Friday, January 27, 2012

SEBUTIR PASIR


“Sebutir pasir dalam sebuah bangunan megah, memang tidak akan kelihatan perannya Nak Mas….., meski butiran itu ada, yang terlihat oleh orang lain adalah bagian – bagian luarnya……;

“Dan kepindahan Nak Mas ketempat kerja yang baru ini…., insya Allah, peran Nak Mas akan lebih terlihat, Nak Mas akan menjadi tiang yang hampir setiap orang dapat melihatnya…, namun Nak Mas tetap harus ingat bahwa ketika kita menjadi tiang, artinya kita harus lebih kuat, harus lebih kokoh, harus lebih tahan..,karena tiang menyangga banyak beban da harapan yang diembankan kepadanya…;

“Tiang menyangga genting yang diatasnya, tiang menyangga suhunan, reng dan menyangga banyak hal lainnya…, dan itu sebuah konsekuensi, kekuatan besar, akan melahirkan tanggung jawab yang lebih besar pula…..; 

“Pun dengan Nak Mas…., dengan posisi Nak Mas ditempat baru ini.., Nak Mas akan menjadi sandaran lahiriah dari banyak karyawan, Nak Mas juga menjadi lokomotif perusahaan untuk menuju stasiun kesuksesan perusahaan, dengan banyak gerbong, dengan banyak penumpang yang turut serta dibelakang lokomotif yang Nak Mas kemudikan…….”tutur Ki Bijak menasehati Maula terkait dengan kepindahannya.

“Ya ki….; ana mengerti….” Kata Maula.

“Kembali pada posisi Nak Mas sebagai tiang penyangga…., Nak Mas tahu bagaimana sebuah tiang bisa kokoh dan kuat sehingga mampu menyangga beban yang sedemikian berat diatasnya….?” Tanya Ki Bijak.

Maula segera mengalihkan pandangannya kepada sebatang tiang yang menjadi penyangga utama ditengah masjid….;

“Mungkin agar menjadi kuat, tiangnya harus besar ki…, kemudian bahannya juga harus bahan yang baik, harus padat isinya dan….apalagi ya Ki….?”Tanya Maula.

“Nak Mas benar…, untuk menjadi tiang yang kuat…, tiang itu harus besar atau tepatnya sesuai dengan kapasitas beban yang ada diatasnya…., dan dalam konteks Nak Mas…., Nak Mas pun harus menjadi pribadi yang memiliki kebesaran jiwa, harus memiliki kekuatan hati agar Nak Mas menjadi tiang yang kokoh….;

“Kemudian kalau tadi Nak Mas bilang bahwa tiang yang kuat juga harus memiliki bahan yang kuat dan kepadatan yang baik…, dalam hemat Aki hal itu bisa kita amsalkan dalam diri Nak Mas, bahwa Nak Mas harus memiliki kompetensi, memiliki pengetahuan, memiliki ketrampilan yang memadai, dengan kompetensi itulah kemudian Nak Mas bisa lebih mampu untuk menjadi pilar yang kokoh dalam struktur bangunan yang Nak Mas topang….” Kata Ki Bijak.

Maula manggut-manggut mendengarkan pitutur gurunya…

“Dan yang sama sekali Nak Mas tidak boleh lupa…, bahwa tiang yang kuat harus berdiri diatas pondasi yang kuat…., karena sebesar apapun tiangnya, sebaik apapun materialnya, sepadat apapun isinya, ketika tiang itu berdiri diatas pondasi yang labil, maka tiang itupun tidak akan stabil dan mudah roboh…..;

“Dan selaku muslim, pondasi kita adalah syahadat yang benar Nak Mas…, . Asyhadu allaailaaha illallaah. Wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullaah…., inilah pondasi dasar yang akan menentukan kokoh tidaknya struktur keislaman seseorang….;

“Seorang muslim, yang mampu memahami dua kalimat agung tersebut, akan memiliki pondasi dasar yang kuat, yang insya Allah akan mampu menopangnya dalam berbagai keadaan dan kondisi…, orang yang syahadatnya benar, tidak akan limbung dan labil diterpa berbagai ujian dan cobaan yang akan dijalaninya, tidak akan surut oleh rintangan yang menghadangnya…., singkatnya syahadat yang benar, insya Allah akan melahirkan shalat yang benar, syahadat yang benar,akan melahirkan shaum yang benar, syahadat yang benar, akan melahirkan pribadi yang akan berzakat dan berhaji yang benar pula……..” Kata Ki Bijak lagi.

Maula menghela nafas panjang…, dua puluh pilihan, dua buah konsekuensi yang berbeda…..

“Ana mengerti ki…., semoga apa yang Aki wejangkan tadi, bisa menambah keyakinan ana untuk berbuat sesuatu yang lebih baik…” Kata Maula.

“Semoga Nak Mas…, Aki berharap dan berdoa semoga Allah senantiasa bersama niat tulus Nak Mas untuk menggapai ridhoNYa…” Kata Ki Bijak lagi.

“Aamiin…” Maula mengamini.

Wassalam;

January 26, 2012

SEBUAH PESAN DARI ‘SAJADAH’

“Masya Allah…, Nak Mas nampak tampan sekali dengan setelah baju koko dan sarung ini……” Kata Ki Bijak memuji penampilan Maula dengan baju koko dan sarung barunya.

“Alhamdulillah ki…., baju, sarung, sajadah dan kopiah ini hadiah dari teman-teman……” Kata Maula menjelaskan.

“Subhanallah….., semoga Allah memberikan pahala yang setimpal atas hadiah ini, dan semoga pula Nak Mas bisa melaksanakan ‘nasehat’ yang terkandung didalamnya…..”Kata Ki Bijak.

Maula nampak diam sejenak, ia belum memahami makna ‘nasehat’ yang dimaksudkan oleh gurunya.
“Nasehat ki…?” Tanya Maula penasaran.

“Ya Nak Mas…., ada ‘pesan’ yang sangat dalam dari pemberian teman-teman Nak Mas ini, Nak Mas mau tahu maknanya…?” Tanya Ki Bijak.

“Tentu ki….” Jawab Maula.

“Yang pertama sajadah ini Nak Mas…., Nak Mas perhatikan gambar ka’bah di sajadah ini, gambar ka’bah ini merupakan ‘nasehat’ bagi kita untuk senantiasa meluruskan niat kita, semata karena dan untuk Allah….” Kata Ki Bijak.

Maula sejenak kembali memperhatikan gambar sajadah yang ditengahnya ada gambar bangunan ka’bah; ia kemudian manggut-manggut.

“Kemudian Nak Mas perhatikan bahan kain sajadah ini, bahannya lembut dan halus…” Kata Ki Bijak.

Maula segera memegang kain sajadah yang memang sangat lembut, yang selama ini ia hanya berfikir bahwa kelembutan kain sajadah ini untuk kenyamanan saat sujud; tapi ternyata ada makna lain dari lembutnya kain sajadah; “Apa maknanya ki…?” Tanyanya kemudian.

“Maknanya adalah bahwa tidaklah sempurna shalat seseorang, selama hatinya keras, selama hatinya kasar, selama dihatinya menyimpan kesombongan dan keangkuhan.., karena ketika kita shalat, ketika itu kita tengah menghadap Dzat yang Maha Besar.., Sang pencipta dan pemilik seluruh jagat raya ini, tidaklah patut kalau kemudian dalam shalat kita masih merasa ‘besar’, kita masih merasa hebat, atau bahkan hati kita masih menyimpan keterpaksaan untuk tunduk dan sujud kepada Allah swt…..” Kata Ki Bijak.

“Subhanallah….,dalam sekali maknanya ki…” Kata Maula demi menyadari betapa dari lembutnya kain sajadah ini, terbersit hikmah yang sangat dalam.

“Lalu kita juga bisa memaknai lebar sajadah ini Nak Mas…., lebar sajadah ini bisa berarti adanya toleransi kita dengan orang-orang sekitar kita, sekalipun kita orang kaya misalnya, sekalipun kita mampu membeli sajadah yang lebih lebar dari ini, tapi secara umum, ukuran sajadah ini hanya selebar ini, dan inilah yang bisa kita maknai sebagai sikap toleransi kita kepada sesame…..” Kata Ki Bijak lagi.

Maula manggut-manggut mendengar pitutur gurunya; “Subhanallah….”Hanya kalimat agung itu yang keluar dari mulutnya.

“Kemudian lebar sajadah ini juga bisa bermakna lain, lebar sajadah ini lebih kurang sama dengan lebar liang lahat……., inilah nasehat terbesar dari sajadah…, dalam setiap shalat, kita diingatkan bahwa kita semua, tanpa terkecuali, akan mengalami yang namanya kematian..,dan ketika maut sudah menjemput, tak peduli lagi apa jabatan kita, tak peduli lagi seberapa banyak harta kita, tak peduli lagi seberapa megah rumah kita, tak peduli lagi berapa baris mobil kita…., semuanya..,ketika kita sudah dipanggil Allah, maka tempat kembali sementara kita adalah selebar sajadah ini, mungkin panjangnya lebih panjang sedikit, tapi sekali lagi sajadah ini mengingatkan kita akan ‘rumah masa depan’ kita, yakni alam kubur……” Kata Ki Bijak lagi.

Maula semakin dalam meresapi setiap untai kata gurunya, ia semakin ingin tahu lebih banyak tentang bahasa isyarat yang dengan sangat indah dirangkai oleh gurunya, meski mungkin tidak semua orang sependapat dan sepaham dengan gurunya, tapi baginya, apa yang dituturkan barusan, merupakan sebuah wacana baru yang sangat menyegarkan…

“Akan halnya dengan baju koko ini ki..? Tanya Maula.

Ki Bijak menghela nafas panjang…, “Baju koko….,Baju Taqwa…,bajunya mungkin tidak terlalu mahal, tapi makna Taqwa itu sangat luas dan dalam Nak Mas…., Ta-Qaf-Wa….;

“Ta-nya bisa berarti Tauhidnya harus benar…”
“Ta-nya bisa berarti Tawadlunya harus benar..”
“Ta-nya bisa berarti Taubatnya sungguh-sungguh…”
“Ta-nya bisa berarti Tazkiyatun an-nafsnya harus benar-benar..”
“Ta-nya bisa berarti Tasawufnya juga harus benar…”

“Sementara huruf “Qof” mewakili kata Qona’ah.., merasa cukup dengan segala pemberian Allah kepada kita, dan “Wa” berarti Wara – tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhirnya, melainkan memandang dunia dengan sikap dan pandangan yang adil dan seimbang….” Kata Ki Bijak lagi.

Lagi-lagi Maula menghela nafas panjang, “Subhanallah….., demikian syarat makna ya Ki……” Kata Maula.
“Ya Nak Mas…., dan tidaklah teman-teman memilihkan hadiah-hadiah ini untuk Nak Mas, melainkan disana ada ‘pesan Allah’ untuk Nak Mas.., meski mungkin teman-teman Nak Mas awalnya tidak berfikir sejauh itu….” Kata Ki Bijak.

“Bahkan ana pun tidak berfikir sejauh itu Ki.., ana baru mengerti sekarang bahwa dibalik semua hadiah ini, ada pelajaran dan nasehat yang sangat berharga bagi ana, Syukur Alhamdulillah ana mendapatkan tamsilnya dari Aki…..” Kata Maula.

“Iya Nak Mas….; satu yang pasti, tidak ada satupun kejadian yang terjadi secara kebetulan, semuanya sudah diatur dan diskenariokan oleh Allah swt…, tinggal kita yang mesti membuka mata hati kita untuk dapat memahami siratan pesan yang terkandung didalamnya…” Kata Ki Bijak.

“Ya Ki…, sekali-lagi terima kasih…, terima kasih teman-teman atas hadiah yang luar biasa ini, semoga Allah memberi balasan yang berlipat atas semua amal dan budi baik kalian semua……” Kata Maula menutup perbincangannya dengan gurunya.

Wassalam;

January 27, 2012