak-anak itu, ketika mereka datang kemasjid ini dengan niat mendapatkan tanda tangan dan nilai semata, maka yang terjadi kemudian adalah mereka berusaha untuk memenuhi buku kegiatan ramadhannya dengan tanda tangan, dengan cara apapun, minta ustadznya tanda tangan lebih dari satu atau bahkan ada yang berupaya memalsukan tanda tangan ustadz, selepas itu, setelah bukunya penuh tanda tangan, mereka kembali enggan untuk datang kesini, end toh apa yang mereka inginkan sudah terpenuhi semua.......” Kata Ki Bijak.

“Mereka merasa sudah “aman” dari ancaman sang guru yang akan menghukumnya kalau buku kegiatan ramadhannya tidak ditanda tangani, selebihnya tidak ada lagi yang ingin mereka dapatkan, sehingga kalaupun mereka tetap datang, tak lebih hanya untuk bermain-main.........” Kata Ki Bijak.

“Nah kita pun kadang demikian, kita rajin tahajud, karena kita mengejar sesuatu, ingin mendapatkan kenaikan pangkat misalnya, atau ingin mendapatkan kenaikan gaji misalnya, dan persis seperti anak-anak itu, ketika kita mendasari tahajud kita semata karena itu, selepas jabatan kita naik, setelah gaji kita berkecukupan, tahajudnya pun lalu ditinggalkan, end toh apa yang dia harapkan sudah tercapai......” Kata Ki Bijak.

“Atau biasanya sebagian kita rajin ibadah ketika terdengar adanya rencana penggantian jabatan, atau akan ada orang baru yang datang, mereka kemudian takut posisinya tergeser, risau kalau jabatanny diganti, tapi setelah semua berlalu, ibadahnya dan tahajudnya pun berhenti ditengah jalan...........”Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu bagaimana landasan ibadah yang benar ki..........” Tanya Maula.

“Jadikan shalat dan ibadah kita sebagai kebutuhan, bukan hanya sekedar kewajiban Nak Mas.......” Kata Ki Bijak

“Shalat dan ibadah kita sebuah kebutuhan ki......” Tanya Maula.

“Ketika kita haus, kita akan berusaha mencari air, dengan cara apapun, karena kita butuh air itu........”

“Ketika kita lapas, kita akan berusaha mencari makanan, tak peduli rintangan apapun yang menghalanginya.....”

“Ketika kita sakit, kita pun berusaha mencari obat, betapapun mahal obat itu.....”

“Ketika kita tahu bahwa ibadah kita adalah kebutuhan kita, maka kita akan melaksanakannya dengan penuh kesadaran, karena jika kita tidak shalat, jika kita meninggalkan zakat, jika kita tidak puasa, maka kita akan merasakan dahaga dan lapar yang luar biasa, sehingga kita akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan ibadah kita, insya Allah dengan kedewasaan ini, pahala yang Allah janjikan kita tetap dapat, ancaman Allahpun insya Allah kita pun selamat........” Kata Ki Bijak.

“Shalat kita adalah kebutuhan kita, karena dengan shalat, kita membersihkan diri kita dari kufarat dan dosa,...”

“Zakat adalah kebutuhan kita, agar bersih harta dan jiwa kita.......”

“Puasa adalah kebutuhan kita, karena dengan puasa, akan terasah kepekaan dan ketajaman nurani kita.........”

“Haji adalah kebutuhan kita, betapapun mahalnya ongkos kesana, kita wajib berusaha untuk menunaikannya, karena memang kita “butuh” makna dan nilai haji yang mabrur..........”

“Jika kita sudah mampu menjadikan “perintah” sebagai “kebutuhan”, bukan hanya ramadhan saja getol kemasjidnya,bukan bulan muharam saja menyantuni yatimnya, bukan puasa fardhu saja kita melaksanakannya, bahkan bukan sekali saja kita ingin ketanah suci, insya Allah, sepanjang hayat hidup kita, kita akan merasakan nikmatnya shalat jamaah dimasjid, kita akan merindukan qiyamul lail, kita akan merasa “kehilangan sesuatu” manakala kita tidak bersedekah sekali saja, kita akan merasa “sakit”, manakala kita meninggalkan puasa senin-kamisnya.........”Kata Ki Bijak lagi.

“Jadi ibadah juga perlu kedewasaan ya ki....” Kata Maula.

“Benar, ibadah perlu kedewasaan, karena mereka yang belum dewasa, belum baligh, belum dikenai kewajiban beribadah, baru sekedar latihan, seperti anak-anak itu, mereka dilatih oleh gurunya untuk datang kemasjid, untuk tarawihan, untuk tadarus al qur’an, dengan cara memberi tugas mengumpulkan tanda tangan, dengan harapan kelak, ketika mereka dewasa, mereka, dengan kesadaran penuh tetap datang kemasjid, bukan sekedar untuk meminta tanda tangan, tapi murni sebagai pengabdian, terlepas dari ada tidaknya orang lain yang menilai.......” Kata Ki Bijak.

“Kita tidak bisa selamanya menjadi anak-anak, yang datang kemasjid hanya untuk latihan, hanya untuk pujian, hanya untuk pangkat dan jabatan, kita harus belajar untuk menjadi dewasa, dengan memahami secara benar perintah dan esensi ibadah kita, yaitu ridha Allah subhanahuwa’ala............” Kata Ki Bijak.

“Kita harusnya malu ya ki, sudah pada ubanan, tapi kemasjidnya hanya mingguan atau bahkan tahunan saja.......” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, harusnya kita malu, malu pada Allah, malu pada umur, malu pada uban, masak sih sudah berkali-kali ramadhan, tetap saja kemasjidnya mingguan, dan shalat malamnya tarawihan doang.....” Kata Ki Bijak.

“Terima kasih ki, terima kasih anak-anak, syukur pada-Mu ya Allah, Engkau bukakan pintu hikmah lewat anak-anak yang suka ribut ini...........” Bathin Maula.

Wassalam

September 21,2007

NIKMATNYA JAMUAN RAMADHAN

“Assalamu’alikum...........” Salam Maula kepada Ki Bijak yang tengah beristirahat sejenak setelah tadarus al qur’an.

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuh........, Nak Mas, silahkan duduk Nak Mas........” Jawab Ki Bijak sambil mempersilahkan Maula duduk.

“Ki, sewaktu berangkat tadi, ana ketemu seseorang diperempatan tol itu, saat ana hendak membeli tissue, ia nampak asyik dengan rokoknya, tanpa rasa risih sama sekali, ia tampak tidak peduli bahwa ini bulan ramadhan..........” Kata Maula.

“Masya Allah, innalillahi wa inna ilaihi roji’un...........” Kata Ki Bijak.

“Ki, kenapa masih banyak orang (islam) yang tidak puasa ya ki.........?” Tanya Maula.

“Puasa memang hanya untuk orang-orang khusus saja Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Puasa hanya untuk orang khusus saja ki.....?” Tanya Maula.

“Nak Mas perhatikan ayat 183 surat al baqarah sekali lagi;

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

“Perintah puasa, diawali dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman”, bukan dengan “Hai manusia” atau “hai orang-orang Islam”, melainkan orang-orang beriman, disinilah letak keistimewaan perintah puasa, selain hanya satu ayat itu saja yang memerintahkannya, puasa juga diperuntukan bagi orang-orang yang memiliki iman saja, karena puasa tanpa keimanan, adalah sesuatu yang sangat-sangat memberatkan..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, ana baru engeh kalau perintah puasa itu hanya terdapat dalam satu ayat dan hanya untuk orang beriman saja........” Kata Maula.

“Maka dari itulah kita mestinya lebih banyak bersyukur karena telah dipilih oleh Allah, insya Allah, termasuk kedalam golongan orang-orang yang “berhak” melaksanakan puasa ramadhan.....”Kata Ki Bijak.

“Ki, bukankah puasa itu kewajiban ki.....” Kata Maula.

“Benar, puasa adalah kewajiban yang disyari’atkan, sekaligus “hak” bagi setiap orang yang mengaku beriman, karena seperti Nak Mas tadi katakan, tidak semua orang diberi “hak” untuk menunaikannya, seperti contoh orang yang Nak Mas temukan, dengan tidak bermaksud mendahului kehendak Allah, mungkin orang yang Nak Mas temukan tadi tidak diberi “hak” oleh Allah dengan cara menipiskan keimanannya sehingga ia merasa berat untuk berpuasa, ada juga orang yang dicabut “haknya” dengan memalingkannya dari cahaya ramadhan yang demikian indah terpancar, sehingga mereka yang dicabut haknya, tidak dapat merasakan nikmat puasa ramadhan........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, selain orang tadi, ana juga sering bertemu dengan mereka yang secara fisik gagah dan sehat, tubuhnya kekar, dan tampak sangat kuat untuk “sekedar” menahan lapar dan haus barang empat belas atau lima belas jam untuk berpuasa, tapi nyatanya mereka tetap tidak berpuasa....”Kata Maula.

“Sebaliknya, ada banyak orang yang kondisi fisiknya jauh dari kata gagah, tubuhnya sudah renta, badannya pun kurus, tapi dengan dilandasi keimanan yang kuat, ia tetap diberi “hak” oleh Allah untuk bisa melaksanakan puasa ramadhan sebulan penuh........”Kata Ki Bijak.

“Ki, adakah ciri-ciri mereka yang mendapatkan “fasilitas atau hak untuk bisa menunaikan puasa” dari Allah atau sebaliknya............” Tanya Maula.

“Sangat sulit untuk membedakannya Nak Mas, tapi setidaknya ketika kita dikaruniai Allah pemahaman yang benar tentang agama pada umumnya, atau hikmah dan keutamaan ramadhan secara khusus, saat itu bisa kita maknai bahwa kita diamanati oleh Allah untuk menjalankannya secara sungguh-sungguh, bukan hanya sekedar paham secara teoritis, tapi benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan kita, termasuk melaksanakan shaum ramadhan ini….”

“Selanjutnya mungkin kita bisa sebut Nikmat umur yang Allah berikan kepada kita sehingga kita masih berkesempatan untuk bisa menunaikan shaum ramadhan ini, betapa banyak orang yang sangat merindukan untuk datangnya ramadhan dan betapa ingin mereka ingin beribadah dibulan penuh berkah ini, tapi hampir setiap tahun kita menemukan banyak contoh mereka yang tidak sempat menikmati jamuan ramadhan karena dipanggil kembali keharibaan Allah……..”

“Lalu nikmat sehat dan waktu luang, sehingga dengan sehat kita, kita bisa beribadah shaum secara maksimal, betapa banyak mereka yang ingin beribadah dibulan suci ini, tapi terkendala oleh kondisi sakitnya, meski sakit tidak selamanya berarti kejelekan, namun nikmat sehat adalah sesuatu yang harus benar-benar kita optimalkan sebagai sarana dari Allah untuk kita…….”

“Selain sehat, waktu luang juga merupakan sarana dari Alla untuk dapat kita maksimalkan, karena berapa banyak mereka yang sehat, namun “harus” membatalkan puasanya karena kesibukan yang sangat, yang membuatnya tidak bisa melaksanakan ibadah puasa……”

“Untuk itu berhati-hatilah ketika kita tidak memiliki pemahaman agama yang benar, karena boleh jadi kita tengah dipalingkan dari jalan yang benar, atau ketika kita terlalu sibuk dengan urusan dunia kita, dengan bisnis kita, karena kesibukan yang melalaikan kita dari Allah, bukan merupakan sebuah nikmat, tapi justru sebuah “cobaan” yang sangat berat bagi kita……..”Kata Ki Bijak.

“Ki, boleh tidak kalau ana mengatakan bahwa orang yang berpuasa adalah “tamu” Allah ki……..” Tanya Maula.

“Memang demikian adanya Nak Mas, bulan ramadhan adalah bulan jamuan Allah bagi mereka yang beriman, kita diundang untuk menikmati berbagai fasilitas yang Allah sediakan untuk kita, Allah menyambut para tamunya dengan rahmat diawal ramadhan, kemudian Allah menyiapkan fasilitas ampunan dipertengahannya, serta jaminan pembebasan dari neraka diakhirnya bagi tamu-tamu-Nya, selain Allah juga memberikan jaminan keindahan surga bagi mereka yang datang dan memasuki ramadhan sesuai dengan tatacara dan aturan protokoler yang telah ditetapkan oleh Sang Pengundang, salah satunya adalah kita datang dan berpuasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan……..”Kata Ki Bijak.

“Kalau demikian besar jamuan yang Allah persiapkan untuk kita, kenapa masih banyak yang tidak mau datang memenuhi undang Allah dibulan ini ki…..” Tanya Maula.

“Kalau ditanyakan kepada setiap orang, pasti jawabannya akan sangat beragam, tapi menurut Aki, setidaknya ada dua kelompok besar mereka yang tidak mau datang, pertama adalah mereka sombong, kedua mereka yang tidak atau belum tahu siapa yang mengundang…….”Kata Ki Bijak.

“Mereka yang sombong dan mereka yang tidak mengenal siapa yang mengundang ki……” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, mereka yang sombong adalah kelompok yang tahu betapa berharganya nilai jamuan ramadhan, tapi mereka tetap enggan untuk datang memenuhinya…….” Kata Ki Bijak.

“Kedua, mereka yang enggan datang memenuhi undangan jamuan ramadhan adalah mereka yang tidak tahu siapa yang mengundangnya…”,

“Sebagai misal, kalau kita mendapat undangan dari seseorang yang sangat dihormati, tentu kita pun merasa dihormati dengan undangan yang kita terima, kemudian kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat memenuhi undangan itu, lain halnya kalau kita menerima undangan, sementara kita sendiri tidak mengenal siapa orang yang mengundang kita, tentu kita akan segan untuk datang,

“Seandainya setiap orang tahu bahwa ramadhan adalah undangan yang disampaikan oleh Dzat yang Maha segalanya, dengan cara apapun insya Allah kita akan berusaha untuk memenuhinya, panas tak jadi halangan, hujan bukan rintangan, lapar dijadikan tantangan, haus hanya sekedar godaan, tapi ya itu tadi, hanya sebagian orang saja yang tahu siapa yang mengundang kita untuk menikmati jamuan ramadhan ini……..”Kata Ki Bijak lagi

“Iya ki, semoga kita termasuk orang yang tawadlu dan mengenal Allah dengan baik ya ki, sehingga kita bisa memenuhi undangan Allah dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan………”Kata Maula.

“Insya Allah, amiiin………….” Timpal Ki Bijak.

Wassalam

September 19, 2007

Tuesday, September 18, 2007

BUAH RAMADHAN

“Ki, ana sering dengar ungkapan-ungkapan “jangan marah, lagi puasa”, “jangan bohong, khan lagi puasa”, “jangan begitu, kita kan puasa”, “matanya jangan jelalatan, lagi puasa”, “nggak boleh ngomongin orang, lagi puasa”, dan ungkapan sejenis, seolah-olah diluar bulan puasa kita “boleh” melakukan hal-hal diatas..........” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, aki pun sering dengar ungkapan semacam itu, dan itu tidak sepenuhnya salah, hanya kurang dimaknai secara benar oleh sebagian kita......” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki........?” Tanya Maula.

“Bulan Ramadhan adalah bulan tarbiyah, bulan latihan dan pendidikan bagi jasmani dan rohani kita, dan berhasil tidaknya pendidikan dan latihan yang kita lakukan, bukan hanya diukur saat kita melaksanakan latihan itu saja, tapi barometer nyata bagi keberhasilan tarbiyah kita adalah sejauh mana efek pelatihan itu nampak diluar ramadhan...........”Kata Ki Bijak.

“Misalnya ki............?” Kata Maula.

“Misalnya begini Nak Mas, selama puasa kita dilatih untuk menahan diri dari rasa haus dan lapar, kita mesti menahan keinginan dan hasrat kita untuk memakan makanan dan minuman yang halal sekalipun, kita juga harus menahan keinginan kita terhadap istri dan suami kita yang sah sekalipun.............,

“Idealnya, kalau kita mampu menahan diri dari makanan yang halal, mampu menahan diri dari istri dan suami kita yang sah dan halal, kita harusnya lebih mampu menahan diri dari makanan dan minuman yang diharamkan Allah, kita juga idealnya mampu menahan diri dari perbuatan yang dilarang Allah selepas kita mengikuti training ramadhan...........” Kata Ki Bijak.

“Misalnya lagi, kalau selama ramadhan kita dilatih untuk tidak ngomongin orang, dilarang ghibah, diluar ramadhan, keberhasilan pendidikan kita diuji, apakah kita bisa melakukan hal-hal yang telah kita dapat selama pendidikan ramadhan....”

“Misalnya lagi, kita sering dengar kita mesti sabar dan jangan mudah marah karena kita tengah puasa, tapi berhasil tidaknya latihan kesabaran kita adalah kemampuan kita untuk berlaku sabar dan menjaga amarah selepas ramadhan.....”

“Contohnya lagi, kalau selama ramadhan kita mampu menjaga pandangan mata kita dari hal-hal yang diharamkan Allah, bukan berarti setelah ramadhan mata kita bebas memandang hal-hal yang diharamkan Allah.........”

“Misalnya lagi, kita menjadi rajin kemasjid untuk tarawehan, alhamdulillah, tapi ukuran “keberhasilan” kemasjid kita adalah apakah shubuhnya juga kita kemasjid, apakah juga setelah ramadhan kita juga melakukan hal yang sama sebagaimana aktivitas kita selama ramadhan......”

“Kalau kita mampu menahan diri selama puasa, itu belum merupakan gambaran ideal tidaknya puasa kita, karena saat itu hampir semua orang melakukan hal yang sama dengan kita.......,

“Seperti halnya para siswa yang tengah menempuh pendidikan, baik tidaknya siswa itu bersikap dan menangkap apa yang diajarkan oleh gurunya, tidak sebatas bagaimana mereka bersikap diruang kelas, tapi juga bagaimana perilaku mereka diluar kelas, setelah “kebebasan kita” tidak lagi dibatasi oleh ruang dan guru yang mengawasinya secara penuh.....”

“Pun demikian halnya dengan pelatihan ramadhan kita, ketika kita sedang berada “diruang kelas ramadhan”, kita dibatasi oleh kondisi dan lingkungan yang membatasi ruang gerak dan bicara kita, mau marah-marah, malu lagi puasa, mau “jajan” warungnya pada tutup karena puasa, jadi sekali lagi, indikatornya adalah bagaimana kita berperilaku pasca ramadhan, harus mencerminkan apa yang kita dapat selama pendidikan “ruang kelas ramadhan ...” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, ana jadi kepikiran dengan berita-berita diTV ki........”Kata Maula

“Ada berita apa memangnya Nak Mas........?” Tanya Ki Bijak.

“Itu lho ki, hampir setiap menjelang dan selama ramadhan, aparat penegak hukum kita ramai-ramai merazia minumam keras, merazia tempat-tempat hiburan malam, merazia para pekerja malam, kok aneh ya ki, kenapa hal itu hanya dilakuan menjelang dan selama ramadhan saja, padahal kan itu bisa dilakukan setiap saat ki...............” Kata Maula.

“Itulah kondisi masyarakat dan aparat kita sekarang ini Nak Mas, kita cenderung reaktif dalam menghadapi permasalahan, kita ini bangsa “kagetan”, sehingga dalam amar ma’ruf sekalipun kita masih pilih-pilih waktu dan tempat, kalau bukan ramadhan, seolah semuanya boleh, kalau tempatnya milik konglomerat, seolah semuanya boleh, hal inilah yang menurut hemat aki menjadikan penegakan amr makruf kita masih berjalan ditempat..............” Kata Ki Bijak.

“Ki, apa yang bisa kita lakukan dalam kondisi seperti ini ki........?” Tanya Maula.

“Aki berharap bahwa antum semua, Nak Mas, dan santri-santri lain bisa mengambil hikmah dan pelajaran selama bulan suci ini, agar kita semua menjadi manusia yang bertaqwa....,

“Sekali lagi bulan ini adalah bulan tarbiyah, ibaratnya kita tengah menanam pohon, kita harus benar-benar menjaga “pohon dan tanaman ramadhan” kita dengan keimanan dan keikhlasan, disirami dengan penuh rasa sabar dan syukur, sehingga kita insya Allah bisa memetik buahnya selepas ramadhan kelak, dan setelah ramadhan kita “berbuah” manis, sebarkan buah itu kepada orang-orang disekeliling kita agar mereka turut menikmati manisnya buah yang Allah titipkan kepada kita untuk mereka..........”Kata Ki Bijak.

“Kalau ramadhan kita sendiri belum benar, buah yang kita hasilkan pun mungkin asam rasanya, dan kita pasti maklum kalau orang lain akan enggan menerima apa yang kita sampaikan, kalau buah yang kita bawa itu asam atau busuk berbau......” Kata Ki Bijak.

“Oh ya Nak Mas, bagaimana kondisi jamaah tarawih kita setelah lima hari ini.......”Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah ki, masih cukup banyak, meski tidak sepadat dihari pertama dan kedua ki........” Kata Maula.

“Jangan terpengaruh ya Nak Mas, tetap istiqomah untuk menghidupkan malam-malam ramadhan ini dengan penuh keikhlasan, justru inilah ladang kita untuk mengajak dan mengingatkan jamaah lain bahwa ramadhan bukan hanya dua atau tiga hari saja, tapi sebulan penuh............”Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki..........” Kata Maula mengakhiri diskusi hari itu.

Wassalam

September 18, 2007

Monday, September 17, 2007

NAFSU ≠ KEBUTUHAN

“Mari tambah makannya Nak Mas...........” Kata Ki Bijak, mereka tengah buka bersama diserambi masjid selepas shalat maghrib.

“Alhamdulillah, terima kasih ki, ana sudah kenyang ki............” Kata Maula sambil mencuci tangannya dikobokan yang tersedia.

Pun halnya dengan Ki Bijak dan santri yang lain, mereka menyelesaikan buka puasanya tanpa ada yang nambah makannya.

Sambil menunggu waktu isya tiba, Ki Bijak ngobrol bersama para santrinya.

“Nak Mas, adakah kita bisa mengambil suatu hikmah dari buka puasa tadi.....?” Tanya Ki Bijak.

“Selain rasa bahagia karena kita diberi nikmat untuk berbuka, apa lagi ya ki.......?” Kata Maula.

“Coba kita ingat-ingat lagi, sepanjang hari tadi, kita merasakan haus dan lapar yang sangat hebat, perut kita panas, kerongkongan kita terasa terbakar, sehingga seolah-olah kita ingin makan dan minum sebanyak mungkin, kadang dari siang kita ngumpulin makanan, ingin minum sirop,ingin teh manis, ingin kolak, ingin kurma, ingin manisan, dan masih banyak keinginan kita lainnya selama kita puasa tadi....” Kata Ki Bijak.

“Tapi coba tengok sekarang, setelah segelas air putih dan nasi yang tidak terlalu banyakpun, kita sudah merasa kekenyangan, makanan yang tadi kita kumpulkan dari siang tadi, bahkan sama sekali tidak tersentuh............”Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ya ki, kenapa tadi siang kita seolah ingin semuanya, tapi sekarang malah sudah kenyang duluan..........”Tanya Maula.

“Itulah bedanya kebutuhan dan Nafsu Nak Mas.........” Kata Ki Bijak.

“Beda kebutuhan dan nafsu ki............” Tanya Maula.

“Ketika siang, kita ingin ini dan itu, adalah dorongan nafsu, sementara kebutuhan kita sebenarnya tidak lebih dari segelas air dan sepiring nasi.........”Kata Ki Bijak.

“Nafsu cenderung mendorong kita untuk mengumpulkan semuanya secara berlebih, kita ingin harta yang berlimpah, kita ingin simpanan yang banyak, mobil dan kendaraan pun tak cukup satu, rumahpun kalau mungkin ingin punya beberapa buah, sehingga kadang kita lepas kendali dan lupa kontrol, demi untuk memenuhi nafsu kita, kita kemudian bekerja keras, banting tulang, hingga kadang kita lalai dan lupa terhadap kewajiban kita sebagai mahluk yang diciptakan untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah semata...........”

“Padahal apa yang kita usahakan dengan sedemikian rupa tadi, hanya sedikit saja yang dapat kita nikmati................, harta dan simpanan yang berlimpah, toh bukan kita yang menikmati, tapi bank yang mengelola uang kitalah yang justru lebih banyak menikmati hasil jerih payah kita........”

“Mobil yang berjejer digarasipun, tidak bisa kita nikmati semua, hanya satu saja yang kita perlukan untuk memenuhi kebutuhan kita akan transportasi.....”

“Rumah yang luas dan bertingkat lebih dari dua lantaipun, kita hanya perlu ruangan yang tidak lebih dari 3x3 meter saja untuk membaringkan badan kita untuk tidur, lalu kenapa untuk memenuhi “kebutuhan kita yang sedikit itu” kita menghabiskan lebih dari separuh waktu kita....? Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kenapa tadi kita ngumpulin banyak makanan dan minuman, sibuk masak ini dan itu, padahal hanya sedikit saja yang dapat kita makan, selebihnya jadi mubazir gini ya ki......” Kata Maula sambil melihat sekeliling yang masih nampak sisa makanan yang tidak habis dimakan.

“Iya Nak Mas, kita masih seperti semut-semut itu..........’Kata Ki Bijak sambil menunjuk rangkaian semut yang hilir mudik berjalan, membawa sisa-sisa makanan yang berserakan dilantai yang belum dibersihkan.

“Kita seperti semut-semut itu ki.....?” Tanya Maula heran, sambil matanya tak luput mengawasi semut-semut yang ditunjukan Ki Bijak.

“Coba Nak Mas perhatikan sekali lagi semut-semut itu, perhatikan juga ukuran beban yang dibawanya...........”Kata Ki Bijak.

Maula mengamati semut-semut itu dengan seksama

“Nak Mas perhatikan beban yang dibawa semut-semut itu, jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya, bahkan hingga empat kali lipat dari ukuran tubuhnya....,

“Makanan yang lima kali lebih besar dari tubuh semut itu, pasti tidak akan habis dimakan semut-semut itu dalam sehari, tapi meskipun makanan yang disarang semut itu belum habis, mereka tetap mencari makanan lagi untuk dikumpulkan dan ditumpuk didalam sarangnya, meski makanan itu mungkin tidak akan habis hingga daur hidup mereka berakhir..........” Kata Ki Bijak lagi.

“Adakah kita seperti itu ki.........?” Tanya Maula.

“Contoh yang paling tepat adalah bagaimana kita mengumpulkan makanan untuk berbuka tadi Nak Mas, meski akhirnya kita tidak bisa makan semuanya....,

“Dalam kontek yang lebih luas, kita bisa dengan mudah menemukan mereka yang menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan uang dan harta secara membabi buta, meski sebenarnya mereka tahu bahwa harta yang mereka kumpulkan samasekali tidak akan mampu menghalangi kedatangan malaikat maut, harta yang berlimpah juga tidak menjamin mereka bahagia, atau kalau ada orang yang beralasan untuk warisan anak cucunya, inipun tidak menjamin bahwa keturunan mereka lebih baik dengan harta yang mereka tinggalkan......,”

“Kita bisa melihat dan menemukan dengan mudah ada orang korupsi, ada yang keparanormal, ada yang maling, ada yang dagang dengan curang, dan beragam cara dilakukan oleh sebagian orang demi memuaskan nafsunya, bukan untuk memenuhi kebutuhannya.................”Kata Ki Bijak.

“Nah puasa ini, salah satu hikmahnya adalah untuk mentarbiyah nafsu kita, agar tetap berjalan direl yang benar.............” Kata Ki Bijak lagi.

“Ki, apakah kita tidak boleh memiliki keinginan ki...........?” Tanya Maula.

“Keinginan, cita-cita, harapan dan kehendak adalah sebuah fitrah kita Nak Mas, dan kita tidak mungkin menghilangkannya, dan puasa sama sekali bukan untuk menghilangkan keinginan kita, tapi “mendidik” dan “mengendalikannya” agar tetap sejalan dan selaras dengan kehendak Allah dan sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia...............” Kata Ki Bijak.

“Keinginan yang tanpa batas, jika tidak kita kendalikan, laksana banteng liar yang terus meronta, yang pada akhirnya akan membanting sang matador ketanah dengan sangat keras...............”

“Harapan yang tanpa kendali, ibarat kuda liar yang akan melemparkan penunggangnya hingga jatuh meremukan tulang..............”

“Kehendak yang tanpa batas, akan berbenturan dengan Dzat yang Maha Berkehendak, yaitu Allah swt..............”

“Dengan puasa inilah kita melatih dan mendidik nafsu kita agar terkendali, sehingga mampu bermanfaat bagi kita, kita yang harus mengendalikan nafsu dan bukan nafsu yang mengendalikan kita, sehingga nafsu bisa tunduk pada fitrah kita, seperti kuda yang bisa kita manfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan kita.........” Kata Ki Bijak.

“Masih ada sekitar 25 hari lagi bagi kita untuk mentarbiyah nafsu kita, agar benar-benar sesuai dengan kehendak yang menciptakannya, berlatihlah terus setiap hari, kalau ketika siang kita ingin dan itu, tanyakan lagi, seperti itukah atau sebanyak itukah kebutuhan kita, atau itu hanya sekedar dorongan nafsu..........”Kata Ki Bijak.

“Iya ki, do’akan ana bisa mendapatkan sebuah hikmah untuk dapat mengendalikan nafsu pada ramadhan kali ini ya ki.........”Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas..........” Kata Ki Bijak sambil bersiap shalat isya diikuti para santrinya.

Wassalam

September 17, 2007

Friday, September 14, 2007

SAATNYA LOMBA DIMULAI

“Nak Mas, kemarin tarawihan dimana, kok Aki nggak lihat.....?” Tanya Ki Bijak

“Ana taraweh diluar masjid ki, habis penuh sekali..................” Kata Maula

“Alhamdulillah, semoga kondisi ini bisa berlangsung seterusnya........” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kenapa hanya diawal ramadhan saja masjid sedemikian sesak, tapi setelah satu minggu, biasanya kondisi masjid ini kembali normal........”Kata Maula.

“Nak Mas masih ingat dengan diskusi kita kemarin, bahwa hidup kita adalah sebuah perlombaan..?” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki, ana masih ingat....” Kata Maula

“Ramadhan ini adalah sebuah miniatur dari perlombaan dalam kehidupan kita.......” Kata Ki Bijak

“Maksudnya ki...........” Tanya Maula.

“Nak Mas pernah melihat perlombaan marathon........” Tanya Ki Bijak

“Ya ki......” Kata Maula

“Ketika berada digaris start, semua peserta tampak sangat siap untuk mengikuti lomba yang diadakan, pada posisi itu belum nampak sama sekali siapa yang akan menjadi juaranya nanti, karena semua peserta, baik yang profesional, amatir atau sekedar peserta penggembira sekalipun, akan nampak seperti seperti atlet yang benar-benar siap mengikuti lomba tersebut......” Kata Ki Bijak.

“Lalu, ketika perlombaan sudah berjalan sepertiga dari jarak tempuh, maka akan mulai terseleksi siapa saja peserta penggembira, yaitu mereka yang sudah berhenti ditengah jalan dan tidak meneruskan lomba.....” Kata Ki Bijak lagi.

“Pada fase sepertiga kedua lomba, peserta amatir akan mulai keteteran untuk meneruskan lomba, dan biasanya hanya sampai pada fase ini saja keikutsertaan para peserta amatir.............”

“Sepertiga menjelang finish, mulai nampak siapa saja para atlet yang benar-benar profesional dalam mempersiapkan diri mengikuti lomba, bahkan biasanya dibeberapa ratus meter menjelang garis finish, para peserta profesional ini akan beradu sprint untuk menentukan siapa yang terbaik diantara mereka.....” Kata Ki Bijak.

“Benar ki, ana pernah mengikuti lomba lari 10K ketika disekolah dulu, dari seratusan orang peserta digaris start, hanya sekitar dua puluh orang saja yang sampai garis finish...........”Kata Maula.

“Ya, masih seperti itulah gambaran ramadhan kita selama ini Nak Mas, seperti Nak Mas alami kemarin, masjid penuh sesak oleh jamaah, baik jamaah yang memang reguler datang kemasjid kita ini, ada juga jamaah yang datang kesini untuk shalat Jum’at saja atau bahkan ada yang baru pertama kali datang kemasjid ini untuk tarawihan.....Alhamdulillah, Aki berharap momentum ini terus bertahan hingga kehari-hari berikutnya......”

“Tapi seperti halnya lomba lari yang aki gambarkan diatas, selama ini kita masih kerap menemukan ketika bulan ramadhan memasuki minggu kedua, peserta tarawih akan mengalami “kemajuan” yang sangat pesat, kalau kemarin Nak Mas tidak kebagian tempat, mungkin minggu depan kita bisa lesehan, karena para perserta “penggembira” akan mulai beransur mundur teratur.........”

“Memasuki minggu kedua ramadhan, insya Allah masjid ini masih akan terisi setidaknya sampai ruang utama ini, karena peserta “mingguan” biasanya masih bertahan hingga hari kelima belas atau dua puluh hari ramadhan............”

“Selebihnya, sepuluh terakhir ramdhan, akan mulai nampak siapa saja mereka yang benar-benar menikmati sajian ramadhan ini, dengan tetap istiqomah datang kemasjid demi menggapai ridha Allah swt.....”

“Bahkan mereka yang mengerti, justru akan semakin semangat dan intens untuk melaksakana ibadah, karena disana, disepuluh malam ramadhan terakhir, menurut sebagian besar pendapat, terdapat malam yang sangat dimuliakan,yang biasa kita kenal dengan sebutan Lailatul Qadr, mereka yang mengerti justru akan semakin sering banyak dimasjid untuk i’tikaf dan memperbanyak amal ibadah demi menggapai tangga juara diakhir ramadhan kelak............”

“Nak Mas perhatikan, ada kesamaan antara lomba marathon dan “lomba Ramadhan”, kedua-duanya merupakan seleksi terhadap seluruh peserta, kalau dalam lomba marathon setiap peserta diseleksi untuk menentukan juaranya, dalam perlombaan ramadhan, kita diseleksi untuk menentukan siapa yang terbaik amalnya, hingga berhak menguncapkan Minal ‘aidin wal fa idzin diakhir ramadhan nanti..............’ Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kalau menjelang akhir ramadhan, justru mall dan pusat perbelanjaan yang ramai, sementara masjid kembali sepi, hanya jamaah yang biasa datang saja yang masih tersisa.....” Kata Maula.

“Itu khan sama persis dengan lomba marathon Nak Mas, peserta yang “gugur” dan “gagal” menyelesaikan lomba, biasanya kemudian berkumpul disekitaran garis start untuk mengikuti bazar yang biasanya disediakan panitia lomba, mereka tidak peduli kalau mereka tidak bisa memasuki garis finish, yang penting belanja pernak-pernik lomba, untuk kemudian dibangga-banggakan kepada rekan dan tetangganya bahwa ia pernah mengikuti lomba, mengenai ia tidak berhasil memasuki garis finish, mereka tidak akan pernah menghiraukannya.............” Kata Ki Bijak.

“Pun demikian dengan sebagian kita Nak Mas, ketika menjelang akhir ramadhan, kita lebih sibuk mempersiapkan diri menyambut Idul Fitri, kita sibuk membeli perlengkapan dan pakaian baru untuk kita kenakan pada saat shalat ied nanti, kita juga sibuk mengumpulkan oleh-oleh untuk dibawa pulang kampung, bahkan yang lebih ektrim, banyak diantara kita sampai membatalkan puasa kita demi bisa berbelanja pakaian dengan nyaman, kita tak peduli apakah puasa kita benar atau tidak, kita tidak khawatir puasa kita diterima atau tidak, kita tidak cemas kalau puasa kita batal atau tidak, yang penting kita bisa mengenakan pakaian baru di hari idul fitri, untuk kemudian berkeliling menyalami para sanak suadara dan tetangga sambil mengucapkan minal ‘aidzin wal fa idzin, tanpa berpikir apakah kita berhak tidak mendapat “predikat orang yang kembali” pada fitrah dan kesucian kita sebagai manusia............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, pemandangan seperti itu terlihat jelas diramadhan kemarin, ketika seminggu menjelang lebaran, arus mudik sangat padat sampai didepan komplek ini, macet total, dan ana menyaksikan sendiri para pemudik itu dengan tanpa rasa malu, makan dan minum disiang bolong, alasannya karena panas dan macet, bahkan tingkahnya pun samasekali tidak mengacuhkan bahwa saat itu dibulan ramadhan.........” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, untuk itu, jangan heran, setelah kita diberi kesempatan berpuluh kali untuk dididik dibulan ramadhan, tapi bekas-bekas pelatihan dan pendidikan itu sama sekali belum menyentuh hati kita.........”

“Masih banyak yang harus kita benahi, dimulai dari diri kita dulu, dengan cara meningkatkan pemahaman dan kualitas ibadah kita, untuk kemudian kita tularkan kepada keluarga, syukur kalau kita bisa menjadi contoh dan teladan bagi orang lain....”Kata Ki Bijak.

“Iya Ki, semoga dari masjid ini kelak akan lahir para jamaah yang dapat menjadi contoh dan tauladan bagi keluarga dan lingkungannya........” Kata Maula

“Amiiiin, semoga ya Nak Mas..............” Kata Ki Bijak.

Wassalam

September 14, 2007

Thursday, September 13, 2007

USIA KITA 7 HARI SAJA

“Kenapa Nak Mas, kok nampak agak murung....?Tanya Ki Bijak pada Maula yang tengah bersandar didinding masjid.

“Tidak ada apa-apa ki, ana hanya sedang prihatin dengan gempa yang kemarin terjadi di Bengkulu.........” Kata Maula.

“Ada sanak saudara disana Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.

“Tidak ada Ki, tapi tetap saja kejadian gempa itu menguras keprihatinan banyak orang ki, termasuk ana........” Kata Maula.

“Nak Mas benar, kejadian gempa di Bengkulu kemarin memang mengundang banyak perhatian dan keprihatinan, apalagi kejadiannya pas diawal bulan Ramadhan seperti ini............” Kata Ki Bijak.

“Ana membayangkan bagaimana saudara-saudara kita disana mendapatkan sahur..? Bagaimana mereka keesokan harinya harus berpuasa, sementara mereka tinggal dipengungsian dengan kondisi yang serba terbatas seperti itu...........” Kata Maula sambil matanya menerawang.

“Ki, adakah Allah “marah” pada kita ki..........?” Tanya Maula.

“Wallahu’alam Nak Mas, tapi Aki lebih merasakan apa yang terjadi disana adalah sebuah “pesan” dari Allah dan bukan sebuah “kemarahan”, karena Allah sangat mencintai kita Nak Mas..........”Kata Ki Bijak.

“Pesan apa ki........?” Tanya Maula.

“Setiap kejadian, bisa kita maknai sebagai sebuah ‘pesan’ dari Allah, untuk mengingatkan kita bahwa semua kita pasti akan mati...............” Kata Ki Bijak.

“Tapi ki, haruskah pesan itu lewat bencana...?, bukankah didalam al qur’an Allah sudah dengan jelas menyatakan bahwa setiap yang berjiwa akan mati ki.....?” Tanya Maula.

“Benar, ayat yang termaktub dalam surat al anbiya ayat 35 itu benar adanya....”;

35. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.

“bahwa setiap jiwa akan mengalami kematian, tapi coba kita kilas balik kebelakang sekali lagi Nak Mas, betapa sering kita lupa dengan pesan Allah dalam ayat tadi, betapa sering kita lupa bahwa sebenarnya umur kita tidak lebih dari tujuh hari saja...........” Kata Ki Bijak.

“Umur kita hanya tujuh hari saja ki......?” Tanya Maula heran.

“Tidakkah kita menyadari bahwa tidak ada satu mahlukpun yang mempunyai hari lain selain tujuh hari yang telah ditetapkan Allah....?” Kata Ki Bijak

“Jika tidak hari senin, mungkin selasa kita akan meninggal, kalau selasa masih hidup, mungkin Rabu kita akan dipanggil Allah, kalau Rabu kita masih diberi kesempatan, mungkin Kamis-nya kita akan berpulang kepada Allah, kalaupun Kamis kita masih bisa melihat matahari, mungkin Jum’at-nya mata kita akan terpejam selamanya, atau kalau jum’at kita masih berjumpa dengan rembulan, Sabtu-nya mungkin kita tidak lagi bersua malam, kalau Sabtu nafas kita masih berjalan lancar, mungkin Minggu adalah akhir dari hayat kita didunia ini, adakah manusia atau mahluk lain yang mempunyai hari lain selain hari itu untuk menghindar dari kematian...?” Kata Ki Bijak.

“Tidak ada ki.......” Kata Maula pelan.

“Pasti tidak akan ada..., Nah kita ini adalah mahluk pelupa, kita sering kali lupa bahwa hidup kita ini akan berakhir, baik dalam hitungan hari atau bahkan dalam hitungan jam, kita hanya punya 24 jam saja untuk hidup kita.........

“Sehingga dengan berbagai kejadian bencana seperti gempa bumi di Bengkulu kemarin, Allah mengingatkan kita lagi bahwa kalau kemarin lusa Aceh yang luluh lantak dihantam bencana, esok lusa tidak ada satupun yang dapat menjamin kita bisa lepas dari hal serupa, dimanapun kita....”,

“Kalau kemarin lusa Yogya hancur luluh dihantam gempa, mungkin besok lusa kita yang akan tertimpa, begitupun dengan berbagai bencana lainnya kita sering sekali lupa.............”

“Selang berapa waktu setelah Tsunami Aceh yang demikian dahsyat, kita masih dengan sombong merayakan tahun baru diatas keprihatinan saudara kita yang tengah ditimpa bencana.....”

“Selang berapa lama setelah Yogya hancur dan menguras air mata, segera saja kita lupa dengan semuanya, hanya karena demam piala dunia.........”

“Dan sekarang Bengkulu, setelah sebelumnya Situbondo, akankah kita kembali lupa bahwa umur kita hanya tujuh hari saja, bahwa waktu kita hanya 24 jam saja.....?” Kata Ki Bijak.

“Ki, demikian pendek jatah usia kita ya ki.........” Kata Maula.

“Sangat pendek Nak Mas, dengan semua kejadian itu, seharusnya kita tidak lagi menunda-nunda untuk berbuat kebaikan yang diridhai Allah, seharusnya segera kita bergegas bersujud mengakui kehambaan kita dihadapan Allah swt, seharusnya segera kita berlomba membersihkan diri dan harta kita dari hal yang subhat dan haram, karena sekali lagi kita tidak tahu dihari apa kita akan mati..............” Kata Ki Bijak.

“Ki, kalau masih ada orang yang bilang shalatnya nanti saja, atau puasa di qada saja, atau pergi hajinya kalau tua saja, menurut aki bagaimana ki.....? Tanya Maula.

“Silahkan saja, Allah tidak akan rugi karena penundaan dan keengganan mereka untuk bersegera memenuhi perintah-Nya, silahkan saja mereka enggan shalat, kalau memang mereka bisa menghindar dari kedatangan malaikat maut yang pasti akan menjemputnya, silahkan saja mereka berpura-pura puasa dengan membohongi orang lain, kalau memang mereka bisa menemukan tempat untuk bersembunyi dari penglihatan Allah...............” Kata Ki Bijak.

“Waah, mana ada manusia yang bisa menghindar dari maut atau bersembunyi dari Allah ki....?” Kata Maula.

“Jika kita menyadari bahwa kita tidak mampu menghindar dari maut atau bersembunyi dari Allah, akankah kita menyiakan-nyiakan umur kita yang hanya tujuh hari itu....?” Kata Ki Bijak.

“Mumpung sekarang bulan Ramdhan, mumpung kita masih diberi kesempatan untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya, ayo kita manfaatkan sisa-sisa hari kita untuk menggapai ridha Allah swt.............” Kata Ki Bijak lagi.

“Sempunakan shaum kita, bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar saja, tapi tingkatkan terus hingga kita benar-benar bisa mengendalikan nafsu kita........”

“Shalat nafilahnya juga diperbanyak, tadarusnya lebih rutin, dzikirnya lebih intens, singkatnya jadikan ramadhan ini seolah sebagai ramadhan terakhir kita, karena memang kita tidak tahu apakah kita akan sampai pada ramadhan berikutnya.........” Kata Ki Bijak lagi.

“Aki benar ki, seperti saudara kita yang menjadi korban di Bengkulu itu ya ki, tepat sehari mau memasuki ramadhan, justru mereka tidak sempat lagi menikmatinya, karena Allah berkehendak lain dengan “memanggil”nya.......” Kata Maula.

“Ya, Nak Mas seperti itu, dan hal serupa dapat terjadi pada siapapun, dimanapun, itulah kenapa kita harus melakukan ibadah terbaik kita hari ini..........’ Kata Ki Bijak.

“Ya ki, do’akan ana bisa menjalani dan menjadikan Ramadhan kali ini sebagai ramadhan terbaik ana ya ki.........” Kata Maula.

“Aki pun berharap demikian Nak Mas, semoga Allah membimbing dan memberikan kekuatan kepada kita untuk bisa menjalani ramadhan ini penuh dengan ridha-Nya...........” Kata Ki Bijak lagi.

“Amiiiin..............”

Wassalam

September 13, 2007

SEBERAPA BESAR CINTAMU

“Ki, bagaimana kita mengukur kadar cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya ki.....? Tanya Ki Bijak.

“Wallahu’alam bishowab Nak Mas, hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu seberapa besar kecintaan kita, karena cinta tidak bisa diungkapkan dengan seribu kata cinta sekalipun.........”Kata Ki Bijak

“Lalu, ki.....?” Kata Maula.

“Begini Nak Mas, Aki masih punya sedikit nasi dan beberapa potong ikan asin dimeja makan itu..........”Kata Ki Bijak sambil menunjuk kearah meja makan diruangan sebelah.

“Apa yang harus ana lakukan Ki.....?” Tanya Maula heran.

“Nak Mas makanlah nasi dan lauk dimeja makan itu.....” Perintah Ki Bijak.

“Makan ki......” Tanya Maula heran dengan perintah gurunya, namun ia tetap melaksanakan apa yang diminta Ki Bijak.

Selesai makan, Maula mencari air minum karena kerongkongannya terasa gatal seret dan gatal karena ikan asin.

“Nak Mas jangan minum dulu hingga beberapa jam...........” Kata Ki Bijak.

Maula tambah bingung, pelajaran apa gerangan yang hendak Ki Bijak berikan padanya malam itu, setelah disuruh makan, sekarang ia dilarang minum, tapi Maula tetap melaksanakan titah Ki Bijak.

Setelah beberapa lama, Maula nampak semakin “tersiksa” dengan rasa seret dan gatal dikerongkongannya karena tidak boleh minum.

“Bagaimana rasanya Nak Mas.........?” Tanya Ki Bijak.

“Ki, tenggorokan ana gatal dan sakit ki, ana perlu air minum..........” Kata Maula.

“Bagaimana kalau Nak Mas tidak mendapatkan air minum itu hingga besok.....?” Tanya Ki Bijak.

Maula tidak menjawab, mukanya sedikit memucat karena membayangkan kalau benar-benar ia tidak minum sampai besok pagi.

“Apakah Nak Mas benar-benar memerlukan air minum sekarang....?” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, ana butuh air minum itu.......” Kata Maula.

Ki Bijak kemudian memberikan segelas air minum kepada Maula, lalu berkata;

“Itulah cinta Nak Mas...........” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki.....?”Tanya Maula masih dibalut rasa heran.

“Cinta adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditunda atau digantikan dengan yang lain, ketika kita ingin mengetahui seberapa besar cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita bisa mengukurnya dengan seberapa besar kebutuhan kita kepada Allah dan Rasul-Nya........?” Kata Ki Bijak.

“Kalau kita sebatas mengatakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi kita kemudian “menunda” keinginan kita untuk beribadah kepada Allah atau mengganti sunah Rasul dengan keinginan nafsu kita, maka kita patut mempertanyakan kadar cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya....” Kata Ki Bijak lagi.

“Tapi ketika “kebutuhan” Nak Mas terhadap Allah dan Rasul-Nya seperti kebutuhan Nak Mas terhadap air minum tadi, yang tidak bisa ditunda atau diganti dengan yang lain, maka itu sebuah isyarat adanya “benih-benih cinta” kita kepada Allah dan Rasul-Nya...........” Kata Ki Bijak lagi.

“Adalah bohong kalau ada orang yang mengatakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi shalatnya selalu dilalaikan.....”

“Adalah dusta kalau ada orang yang mengatakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara zakatnya selalu terabaikan.....”

“Adalah munafik kalau ada orang yang mengatakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara shaumnya banyak yang ditinggalkan.....”

“Karena kecintaan adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditunda atau diganti, kalau kita masih menunda munajat kita kepada Allah atau bahkan menggantinya dengan aktivitas duniawi kita yang kadang sangat-sangat berlebihan, menurut aki, cinta kita masih sebatas bibir saja............” Kata Ki Bijak.

“Ki, berarti kita yang butuh shalat ya ki.....?”Tanya Maula.

“Benar kita butuh shalat, kita memerlukan zakat, kita rindu shaum............., karena kebaikan dari apa yang Allah syari’atkan itu bukan untuk Allah, tapi semata demi kebaikan kita..........”Kata Ki Bijak.

“Seandainya seluruh penduduk bumi ini shalat semua, itu tidak akan menambah apapun bagi Allah, atau sebaliknya, kalau seluruh penduduk bumi ingkar dengan meninggalkan shalat misalnya, Allah tetaplah Allah, Dia tidak akan “turun” dari kekuasaannya sebagai Rabb semesta Alam......”Kata Ki Bijak.

“Jadi ki.....?” Tanya Maula.

“Jadi kita butuh shalat, karena dengan shalat itulah kita bisa mewujudkan penghambaan kita kepada Allah dengan sebenar-benar hamba, kita mengakui bahwa hidup mati kita, ibadah kita, hanya untuk Allah, dengan shalat kita mohon pertolongan kepada Allah, dengan shalat kita memohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, dengan shalat kita mohon diberikan ampunan, rahmat, diangkat derajat kita, disehatkan, dan masih banyak lagi berbagai hal yang sangat kita perlukan didalam shalat yang kita dirikan.............”

“Pun demikian halnya dengan zakat, harta yang kita keluarkan untuk zakat, samasekali tidak akan menambah perbendaharaan harta Allah, tapi justru untuk membersihkan diri dan harta kita dari hal-hal subhat atau bahkan haram yang mungkin tercampur didalamnya, sehingga harta yang Allah titipkan kepada kita menjadi berkah fidunya wal akhirat....”

“Dalam hal shaum pun demikian adanya, selain merupakan ladang amal dan pahala bagi kita, terdapat banyak manfaat dan hikmah yang terkandung dalam syari’at shaum.........”

“Kalau benar cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, kalau tulus pengabdian kita, niscaya kita akan sangat merindukan datangnya waktu shalat, niscaya kita akan sangat merasa rugi manakala kita tidak zakat, niscaya kita akan merasa kehilangan, manakala ramadhan meninggalkan kita..............” Kata Ki Bijak.

“Cinta memerlukan pembuktian ya ki........” Kata Maula.

“Benar, cinta perlu bukti, tanpa bukti, kata cinta hanya merupakan bualan orang-orang nifaq semata.....” Kata Ki Bijak.

“Ya Allah, karuniakan kepada hamba kecintaan kepada_Mu dan kepada Rasul-Mu, hingga hamba bisa mengabdi kepada-Mu dengan penuh cinta dan keikhlasan.....” Kata Maula Pelan.

“Amiin.....” Timpal Ki Bijak mengamini do’a yang dipanjatkan Maula.

Wassalam

September 11, 2007

Monday, September 10, 2007

MARHABAN YA RAMADHAN

“Alhamdulillahirabbil’alamiin....insya Allah beberapa hari lagi kita memasuki bulan Ramadhan ya ki...........” Kata Muala kepada Ki Bijak.

“Insya Allah Nak Mas, puji syukur sepatutnya kita panjatkan atas nikmat ini Nak Mas, nikmat umur, hingga kita dipertemukan lagi dengan bulan Ramadhan.........” Kata Ki Bijak.

“Ki, kita sudah berpuluh kali dipertemukan dengan Ramadhan, tapi ana sendiri belum benar-benar bisa mencapai apa yang dikehendaki Allah dengan diturunkannya bulan suci tersebut ki.........” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, sebagian besar kita sangat paham secara harfiah bahwa tujuan shaum Ramadhan adalah untuk mengembalikan kita pada fitrah kemanusian kita diakhir bulan Ramadhan, yang diilustrasikan oleh banyak orang bahwa puasa Ramadhan akan mengembalikan kita pada kesucian, kesucian dari dosa dan kufarat, sehingga kita seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim seorang ibu, suci tanpa dosa...........” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki............? Tanya Maula.

“Lalu kita sering “lupa” atau tidak mengetahui secara benar hakekat puasa yang memungkinkan kita untuk bisa kembali suci seperti bayi, kita justru sering terjebak pada puasa yang hanya menahan diri dari rasa haus dan lapar serta beberapa hal lain yang membatalkannya, maka jadilah puasa kita hanya mengakibatkan “penderitaan” karena haus dan lapar saja, tanpa makna, tanpa hasil sesuai dengan keagungan ramadhan itu sendiri.........” Kata Ki Bijak.

“Ki, siapa saja mereka hanya mendapat “penderitaan” karena puasanya ki.........” Tanya Maula.

“Nak Mas pernah perhatikan ular......?” Tanya Ki Bijak.

“Ular ki.........?” Tanya Maula

“Ya, Nak Mas perhatikan ular python misalnya, biasanya seekor ular akan menelan mangsanya bulat-bulat, ia menelan habis semua bagian mangsanya, termasuk kulit dan tulang belulangnya, kemudian, setelah itu, ular akan mencari tempat persembunyian untuk mencerna makanan yang ditelannya, ular itu “puasa” berhari-hari sampai makanan diperutnya dicerna secara sempurna.........”

“Setelah selesai “puasa”nya, ular akan kembali mencari mangsa, bahkan cenderung lebih ganas dari sebelumnya.........” Kata Ki Bijak.

Maula mengangguk-anguk, ia berusaha keras memahami penjelasan ki Bijak.

“Kebanyakan dari kita seperti ular pyhton itu Nak Mas, ketika kita sahur, semua kita makan, semua kita habiskan, sehingga perut kita kekenyangan, kemudian kita tidur lagi, shubuhnya kelewat, dan ia menjalani puasanya penuh dengan penderitaan karena kekenyangan, ia menjadi malas untuk beraktivitas dengan alasan sedang puasa, hari-harinya dihabiskan untuk tidur mendengkur menunggu beduk maghrib tiba, dan begitu terdengar beduk ditabuh, lagi, ia menyantap semua yang terhidang dimeja, lagi, ia kekenyangan, isya-nya telat, terawihnya lewat, tadarus qur’anya apalagi, terus selama sebulan ia menjalani ramadhannya seperti ular python yang kekenyangan..........”

“Dan ketika syawal tiba, sangat sulir mengharapkan suatu perubahan perilaku yang lebih baik dari mereka yang puasanya sebatas itu, bahkan tak jarang selepas puasa, mereka cenderung “balas dendam” dengan kembali memakan makanan yang tidak jelas halal-haramnya, ia seperti python yang bertambah ganas selepas puasa...” Kata Ki Bijak.

“Betapa rugi mereka yang menyia-nyiakan jamuan Allah dibulan penuh berkah ini, karena boleh jadi kita tidak akan dipertemukan lagi dengan bulan suci ini ditahun berikutnya............” Kata Ki Bijak.

“Lalu siapa mereka yang memperoleh kemenangan dibulan Ramadhan ki.........?” Tanya Muala.

“Seorang ulama mengatakan, bahwa secara fungsi shaum ramadhan adalah sebuah proses latihan bagi kita untuk dapat mengaplikasikan nilai-nilai ketaatan para malaikat, atau yang biasa disebut dengan Tarekatul lil malaikat, kemudian shaum juga merupakan sarana latihan Tarbiyatul lil iradah, pengendalian terhadap kehendap atau keinginan kita, serta Tarekatul lil ilahiyah, belajar mengaplikasikan sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat kasih sayang dan saling mencintai....”

“Dengan proses latihan dibulan suci ini, kita dididik untuk menjadi hamba Allah yang taat, baik taat dalam menjalankan perintah-Nya, serta taat dalam menjauhi larangan-Nya, dengan shaum kita dididik untuk menjadi pribadi muslim yang berguna bagi sesamanya, dengan turut merasakan lapar dan dahaga mereka yang ditimpa kemiskinan, disamping juga memiliki kepekaan terhadap penderitaan sesamanya, sehingga diharapkan, setelah shaum ramadhan, kepekaan kita terhadap sesama menjadi semakin baik......” Kata Ki Bijak.

“Ki, lalu apa saja indikator berhasil tidaknya shaum seseorang ki.........?” Tanya Maula.

“Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda, "sesungguhnya Allah Maha Barakah dan maha Tinggi berfirman, "Puasa itu untukku; dan Aku akan membalasnya (memberi pahala). Ada dua kegembiraan bagi orang berpuasa, gembira ketika berbuka dan gembira ketika melihat Tuhannya. 'Dan demi dzat yang jiwa Muhammad di tangannya, sungguh bau busuk dari mulut orang yang berpuasa bagi Allah lebih harum daripada minyak kesturi." (hadits riwayat anNasa'i),

“Hal itu itu yang kemudian mendorong beberapa kalangan untuk tidak terlalu dalam membahas berhasil tidaknya puasa seseorang, karena hanya Allah dan orang yang melakukannya sajalah yang tahu apakah ia sudah benar shaumnya atau tidak….”

“Namun demikian, secara syari’at, keberhasilan shaum seseorang “dapat dilhat” dengan ada tidaknya peningkatan ketaqwaannya kepada Allah selepas Ramadhan…” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki…….? Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, kata Syawal, terambil dari akar kata Sala ya sulu sawalun, yang artinya “meningkat”, sehingga berhasil tidaknya shaum seseorang, akan tercermin dari perilakunya diluar bulan ramadhan, misalnya kalau dibulan suci ramadhan seseorang rajin tadarus al qur’an, maka mereka yang berhasil shaumnya akan lebih meningkatkan tadarus al qur’annya diluar ramadhan, mungkin bukan hanya tadarus, tapi juga ditambah tadabur dan memahami al qur’an dengan berbagai hikmah yang terkandung didalamnya….” Kata Ki Bijak.

“Misalnya lagi, kalau dibulan suci ramadhan rajin tarawih, maka selepas ramadhan, mereka yang shaumnya berhasil, akan senantiasa menjaga qiyamul lail dan tahajudnya…..”

“Misalnya lagi, kalau dibulan suci ramadhan banya melaksanakan shalat nafilah, meraka yang berhasil shaumnya, akan semakin menjaga shalat fardhunya, baik menjaga waktu shalat dan kekhusuan shalat-shalatnya…”

“Misalnya lagi, kalau dibulan suci ramadhan kita pandai menjaga perkataan kita, mereka yang berhasil shaumnya, akan semakin memelihara dirinya dari perkataan dusta dan ghibah…”

“Misalnya lagi, kalau dibulan suci ramadhan kita pandai menjaga amarah, selepas ramadhan, mereka yang berhasil shaumnya, akan menjadi orang yang lebih bijak dan pandai membawa diri, dan seterusnya….” Kata Ki Bijak.

“Tapi ki, yang sering ana lihat, justru ketika syawal tiba, orang-orang lebih cenderung “balas dendam”, karena merasa sudah dikekang selama bulan suci ramadhan….” Kata Maula.

“Mereka yang masih memiliki sifat seperti itu, atau kalau kita masih seperti itu, bersegeralah kita memperbaikinya, agar shaum kita tidak hanya membuat kita lapar dan dahaga semata, agar kita tidak rugi dan menyesal dikelak kemudian hari….” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas sudah siap memasuki ramadhan kali ini…..?” Tanya Ki Bijak.

“Insya Allah ki, ana siap, do’akan shaum ana lebih baik ya ki……” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, mari kita berdoa dan memohon kepada Allah semoga ramadhan kali ini adalah ramadhan terbaik untuk kita…..” Kata Ki Bijak.

“Amiin ………” Timpal Maula, sambil mengangkat tangannya untuk mengaminkan do’a yang dibacakan ki Bijak.

Wassalam;

Sepetember 05, 2007

PAH.........KENAPA MANUSIA HARUS BERIMAN?”

“Assalamu’alaikum...................” Uluk salam dari Ki Bijak diluar pagar rumah Muala.

“Walaikumusalam warahmatulahiwabarakatuh........” Jawab Maula sambil bergegas menuju pintu, demi mengenal suara dari orang yang memberi salam diluar sana.

“Aki, masuk ki..............” Kata Maula sambil menyalami tangan gurunya.

Dua orang guru dan murid itu kemudian beranjak masuk keruang tamu, yang ketika itu nampak lengang, yang ada hanya beberapa buah buku yang berserakan sehabis dibaca.

“Pada kemana Nak Mas, kok sepi......?” Tanya Ki Bijak.

“Sudah pada tidur Ki, mungkin kelelahan, tadi siang lari-larian terus............” Jawab Maula.

“Nak Mas sendiri sedang baca buku apa, banyak sekali....................?” Tanya Ki Bijak sambil memperhatikan beberapa buku yang tampak dimeja.

Maula terdiam sebentar, ia agak ragu untuk mengatakan hal apa yang tengah dicarinya dibuku-buku yang barusan dibacanya.

“Anu Ki, tadi sore Dinda menanyakan kepada ana, “Pah, kenapa manusia harus beriman Pah...?” Kata Muala menirukan pertanyaan putri sulungnya.

“Lalu Nak Mas.........?” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, besok Dinda ada ulangan pelajaran agama, salah satu soal latihannya adalah pertanyaan tadi Ki, ana agak susah untuk menjelaskannya, karena jujur, ana tidak siap dengan pertanyaan seperti itu.............” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Lalu Nak Mas coba mencari jawabannya dibuku-buku ini......” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki, ana tadi baca beberapa buku yang mungkin bisa membantu ana menjawab pertanyaan Dinda tadi.........” Kata Ki Bijak.

“Sudah ketemu Nak Mas..............?” Tanya Ki Bijak.

Maula menggeleng, “Belum Ki........” Jawabnya pendek.

“Nak Mas, boleh Aki tahu kenapa sebelum membangun rumah, hal pertama yang harus dibuat adalah pondasinya dulu...?” Tanya Ki Bijak.

“Ya karena rumah yang dibangun tanpa pondasi yang kuat, akan mudah roboh ki, mungkin hanya karena angin yang tidak terlalu besar, rumah itu akan roboh, atau ketika beban diatasnya terlalu berat, rumah itu juga rentan untuk ambruk, jadi menurut ana, kekuatan pondasi sebuah rumah, akan sangat menentukan kokoh tidaknya bangunan yang ada diatasnya, bukan demikian ki.........” Kata Maula berhati-hati.

Ki Bijak tersenyum, “Nak Mas benar, setinggi apapun bangunan yang akan dibangun, akan sangat tergantung pada pondasinya dulu, ketika pondasinya kokoh, gedung bertingkat puluhan pun mampu berdiri dengan kokoh, sebaliknya, rumah yang dibangun tanpa pondasi yang kuat, tidak akan kuat menahan beban diatasnya, meskipun beban itu tidak terlalu berat.........” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas pernah perhatikan pepohonan disekeliling kita...?” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki.........” Jawab Maula.

“Pohon beringin yang didepan balai desa itu misalnya, untuk bisa menahan beban batangnya yang besar dan daunnya yang lebat dan rindang, pohon beringin memiliki akar yang kuat, selain menghujam kedalam tanah, akar serabutnya juga menjalar disekililing pohon itu, sehingga pohon itu bisa tetap kokok meskipun hujan deras dan angin lebat dan panas terik matahari menimpanya sepanjang musim............” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas bayangkan jika pohon beringin itu tidak memiliki akar yang kuat, pohon itu pasti akan tumbang, tidak mampu menahan berat batang dan dahan serta dedaunannya......” Kata Ki Bijak.

Maula nampak tercenung sejenak, “Lalu ki........?” Tanya nya sejurus kemudian.

“Kembali kepada pertanyaan Dinda tadi, “kenapa manusia harus beriman”, karena iman yang benar dan kuat, laksana pondasi yang kokoh dalam struktur sebuah bangunan, karena iman yang sehat, laksana akar pohon yang menghujam ketanah dan mengakar yang mampu menopang beban batang dan pohonnya..........” Kata Ki Bijak.

“Shalat yang dilaksanakan tanpa dilandasi oleh keimanan yang benar, sama sekali tidak akan memberi “kesan” apapun bagi yang melakukannya, shalat yang tidak dilandasi iman yang benar, tidak akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar, meskipun secara lahiriah, mungkin ia orang yang sangat rajin kemasjid misalnya, tapi sekali lagi, tanpa iman yang benar dan kuat, tanpa pondasi yang kokoh, tanpa akar yang menghujam, bangunan shalatnya akan sangat rentan dari keruntuhan, pohon shalatnya akan sangat rentan untuk tumbang diterpa angin kemaksiatan, istilahnya STMJ............” Kata Ki Bijak

“STMJ..? Apa itu ki........?” Tanya Maula

Sambil tersenyum Ki Bijak menjawab “STMJ itu Shalat Terus Maksiat Jalan”, karena itu tadi, shalatnya tidak memiliki pondasi iman yang benar dan kuat.........” Sambung Ki Bijak.


“Pun demikian halnya dengan Zakat yang dibayarkan tanpa dilandasi oleh keimanan yang benar, cenderung melahirkan muzaki atau “dermawan gadungan”, yang zakatnya tidak lebih dari perbuatan riya atau untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau pamrih dan kepentingan sesaat, sekali lagi, tanpa iman yang benar, tanpa pondasi yang kokoh, tanpa akar yang kuat, semua amal yang dilakukan sangat mungkin tidak mendapatkan imbalan pahala disisi Allah swt kelak.......” Kata Ki Bijak.

“Puasa yang dilaksanakan tanpa keimanan yang benar, tidak lebih sebuah penderitaan untuk menahan haus dan lapar, tak akan bisa mencapai esensi puasa sebagai sarana pelatihan untuk mengendalikan iradah kita, pelatihan ketaatan kita, pelatihan untuk bisa memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan dalam keseharian kita, puasa yang tidak dilandasi pondasi iman yang kokoh dan akar keyakinan yang kuat, tidak lebih seperti puasanya ular, yang ketika selesai puasa justru tambah rakus dan ganas.......”

“Pergi haji yang dilaksanakan demi mengejar titel semata, tanpa dilandasi pondasi iman yang kuat, hanyalah penghamburan uang tanpa makna, karena mereka yang melandasi ibadah hajinya dengan keimanan sajalah yang akan memperoleh janji Allah yaitu mendapatkan surga-Nya............” Kata Ki Bijak.

“Demikian penting posisi keimanan dalam kehidupan kita ya ki.........” Kata Maula.

“Bahkan sangat-sangat penting Nak Mas, kalau Aki boleh bilang, iman adalah ruh kehidupan kita, ketika iman tidak lagi kita miliki, sesungguhnya pada saat itu kita sudah ‘mati’....., mungkin jasad kita masih bergerak, mungkin kita masih kelihatan “rajin shalat’, masih taat zakat, masih melaksanakan puasa, bahkan berulang kali pergi haji, tapi ketika ruh semua ibadah yang kita lakukan tersebut tidak lagi ada pada saat kita melakukannya, semuanya akan menjadi mubazir dan sia-sia............” Kata Ki Bijak.

“Ki, lalu kenapa justru Dinda yang mendapat pertanyaan seperti itu ki..........?” Tanya

Ki Bijak tersenyum, “Itu hanya salah satu cara Allah untuk mengingatkan kita, Nak Mas......” Kata Ki Bijak.

“Untuk mengingatkan kita ki......?” Tanya Maula keheranan.

“Ya Nak Mas, syari’atnya pertanyaan itu memang disampaikan kepada Dinda, tapi Aki justru melihat pertanyaan itu untuk kita, untuk Nak Mas, untuk Aki, bahkan untuk semua orang Nak Mas...........” Kata Ki Bijak.

“Ana masih belum paham benar ki.............” Kata Maula.
“Nak Mas, seperti tadi Aki katakan, bahwa iman adalah merupakan “ruh” bagi kehidupan kita, hingga tanpa iman yang benar, kita akan kehilangan “arah” dan pijakan dalam kehidupan ini......”

“Seseorang yang menjadi presiden, yang tidak dilandasi dengan iman yang kuat, dalam arti dia tidak mempercayai rukun iman yang enam, cenderung untuk menjadi seorang diktator, merasa paling berkuasa, dan bisa berbuat apapun dengan kekuasaanya, ketiadaan iman akan mengakibatkan dia kehilangan kontrol dan kendali terhadap kekuasaan yang dipegangnya.............”

“Seseorang yang menjadi pejabat, sementara ia tidak memiliki iman yang kokoh, cenderung akan menjadi seperti Haman, pejabat yang doyan menjilat, pejabat yang suka makan uang rakyat, pejabat yang “menjual” undang-undang dan peraturan demi kepentingan pribadi dan golongannya....”

“Seseorang yang menjadi pegawai, sementara imannya lemah, maka pegawai itu akan cenderung menjadi pemalas, pegawai yang suka mencari muka didepan atasan demi gaji dan jabatan, tak peduli dengan teman dan kawan...........”

“Jadi apapun kita, ketika iman yang merupakan pondasi dan ruh kehidupan kita tidak ada, maka semuanya tidak akan bermakna apa-apa disisi Allah dan dimata manusia.........” Kata Ki Bijak.

“Jadi Ki...........” Tanya Maula.

“Jadi pertanyaan “kenapa manusia harus beriman” yang Dinda ajukan kemarin adalah sebuah pertanyaan yang “seharusnya” kita tanyakan pada diri kita masing-masing, seberapa besar dan kuat kualitas iman kita, bahkan seharusnya lagi, pertanyaan itu kita ajukan sebelum kita mengajukan pertanyaan pada diri kita ingin jadi apa, karena tanpa iman, apapun yang kita sandang, semuanya tidak lebih dari aksesoris yang menipu diri sendiri.........” Kata Ki Bijak.

“Terima kasih Nak, kau ajari papa sesuatu yang demikian berharga.....” Guman Maula, matanya menerawang, membayangkan wajah lugu putri cantiknya.

Hari makin beranjak malam, Ki Bijak pamitan pulang, sementara Maula masih berdiam sejenak mengulas apa yang baru diterimanya dari putri dan gurunya hari itu.

Wassalam

September 01, 2007

SUATU KETIKA DIDEPAN APOTIK

“Assalamu’alaikum...........” Salam Maula.

“Walaikumusalam warahmatulahiwabarakatuh....”Jawab Ki Bijak yang tengah tadarus Al Qur’an dipondoknya.

“Dari mana Nak Mas........” Tanya Ki Bijak.

“Dari apotik Ki, beli obat buat Ade...” Kata Maula.

“Ade sakit apa Nak Mas.............?” Tanya Ki Bijak.

“Batuk-batuk dan flu ki.....” Kata Maula

“Masya Allah, sekarang gimana keadaan Ade........?” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah ki, batuknya tidak terlalu sering seperti sore tadi......” Jawab Maula.

“Ki, tadi didepan apotik, ada seorang ibu muda yang nampak kuyu, rambutnya acak-acakan, pakaiannya lusuh, beserta dua orang anaknya yang kondisinya sangat mengenaskan ki, badannya kumel dan kotor.............” Kata Maula.

“Siapa dia Nak Mas......?” Tanya Ki Bijak.

“Ana tidak tahu siapa ibu dan kedua anaknya itu ki, mereka berada disana untuk “meminta” sedikit uang dari para pengunjung apotek itu......’ Kata Maula dengan nada yang berat.

Ki Bijak bisa memahami perasaan muridnya yang sangat sensitif itu, ia menghela nafas panjang........ “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..........” Gumannya.

“Ki, kenapa mereka harus ada ki...........?” Kata Maula setengah bertanya.

“Maksud Nak Mas...?” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, kenapa para peminta-minta itu harus ada, dengan kondisi yang sedemikian memprihatinkan, apa yang salah dengan mereka...?” Kata Maula lagi.

“Wallahu’alam Nak Mas, jawaban atas pertanyaan Nak Mas bisa sangat panjang, tapi mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih kecil dulu......” Kata Ki Bijak.

“Ya ki....?” Kata Maula sambil menunggu kata-kata lanjutan dari gurunya.

“Ada beberapa hal yang bisa kita petik dengan keberadaan para peminta-minta seperti yang Nak Mas temui diapotik itu, pertama, kita bisa menjadikan mereka sebagai sarana untuk meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah swt.....” Kata Ki Bijak.

“Sarana meningkatkan syukur kita ki...?” Tanya Maula heran.

“Ya Nak Mas, coba Nak Mas bandingkan kondisi ibu dan kedua anaknya itu dengan kondisi keluarga Nak Mas, Nak Mas mempunyai penghasilan tetap, anak dan istri Nak Mas dalam keadaan baik, meskipun Ade sedang batuk, tapi kondisinya jauh lebih baik dari dua orang anak dan ibu diapaotik itu, Ade berada ditengah-tengah ibu – bapaknya, Nak Mas tinggal dirumah yang nyaman, ada kendaraan, untuk makan pun insya Allah Nak Mas dan keluarga tidak kekurangan....”

“Ssementara ibu dan dua anaknya itu, kedinginan diluar sana, tanpa kita tahu bapaknya dimana, mereka tidak tahu berapa banyak yang mereka bisa dapatkan uang dari hasil “kerjanya” seharian, dan masih banyak hal yang tidak mereka miliki dibanding dengan keadaan Nak Mas saat ini........”

“Tidakkah kondisi ini menambah rasa syukur Nak Mas atas karunia Allah yang jauh lebih baik kepada Nak Mas ?, meski tidak berarti ibu dan dua anaknya itu ditelantarkan Allah, sekali lagi, Allah telah mengatur semuanya, termasuk mempertemukan Nak Mas dengan ibu dan dua orang anaknya diapotik itu....” Kata Ki Bijak.

“Kedua, adanya mereka, para fuqara dan masakin ditengah-tengah kehidupan kita, dapat kita jadikan ladang amal bagi kita, karena adanya mereka, maka kita bisa menyalurkan sedekah, infaq dan zakat kita, karena adanya mereka, kita bisa meretas jalan menuju keridhaan Allah dengan menyantuni mereka, karena adanya mereka, kita bisa menyempurnakan pelaksanaan rukun islam kita, yaitu membayar zakat dari harta yang Allah titipkan kepada kita.....” Kata Ki Bijak.

“Yang ketiga, adanya mereka, orang-orang yang dimata kita memiliki strata sosial lebih rendah dari kita, justru merupakan ujian dari kita, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang terbaik ketaqwaannya disisi Allah swt....., meski mungkin secara lahiriah, mereka seperti tidak mungkin memiliki ketaqwaan yang lebih baik dari kita, tapi belum tentu demikian menurut pandangan Allah, kita tidak tahu akan hal itu....”

“Selanjutnya, mungkin dari mereka kita bisa belajar bagaimana mereka menjalani hari-hari mereka yang serba kekurangan dengan penuh “kesabaran dan ketabahan”, sementara kita dengan kondisi yang relatif lebih baik dari mereka, justru lebih sering mengeluh dari pada bersyukur, lebih banyak kurangnya daripada berterima kasih, lebih cenderung memandang mereka sebagai sesuatu yang mengganggu, padahal keberadaan mereka justru mungkin merupakan sebuah ibrah yang hendak Allah ajarkan kepada kita.........”

“Aki yakin, tidak ada satupun manusia yang ingin hidupnya seperti itu, kalau mereka atau kita bisa menentukan nasib kita sendiri, pasti mereka menginginkan keadaan yang jauh lebih baik dari yang mereka alami sekarang, karenanya, terimalah mereka dengan wajar, jangan memandang mereka dengan sebelah mata, justru manfaatkan mereka sebagai sarana belajar kita untuk meningkatkan rasa syukur kita terhadap apa yang ada pada kita sekarang, meningkatkan sedekah dan amal zariah kita, meningkatkan derajat ketaqwaan kita sekarang, karena kita seharusnya malu pada mereka, masak sih dompetnya tebal, shalatnya jarang, masak iya sih mobilnya bagus zakatnya nggak pernah, masak sih tinggal dirumah mewah tapi ngeluh terus, dan juga sebagai bahan kajian kita untuk menjadi orang yang sabar......”Kata Ki Bijak.

“Astagfirullah......Aki benar ki, ana seharusnya lebih banyak bersyukur dengan apa yang Allah karuniakan selama ini........” Kata Maula.

“Iya Nak, masih banyak saudara dan orang-orang disekitar kita yang hidupnya jauh dari kata kecukupan, tapi toh banyak diantara mereka yang mampu menjalani kehidupannya dengan penuh kedamaian, belajarlah lebih banyak pada mereka Nak Mas, petik apapun yang mungkin bisa ambil, meski dari seorang pengemis sekalipun..........”Kata Ki Bijak.

“Iya Ki.............” Kata Maula.

“Banyak sekali pelajaran dari Allah yang tersirat disekitar kita, bahkan mungkin jauh lebih banyak dari pelajaran yang tersurat dikitab-kitab yang ditulis oleh para ulama, kita hanya perlu melatih kepekaan kita untuk menangkap semua sinyal ilmu yang Allah pancarkan, agar kita mampu memaknainya dengan penuh kebijakan........” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah Ki............’Kata Maula sambil berpamitan kepada gurunya.

Wassalam

September 06, 2007

BERKACA PADA BAYANGAN

“Assalamu’alaikum...........” Salam Maula.

“Walaikumusalam warahmatulahiwabarakatuh...., masuk Nak Mas....” Jawab Ki Bijak sambil menyambut kedatangan tamunya diluar pintu pondok.

“Dinda, Ade, ayo salim sama Aki.......” Kata Maula pada dua putranya yang hari itu ikut berkunjung kepondok Ki Bijak.

Segera saja Dinda menyalami tangan Ki Bijak, pun dengan adiknya yang tengah digendong Maula, mereka semua bersalaman.

“Dinda sudah besar sekarang ya...., Ade juga nih, Aki sampai pangling.....” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki, anak-anak sudah mulai besar, ada sedikit rasa khawatir pada diri ana sekarang ini ki...” Kata Maula.

“Khawatir kenapa Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.

“Ana khawatir ana tidak mampu mendidik mereka dengan baik ki......” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum menanggapi kekhawatiran Maula, “Tak perlu terlalu khawatir Nak Mas, karena bukan hanya Nak Mas yang merasa tidak akan mampu mendidik anak-anak, tapi semua orang............” Kata Ki Bijak.

“Lalu bagaimana agar rasa khawatir ini tidak melanda kita ki..........” Tanya Maula.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, laa haula walaquata ila billah...., kembalikan semuanya kepada Allah Nak Mas, karena memang kita tidak memiliki kemampuan apapun untuk mendidik anak kita dengan baik, kecuali dengan kekuatan dan izin Allah...........” Kata Ki Bijak.

“Ki, adakah kasab dan syari’at yang bisa kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita ki........? Tanya Maula.

Sambil tersenyum ki Bijak menunjuk kearah bayangan pohon diluar pondokan...

“Nak Mas perhatikan bayangan pohon kelapa itu..............” Kata Ki Bijak sambilng menunjuk bayangan pohon kelapa yang lurus selurus batang pohonnya.

“Lalu Nak Mas perhatikan bayangan pohon pepaya sebelahnya...........” Kata Ki Bijak lagi sambil menunjuk pohon pepaya yang tidak jauh dari pohon kepala itu.

“Ya ki............” Kata Maula.

“Nak Mas perhatikan kenapa bayangan pohon kelapa itu lurus, sementara bayangan pohon pepaya bengkok............” Tanya Ki Bijak.

“Bayangan pohon kelapa lurus karena memang pohon kelapanya lurus tak bercabang, sementara bayangan pohon pepaya bengkok karena memang pohonnya pun demikian ki............” Kata Maula.

“Nak Mas benar, lurus atau bengkoknya bayangan pohon – pohon itu tergantung pada pohonya sendiri, pun demikian dengan anak – anak kita.....” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki..............?” Tanya Maula.

“Anak yang Allah amanahkan adalah ibarat bayangan kita Nak Mas, maka jika kita ingin agar anak kita “lurus”, hendaknya kita mendidik anak-anak kita dengan cara meluruskan diri kita terlebih dahulu......” Kata Ki Bijak.

“Seperti bayangan pohon itu, kita tidak mungkin meluruskan bayangan pohon pepaya, karena memang pohonnya sendiri bengkok..., dan seperti itu pula seharusnya kita dalam mendidik anak – anak kita, sangat sulit mengharapkan anak kita menjadi orang baik yang “lurus”, sementara perilaku kita sendiri justru bengkok dan banyak bercabang.........” Kata Ki Bijak.

“Contoh nyatanya seperti apa ya ki......?” Tanya Maula

“Contohnya Aki temukan kemarin Nak Mas, ketika Aki hendak menuju masjid untuk shalat maghrib, ada seorang bapak yang tengah sibuk mengurusi mobilnya, entah apanya yang rusak....” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki.....?” Kata Maula lagi.

“Lalu anaknya yang berusia sekitar sepuluh tahun, menghampiri bapaknya, si Bapak kemudian dengan nada yang agak tinggi berkata kepada anaknya “Kok tidak pergi kemasjid sih.......?” Kata Ki Bijak menirukan pertanyaan bapak yang ditemuinya dijalan menuju kemasjid.

“Anaknya menjawab “malas pak.....”, setelah itu , si Bapak menanyakan alasan kenapa anaknya tidak mau kemasjid, dan sampai Aki pulang dari masjid, bapak tadi masih bergelut dengan mobilnya, sementara sianak juga tidak nampak sama sekali dimasjid...............”

“Nak Mas perhatikan jawaban sianak tadi, ia dengan ringan menjawab “malas” untuk kemasjid, karena secara tidak langsung bapaknya telah mengajarinya untuk tidak pergi kemasjid, ia lebih sibuk mengurusi mobilnya, dan itu pula yang terjadi dengan sianak, ia lebih senang nonton film kartun ditelevisi, end toh bapaknya juga tidak kemasjid tidak apa-apa.....” Kata Ki Bijak.

“Mungkin akan lain ceritanya, ketika adzan maghrib berkumandang, bapak tadi sudah bersiap kemasjid dengan pakaian rapih, kemudian dia mengajak anaknya turut serta kemasjid, insya Allah sianak pun akan ikut kemasjid bersama bapaknya...” Sambung Ki Bijak.

“Jadi menurut hemat Aki, kunci dalam mendidik anak adalah bagaimana kita mendidik diri kita sendiri terlebih dahulu sebaik mungkin, selurus mungkin, insya Allah, bayangan kita, anak kitapun akan mengikuti kita, lurus kita berperilaku, lurus pula “bayangan anak kita”, bengkok kita berperangai, bengkok pula “bayangan anak kita”.............” Kata Ki Bijak lagi.

“Jadi kuncinya teladan ya ki.......” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, kuncinya teladan, kita tidak bisa mendidik anak kita hanya dengan menjejali mereka dengan teori dan kata-kata, “kamu harus shalat, kamu harus rajin, harus kemadrasah, harus mengaji....”

“Sementara kita sendiri shalat saja jarang, baca buku hampir tidak pernah, kemadrasah sudah lewat usianya, qur’an hanya jadi pajangan, si anak pasti akan bercermin dari perilaku kita sehari-hari, bahkan ada anak sekarang yang balik berkata “bapak saja nggak shalat, emak saja tidak pernah baca Al qur’an” dan pasti kita akan kehabisan kata untuk meluruskan “bayangan” anak kita tersebut............” Kata Ki Bijak.

Maula memperhatikan putra-putrinya yang tengah berlarian dihalaman pondok, ia berjanji dalam hatinya untuk berbuat yang terbaik untuk anak-anaknya, ia bertekad untuk mendidik mereka dengan cara terbaik, yaitu dengan menjadikan dirinya suri tauladan dan anutan yang bisa dijadikan contoh oleh anak –anaknya kelak.

Beberapa saat kemudian, Ki Bijak dan Maula melangkah keluar pondok, mereka berjalan-jalan disekitar pondok yang banyak ditumbuhi berbagai pepohanan, dan tak lama kemudian Ki Bijak menemukan sebuah mangga terjatuh dari pohonnya.

“Lihat mangga ini Nak Mas, buah ini pasti jatuhnya tidak akan jauh dari pohonnya....” Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki, akhlaq anak kitapun tak akan jauh dari akhlaq kita, begitu khan ki...?” Kata Maula.

“Ya, begitu Nak Mas, pribadi anak kita adalah miniatur dari pribadi kita sendiri, karena itu bercerminlah selalu pada mereka, baik mereka, insya Allah sudah baik perilaku kita, jelek tingkah mereka, kita yang pertama harus mengintrospeksi diri kita sendiri terlebih dahulu, jangan buru-buru marah dan mencari kambing hitam karena kesalahan lingkunganlah, karena temannya lah, tapi tengok kedalam sekali lagi, adakah kita sudah menjadi ayah yang baik bagi mereka ....?” Kata Ki Bijak.

“Ya ki, semoga ana bisa menjadi ayah teladan bagi mereka, do’akan ana ya ki....” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas, .............” kata Ki Bijak mengakhiri perbincangan hari itu.

Wassalam’

September 07, 2007