Monday, April 30, 2007

BERUBAHLAH, MAKA KITA AKAN BERUBAH

11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Ar Rad:11)

[767] bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat Ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.

[768] Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

beberapa contoh kecil yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana keinginan untuk “berubah” benar-benar menjadikan seseorang itu berubah;

Seorang gadis berusia sekitar enam tahun, beberapa hari lalu baru bisa menaiki sepeda kecilnya tanpa bantuan roda penyangga, ya baru sekitar tiga hari lalu ia berhasil menaiki sepedanya, padahal sepeda kecil itu sudah dibelikan beberapa tahun yang lalu, ketika usianya menjelang lima tahun.

Apa yang menjadikan anak ini bisa menaiki sepedanya dengan proses belajar yang demikian cepat, hanya kurang dari tiga hari? Padahal sebelumnya ia dengan susah payah belajar dan belum juga bisa menaiki sepedanya.

Keinginan yang kuat untuk bisa, merupakan factor terpenting dalam proses belajarnya. Beberapa tahun lalu keinginan ini belum nampak sepenuhnya dalam proses belajarnya, sehingga ia dengan mudah menyerah ketika mengalami kesulitan dalam belajar sepeda.Tapi ketika hampir semua teman-teman sebayanya main dengan memakai sepeda, maka timbul dorongan yang sangat kuat dari dalam dirinya untuk bisa bersepeda, maka ia pun belajar naik sepeda sendiri selepas pulang sekolah.

Sekarang ia tidak lagi mengalami ketakutan yang berlebihan manakala sepedanya hampir jatuh, ia tetap berusaha keras untuk menyeimbangkan posisi badannya agar laju sepeda nya seimbang. Keinginannya yang demikian besar mengalahkan rasa sakit akibat memar kepentok sepeda hampir disemua kakinya, dan dengan pengorbanan dan keinginanya yang besar, ia bisa menaiki sepedanya dalam kurun waktu kurang dari tiga hari.

Hal kedua yang berubah dalam proses belajar ini adalah keberanian, keberanian untuk berubah, keberanian untuk belajar, keberanian untuk berkorban, keberanian, itulah anak kunci kedua yang mengantar gadis kecil itu berhasil melewati rintangan dalam menaiki sepedanya.

Selanjutnya adalah keyakinan – keyakinan yang kuat bahwa saya bisa naik sepeda, adalah hal lain yang menjadikan dinda bisa bersepeda. Keyakinan ini terbentuk manakala ia mendapati teman-temannya bisa naik sepeda.

Bukan hanya gadis kecil itu, siapapun berhak memperoleh “keberhasilan” dalam merubah keadaanya dengan tiga atau empat anak kunci diatas.

Terlepas dari apapun yang ia ingin rubah, selama ia memiliki keempat karakter diatas, insya Allah, ia akan bisa melakukannya.

Dalam menuntut ilmu agama misalnya, hampir setiap kita dikaruniai potensi untuk bisa belajar dan memahami ilmu agama dengan baik, buktinya adalah dengan gelar kesarjanaan yang disandang oleh sedemikian banyak orang, tapi kalau ada diantara kita yang belum bisa baca tulis al qur’an, kalau ada diantara kita yang belum bisa bacaan shalat dengan benar, kalau ada diantara kita yang belum tahu kapan wajibnya zakat, itu bukan berarti ia tidak mampu, tapi keinginan untuk belajar dan memahami ilmu agamanya yang masih harus ditingkatkan.

Caranya? Jadikan menuntut ilmu agama sebagai salah satu kebutuhan kita!

Kita banyak lalai dalam menuntut ilmu agama karena masih ada sebagian kita yang berpikir dan merasa bahwa ilmu agama hanya sekedar pelengkap yang tidak terlalu penting untuk diperhatikan, dan ini salah besar, yang benar adalah bahwa ilmu, khususnya ilmu agama merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi bagi siapapun yang ingin berhasil, disamping juga ilmu-ilmu lainya.

Kedua, kesediaan untuk berkorban – adalah sebuah sikap yang harus senantiasa dipupuk dan dijaga, karena hanya dengan pengorbanan inilah kita akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang kita inginkan.

Keberhasilan adalah buah dari usaha dan pengorbanan, dan hanya orang-orang yang mau berjuang dan berkorban sajalah yang berhak memperoleh kemenangan. Beda jika kita mengklaim kita telah mendapat gelar sementara kita tidak pernah berjuang untuk mendapatkannya, dengan orang yang benar-benar berkorban untuk mendapatkannya.

Kalau ingin mendapatkan ilmu agama, datangi ustadz atau kyai dan ulama yang memang mumpuni dibidangnya.

Keyakinan - tidak ada satupun keberhasilan yang dicapai dengan sikap ragu-ragu!

Sebuah ilustrasi menarik adalah tentang seorang pemain acrobat yang biasa meniti rentangan kawat besi dari satu gedung bertingkat kegedung lainnya. Sudah banyak gedung-gedung tinggi ditaklukan dengan keahliannya itu. Sehingga pada suatu hari ia diberi kesempatan untuk mempertontonkan keahlianya untuk menaklukan gedung bertingkat, tapi entah kenapa pada hari H nya ia nampak ragu untuk meniti rentangan kawat yang membentang, dan yang terjadi selanjutnya, ia dengan keraguannya memaksakan diri untuk tetap meniti kawat itu, dan tragis, karena ia harus jatuh dari ketinggian dan akhirnya ia meninggal, orang itu bernama Walenda, hingga kemudian orang-orang mengenal tragedi itu dengan sebutan factor Walenda, factor keraguan yang mengakibatkan kegagalan.

Pun demikian dengan gadis kecil itu, ia membekali dirinya dengan keinginan yang kuat, ia juga memupuk keberaniannya dan ia “rela berkorban” untuk menahan sakitnya benturan pedal sepeda, dan kemudian ia topang ketiga factor diatas dengan keyakinan bahwa ia bisa, hasilnya adalah keseimbangan badan yang menjadi factor kunci dalam bersepeda dapat ia raih, dan sekarang ia mendapatkan jerih payahnya dengan kenikmatan naik sepeda.

Gadis kecil itu telah memberi pelajaran berharga bahwa kita bisa “merubah suatu keadaan” dengan bekal keinginan yang kuat, keberanian, pengorbanan dan keyakinan, dan satu lagi dengan izin Allah tentunya.

Kita juga bisa merubah kebiasaan kita mengakhirkan waktu shalat menjadi shalat tepat pada waktu, untuk itu kita hanya perlu memperkuat keinginan kita untuk shalat pada waktunya.
Kita bisa merubah guyon kita dimeja makan dengan percakapan yang baik dan bermutu, hanya perlu sedikit keberanian untuk itu.

Kita bisa merubah bacaan kita dari yang tak bermanfaat dan menggantinya dengan membaca al quran, itupun tak perlu sesuatu yang memberatkan.

Kita bisa mengubah shalat sendiri dirumah, untuk kemudian shalat berjama’ah dimasjid, hanya perlu sedikit pengorbanan untuk mendapatkan balasan yang berlipat jumlahnya.

Kita bisa mengubah perilaku konsumtif kita dengan membelanjakannya dijalan Allah dan berzakat.

Dan masih banyak yang dapat kita rubah kalau kita mau…………….asal kita mau menjadi lebih baik dan menjadi orang-orang yang beruntung fidunya wal akhirat.

Wassalam

April 30, 2007

Wednesday, April 25, 2007

MENJADI “SANTRI JADI"

“Pak Ustadz, sekarang ini ana ingin sekali menjadi mesantren, menjadi santri, karena dulu saya tidak sempat mesantren….” Penulis menuturkan keinginan yang sekian lama terpendam untuk bisa memperdalam ilmu agama dipesantren.

“Jadi menjadi santri itu gampang, antum tinggal mendaftarkan diri pada pesantren tertentu yang antum suka, maka jadilah antum seorang santri……” Kata Pak Ustadz.

“Yang sulit dan memerlukan proses yang panjang adalah menjadi “santri jadi”, bukan sekedar “jadi santri”, lanjut pak ustadz.

Antum tahu apa bedanya jadi santri dan santri jadi?” Tanya Pak Ustadz.

Penulis menggelengkan kepada tanda belum mengerti arah pembicaraan pak ustadz, apa bedanya jadi santri dan santri jadi, wong hanya penempatan katanya saja kok yang dibalik, pikir penulis ketika itu.

Seperti yang penah ana jelaskan dulu, bahwa banyak orang yang jadi santri, ribuan jumlahnya murid yang menuntut ilmu dipesantren, dan mereka disebut santri atau santriwati, tapi dari sekian ribu orang yang jadi santri tersebut, mungkin hanya segelintir orang saja yang merupakan “santri jadi” sekeluarnya dari pesantren…..” Papar Pak Ustadz.

“Maksudnya pak?” Tanya penulis.

Iya, untuk menjadi seorang “santri jadi” seseorang harus melalui berbagai tahapan dalam belajar dan kehidupannya, bukan sekedar mendaftar dipesantren, ngaji kitab, belajar bahasa arab dan lainnya, lebih dari itu seseorang yang ingin menjadi santri jadi harus juga mempelajari “kitab-kitab yang tidak tertulis”, tapi tetap harus ia baca dan bahkan lulus tidaknya seseorang untuk menjadi “santri jadi” diukur dari kemampuannya memahami kitab-kitab yang tidak tertulis tersebut…..” Kata Pak ustadz lagi.

Antum boleh hapal banyak kitab, antum pun mungkin bisa baca kitab kuning, antum juga mungkin bisa arab gundul, atau mungkin antum fasih baca al qur’an serta hapal banyak hadits, tapi jangan berpuas diri dulu, karena itu belum lengkap sebelum antum mampu menjadikan apa yang antum pelajari tersebut menjadi sesuatu yang ter-sirah dalam kehidupan antum sehari-hari, sebelum antum mampu melaksanakan surah dengan benar dan antum memiliki sarirah yang benar juga…..” Kata Pak Ustadz.

“Sirah, Surah dan Sarirah, apa itu Pak Ustadz? Tanya penulis

Surah diartikan sebagai pemahaman dan pengamalan ubudiyah secara benar. Apa yang antum pelajari dipesantren menngenai, baik syari’at shalat, syari’at zakat dan puasa serta rukun dan fardhu yang menyertainya, tidak lantas menjadikan antum disebut santri jadi sebelum antum benar-benar melaksanakan shalat dengan benar, baik rukun dan syaratnya, baik ketepatan waktunya serta hadirnya hati kala antum shalat, pun demikian halnya dengan puasa dan zakat yang syari’atnya antum hapal, itu pun harus antum pahami dan amalkan dengan benar…….” Kata Pak Ustadz

Sementara Sirah artinya gambar atau pengejawantahan dari apa yang disebutkan dalam surah tadi. Shalat yang benar harus nampak dalam kehidupan sehari, zakat harus teraplikasi sepanjang hayat dikandung badan, puasa harus ditunailkan dengan penuh keimanan dan kesabaran serta hajipun antum harus berusaha sekuat tenaga laksanakan untuk kemudian nilai-nilainya antum gambarkan dalam pitutur dan perilaku antum sehari-hari".

Sarirah, berarti 'rahasia' atau 'paling dalam', menunjukkan hati, perasaan atau pikiran, seorang santri jadi adalah seseorang yang hati, pikiran dan perasaannya terpola secara Islami. Hatinya hanya untuk Allah, perasan dan pikirannya hanya untuk Allah serta tiada yang lebih merisaukannya hati, pikiran dan perasaanya daripada kehilangan cahaya imaniah dalam bathinnya, sehingga hidup dan kehidupannya diabdikan secara penuh untuk Allah dan Islam yang terwujud dalam Surah dan Sirah diatas.

(*) Kitab tak tertulis yang dimaksud adalah mengamalkan ubudiyah disertai dengan keimanan dan keikhlasan, tanpa ada pamrih atau pamer, tanpa merasa lebih baik dari ubudiyah orang lain, serta nilai-nilai yang terkandung dalam ubudiyah, seperti shalat yang mencegah kemunkaran, zakat yang mensucikan, serta puasa sebagai pelatihan terhadap kesabaran, harus teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, dan itu memerlukan proses dan waktu yang relative lebih lama daripada menghapal dan memahami teori syari’atnya.

Untuk menjadi ikhlas dalam beribadah perlu proses, untuk menjadi muzaki yang ikhlas perlu proses, untuk menjadi manusia yang sabar perlu proses, semuanya perlu proses, dan karena itulah sikap istiqomah (Kontinuitas) dalam beribadah menjadi salah satu sikap yang sangat ditekankan oleh baginda Rasul dan syari’at Islam.

“Apa ana terlambat untuk menjadi seorang santri jadi Pak ustadz?” Tanya penulis, menyadari demikian berat tantangan dan kualifikasi untuk menjadi seorang santri jadi, dan bukan sekedar menjadi santri.

“Seperti ana jelaskan diatas, untuk menjadi seorang santri jadi memerlukan proses dan waktu yang lama, dan siapapun bisa melakukannya dengan izin dan pertolongan Allah swt, dan satu lagi, tidak ada kata terlambat untuk menjadi seorang santri, seseorang yang memiliki pemahaman dan pengamalan ubudiyah yang benar, untuk bisa menampilkan citra dan sosok islam secara benar dan untuk mampu berpola pikir secara benar pula”. Kata Pak Ustadz lagi.

“Bismillahirahmanirrahim, niatkan belajar antum untuk Allah semata, niatkan amal antum untuk Allah semata, serta luruskan hati, pikiran dan perasaan antum untuk hanya menuju kepada Allah semata, untuk bermaksud kepada Allah semata, insya allah antum bisa menjadi seorang santri jadi……” Papar Pak Ustadz.

“Siapapun bisa menjadi seorang santri jadi”, saya, anda, kita semua bisa menjadi seorang santri jadi, jadi sekaranglah saatnya kita mulai belajar memahami permasalahan ubudiyah secara benar, kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari dengan menyertakan hati, pikiran dan perasaan kita pada saat mengamalkannya serta mengarahkan hati dan pikiran kita pada Allah dan Islam semata.

Kenapa kita harus memiliki ketiga-tiganya agar kita menjad seorang santri?

Pemahaman syari;at yang luas dan memadai (Surah), tanpa disertai aplikasi dalam kehidupan nyata (Sirah), ibarat pohon yang rindang, kuat dahannya, lebat daunnya, tapi tidak menghasilkan buah, tidak banyak memberi manfaat pada penanamnya, apalagi bagi orang lain.

Sebaliknya, Sirah saja, pengamalan saja tanpa didasari oleh pemahaman syari’at yang benar, sangat riskan terhadap virus-virus pembusukan amal. Ibarat buah yang dipetik dari pohon yang gersang, layu dan hampir mati, niscaya buah yang dihasilkannya pun tidak akan sesegar buah yang dipetik dari pohon yang subur dan kuat dahannya.

Sementara Sarirah adalah ibarat akar yang menghujam kedalam tanah untuk menopang dahan yang kuat dan daun yang lebat akan tidak mudah goyah atau patah oleh terpaan angin yang kencang atau hujan yang mengguyur dengan deras, sehingga buah yang dihasilkannya pun manis, lezat lagi bermanfaat..

Akar yang kuat (sarirah), pohon yang subur (Surah), akan menghasilkan buah yang segar lagi bermanfaat (Sirah) bagi penanamnya, yaitu kita dan juga bagi orang lain.

Wassalam

April 25, 2007

Tuesday, April 24, 2007

AN-NISSA

“Allahuma inni’audzubika minfitnatinnisaa, Allahuma inni’audzubika minfitnatinnisaa...............”
Do’a diatas adalah do’a yang dibaca Pak Ustadz dalam penutupan acara musyarawah Dewan kemakmuran Masjid Jami’atul Khoiri semalam, dan do’a ini, “Ya Allah sesungguhnya hamba berlindung kepada-Mu dari fitnah (Cobaan) dari wanita” adalah do’a yang agak lain, karena yang lazim kita memohon perlindungan dari Allah atas godaan syaitan atau rasa khawatir yang berlebihan, lalu adakah yang kita bisa ambil dari do’a yang dibaca Pak Ustadz tadi?

Wanita adalah sesosok mahluk unik, karena dibalik kelembutan dan gemulainya, tersimpan kekuatan yang luar biasa, salah satunya adalah wanita melahirkan bayi dari rahimnya, pun banyak cerita dan sejarah yang mencatat betapa wanita memiliki peran dan pengaruh besar dalam kehidupan seseorang atau bahkan kehidupan sebuah bangsa.

Wanita secara kodrati diciptakan dari tulang rusuk pria, dan dari sinilah konon terdapat simbol dan makna yang terkait dengan fungsi, peran dan keberadaan wanita sebagai pendamping pria.
Kenapa Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk? Bukan dari tulang tangan atau tulang kaki misalnya?

Tulang rusuk berada diantara kedua tangan, yang kata sebuah artikel melambangkan bahwa wanita adalah sesosok mahluk yang harus “dilindungi” dengan tangan kita, kaum pria.

Dan karena tercipta dari tulang rusuk yang bengkok inilah kita, harus berhati-hati dalam memperlakukan wanita, karena jika kita terlalu keras meluruskan tulang rusuk yang bengkok ini (wanita), maka ia sangat rentan untuk patah atau rusak. Sebaliknya ketika kita terlalu lemah, maka tulang rusuk yang bengkok ini akan selamanya bengkok, maka diperlukan kearifan dan kebijaksanaan yang lebih untuk menjadikan tulang rusuk yang bengkok ini tidak patah sekaligus dapat berjalan pada rel yang benar.

Dibalik bengkoknya, tulang rusuk memiliki peran yang sangat besar bagi kita, yakni melindungi hati kita dari benturan benda keras secara langsung, dan itulah peran seorang wanita, ia, istri-istri kita adalah “pelindung” perasaan kita ketika kita kesal dikantor misalnya, dengan keramahan dan cinta, istri-istri kita akan mampu meredakan emosi kita.

Kemudian tulang rusuk berada diatas tulang selangka, yang menyimbolkan bahwa wanita adalah sawah dan ladang kita untuk melahirkan generasi berikutnya, bukan untuk menjadi budak nafsu semata.

Lalu kenapa tulang rusuk dan bukan tulang kaki? Karena wanita adalah sosok mulia yang tidak layak “diinjak-injak” kehormatan, harga diri dan perasaannya, maka pantaslah ia, wanita diciptakan Allah dari tulang rusuk, bukan dari tulang lainnya.

Lalu kaitannya dengan do’a diatas apa?

14. Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu[1479] Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[1479] Maksudnya: kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.

“Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu” - Ada banyak catatan sejarah betapa wanita mampu memberikan warna terhadap perilaku dan perjalanan hidup suaminya.

Ada banyak kisah dan cerita bagaimana peran seorang wanita dari balik layar kehidupan sang suami, mampu mengubah peran yang tengah dilakonkan sang suami.

Ketika Iblis menggoda Nabi Adam, iblis tidak berhasil merayu dan menggoda Nabi Adam untuk memakan buah terlarang itu, tapi kemudian ketika Iblis mendatangi dan merayu Siti Hawa, konon Siti Hawa terbujuk oleh rayuan setan dan kemudian Siti Hawa-lah yang membujuk Nabi Adam untuk mengambilkan buah khuldi untuknya, dengan rasa cinta dan sayangnya, Nabi Adam kemudian menuruti permintaan Siti Hawa, maka jadilah mereka berdua jatuh kedalam bujuk rayu setan, sehingga mereka berdua dikeluarkan dari Surga oleh Allah Swt.

Kemudian Al qur’an juga menyinggung bagaimana istri Nabi Luth “termasuk orang-orang yang tertinggal”, termasuk diantara penduduk Madyan yang dibinasakan oleh Allah, sekalipun ia istri seorang Nabi.

Sebaliknya, seorang Siti Khadijah, istri pertama Baginda Rasul, adalah sesosok wanita yang mampu menjadi “pelindung” ketika Nabi menjalankan tugas kerasulannya. Satu kisah yang sering kita dengar adalah bagaimana Siti Khadijah menjadi orang pertama yang meyakini kerasulan Nabi ketika nabi menceritakan apa yang dialaminya di Gua Hira, ia mampu menenangkan dan meyakinkan Nabi akan wahyu nubuahnya.

Lalu bagaimana kita bisa membentuk sosok-sosok wanita seperti Siti Aisyah yang cantik dan luhur budi atau seperti Siti Khadijah yang kaya lagi penuh cinta kasih?

34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (An nissa:34)

[289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

[290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

[291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya, ada setiap suami adalah pemimpin bagi keluarganya, bagi anak dan istrinya, sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang mereka yang memiliki STAF.
S berarti Shidiq – Jujur, seorang suami, yang notabene adalah pemimpin dalam keluarganya, harus memiliki sifat jujur dalam mengarahkan roda kehidupan keluarganya. Kejujuran yang disemai seorang pemimpin, merupakan benih yang sangat bagus bagi lahirnya sebuah kelaurga yang sakinah, mawadah warahmah.

Sebaliknya seorang pemimpin yang tidak jujur, maka sebenarnya ia tengah menanam bom waktu yang setiap saat akan meledak dan menghancurkan tatanan bahtera rumah tangga yang dipimpinya.

T Berarti Tabligh- terbuka, bahasa sekarang transparan, tidak ada hal yang disembunyikan yang akan merugikan suatu pihak. Keterbukaan, baik kala susah ataupun kala senang, konon merupakan sebuah resep mujarab bagi kelanggengan tatanan kehidupan rumah tangga yang dibangun untuk mencapai ridha Allah swt.

A Berarti Amanah – dapat dipercaya. Ketika sang suami pergi keluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya, maka artinya sang suami dibekali oleh istrinya dengan sebuah kepercayaan bahwa suaminya benar-benar akan melakukan sebuah kewajiban suci untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

F Berarti Fathonah – Pintar, Smart – seorang suami adalah sosok teladan yang akan dijadikan panutan oleh anak istrinya, karena bagi mereka, suami dan ayah adalah seorang super hero yang mampu memberikan rasa nyaman bagi keluarganya.

Lalu bagaimana kalau ada seorang ayah atau seorang suami yang tidak bisa baca tulis al qur’an? Bagaimana ia akan mengajari anak-istrinya membaca Al qur’an?

Lalu bagaimana kalau ada seorang ayah atau seorang suami yang tidak bisa do’a sembahyang? Sementara sembahyang adalah merupakan tiang bagi kokohnya nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarganya?

Suami, sekali lagi bertanggung jawab secara penuh terhadap surga dan neraka keluarganya;

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At Tahrim:6)

Menjadi seorang suami yang memiliki semua syarat diatas memang sulit dan butuh pengorbanan, tapi itu akan jauh lebih baik daripada kita menjadi korban fitnah (cobaan) istri-istri kita karena ketidakmampuan kita untuk mendidik mereka.

Wassalam

April 23, 2007

Friday, April 20, 2007

MEMANUSIAKAN “MANUSIA”

“Lihat pohon pisang, pohong pisang menghasilkan buah pisang, daunya disebut daun pisang dan tunasnya pun tunas pohon pisang” Kata Pak Ustadz setengan berfalsafah.

“Kita harusnya malu pada pohon pisang itu” Kata Pak Ustadz lagi

“Kenapa Pak?” Tanya penulis

“Ada ada banyak manusia yang berperilaku bukan sebagaimana manusia dan ada manusia yang diperlakukan bukan sebagai manusia” Kata Pak Ustadz

Manusia sebagai mahluk Allah yang dikarunia akal justru kadang terbalik, kita manusia, tapi perilaku kita kadang jauh dari kata manusiawi, kita bisa berlaku kejam layaknya srigala lapar, kita bisa berlaku binal layaknya kuda liar.....”

“Sebagai manusia kita pun dikarunia Allah kemampuan berkomunikasi dan berbahasa dengan baik, tapi kadang kata-kata kita tinggi melingking bagai lolong srigala.....”

“Akal yang kita miliki juga mestinya menuntun kita untuk dapat berpikir dan bertindak dengan benar, tapi antum saksikan, betapa panggung dunia ini dipenuhi dengan pertunjukan keangkaraan murkaan anak cucu Nabi Adam yang seolah tak mempunyai rasa dan pikir, seperti perilaku mahluk lain yang tidak memiliki akal..”

“Kalau analogi pohon pisang tadi bisa kita pakai sebagai acuan, mestinya kita sebagai manusia akan berperilaku manusiawi, bertutur kata manusiawi, berlaku dan bertindak manusiawi, bukan sebaliknya.....” Panjang lebar Pak Ustadz menguraikan analogi diatas.

“Pun disana sini kita melihat mendengar bagaimana manusia yang diperlakukan tidak manusiawi, hak beragamannya dihalangi, hak hidupnya dirampas, hak berbicaranya dibungkam, hak belajarnya dieliminir dan berbagai hak yang harusnya disandang oleh manusia, perkosa sedemikian rupa oleh manusia lainnya yang bersikap bukan sebagai manusia” Lanjut Pak Ustadz.

Kalau sekarang kita sering mendengar kelompok-kelompok penyayang binatang, kelompok-kelompok penyayang lingkungan, rasanya perlu juga kita membuat sebuah kelompok penyayang manusia.

Kalau lingkungan dan hewan demikian disayang dan dilindungi oleh kita, agak aneh ketika kita menyaksikan ada manusia yang justru dimangsa manusia lainnya, sebuah ironi jika manusia sendiri yang menjadi santapan dan korban manusia lainnya, tanpa pembelaan dan perlindungan yang memadai, seolah manusia yang menjadi korban itu bukan manusia lagi, sehingga kita merasa biasa saja dengan perlakuan yang mereka terima dari sesama manusia yang berperilaku bukan sebagai manusia.

Sekarang mungkin saatnya kita harus mengembalikan manusia kepada posisi yang sebenarnya sebagai manusia, dalam kata lain kita harus memanusiakan manusia.

Apa saja syarat kita menjadi manusia?

Manusia akan menjadi manusia manakala ia memiliki kelima hal berikut dalam diri dan hidupnya;

Pertama, Iman keimanan adalah satu dari sekian banyak kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia sebagai salah satu fitrah kemanusiaanya.

Manusia yang tidak beriman, cenderung akan berperilaku menyimpang, karena ia merasa tidak memiliki tanggung jawab apapun dihadapan tuhan terhadap apa yang ia perbuat.

Keimanan merupakan alarm yang sangat efektif bagi setiap manusia yang meyakini bahwa setiap apapu yang diperbuatnya akan dimintakan pertanggung jawaban dimahkamah akhirat nanti, sekalipun ia bisa lepas dari jerat hukum dunia.

Keyakinan inilah yang kemudian menuntunnya untuk berperilaku sebagai manusia, yang akan dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatannya dihadapan Allah swt.

Kedua Ubudiyah – Manusia adalah mahluk Allah yang dibebani kewajiban syari;at dan amanah, yang sebelumnya ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semua menolaknya, kecuali manusia menerimannya;

72. Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (Al Ahzab:72)

[1233] yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

Sebagai konsekuensi dari penerimaan amanat itu adalah pelaksanaan amanat yang kita kenal dengan ibadah, dan sekali lagi, manusia yang diberi amanat itu, dan hanya manusia yang benar-benar manusialah yang bertanggung jawab atas amanat yang dipikulnya.

Allah memerintahkan kita untuk bersyahadat dengan benar, agar kita menjadi manusia yang tidak merendahkan diri kita sendiri dengan menyembah dan mengabdi kepada sesama mahluk atau benda dan untuk menjadi manusia yang benar, kita harus berupaya untuk memenuhi kewajiban itu.

Allah memerintahkan kita shalat agar kita menjadi manusia yang terproteksi dari perbuatan keji dan munkar, lalu kenapa sebagai manusia meninggalkannya?
Allah mewajibkan kita shaum agar kita menjadi manusia yang bertaqwa, tapi kenapa kita melalaikannya?

Allah mensyariatkan kita untuk menunaikan zakat untuk membersihkan harta, jiwa serta sifat kemanusiaan kita dari sifat kikir, sifat serakah, sifat rakus, tapi kenapa kita enggan melaksanakannya?

Allah juga memerintahkan kita pergi kebaitullah bagi yang mampu, tapi banyak manusia yang berkecukupan malah enggan.

Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik dan bersikap hormat kepada kedua orang tua sebagai tanda bakti kita kepada manusia, lalu entah apa namanya kalau ada manusia yang justru menistakan orang tuannya..

Ketiga Muamalah – Manusia selain diwajibkan untuk memenuhi kewajiban ibadah, juga memiliki tanggung jawab lain untuk melakukan kasab atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Benar, Allah menjamin bahwa setiap yang melata ditanggung rezekinya, namun juga benar bahwa manusia, dengan bekal akal dan pikiran yang dikaruniakan kepadanya, diwajibkan melakukan ikhtiar untuk menjemput hamparan rezeki yang ditebarkan Allah dimuka bumi ini.
Salah satunya adalah sebagaimana yang tersurat dalam ayat berikut;

carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al Juma’ah:10)

Hanya ucapan dan ungkapan orang malas saja yang mengatakan bahwa manusia tidak perlu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keempat mu’asyaroh – hubungan sesama manusia – Hablu minannas, sebagai mahluk sosial, manusia memerlukan hubungan dengan manusia lain untuk dapat bertahan hidup dan menjadi manusia.

Adalah sebuah sunnatullah bahwa setiap manusia diberikan keterbatasan oleh Allah disamping berbagai kelebihan yang dimilikinya, salah satu hikmahnya adalah agar kita berhubungan dengan orang lain untuk menutupi keterbatasan dengan kita.

Manusia harus hidup ditengah lingkungan manusia, agar ia menjadi manusia. Masih ingat kisah Tarzan, seorang anak manusia yang dibesarkan sekawanan binatang? Yang terjadi kemudian adalah sifat-sifat hewani para pengasuhnya merasuk dan mempengaruhi perilaku tarzan sebagai manusia.

Maka untuk menjadi manusia, kita perlu bergaul dengan manusia pula.

Kelima Ahlaq – Perilaku yang berbudi adalah ciri utama manusia, seperti memiliki rasa malu, mempunyai rasa belas kasih, setia kawan, tenggang rasa, tepo seliro, pemaaf, sabar dan santun, itu ciri manusia.

Kalau kemudian kita menemukan perilaku menyimpang dari seseorang, seperti tidak tahu malu, buas tak berperikemanusiaan, raja tega dan tak setia kawan, pendendam, grasa grusu dan tak bersopan santun, itu yang harus kita manusiakan, karena perilaku pada paragraf ini bukan perilaku manusia yang benar.

Karena dengan akalnya, manusia dianugerahi kemampuan oleh Allah untuk “memilih” ahlaq dan perilaku yang patut dan pantas mereka laksanakan.

Menjadi seseorang yang penuh cinta kasih pada sesama adalah pilihan, yang bisa dibentuk dengan belajar.

Mempunyai rasa malu adalah pilihan, yang bisa dipupuk kesadaran bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar

Mempunyai sifat pemaaf adalah sebuah pilihan, apakah kita akan menurutkan rasa dendam itu, atau kita menyadari bahwa setiap manusia dapat melakukan kesalahan termasuk juga kita, karenanya dendam tidak akan menyelesaikan suatu masalah, karena sangat mungkin kita pun melakukan kesalahan yang sama yang pernah diperbuat orang lain.

Ahlaq yang benar, ahlaq yang mulia, ahlaqul karimah, adalah ciri utama dari manusia.

Iman yang kokoh, ubudiyah yang benar, mualah yang sempurna, habluminannas yang baik serta ahlaqul karimah, adalah ciri utama kita sebagai manusia, mahluk yang paling mulia.

Wassalam

April 20, 2007

Thursday, April 19, 2007

HARTA HANYA TITIPAN

Diawal tahun 1992, Allah mempertemukan penulis dengan seseorang, sebut saja namanya Bapak AB, beliau adalah salah seorang yang cukup terpandang didesanya, sebuah desa dipingiran wilayah Kabupaten Cirebon.

Bukan saja hanya harta yang dimilikinya, Bapak AB juga mempunyai kerabat dan keluarga yang merupakan orang-orang terpandang didesanya, ada yang jadi anggota DPRD, ada yang menjadi Jaksa dan bahkan salah seorang mantan menteri dalam negeri diera presiden BJ Habibie merupakan salah satu relasi dekat beliau, seperti dituturkan putra beliau yang juga teman sekelas penulis di sekolah tehnik menengah negeri Cirebon.

Beliau adalah seorang wira usaha yang bergelut dibidang jual beli sandang dipasar Tegalgubug – Cirebon. Ketika kali pertama penulis berkunjung kerumah beliau, rumahnya yang cukup luas dan besar itu hampir dipenuhi dengan barang dagangan yang berupa kain dan pakaian jadi.

Dari hasil usahanya ini keluarga Bapak AB hidup sangat berkecukupan, yang sebagai pembandingnya adalah uang jajan putranya yang teman penulis ini, jumlahnya lebih dari 20x lipat dari uang jajan penulis ketika itu, sungguh sebuah keluarga yang harmonis ditunjang dengan perekonomian yang sangat memadai.

Dipertengahan tahun 1994, ketika penulis dan putranya menjelang kelulusan dari sekolah menengah atas, penulis beberapa kali sempat berkunjung kerumah beliau lagi, tapi sekarang kondisinya justru terbalik 180 derajat dari apa yang penulis saksikan diawal tahun 1992 seperti disebutkan diawal tadi.

Rumah yang besar lagi hangat dengan keharmonisan keluarga, sekarang tidak nampak lagi, keluarga itu justru malah tercerai berai. Ibunya harus mengadu nasib ke Arab sana, sementara anak-anaknya ada yang ke Singapura dan malaysia sebagai tenaga kerja wanita. Yang tinggal dirumah hanya Bapak AB tadi dan teman penulis.

Sementara barang dagangan yang hampir memenuhi seluruh ruangan rumah yang besar itu, kini tidak tersisa sama sekali, dan yang lebih ironis, hampir seluruh barang-barang berharga yang dulu banyak menghiasi ruang tamu, seperti TV dan lainnya kini tidak tersisa, hanya tinggal sofa usang yang masing teronggok disana, seperti tidak terurus keadaanya.

Kondisi yang lebih memilukan terjadi pada teman penulis, ia seperti kehilangan arah dan pegangan karena perubahan yang demikian drastis tersebut, hampir suatu ketika ia terjerumus kedalam lembah kejahatan demi untuk menutupi rasa lapar perutnya. Ia, yang dulu penulis kenal sebagai seorang teman yang sangat setia kawan dan baik,tiba-tiba menjadi sosok lain dari yang dulu penulis kenal.

Hingga suatu ketika sang teman datang kekontrakan penulis dengan kepala berlumuran darah karena habis berkelahi, hingga akhirnya ia ditangkap polisi dan dimasukan kedalam lembaga pemasyarakatan selama kurang lebih lima bulan, sampai ketika Bapak AB meninggalpun, sang teman tidak bisa menungguinya karena masih ditahan.

Apa yang terjadi dengan keluarga ini? Kemana keharmonisan keluarga yang dulu membuat iri banyak orang? Kemana harta berlimpah yang demikian banyak itu?

Segudang tanya itu tak pernah terjawab sampai sekarang, apa yang terjadi dengan keluarga tersebut sehingga terjerembab pada kondisi seperti itu?

Tanpa ada maksud untuk mendiskreditkan keadaan kelurga diatas, mari kita merenung sejenak adakah pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidup Bapak AB untuk kita jadikan bekal perjalanan panjang kita?

Satu yang pasti yang dapat kita ambil adalah bahwa harta hanya titipan, bukan milik kita, suatu saat, kapanpun dan insya Allah pasti, ketika sang pemilik hakiki menghendaki harta itu diambil dari kita, kita tidak punya sesuatu kekuatanpun untuk mencegah atau melarangnya, karena sekali lagi harta itu bukan milik kita!

Dalam banyak ayat; al qur’an membahasakan harta dengan berbagai kiasannya;

46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al Kahfi;46)

Harta adalah perhiasan dunia yang banyak menarik perhatian kita, karena memang demikianlah Allah menjadikan harta sebagai sesuatu yang indah pada pandangan manusia;
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran:14)

Dalam ayat lain, Allah mengingatkan bahwa harta kadang melalaikan kita;

20. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.(Al Hadiid:20)

Ada banyak orang yang “tertipu” dengan keindahan dunia dan banyaknya harta yang mereka miliki, padahal seperti disebutkan pada ayat diatas, banyaknya harta dan anak-anak serta perhiasan hanya seperti tanaman yang mengagumkan kita, tapi ketika Allah menghendaki, harta, perhiasan dan anak-anak yang kita banggakan akan diambil kembali oleh pemiliknya yang hakiki, jadilah kita kembali miskin papa, tanpa perhiasan dan harta.

Kadang sebagian kita tidak menyadari bahwa miskin dan kaya, berada atau papa, keduanya adalah ujian dari Allah;

15. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At Taghabun:15)

Agar kita bisa lulus dalam ujian yang diberikan Allah berupa kelapangan harta, maka hendaknya kita bijak dalam menyikapi harta yang dititipkan Allah pada kita, yakni dengan cara mensyukurinya, dengan cara menafkahkannya dijalan yang dikehendaki oleh yang menitipkan harta tersebut yaitu Allah Swt, dengan cara membangun kesadaran bahwa (sekali lagi) harta yang secara syari;at kita miliki ini, hakekatnya adalah amanah yang harus kita pertanggungjawabkan dihadapan sang pemberi amanah kelak.

Dengan senantiasa menyadari bahwa harta adalah amanah, insya Allah kita akan terhindar dari muslihat yang terdapat pada harta kita, kita akan terhindar dari sifat sombong dengan kelebihan harta kita, pun kita tidak menjadi kikir karenanya, sebab kita sadar bahwa dalam harta kita terdapat hak-hak orang lain yang harus kita tunaikan.

Dalam harta kita terdapat hak fakir miskin, anak terlantar, ibnu sabiil, sebagaimana tercantum dalam ayat berikut;

215. Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.(Al Baqarah:215)

Syukur kita atas karunia Allah yang diberikan kepada kita, akan menghindarkan kita dari sifat kufur dan lalai terhadap siapa yang menitipkan harta tersebut, lebih jauh, syukur adalah salah satu syarat untuk bertambahnya nikmat Allah;
7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Ibrahim:7)

Sekali lagi harta adalah ujian bagi kita;

28. Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Al Anfal:28)

“Benar, harta adalah ujian yang sangat sulit,” Kata Abah, seorang sepuh yang pernah penulis ajak dialog mengenai hal ini.

“Abah dulu adalah seorang direktur sebuah CV yang sangat sukses di Bandung, sehingga abah termasuk salah seorang yang paling kaya didesa, sebelum orang lain punya mobil, orang pertama yang punya mobil didesa itu adalah Abah” Kata Abah sambil matanya menerawang pada masa jayanya dulu.

“Tapi itulah muslihat harta, ketika Abah punya banyak uang, Abah hampir tidak pernah berpikir bahwa Abah akan tua dan mengalami siklus kehidupan seperti ini”, Katanya lagi.

Kondisi Abah saat bertemu dengan penulis sungguh jauh dari keadaan yang Abah ceritakan pada penulis, karena sekarang Abah tinggal seorang diri di sebuah “rumah” yang sangat tidak layak, jika menilik bagaimana keadaan Abah dulu.

Beliau setiap hari mengayuh sepeda tua untuk berjualan penghapus pensil disekolah taman kanak-kanak dengan penghasilan tidak lebih dari sepuluh ribu sehari untuk menyambung hidup dimasa tuanya.

“Tidak apa-apa, Abah tidak menyesal dengan apa yang terjadi sekarang, malah Abah mendapatkan “sesuatu” yang Abah tidak pernah Abah dapatkan ketika Abah banyak uang dulu”, Tambahnya.

“Jalani saja kehidupan ini layaknya air mengalir, mungkin suata saat jalan yang kamu lalui landai sehingga kehidupanmu mengalir dengan tenang dan damai, tapi jangan cengeng jika kelak kamu menemukan bebatuan yang menghambat laju hidupmu, itu hanya sebentuk ujian saja” Tuturnya Bijak.

“Kamu masih muda, masih banyak pengalaman yang akan kamu temukan, belajarlah setiap hari dari apapun yang kau temukan, jangan mengeluh, jangan menyerah, dan bersandarlah pada yang diatas sana dengan benar dan kokoh”, Nasehatnya.

“Jangan engkau ulangi kelalaian Abah dulu jika engkau menemukan banyak harta dalam hidupmu, tapi juga jangan pernah engkau menyesal jika engkau temukan kerikil berbatu yang tajam dalam perjalananmu, karena dari apa yang Abah alami, Abah menemukan kegetiran justru pada saat Abah bergelimang harta, tapi justru menemukan kedamaian dan kebahagiaan saat Abah seperti ini, Allah Maha Adil.........” mengakhiri percakapan kami menjelang waktu ashar tiba.

Berulang kali Allah menegaskan bahwa harta adalah ujian, juga seperti pengalaman Abah tadi, maka dari itu belajarlah mulai detik ini agar kita bisa lulus dengan nilai sempurna sebagai seorang hamba yang mampu mensyukuri harta yang dititipkan kepada kita, sehingga kita mendapat pahala yang jauh lebih besar disisi Allah swt, amiin.

Wassalam

April 19, 2007

Wednesday, April 18, 2007

BAYI, SANG GURU MUNGIL

“You are my little angle” Demikian sebuah ungkapan beberapa orang tua untuk menggambarkan kekagumannya kepada sang buah hati, seorang bayi mungil. Berlebihan memang, tapi benarlah adanya jika sesosok bayi mungil yang lucu itu adalah juga guru bagi kehidupan kita, para orang tua.

Tak usah malu atau segan untuk belajar dari seorang bayi sekalipun, karena bayi mengajari kita dengan banyak hal, yang mungkin kita tidak temukan diseminar atau bangku kuliahan.

5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering, Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Al Hajj:5)

Pernahkah kita merenungi ayat diatas? Bahwa kita, yang sekarang tampak tinggi besar dan gagah, juga mengalami suatu masa dimana kita menjadi seorang bayi.

Bunda kita mengandung kita selama kurang lebih sembilan bulan dengan susah payah, pun ketika hendak melahirkan, bunda berjuang diambang batas antara hidup dan mati dengan bermandi keringat dan darah. Setelah kita lahir, kita tidak lantas menjadi sosok yang mandiri, lagi bunda memberikan air susu, menyuapi, mengganti popok kita yang basah, meski ditengah kantuk yang mendera, bunda melakukan semuanya demi kita, anaknya yang tercinta.

Tak akan cukup tulisan ini menggambarkan betapa besar cinta kasih dan pengorbanan orang tua kita untuk membesarkan kita, sehingga dalam sebuah riwayat, seorang sahabat yang ingin membalas budi baik orang tuanya, menggendong ibunya berkeliling thawaf sebanyak tujuh putaran, tapi ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw, apakah apa yang ia lakukan sudah cukup untuk membalas budi baik ibunya, Rasul menjawab;

“belum, seandainya engkau menggendong ibumu pulang pergi dari Mekah ke Madinah (jaraknya sekitar 450 KM - pen) sebanyak tujuh kali pun, itu belum cukup membalas jasa ibumu.....”

Kembali kepada pokok tulisan ini, bahwa dari seorang bayipun kita bisa belajar.

Pertama, bahwa hidup adalah sebuah proses, satu hari, dua hari, seminggu lalu sebulan, setiap pergantian waktu, bayi mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tingkatan usianya. Baik buruknya pertumbuhan dan perkembangan bayi, secara syari’at sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti faktor lingkungan dimana bayi itu tumbuh dan berkembang, faktor orang tua yang merawatnya, faktor asupan makanan dan vitamin yang diberikan padanya dan juga faktor internal dari dalam tubuh bayi tersebut seperti tingkat kekebalan tubuhnya (Sistem imunnya) terhadap berbagai virus dan penyakit.

Proses sebenarnya tidak hanya terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik seseorang. Belajar juga memerlukan proses, mencapai tingkatan ibadah yang baik juga merupakan proses, mencapai derajat kesabaran juga proses, menjadi seorang mukhlis juga proses, menjadi orang yang bertaqwa juga proses, jadi dari sini kita bisa belajar untuk tidak berputus asa dalam upaya kita menyempurnakan syari;at kita.

Tak perlu malu untuk mulai belajar mengaji sekarang saat kita sudah jenggotan, kalau memang kita belum bisa baca al qur’an

Tak perlu segan untuk bertanya tentang shalat yang benar jika memang kesempatan kita baru sekarang

Tak perlu enggan untuk belajar wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah karena itu demi keselamatan hidup kita

Tak perlu malu kemasjid hanya karena takut shalat kita dikatakan belum benar, sekali lagi bahwa semuanya melalui proses, melalui undakan dan anak tangga yang mesti dititi dan dinaiki satu persatu.

Kedua, bahwa asupan yang diterima sibayi, harus sesuai kapasitasnya. Bayi hanya mengkonsumsi ASI exclusive selama enam bulan, kemudian sesudahnya, ketika usia dan kapasitasnya bertambah, asupan yang masuk pun bertambah, selain ASI, ada susu formula sebagai tambahan ada makanan atau bubur bayi yang disertakan sebagai asupan.

Kita kadang lupa dengan kapasitas kita, sehingga kita kerap menyalahkan Allah yang memberikan rezeki yang sedikit kepada kita, kita tidak pernah bertanya sebesar kapasitas kita, kapasitas ibadah kita, kapasitas keilmuan kita, kapasitas ketaqwaan kita, karena sangat boleh jadi ketika kita diberi Allah sesuatu yang melebihi kapasitas yang kita miliki, harta kita justru akan menjadi bumerang bagi kita.

Ketika seorang anak usia sepuluh tahun diberi uang satu juta oleh orang tuanya, itu bukan merupakan sebuah pilihan bijak, karena justru dengan uang yang lebih besar dari kapasitas sianak, akan membahayakan bagi anak itu sendiri.

Ketika kadar keimanan kita belum lagi kokoh, ketika shalat kita belum lagi benar, ketika zakat kita belum lagi dibayar, kemudian kita diberi cobaan berupa harta yang banyak, sangat boleh jadi iman kita jadi labil, kita justru malah mentuhankan harta, sangat boleh jadi shalat kita jadi terbengkalai karena kesibukan mengurus harta, sangat boleh jadi kita menjadi kikir karenanya.

Ingin rezeki bertambah? Siapkan kapasitas iman kita, syukur kita, ilmu kita, agar karunia Allah yang tercurah tidak menjadi bumerang bagi kita.

Ketiga, menjelang usia enam bulan, bayi biasanya mulai belajar bicara. Bahasa yang digunakan bayi ketika mulai belajar berbicara sangat aneh dan tidak karuan seperti orang meracau, tidak ada yang mengerti apa maksud ucapannya.

Ada banyak orang tua seperti kita yang kadang ngomongnya seperti bayi, asal ngomong, asal bunyi, tidak dipikir dulu, persis seperti orang meracau.

Bilangan usia seseorang tidak bisa menjadi jaminan untuk menjadikan orang tersebut bisa berbicara bijak layaknya orang dewasa, pantas jika kemudian ada yang mengatakan bahwa tua adalah kepastian, dewasa adalah pilihan.

Bertambahnya usia adalah sebuah sunnatullah yang tidak akan dapat dibendung oleh apapun, tapi untuk menjadi seseorang yang dewasa adalah sebuah pilihan yang harus ditentukan oleh masing-masing kita.

Kita sering mendengar orang yang usianya sudah kepala lima, tapi ngomongnya asal keluar, kita sering mendengar seorang manager yang bicara ngalor-ngidul, kita sering mendengar pejabat yang statementnya asal bunyi, sekali lagi usia, pangkat dan jabatan seseorang tidak menjadi jaminan bahwa ia sudah bisa berbicara, bahkan sebaliknya sebagian mereka masih tampak seperti bayi yang baru belajar bicara.

Keempat, bayi masih sangat rentan terhadap kondisi lingkungan, ia mudah terserang berbagai jenis penyakit akibat perubahan cuaca misalnya.

Pun demikian halnya dengan kita, kita harus benar-benar menjaga kesehatan keimanan kita, menjaga keikhlasan niat kita dari pengaruh buruk lingkungan sekitar. Ada banyak virus-virus kemusyrikan yang berterbangan disekitar kita. ada banyak kuman-kuman kekufuran yang berada ditengah-tengah kita, dan kita harus waspada terhadap gangguan mereka agar keimanan dan rasa syukur kita bisa tumbuh dan berkembang dengan benar dan terjaga.

Masih banyak hal yang kita bisa pelajari dari sang guru mungil kita, hanya perlu sedikit kejelian kita agar pesan Allah lewat sang bayi dapat kita cerna.

Kita tidak mungkin menjadi bayi selamanya, yang hanya menggantung semuanya pada orang lain, kita, pada suatu saat harus bisa berjalan dan menjalani kehidupan sendiri, dan itu perlu proses yang harus kita siapkan dari sekarang, agar kita tidak menjadi benalu bagi orang lain, agar kita bisa berbicara layaknya orang dewasa, agar kita bisa imun terhadap berbagai gangguan iman dan aqidah, agar kapasitas kita memenuhi syarat bagi rahmat Allah yang senantiasa tercurah.

Wassalam

April 18, 2007

Tuesday, April 17, 2007

SETAN ADA DIMANA-MANA

Jin menurut bahasa berarti: sesuatu yang tersembunyi dan halus. Sedangkan setan ialah: setiap yang durhaka dari golongan jin, manusia atau hewan. Dia dinamakan jin disebabkan tersembunyi-nya dari mata (pandangan). Jin diciptakan dari api yang sangat panas (Al Hijr: 28).

Setan ada dimana-mana, kata Pak Ustadz, setan seperti udara, ia akan menempati ruang kosong, seperti halnya angin menempati ruang kosong dalam perut kita, maka kita akan masuk angin karenanya.

Pun demikian halnya dengan setan, ia akan menempati ruang hati kita yang kosong karena kita lalai berdzikir kepada Allah swt.

Setan akan menempati ruang pikiran kita yang kosong, dengan meniupkan khalayan dan angan kosong, sehingga kita terjebak menjadi orang yang hanya pandai berandai-andai, tapi lupa melakukan kasab dan syari’at yang telah ditentukan.

Setan akan menempati rumah kita yang tak pernah dibacakan al qur’an didalamnya, sehingga rumah kita menyerupai kuburan yang sunyi senyap dari kalam ilahi.

Setan juga menempati ruang makan kita untuk mengintip mereka yang ketika makan atau minum tidak membaca do’a terlebih dahulu.

Setan juga menempati tempat tidur kita untuk ikut serta masuk kedalam selimut mereka yang ketika hendak beranjak tidur tidak membaca do’a dan lupa mohon perlindungan pada Allah Swt.

Setan juga menempati ruang kerja kita, untuk membelokan niat ibadah dalam kerja kita, dan membelokan niat kita untuk sekedar memperoleh penghasilan tanpa peduli halal atau haram.

Setan juga menempati layar monitor komputer kita, sehingga ketika kita membukanya, kita akan cenderung mencari gambar-gambar yang mengundang syahwat dan birahi serta bacaan yang vulgar tiada guna.

Setan juga mengiringi perjalanan pulang pergi kita kekantor, sehingga kita lalai berdo’a dan berdzikir sepanjang perjalanan, dan justru disibukan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Setan juga ada pada lisan kita, sehingga kita seringkali kita terjebak mengeluarkan kata-kata yang tidak patut, ngomel atau marah-marah tanpa sebab yang pasti, dan justru berat untuk membaca kalam ilahi.

Setan juga ada dimata kita, sehingga mata yang seharusnya digunakan untuk melihat ayat dan kebesaran Allah justru digunakan untuk melihat hal-hal yang diharamkan-Nya.

Setan juga ada pada tangan kita, sehingga berat sekali rasanya tangan ini mengulurkan bantuan dan sedekah pada sesama.

Setan juga ada pada kaki kita, sehingga kita seakan lumpuh tiada daya untuk menggerakanya untuk pergi kemasjid atau majelis taklim.

Setan juga ada pada harta kita, sehingga dengan harta itu kita menjadi lalai dan terjebak untuk berbangga diri karenanya, dan lupa terhadap siapa yang memberikan harta padanya.

Setan ada pada wajah kita, yang dengan ketampanan dan kecantikan kita, kita menjadi sombong karenanya.

Setan ada pada jabatan kita, karena dengan kekuasaan yang kita miliki dengan jabatan itu, setan menggoda kita untuk berlaku tidak sepantasnya.

Setan ada dimana-mana, setan senatiasa siap siaga menggelincirkan mereka yang tidak waspada, karena setan musuh yang nyata bagi kita.
Terlebih kalau kita mengacu pada definisi diatas bahwa setan ialah: setiap yang durhaka dari golongan jin, manusia atau hewan, rasanya kita tak perlu mendatangi tempat angker atau kuburan sambil membawa sesajen untuk melihat penampakan seperti dalam tayangan TV yang sangat konyol itu.

Kita bisa melihat setan ditengah hari bolong ketika kita pergi kemall, disana kita akan banyak menjumpai setan yang baik rupa dengan aurat yang terpajang dengan murah.

Kita bisa melihat setan digedung dewan, disana juga ada setan-setan yang bergentaayangan membuat undang-undang atas nama rakyat dan kebenaran, demi untuk memperkaya diri dan golongan.

Kita bisa menemukan setan pada instansi yang dengan senang hati menerima suap dan pelicin atas nama undang-undang dan peraturan.

Kita pun mungkin bisa menemukan setan dalam diri kita makala kita berlaku sombing dan ingkar serta membangkang terhadap perintah Allah.

Shalat ditinggalkan,zakat disepelekan, puasa pun bukan merupakan kewajiban, apalagi haji yang perlu banyak uang, saat itulah kita telah menjadi “setan” yang durhaka kepada perintah tuhan.
Kapan awal mula permusuhan manusia dengan setan?

11. Sesungguhnya kami Telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, Kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud.

12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".

13. Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; Karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".

14. Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya[529] sampai waktu mereka dibangkitkan".

15. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."

16. Iblis menjawab: "Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,

17. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).

18. Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya".

[529] Maksudnya: janganlah saya dan anak cucu saya dimatikan sampai hari kiamat sehingga saya berkesempatan menggoda Adam dan anak cucunya.

Ayat 11 ~ 18 surat Al A’raf diatas adalah awal mula permusuhan manusia (Adam) dengan setan.

Mari sejenak kita kembali perhatikan ayat-ayat diatas;

Bahwa manusia adalah mahluk Allah yang paling mulia diantara seluruh mahluk Allah, dan bahkan malaikat pun diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam (manusia). Sujud yang dimaksud disini adalah Tahiyatul Sujud – Sujud penghormatan, bukan sujud pengabdian seperti halnya kepada Allah.

Kemudian, apa yang menyebabkan iblis, (yang konon sebelum diusir dari surga bernama Azazil yang memiliki keistimewaan tersendiri disisi Allah), enggan dan tidak mau bersujud / memberi penghormatan kepada Adam adalah “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah", Iblis merasa lebih baik dari Adam, sehingga ia menjadi sombong dan akhirnya diusir dari Surga.

Sombong, merasa lebih baik, besar kepala, adigang-adigung, asa aing, angkuh, adalah sinomim kata yang semuanya memiliki kesamaan dengan sifat iblis laknatullah.

Sebagaimana Allah telah mengusir dan melaknat setan karena kesombongannya, Allah-pun demikan membenci manusia, termasuk kita yang mengedepankan sifat sombong ini.

Allah sangat cinta kepada mukmin yang hartawan lagi dermawan, tapi Allah sangat benci kepada mereka yang angkuh karena kekayaanya.

Allah sangat cinta kepada mukmin yang berilmu, tapi Allah sangat benci kepada mereka yang sombong karena ilmunya.

Allah sangat cinta kepada mukmin ahli ibadah, tapi Allah sangat benci kepada mereka yang ujub dan riya karena ibadahnya

Allah sangat cinta kepada mukmin yang kuat, tapi Allah sangat benci kepada mereka yang sombong karena pangkat dan jabatannya.

Kesombongan adalah awal kehancuran, baik itu kehancuran didunia, lebih lagi kehancuran diakhirat kelak.

Maka dari itu pelihara diri kita dari sifat sombong, karena kesombongan hanya akan melahirkan kehancuran dan kehinaan;

166. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina[581].(Al A’raf:166)
[581] sebagian ahli tafsir memandang bahwa Ini sebagai suatu perumpamaan , artinya hati mereka menyerupai hati kera, Karena sama-sama tidak menerima nasehat dan peringatan. pendapat Jumhur mufassir ialah mereka betul-betul beubah menjadi kera, Hanya tidak beranak, tidak makan dan minum, dan hidup tidak lebih dari tiga hari.

35. (yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka[1322]. amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang. (Al Mukmin:35)

[1322] maksudnya mereka menolak ayat-ayat Allah tanpa alasan yang datang kepada mereka.

Dan balasan atas kesombongan adalah Neraka Jahanam;


76. (Dikatakan kepada mereka): "Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong ".(Al A’raf;76)

Mari kita berlindung kepada Allah dari sikap sombong lagi membanggakan diri.
Wassalam

April 17, 2007

Monday, April 16, 2007

TIDAK ADA AGAMA TANPA AKHLAQ

“Agama adalah ibarat pohon yang rindang dan besar, akarnya kokoh menghujam kebumi, dahan dan daunnya rindang meneduhkan, sementara akhlaq adalah buahnya” Kata Pak Ustadz dalam sebuah perbincangan.

“Seseorang yang memiliki ilmu dan pemahaman agama yang baik adalah ibarat pohon yang rindang lagi meneduhkan, tapi belum lengkap jika belum mewujudkan ilmu dan pemahamannya itu dengan akhlaq yang baik dalam kehidupannya”. Lanjut Pak Ustadz.

“Coba antum pikir, jika didepan rumah kita, ada sebatang pohon mangga yang sehat batangnya, lebat daunnya, tapi pohon mangga itu tidak berbuah, apa yang akan antum lakukan terhadap pohon mangga tersebut” Kata Pak Ustadz beranalogi.

“Tentu saya akan menebangnya, Pak? Jawab penulis

“Kenapa?” Tanya Pak Ustadz lagi

“Karena saya menanam pohon mangga itu untuk mendapatkan buahnya, sementara kalau pohon itu tidak berbuah, untuk apa? Mending saya tebang untuk dijadikan kayu bakar “ Jawab penulis.

“Itulah perumpamaan seseorang yang berilmu tapi tidak beramal dan berahlaq dengan ilmunya, ia tidak akan banyak bermanfaat bagi orang lain, seperti pohon mangga tadi, seorang yang berilmu tapi akhlaqnya masih jelek, ia hanya akan menjadi kayu bakar” Jelas Pak Ustadz.

Akhlaq berasal dari kata “Khuluq” yang berarti budi pekerti/karakter, kebiasaan dan perangai, yang secara terminologis didefiniskan bahwa Akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwa tanpa adanya berbagai pertimbangan, tanpa paksaan, spontan sehingga membentuk pribadi seseorang tersebut.

Agama (Islam) adalah akhlaq; “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” (HR Bukhari), maksudnya bahwa risalah Islam yang dibawa Baginda Rasulullah bertujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlaq berdasarkan syari’at al qur’an yang agung.

Lalu bagaimana kesempurnaan akhlaq itu bisa terwujud?

Akhlaq adalah buah dari ibadah yang dilaksakan dengan ilmu dan iman yang benar, seperti shalat, “shalat adalah ibarat pohon ibadah, sementara mencegah perbuatan keji dan munkar adalah buahnya” sebagaimana digambarkan Allah dalam ayat berikut;

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al ankabut:29)

Pun demikian dengan ibadah-ibadah lainnya, shaum adalah pohon ibadah, dan taqwa adalah buahnya, Zakat adalah pohon ibadah, sifat dermawan adalah buahnya, ke baitullah adalah pohon ibadah, haji mabrur adalah buahnya.

Ibadah apapun yang kita lakukan tanpa menghasilkan sesuatu yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan kita secara nyata adalah ibarat pohon tanpa buah, dan hanya akan menjadi kayu bakar.

Kalau tidak agama yang tidak disertai akhlaq, maka sebaliknya tidak ada akhlaq yang mulia bagi mereka yang tidak beragama.

Agama dan syari;at adalah sekumpulan pedoman atau buku panduan untuk membentuk manusia berakhlaq, dan hanya dengan mengikuti syari;at dan agama dengan benar sajalah akhlaq mulia itu akan terbentuk.

Kalau kita menyaksikan orang tidak beragama kemudian “berakhlaq mulia”, itu adalah bohong, dan tidak lebih dari pandangan mata kita yang tertipu. Kadang kita dengar orang kafir baik hati, orang tak shalat tidak sombong,orang yang tidak pernah bayar zakat malah kaya, orang yang tidak puasa juga tidak apa-apa, itu adalah pandangan mata kita, karena kita sama sekali tidak mengetahui dibalik kebaikan hati sikafir itu adalah tipu daya setan untuk menguji iman kita, dibalik orang yang tidak shalat itu tidak sombong ada simpul-simpul setan yang siap menjerat kita, dibalik orang kaya yang tidak bayar zakat itu ada perangkap setan berupa kekikiran terhadap kita dan dibalik orang yang tidak puasa itu tidak apa-apa itu ada sebuah lubang yang siap menelan kita kedalam jurang dosa apabila kita tertipu dan terperdaya olehnya.
Setan mengemas semuanya dengan sangat baik, karena memang itu adalah tugasnya, dan tugas kita jangan sampai tertipu dengan kemasan yang dibuat setan, dan bahwa orang yang beragama yang benar adalah mereka yang mengutamakan akhlaq dan akhlaq adalah buah dari keberagamaan yang dilaksanakan secara benar.

Apa tolok ukur kita dalam menilai kebaikan “akhlaq seseorang?


21. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Suri teladan dan tolok ukur “kebenaran” Akhlaq yang baik adalah Rasulullah, karena beliau adalah panutan yang sudah digaransi oleh Allah tentang kebenaran dan keluhurannya.
tapi khan Rasul sudah tidak ada?

Maka bertanyalah pada al qur’an, karena akhlaq beliau adalah Al qur’an; seperti yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Siti Aisyah ra.

Berikut sepenggal kisah keteladan dan keluhuran akhlaq Rasulullah;

Dalam sebuah riwayat diceritakan ketika baginda Nabi membawakan barang bawaan seorang perempuan tua yang sangat kerepotan dengan barang bawaannya. Nabi ketika itu membawa bagian terberat dari barang bawaan si wanita tua. Disepanjang perjalanan, wanita tua itu selalu mengatakan;

“Hai tuan, anda harus berhati-hati dengan orang yang bernama Muhammad, karena dia seorang tukang sihir dan pendusta, maka jika engkau bertemu dengannya, maka berhati-hatilah terhadap tipu daya....” dan masih banyak lagi cerita si wanita tentang “kejelekan” akhlaq nabi. Hingga ketika baginda Rasul sampai dirumah si wanita tua dan mennrunkan barang bawaanya, wanita tua itu mengucapkan terima kasih atas pertolongannya dan menanyakan siapa namanya,

“Saya muhammad nek....” Jawab Baginda Rasul tenang. Betapa wanita tua itu terkejut bukan kepalang, karena orang yang ia jelek-jelekan sepanjang perjalanan tadi, adalah justru manusia mulia yang telah menolongnya, ia pun menangis dan masuk islam.

Dalam riwayat lain, Baginda Rasul setiap hari menyuapi seorang Yahudi yang buta matanya. Makanan Yahudi itu selalu dihaluskan terlebih dulu sebelum nabi menyuapinya. Setiap hari hal ini dilakukan Baginda Rasul, dan setiap hari pula Yahudi yang buta itu mengata-ngatai nabi dengan perkataan yang tidak benar seperti halnya wanita tua tadi, hingga baginda Rasul meninggalpun si Yahudi tidak tahu bahwa orang yang menyuapinya setiap hari itu adalah Baginda rasul.

Kebiasaan nabi yang menyuapi Yahudi yang buta ini kemudian diteruskan oleh Abu Bakar Shidiq, karena beliau ingin meniru keluhuran akhlaq nabi. Abu Bakar setiap hari pergi kerumah si Yahudi untuk melakukan hal yang sama dengan yang pernah dilakukan oleh nabi.

Tapi satu kebiasaan nabi yang luput dari perhatian Abu Bakar adalah nabi selalu menghaluskan makanan si Yahudi sebelum menyuapinya, sehingga si Yahudi itu berkata;

“Kenapa sekarang makanan ini tidak dihaluskan dulu?” Pasti engkau bukan orang yang biasa menyuapiku setiap hari, ia sangat baik hati dan luhur budi, sehingga tanpa aku minta pun ia datang menyuapiku dengan menghaluskan makananku terlebih dulu, lalu siapakah engkau?” Tanya Yahudi itu.

Abu Bakar berurai air mata mendengar penjelasan yahudi tersebut, ia merasa bahwa kebaikan yang dilakukannya jauh sekali dari apa yang pernah dilakukan nabi, dengan terisak ia menjawab;

“Saya Abu Bakar, kek, sementara orang yang menyuapimu dulu adalah Muhammad bin Abdulah......., sekarang manusia mulia itu telah berpulang ke rahmatullah, dan aku ingin meniru akhlaqnya yang luhur, namun seperti katamu tadi, aku tidak seperti beliau.....” Jawab Abu Bakar terbata-bata.

Yahudi buta tadi terkejut bukan kepalang mendengar penjelasan Abu Bakar bahwa orang yang selama ini menyuapinya adalah Muhammad Rasulullah yang selama ini ia kecam dan dijelek-jelekan, end toh nabi tetap berlaku baik terhadapnya.

Ia menangis menyadari kekeliruanya selama ini, dan diakhir riwayat Yahudi itu berikar Syahadat sebagai tanda keislamannya.

Masih banyak perilaku Rasul yang sangat mulia, seperti ketika beliau berjalan di Thaif dan beliau dilempari dengan batu oleh penduduknya hingga berdarah, namun ketika Malaikat Jibril menawarkan bantuan untuk menghancurkan penduduk Thaif tersebut, beliau melarangnya dan justru mendo’akan agar orang-orang yang tidak mengetahuii kebenaran risalahnya tersebut mendapat hidayah dari Allah swt.

Pun ketika Futhul Mekkah, beliau sama sekali tidak dendam terhadap orang dan kaum yang telah memusuhi dan melarang dakwahnya, yang keluar dari bibirnya yang mulia justru tebaran perkataan kebebasan dan kedamaian bahkan terhadap mereka yang memusuhinya sekalipun.

Ditengah ketakutan kaum quraisy terhadap pasukan kaum muslimin, Rasulullah (SAW) bertanya kepada orang-orang Quraisy: "Apakah yang kalian kira akan kuperbuat terhadap kalian pada hari ini?" Mereka berkata, "Kebaikan, sebab engkau adalah kerabat kami yang berbudi luhur." Sampai disini, Rasulullah (SAW) mengatakan kepada mereka," Akan kuperlakukan kalian sebagaimana halnya Nabi Yusuf (AS) memperlakukan saudara-saudaranya." Dan Rasulullah (SAW) menyatakan pemberian maafnya yang begitu besar, beliau pun membacakan kalimat maaf Nabi Yusuf (AS);Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, (Yusuf:92)

Dengan kata lain, Nabi (SAW) mengatakan, "Kalian bebas dari segala tuntutan. Tak seorangpun akan membahayakan kalian pada hari ini." Betapa tak ada contoh lain dalam sejarah kehidupan manusia, sebuah pemberian maaf yang begitu besar kepada musuh yang sangat haus-darah.

Subhanallah, betapa luhur dan agung akhlaq Baginda Rasul mulia itu.

Dan tugas kita adalah kalaupun kita tidak atau belum bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam ahlaq kita, setidaknya kita bisa menghargai dan membalas jasa orang lain dengan hal yang sepadan, syukur kalau kita bisa membalas kebaikan itu dengan hal yang lebih baik;

86. Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (An nissa:86)

Jelas bedanya pohon yang menghasilkan buah dengan pohon yang rindang tanpa buah, jelas bedanya antara orang yang beragama dengan sebaliknya, dan luhur tidaknya akhlaq-lah yang membedakannya.

Wassalam

April 16, 2007

MAS GIMIN, SEBUAH KISAH NYATA

Hampir pada setiap waktu shalat berjamaah dimasjid Mifthahusallam, penulis menemukan sesosok pria bertubuh tinggi besar berada ditengah-tengah jama’ah yang hadir. Pria setengah baya itu selalu nampak khusyu dalam shalatnya, dan sampai hari ini pun penulis belum berkesempatan untuk berbicara langsung dengan beliau, karena beliau selalu melanjutkan aktivitas dzikir ba’da shalatnya dengan tafakur yang demikian intens, sehingga penulis khawatir mengganggu tafakur beliau tersebut.

Sekian waktu berlalu, dan selama itu pula penulis hampir selalu bertemu beliau dimasjid tersebut dengan kondisi seperti diatas. Rasa penasaran inilah yang kemudian mendorong penulis untuk bertanya kepada Pak Ustadz pada suatu kesempatan;

“Pak Ustadz, Bapak itu siapa ya?” Tanya penulis sambil menyembutkan ciri-ciri jama’ah tetap masjid tersebut, yakni membawa motor honda dan hampir selalu membawa putranya ketika shalat berjamaah dimasjid.

“Oooh, itu Mas Gimin” Jawab Pak Ustadz.

“Siapa dia Pak? Tanya penulis lagi.

Pak Ustadz kemudian bercerita tentang awal perkenalannya dengan Mas Gimin tadi yang terjadi sekitar tahun 1999 lalu.

Beliau dulu adalah juru masak di restoran depan itu” Kata Pak Ustadz sambil menunjuk sebuah rumah makan yang tepat berada didepan masjid kami. Restoran itu dulu dikenal sangat ramai pada malam hari karena restauran itu menyediakan berbagai fasilitas kehidupan malam bagi para pengunjungnya.

Masyarakat sekitar yang gerah dengan aktivitas rumah makan yang sudah beralih fungsi tersebut, kemudian mendatangi Pak Ustadz untuk meminta pendapat tentang upaya menghentikan kegiatan restauran yang sudah dianggap keterlaluan.

Beberapa orang pemuda desa setempat kemudian mendatangi Pak Ustadz, mereka meminta izin dan pendapat pada pak Ustadz untuk “menyerbu” restoran itu.

“Jangan dulu, nanti coba saya minta pendapat pada Pak Kyai” Kata Pak Ustadz.

Atas nasehat dari Pak Kyai, guru Pak Ustadz tadi, pak ustadz kemudian melakukan upaya pendekatan kepada pemilik restauran dan para pegawainya sebagai upaya mengingatkan dan menyadarkan mereka, bukan dengan cara kekerasan yang diusulkan para pemuda tadi.

Usaha inilah yang kemudian mempertemukan Pak Ustadz dengan Mas Gimin, seorang juru masak paling senior dirumah makan tersebut, yang menjadi andalan sang pemilik rumah makan untuk menjamu para tamunya dengan masakan yang lezat.

Setelah beberapa kali pertemuan dengan Pak Ustadz, ada beberapa orang karyawan rumah makan tersebut yang menyadari bahwa ditempatnya bekerja terdapat benih-benih kemaksiatan dan dosa, termasuk salah satu diantaranya adalah Mas Gimin.

“Pak Ustadz, saya menyadari bahwa tempat ini kurang berkah, tapi bagaimana ya Pak, saya tidak punya usaha lain untuk menghidupi anak istri saya, kalau saya keluar dari rumah makan tersebut, bagaimana saya menafkahi anak istri saya?” Kata Mas Gimin menyatakan rasa gundahnya pada Pak Ustadz.

Mas Gimin percaya bahwa rezeki Allah yang mengatur?” Tanya pak Ustadz memaklumi keberatan Mas Gimin.

“Saya percaya Pak” Jawab Mas Gimin.

Mas, saya pun tidak tahu usaha apa yang harus mas Gimin lakukan seandainya mas Gimin keluar dari rumah makan itu, tapi kalau kita yakin bahwa Allah akan memberikan jalan keluar kepada orang-orang yang ikhlas berhijrah meninggalkan kemunkaran, Insya Allah, Allah akan memberi jalan keluar pada Mas Gimin, yang penting sekarang Mas keluar dulu dari lingkungan yang berbau maksiat tersebut dengan niat lillahita’ala...” Papar Pak Ustadz.

Selanjutnya, setelah beberapa waktu lamanya, Mas Gimin diberikan kekuatan oleh Allah untuk keluar dari rumah makan yang selama ini menjadi sandaran penghasilan untuk menafkahi keluarganya, meskipun pemilik rumah makan tersebut mengiming-imingi Mas Gimin dengan kenaikan gaji yang lebih besar.

Setelah keluar dari rumah makan tersebut, Mas Gimin hanya mengandalkan sedikit tabungannya untuk menafkahi keluarganya, ia tidak langsung menemukan usaha apa yang harus dikerjakan untuk menutupi kebutuhan dapurnya.

Akhirnya, Mas Gimin memutuskan untuk membuat gerobak dorong dan dengan bekal keahlianya memasak selama ia bekerja dirumah makan, ia berjualan nasi goreng dipinggir jalan.

Usaha jualan nasi goreng yang dirintis Mas Gimin tidak langsung laku, beberapa lama ia sedikit mendapat ujian dari Allah dengan niat tulusnya untuk keluar dari lingkaran kemunkaran. Dan selama itu pula Mas Gimin selalu menyempatkan diri berjamaah dimasjid sambil terus meminta pendapat dan saran dari Pak Ustadz, hingga akhirnya penulis bertemu beliau dimasjid itu.

Setelah sekian lama berjualan nasi goreng dipinggir jalan, Nasi goreng mas Gimin mulai dikenal dan singkat cerita usahanya berkembang. Mas Gimin kemudian membuka warung untuk dagangannya.

Janji Allah kemudian mulai nampak bagi mereka yang benar-benar sabar dan istiqomah dalam berjuang dijalannya. Warung itupun berkembang dan sekarang sudah mempunyai cabang ditempat lain.

Mas Gimin tidak lagi berjualan dipinggir jalan dengan gerobak dorongnya, ia sekarang sudah memiliki warung dengan beberapa orang pegawai yang bekerja diwarung makannya, penghasilannya pun sekarang lumayan.

Nafkah keluraga yang dulu menjadi salah satu alasan keberatan mas Gimin untuk keluar dari rumah makan tersebut mulai tertutupi dengan penghasilannya yang sekarang, bahkan mungkin jauh lebih besar dari penghasilannya ketika ia bekerja sebagai juru masak dirumah makan.

Hari ini, pagi tadi, penulis berpapasan dengan Mas Gimin, dan sekali lagi sebuah bukti kebenaran janji Allah dalam firman-Nya;


2. Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(At Thalaq:2)

3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(At Thalaq:3)

Mas Gimin sekarang, dengan beberapa warung yang dikelolanya, sudah menaiki mobil Avanza sebagai buah jerih payahnya dan Insya Allah merupakan balasan dari Allah atas keberanianya meninggalkan kemunkaran, atas kesabarannya menjalani kehidupan yang benar dan atas istiqomahnya menjalankan kasab dan syari;atnya yang tidak melanggar tata nilai dan syari’at yang digariskan.

Ada banyak cerita sejenis yang kita lihat disekitar kita, baik itu melalui sinetron atau surat kabar, dan kisah ini penulis temukan dari seorang rekan jama’ah masjid yang hampir setiap hari bertemu dimasjid.

Adakah kita masih meragukan janji Allah?

100. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nissa:100)

Perhatikan lagi, “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak”, dan meninggalkan tempat yang dipenuhi kemaksiatan meskipun disana adalah ladang usaha kita, adalah sebuah hijrah hakiki yang akan dibalasi oleh Allah dengan Rezeki yang banyak, salah satunya adalah kisah diatas tadi.

Meninggalkan kebiasan buruk, seperti kebiasaan mengakhirkan waktu shalat dengan alasan kesibukan adalah hijrah, yang insya Allah akan dibalas oleh Allah dengan rezeki yang jauh lebih berkah dan bermanfaat.

Meninggalkan sifat kikir karena takur miskin, kemudian berhijrah untuk menjadi ahli sedekah dan zakat, insya Allah akan dibalas oleh Allah dengan harta yang bersih lagi bermanfaat.

Dan masih banyak tempat hijrah; niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas, dengan niatan yang tulus ikhlas karena Alla semata, Insya Allah kita akan mendapatkan “rezki yang banyak” sebagai balasan atas keikhlasan kita menjauhi apa yang dilarang Allah dan menegakan apa yang diperintahkan-Nya.

Semoga kita menjadi Mas Gimin yang lain, yang diberi kekuatan oleh Allah untuk dapat meninggalkan tempat-tempat maksiat, baik itu tempat usaha kita, atau tempat-tempat maksiat yang berada diruang hati kita.

Ada tempat maksiat diruang hati kita?

Kemusyrikan adalah tempat maksiat yang berada diruang hati

Kekufuran adalah tempat maksiat yang berada diruang hati

Kesombongan dan sifat takabur adalah tempat maksiat diruang hati

Maka dari itu terangi ruang hati kita dengan ilmu dan keimanan, agar kita bisa dengan jelas membedakan mana maksiat dan mana syari’at.

Subhanallah, subhanakaallanhuma laa ilaha illa anta, astaghfiruka waatubuhi ilaka.

Wassalam

April 16, 2007

Friday, April 13, 2007

NIFAQ, DURI DALAM DAGING


Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk, seorang budak pada saat beliau akan memimpin shalat. Pembunuhan ini konon dilatarbelankangi dendam pribadi Abu Lukluk terhadap Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M.

Utsman bin Affan (bahasa Arab: عثمان بن عفان) (sekitar 574 - 656) adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Usman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Dialah yang berjasa membeli sumur dari orang Yahudi yang memonopoli air di Madinah. Beliau juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur'an. 'Ustman bin Affan dibunuh oleh orang-orang khawarij.

Ali Bin Abi Thalib meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah

Umar Ibnu Khatttab, seorang yang gigih dan gagah perkasa dalam menegakan kejayaan Islam, justru wafat karena keculasan seorang munafik yang bernama Abu Lukluk tadi, bukan pada saat perang dengan musuh dalam perang badr atau perang-perang yang beliau ikuti demi menegakan agama Allah.

Ustman Ibnu Affan, seorang Dermawan dan khalifah yang sangat berjasa besar dalam pembukuan mushaf al qur’an seperti yang kita kenal sekarang, seorang pejuang yang turut diberbagai medan pertempuran, justru diwafatkan Allah lewat tangan orang-orang munafik dari kaum Khawarij.

Ali bin Abi Thalib, seorang cendekiawan Islam yang dikenal ahli dalam strategi militer, pahlawan yang turut dalam perang badar, perang khandaq dan juga berbagai medan perang lainya, juga diwafatkan Allah melalui tangan seorang munafik bernama Abdrrahman bin Muljam.
Kegigihan dan kegagahan yang diwakili oleh Umat Bin Khattab, kedermawanan yang terdapat dalam diri Ustaman bin Affan serta kecendekiawanan dan patriotisme yang tergambar dalam diri Ali Bin Abi Thalib, semuanya harus berakhir oleh kemunafikan yang diwakili oleh para pembunuh generasi terbaik Islam tersebut.

Munafik, betapa sifat ini sangat berbahaya, karena mereka ibarat bunglon yang bisa menyerupakan dirinya dengan lingkungan sekitarnya, ketika ia berkumpul dengan orang mukmin, mereka berlaku layaknya seperti orang mukmin, tapi dibalik itu mereka adalah orang-orang yang paling jahat lagi keras permusuhannya dengan orang mukmin;

14. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami Telah beriman". dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka[25], mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."(Al Baqarah:14)

Mereka bisa menyamar sebagai seorang budak, seperti Abu Luklu, yang kemudian menikam Umar Ibnu Khattab dari belakang, mereka juga bisa menyamar seperti Abdrrahman bin Muljam, seorang munafik yang lebih menyerupai orang alim, berjubah, berjanggut bahkan konon keningnya tampak hitam bekas sujud, tapi toh mereka tetap setan yang berbahaya bagi kegigihan, bagi kedermawanan, bagi kecerdasan bahkan mereka adalah kelompok yang mampu membuat perang dengan muslihatnya, mereka mampu membuat kerusakan pada peradaban manusia dengan kelicikannya.

Pantas jika Allah memerintahkan nabi dan kita untuk memerangi orang dan sifat munafik ini, sebagaimana firman-Nya;
73. Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.(At Taubah:73)

Nifaq ibarat duri dalam daging yang harus segera dicabut agar tidak menimbulkan rasa nyeri yang berkepanjangan. Seperti ayat diatas, kita harus mengikrarkan “perang” terhadap orang-orang munafik dan juga sifat-sifat nifaq yang mungkin masih menancap bak duri dalam hati dan diri kita yang mengaku sebagai orang beriman.

Lalu siapa yang termasuk kategori ini?

56. (yaitu) orang-orang yang kamu Telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).

61. Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu." dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.
67. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. mereka Telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.
[648] Maksudnya: berlaku kikir

79. (orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.(At Taubah:79)

Pertama; mereka yang mengkhianati janjinya

Kedua, mereka yang menyakiti nabi dengan memperolok-oloknya

Ketiga, mereka menyeru pada kemunkaran dan melarang yang makruf

Keempat, mereka yang menggemgam tangannya karena kikir

Kelima, orang yang suka memperolok orang mukmin

Keenam; bahkan ada diantara mereka yang mendirikan masjid, demi menutupi kedok mereka yang hendak menimbulkan kemudharatan dikalangan umat, sebagaimana ayat berikut;

107. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang Telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu[660]. mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).(At Taubah:107)

[660] yang dimaksudkan dengan orang yang Telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu ialah seorang pendeta Nasrani bernama abu 'Amir, yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya dari Syiria untuk bersembahyang di masjid yang mereka dirikan itu, serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. akan tetapi kedatangan abu 'Amir Ini tidak jadi Karena ia mati di Syiria. dan masjid yang didirikan kaum munafik itu diruntuhkan atas perintah Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan wahyu yang diterimanya sesudah kembali dari perang Tabuk.

Mari kita kobarkan semangat jihad untuk memerangi sifat nifaq yang mungkin masih bersemayam didada kita, dengan memenuhi janji kita, baik itu janji kita kepada Allah sebagaimana yang kita baca pada setiap shalat kita, “Inna shalati wanusuki wamayahya wamamati lillahita’la”, dengan tidak menyekutukan Allah baik secara uluhiyah maupun secara rubbubiyah, dan juga dengan menepati janji kita kepada sesama manusia.

Mari kita kobarkan semangat jihad untuk memerangi mereka yang memperolok-olok nabi, mereka yang menyeru kepada kemunkaran, mereka yang melarang pada kemakrufan, mereka yang kikir dalam menafkahkan rezekinya dijalan Allah serta mereka yang membangun masjid untuk tujuan memecah belah umat ini.

Bersihkan hati dan jiwa kita dari sifat nifaq dan berjihad melawan kemunafikan.

Wassalam

April 13, 2007