Friday, December 31, 2010

HATI-HATI PERANGKAP TAHUN BARU

“Nak Mas tidak masuk kerja…?” Tanya Ki Bijak seusai menunaikan shalat jum’at”

“Kerja Ki, tapi hanya setengah hari, jadi ana bisa shalat jumat disini….” Jawab Maula.

“Kenapa kerjanya setengah hari Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Itu ki, dalam rangka menyambut tahun baru, sehingga kantor memperbolehkan karyawannya pulang setengah hari…” Kata Maula lagi.

“Memangnya Nak Mas mau ikut merayakan tahun baru..?” Tanya Ki Bijak.

“Ya tidak ki…, ana ikut pulang setengah hari karena memang badan ana agak kurang sehat ki…, sekalian ana mau ketemu Aki disini….” Kata Maula.

“Syukurlah Nak Mas….., Aki fikir Nak Mas akan ikut-ikutan merayakan tahun baru yang sama sekali tidak ada faedahnya bagi kita….” Kata Ki Bijak.

“Iya ki…., tapi kenapa ya ki, banyak orang islam yang ikut-ikutan merayakan tahun baru, pada konvoi, pada berebut pergi kepuncak, pada niup terompet, bahkan tidak jarang banyak diantara orang islam yang merayakan baru dengan cara-cara yang melanggar syariat, mereka brpesta pora, menghambur-hamburkan uang, minum-minuman keras, pergaulan bebas dan lainnya….?” Tanya Maula.

Ki Bijak menghela nafas panjang, ia nampak prihatin dengan apa yang Maula katakan barusan, benar memang banyak diantara umat islam, bukan hanya anak-anak muda, tapi juga orang dewasa yang ikut larut dalam merayakan malam pergantian tahun,

“Ya Nak Mas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, sebagian umat islam memang telah terperangkap kedalam jebakan yang ditebar oleh yahudi dan nasrani yang menghendaki umat ini hancur…..” Kata Ki Bijak.

“Perangkap ki….?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas…., dalam surat Al Baqarah ayat 120 Allah dengan tegas memperingatkan kita bahwa yahudi dan nasrani tidak akan senang terhadap kita hingga kita mengikuti milah mereka, Nak Mas ingat ayatnya….?” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki……..” Kata Maula sambil membacakan ayat dimaksud;


120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

“Kalau dulu, dizaman Nabi ketidak sukaan itu mereka tunjukan dengan berkomplot untuk mengalihkan arah kiblat kaum muslimin sesuai dengan kiblat mereka, maka sekarang ini, kaum yahudi dan nasrani berkomplot untuk mengalihkan cara-cara hidup kaum muslimin hingga menyerupai tata cara kehidupan mereka….., milah, dalam ayat ini bisa diartikan tata cara atau pola hidup mereka, yang salah satunya adalah dengan memalingkan dan menjauhkan umat islam dari mengingat Allah, menjauhkan umat islam dari ajaran kitab sucinya, menjauhkan umat islam dari sunnah nabinya, seperti yang terjadi dihampir setiap pergantian tahun seperti sekarang ini Nak Mas….” Kata Ki Bijak

“Hanya sayangnya, hanya sebagian kecil saja umat islam yang menyadari bahwa mereka sebenarnya tengah digiring memasuki perangkap yahudi dan nasrani ini, umat islam tidak mau merujuk kitab sucinya yang telah mengingatkan mereka bahwa mengikuti tata cara mereka adalah sebuah kebodohan, umat islam tidak mau mengikuti peringatan nabinya bahwa barang siapa yang mengikuti suatu kaum, maka ia termasuk kedalam golongan kaum tersebut, kalau kita mengikuti gaya hidup yahudi dan nasrani, maka kita akan termasuk kedalam golongan mereka, ini yang mereka tidak mau menyadarinya…..” Kata Ki Bijak,

“Benar ki, lagi pula kalau difikir pakai akal sehat, apa sih yang didapat dengan merayakan tahun baru seperti itu…?, bukan hanya uang akan habis, bukan hanya waktu akan terbuang, tapi juga sangat mungkin kita akan terjerumus kedalam berbagai kedalam perangkap kemaksiatan yang banyak bertebaran selama merayakan pergantian tahun, mabuk, minum, berfoya-foya dan lain sebagainya…” Tambah Maula.

“Iya Nak Mas, orang dizaman kita ini mengaku orang intelek, mengaku orang yang rasional, mengaku orang yang berakal, sehingga mereka mengklaim masa sebelum mereka adalah masa primitive, tapi justru kaum yang mengaku intelek dan berakal ini, tidak mau menggunakan akal dan intelektualitasnya untuk berfikir tentang suatu manfaat dan mudharat dari apa yang mereka lakukan……, bahkan banyak diantara perilaku mereka yang jauh lebih primitive dari kaum yang mereka klaim primitive, seperti minum khamr, itulah perbuatan primitive yang dilakukan oleh kaum jahiliyah, dan setelah islam datang, mereka kemudian meninggalkannya, tapi sekarang justru ditengah-tengah kehidupan masyarakat islam, meminum minuman keras malah menjadi budaya…..” Kata Ki Bijak.

“Belum lagi pergaulan bebas, yang kemudian menyebabkan kehamilan diluar nikah, perbuatan inipun adalah perbuatan jahiliyah….., yang oleh masyarakat jahiliyah sendiri sudah lama ditinggalkan setelah datangnya islam, tapi sekarang justru kembali menjamu dan berkembang……” Tambah Ki Bijak.

“Iya ki…., modern apanya ya ki, kalau orang minum minuman keras, pergaulan bebas, berfoya-foya itu justru perbuatan orang jahiliyah ya ki…” Kata Maula.

“Makanya Nak Mas tak perlu menanggapi kalau ada orang yang mengatakan mereka yang tidak merayakan tahun baru itu orang kuno, itu hanya ungkapan orang bodoh yang mengaku pintar saja Nak Mas, karena sesungguhnya merekalah yang meniru cara-cara hidup orang-orang bodoh dijaman jahiliyah dulu….” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana sih tidak peduli dengan mereka ki………., kalaupun ada yang ngomong seperti itu, ya seperti Aki bilang tadi, cuekin aja…..” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, kita mulai dari diri kita, kita mulai dari keluarga kita, kita mulai memberikan masukan dan pengertian pada lingkungan kita bahwa merayakan tahun baru dengan cara-cara seperti itu, tidak layak untuk dilakukan oleh mereka yang mengaku tuhanya Allah, kitabnya Al Qur’an, Nabinya Muhammad Saw….., semoga dengan pemahaman dan pengertian itu saudara-saudara kita menyadari bahwa merayakan tahun baru dengan cara yahudi dan nasrani adalah sebuah kerugian……, kita rugi didunia karena telah menghambur-hamburkan uang, tenaga dan waktu kita, pun kita rugi diakhirat jika kita kelak digolongkan kedalam golongan yang merayakan tahun baru dengan cara-cara kebathilan……..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki…., lebih baik ana kesini nanti malam ki, Aki ingin lebih banyak mendengar nasihat dan petuah Aki daripada keluyuran tidak karuan ki……” Kata Maula.

“Silahkan Nak Mas, Nak Mas bisa datang setiap saat ketempat Aki, semoga Aki sehat dan diberi tambahan ilmu oleh Allah, sehingga bisa bertukar fikiran dengan Nak Mas……” Kata Ki Bijak lagi.


“Iya ki, ana pamit dulu……., terima kasih ki…..” Kata Maula berpamitan.

Wassalam

December 31, 2010

Wednesday, December 29, 2010

PELAJARAN HARI INI: JANGAN MENGEMUDI SAAT MARAH


“Masya Allah…., bagaimana kejadiannya Nak Mas……?” Tanya Ki Bijak, menanggapi cerita Maula mengenai mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan.

“Kejadiannya berlangsung sangat cepat Ki, ana hanya tahu ketika tiba-tiba mobil yang ana tumpangi sedikit oleng, begitu ana lihat kedepan, ternyata sebuah mobil colt diesel memotong jalan, sopir mobil ana mungkin kaget, sehingga secara reflex membanting stir kekanan sehingga membentur pembatas jalan dengan keras, mobil sempat miring kekanan, ban dan peleknya hancur….., Alhamdulillah sopirnya cukup tenang, sehingga mobil tidak terbalik, dan hanya menggesek pembatas jalan sekitar 20 meteran ki…..” Kata Maula menceritakan pengalamannya.

Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar penuturan Maula; “Syukurlah Nak Mas tidak kurang suatu apa…..” Katanya kemudian.

“Alhamdulillah ki……, tadi juga teman-teman ana yang berada dibelakang mobil yang ana tumpangi pada telpon, mereka khawatir dengan keadaana ana, karena memang benturannya keras sekali…., sepertinya sisopir itu kurang konsentrasi atau gimana, karena dari sebelum masuk tol pun, ana perhatikan pak sopir ini marah-marah pada keneknya, katanya penumpangnya kurang satu lagi, padahal didalam sudah penuh……” Kata Maula lagi.

“Ya Nak Mas, kecelakaan memang tidak ada yang tahu kapan dan dimana akan terjadi, tapi mendengar cerita Nak Mas tadi, ada sebuah pelajaran yang bisa kita petik dari apa yang Nak Mas alami tadi pagi…..” Kata Ki Bijak.

“Disetiap kejadian memang ana yakini ada sejuta hikmah dan selaksa pelajaran Ki, tapi untuk kejadian tadi pagi, kira-kira pelajaran apa ya ki….?” Tanya Maula.

“Pelajarannya ‘jangan mengemudi saat kita marah’ Nak Mas….., seperti Nak Mas tadi katakan, pak sopir itu marah-marah sebelum masuk tol, dan kemarahan itulah yang mungkin mengurangi konsentrasinya dalam mengemudi…, dan dalam kondisi apapun, kemarahan tidak akan menambah apapun kecuali kerugian……” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, terlepas dari apa yang terjadi tadi adalah atas izin dan kehendak Allah, tapi secara syari’at, mungkin kemarahan itulah yang membuat pak sopir sedikit kehilangan konsentrasinya…..” Kata Maula.

“Ya Nak Mas….., dan lebih jauh lagi, jika kita analogikan, seorang sopir itulah ibarat seorang pemimpin, dimana ia diamanahi untuk membawa penumpangnya selamat sehingga sampai tujuan…., dan ketika pemimpin ini selalu marah-marah, selalu tidak konsentrasi, selalu ugal-ugalan, maka ia berpotensi memcelakakan banyak orang, bukan hanya dirinya, tapi juga orang-orang yang berada dalam kendaraan yang dikemudikannya….,

“Seorang presiden, adalah sopir bagi rakyat dan negaranya untuk menuju Negara yang adil makmur wa robbun ghofur….., sehingga tidak boleh kemudian seorang presiden mengemudikan kendaraan yang bernama ‘negara’ ini dengan marah-marah, dengan ugal-ugalan, karena sekali lagi, sekali ia salah perhitungan, maka kecelakaan bukan hanya akan menimpa dirinya sendiri, tapi juga seluruh rakyat dan Negaranya akan mengalami kerugian…..”

“Pun seorang gubernur….., pun seorang bupati/walikota, pun seorang camat, pun seorang lurah, pun seorang RT/RW……, mereka yang diamanahi jabatan seperti itu, hakekatnya diamanahi kendaraan untuk dikemudikan dengan baik, sehingga penumpang-rakyat- yang dipimpinnya bisa selamat sampai tujuan……” Kata Ki Bijak.

Maula terdiam, meresapi setiap kata yang terurai dari lisan bijak gurunya.

“Dalam lingkup keluargapun, seorang suami adalah sopir atau nahkoda bagi keluarganya, suami bertanggung jawab atas dirinya, suami bertanggung jawab atas istrinya, suami bertanggung jawab atas anak-anaknya, untuk bisa selamat didunia, dan selamat dari api neraka diakhirat kelak……”

“Lalu bagaimana mungkin seorang suami bisa mengemudikan atau menahkodai bahtera rumah tangga kalau ia sendiri pemarah…?, bagaimana mungkin ia bisa mendidik dan mengarahkan anak istrinya untuk berlaku santun sementara ia sendiri ugal-ugalan…..?”

“Diperlukan suami yang santun, mengerti peraturan (syariat), penyayang, pemaaf dan sabar untuk dapat menjalankan roda rumah tangga menuju keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diidamkan setiap keluarga…….” Tambah Ki Bijak.

“Benar ki……, ketika seseorang marah, maka tangan, kaki, mata dan konsentraisnya menjadi buyar ya ki…..” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, benar yang memegang kemudi adalah tangan, yang menginjak pedal gas dan rem adalah kaki, yang melihat jalan adalah mata, yang mendengar klakson adalah telinga, tapi jika hati kita diliputi kemarahan, maka fungsi dari panca indera tadi tidak akan maksimal…, seperti pak sopir yang membawa Nak Mas tadi pagi, matanya tidak mengantuk,tangan kakinya sehat, telinganya pun baik, tapi ketika hatinya sedang tidak nyaman, kondisi hati itulah yang akan tampak lewat anggota tubuhnya yang dhahir…….” Kata Ki Bijak lagi.

“Hati ya ki….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, hati inilah yang menggerakan anggota badan yang lain sesuai dengan kondisinya, jika hati baik, maka yang lain insya Allah baik, sebaliknya jika hatinya sedang tidak baik, pun dengan anggota tubuh lainnya sama, karenanya jagalah hati ini sebaik mungkin yang kita bisa….., termasuk menjaga hati agar tidak mudah marah…….” Kata Ki Bijak lagi.
“Bagaimana caranya ki, agar kita tidak mudah marah……?” Tanya Maula.

“Lembutkan hati dengan dzikrullah Nak Mas….., hati yang lembut, tidak akan mudah terpancing emosi, hati yang lembut, tidak akan mudah marah, karenanya perbanyaklah berdzikir kepada Allah agar kita diberi kelembutan hati…..”

“Yang kedua, ingatlah bahwa kemarahan itu datangnya dari syetan; syetan memprovokasi hati kita untuk marah dan meledak-ledak, dan setelahnya, syetan dengan gampang mengarahkan orang yang sedang marah untuk berbuat hal-hal yang melanggar perintah Allah, karenanya ketika marah, segeralah istighfar dan memohon perlindingan kepada Allah untuk mengusir syetan agar tidak mengganggu kita….”

“Yang Ketiga tentu kita harus senantiasa membangun kesadaran bahwa sekali lagi kemarahan tidak akan menambah apapun kepada kita kecuali kerugian…..; insya Allah ketika itu sudah kita lakukan, kita agar terhindar dari sifat-sifat pemarah yang merugikan itu…” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki…..” Kata Maula.

“Satu-satunya alas an yang membolehkan kita ‘marah’ adalah ketika kita melihat kemungkaran Nak Mas……, ketika kita melihat kemunkaran, kita harus ‘marah’, itupun dengan proporsi kemarahan yang benar, jangan membabi buta, tapi kemarahan yang disertai niat untuk merubah kemunkaran itu menjadi kebaikan……..” Kata Ki Bijak lagi.

“Sekarang Nak Mas istirahat saja dulu, sambil bertafakur untuk dapat mengambil hikmah dari apa yang Nak Mas alami pagi tadi….” Tambah Ki Bijak

“Iya ki, terima kasih…, Ya Rabb, semoga Engkau bukakan pintu hikmah dari setiap kejadian apapun, dan jadikanlah hamba menjadi abdiMu yang pandai mengambil hikmah dan pelajaran dariMu….” Kata Maula.

“Amiin….” Timpal Ki Bijak mengamini.

Wassalam

Desember 29,2010

Tuesday, December 28, 2010

BELAJAR DARI CARA BERPAKAIAN

“Kenapa ki….? Tanya Maula heran, demi melihatnya dengan tersenyum penuh arti.

“Masya Allah, Nak Mas kelihatan tampan sekali dengan setelan ini……” Kata Ki Bijak.

Maula tersenyum malu mendengar pujian gurunya, “Ini baju lama ki, hanya ana jarang mengenakannya….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, tapi memang padanan yang Nak Mas kenakan itu pantes sekali, warna dan coraknya sangat harmonis, antara atasan dan bawahan yang sangat serasi……,

“Dan seandainya keserasian dan keharmonisan seperti ini terjadi dalam kehidupan kita, niscaya kita akan mendapati indahnya kebersamaan……” Kata Ki Bijak, seperti biasanya menggunakan kiasan dalam menyampaikan sebuah nasehat pada Maula; dengan harapan apa yang disampaikannya bisa mengena dan berkesan dalam pada diri Maula, sehingga muridnya itu dapat mengaplikasikan nasehat yang disampaikannya.

“Ana masih belum mengerti ki….” Kata Maula.

Ki Bijak kembali memperhatikan setelah baju dan kain yang dikenakan Maula;

“Nak Mas perhatikan baju dan kain yang Nak Mas kenakan ini…., baju dan kainnya memiliki keharmonisan, warnanya penuh keserasian, perpaduan yang sangat indah, saling mengisi dan saling melengkapi…..,

“Pun dalam kehidupan keseharian kita Nak Mas, misalnya ditempat kerja atau kantor Nak Mas, betapa indahnya jika atasan (manager) dan bawahan (staf), bisa bersinergi, bisa saling mengisi, bisa saling menopang, saling hormat menghormati,saling menunjang, memiliki kesamaan visi, memiliki kesamaan pandangan, memiliki kesamaan tujuan, niscaya keharmonisan kerja akan terbangun dengan baik…..”

“Lain halnya jika baju yang Nak Mas kenakan ini, dipadankan dengan warna lain, misalnya atasananya terlalu terang, terlalu mentereng, atau terlalu ngejreng dalam bahasa anak muda sekarang, sementara bawahannya gelap, maka padannan seperti ini akan menampilkan citra yang berbeda dari yang nampak sekarang….”

“Pun dalam kehidupan keseharian kita, jika atasan hanya mau menang sendiri, jika atasannya bergaya otoriter, jika atasan tidak mau mengerti kesulitan dan keadaan bawahannya, maka yang akan terjadi adalah ‘perlawanan’ dari para bawahan, yang pada gilirannya, akan memudarkan keindahan sinergi dalam bekerja…….”

“Atau sebaliknya, kalau hanya atasannya saja yang baik, tapi bawahannya bekerja sendiri-sendiri, tidak mengindahkan perintah atasan, tidak mau berkomunikasi, tidak mau bekerja sama, maka yang akan terjadi adalah kesemrawutan dalam pekerjaan……..” Kata Ki Bijak menjelaskan.

Maula manggut-manggut setelah mengerti apa yang dimaksudkan gurunya; “Iya ya ki…., kalau atasan hanya bisa main perintah, hanya bisa menyalahkan bawahan, tidak mau bertanggung jawab, seperti baju yang robek ya ki….., pasti tidak akan kelihatan indah….” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, karena seorang atasan harusnya mampu menutup ‘aurat’ dan aib apapun yang terjadi dibawah arahannya, ketika bawahan melakukan kesalahan, maka kewajibannyalah untuk ikut bertanggung jawab dan memperbaikinya, bukan justu menguak kesalahan anak buahnya lebih lebar, karena mengorek kesalahan bawahan, sama artinya dengan membuka aibnya sendiri…….” Kata Ki Bijak.

“Pun bawahan, mempunyai kewajiban untuk menjaga nama baik dirinya, nama baik teman-temannya, nama baik atasannya, bahkan juga harus menjaga citra dan nama baik department dan perusahaannya……, tidak bisa kemudian seorang bawahan berfikiran sempit, dia hanya berfikir yang penting dia kelihatan kerja, yang penting kerjaan dia selesai, tanpa mengindahkan teman dan atasannya, ini juga salah, hal ini juga tidak akan membuat suasana kerja berjalan harmonis, persis seperti setelan baju dan kain yang tidak selaras…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Waah…., Aki seperti seorang designer handal…., ana setuju ki, baik itu setelan pakaian atau pun ‘setelan’ pekerjaan, dibutuhkan padanan yang harmonis, yang serasi, yang saling mengisi dan menunjang, sehingga menampilkan citra keindahan yang enak dipandang ya ki…..” Kata Maula.

“Ya, seperti padanan yang Nak Mas kenakan ini, terlepas dari siapapun yang melihatnya, padanan seperti ini memang indah dan pantas untuk dilihat dan dipandang……, dan memang seharusnya pakaian seperti inilah yang kita kenakan ketika kita hendak menghadap Allah……, bukan sembarang pakaian, yang kadang asal saja, pakai kaos oblong, pakai jelana jeans belel, rasanya tidak patut kalau kita menghadapa Dzat yang telah menciptkakan kita dengan kondisi seperti itu…..” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kalau mau ketemu pejabat saja, kita mesti pakai pakaian yang bagus, kenapa justru ketika hendak bertemu Allah kita mengenakan pakaian ala kadarnya, padahal kalau ke undangan atau kepesta, pakaian yang dikenakan bagus-bagus………..” kata Maula menambahkan.

“Sikap seperti itulah yang harus kita ubah Nak Mas, tidak ada larangan mengenakan pakaian yang bagus untuk bertemu pejabat, tidak ada pantangan untuk mengenakan pakaian mahal ketika pergi undangan, pun seharusnya kita akan lebih berhati-hati dalam memilih dan mengenakan pakaian ketika kita hendak menghadap Allah, karena selain masalah etika kita kepada Allah, berpakaian dengan baik ketika kita kemasjid adalah sebuah perintah Allah yang mestinya kita jaga dan kita junjung tinggi…..” Kata Ki Bi Bijak sambil mengutip ayat Al qur;an:

Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepada kalian Pakaian untuk menutup aurat kalian dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, Mudah-mudahan mereka selalu ingat". (QS. Al A'raaf [7]: 26)

"Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al A'raaf [7]: 31)

“Subhanallah, betapa sempurna ayat-ayat_Mu ya Rabb……; terima kasih Ki,semoga ana bisa senantiasa mengenakan pakaian dhahir terbaik dan pakaian taqwa juga yang terbaik ya ki….” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas……” Kata Ki Bijak.

Wassalam

Desember 27,2010

Monday, December 27, 2010

BELAJAR DARI KEKALAHAN

“Gimana nonton bolanya Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak.

“Payah ki, Indonesia kalah telak dari Malaysia, 3-0!...” jawab Maula sedikit kesal karena kekalahan yang membuat harapannya dan juga harapan sebagian besar rakyat Indonesia untuk dapat melihat tim garuda juara, menjadi kabur.

Ki Bijak tersenyum melihat mimic Maula yang nampak kesel itu; “Kalah menang dalam sebuah pertandingan itu hal biasa Nak Mas, yang penting kita sudah berjuang semaksimal mungkin untuk meraih kemenangan, mengenai hasil, itu bukan kewajiban kita…..” Kata Ki Bijak coba menghibur.

“Justru disitu masalahnya Ki, permainan Indonesia kali ini, jelek banget, semangatnya payah, mentalnya pun belum apa-apa sudah down, mereka seperti terbebani oleh harapan yang demikian besar dari masyarakat yang menginginkan mereka juara….” Kata Maula.

“Ya sudah Nak Mas, alas an apapun yang kita buat, toh tidak akan mengubah kekalahan menjadi kemenangan, dan beberapun kambing hitam yang akan dikorbankan, tetap saja kenyataannya kita kalah…, sebaik-baik cara untuk mengubah kekalahan menjadi kemenangan adalah instrospeksi dimana kelemahan dan kesalahan kita, untuk kemudian memperbaikinya……” Kata Ki Bijak.

Maula masih diam, fikirannya masih dipenuhi perasaan kesal atas kekalahan tim Indonesia kemarin sore;

“Kemenangan…..adalah buah dari serangkaian proses Nak Mas, secara syariat, kemenangan adalah rangkaian dari proses latihan yang baik, baik itu fisik, mental, strategi, kekompakan, semangat dan berbagai aspek lainnya…., satu saja rangkaian itu putus atau tidak ada, maka kemenangan akan sulit dicapai….”

“Misalnya, latihan fisiknya bagus, strateginya mantap, petihnya oke, tapi semangat dan mental pemainnya jelek, maka akan sulit bagi siapapun untuk menjadi pemenang…….”

“Atau mungkin karena beban yang berlebihan juga bisa ya ki…..?”Kata Maula.

“Ya Nak Mas, bukan hanya dalam sepakbola, harapan, impian, cita-cita atau angan yang muluk dan berlebihan, kerap menjadi boomerang bagi kita, bukan menjadi pelecut semangat, tapi justru menjadi beban yang membelit kita, sehingga kita tidak bisa bermain lepas dan menampilkan apa yang kita punya……” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, setelah kemenangan beruntun kemarin, tim kita disanjung bak pahlawan, tim kita dipuja setinggi langit, tim kita dipuji layaknya selebritis, bahkan ada yang bilang dipolitisasi sedemikian rupa, sehingga mungkin hal ini yang menjadi beban bagi mereka ya ki……” Kata Maula.

“Tim sepakbola kita harus segera berbenah dan belajar dari hal tersebut, jika memang harapa dan pujian yang berlebihan itu membebani mereka, maka jalan terbaiknya adalah melepaskan beban itu sesegera mungkin, dan mengembalikan focus pada pertandingan selanjutnya, bukan berharap pada pujian dan sanjungan dari orang, karena tujuan sebuah tim adalah memenangi gelar kejuaran, bukan mengharap sanjung dan pujian…….” Kata Ki Bijak.

“Pun bagi pribadi kita Nak Mas, kita harus terus menerus mengingatkan diri kita bahwa pujian tidak akan menambah apapun bagi kita kecuali keruagian dan kelalaian……”

“Shalat yang mengharap pujian dari orang lain, riya namanya, dan shalat semacam ini tidak bernilai disisi Allah swt….”

“Sedekah yang mengharap pujian dari orang lain, cari muka namanya, dan sedekah semacam ini, laksana lumut dibebatuan yang licin, yang akan hilang tidak bermakna disisi Allah swt….’

“Pergi haji yang mengharap pujian, sama sekali tidak akan menjadikan orang yang melakukannya menjadi manusia yang lebih baik setelahnya, karena haji yang hanya mengharap pujian dari orang lain, hanya akan menimbulkan sifat sombong dan takabur, mentang-mentang haji, merasa paling benar, mentang-mentang haji, pengennya dihormat terus, pengen disanjung terus……”

“Pun dalam aktivitas apapun, ketika orientasi kita pujian, ketika tujuan kita sanjungan, ketika harapan kita sorak sorai, maka itu sama artinya kita tengah menanam benih kekecewaan…….” Kata Ki Bijak panjang lebar.

Maula menghela nafas panjang, “Benar Ki, pujian sama sekali tidak mendatangkan apapun bagi kita……” Katanya kemudian.

“Ketika kita menolong orang bukan karena Allah, tapi karena ingin disebut orang dermawan, maka nilainya disisi Allah adalah nol besar….”

“Ketika kita mengajak orang untuk beribadah, agar kita disebut dai atau mubaligh, maka nilainya disisi Allah adalah nol besar…”

“Ketika kita menjari orang dengan ilmu pengetahuan, dengan harapan kita disebut orang alim atau ustadz, maka nilainya disisi Allah adalah nol besar….”

“Semua apapun yang kita lakukan, tapi nawaitunya bukan lillahita’ala, maka hakekat nya kita tengah menggali lubang kehancuran kia sendiri…..”

“Karenanya, kita harus selalu mawas diri Nak Mas, kita harus selalu bertanya pada hati kita apakah niat kita sudah lurus, niat kita sudah tulus ikhlas hanya karean Allah swt saja, dan bukan karena yang lainnya…..” Tambah Ki Bijak.

“Iya ki, semoga tim kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kekalahan ini, dan semoga ana juga bisa terus menerus berinstrospeksi untuk selalu berbuat dan bertindak dengan ikhlas lillahita’ala ya ki…..” Kata Maula.

“Semoga Nak Mas……” Kata Ki Bijak.

“Ayo garudaku….; kita boleh kalah dalam pertempuran…, tapi insya Allah kita akan memenangkan perang ini !! kata Maula sambil mengepalkan tangan.

Ki Bijak tersenyum melihat polah tingkah Maula yang demikian berharap tim kesayangganya menang.

Wassalam

Desember 26,2010

Monday, December 6, 2010

JELANG TAHUN BARU HIJRIAH 1432, MOMENTUM INTROSPEKSI DAN KOREKSI


“Bulan pertama Hijriah bulan Muharram ki, yang kalau ana tidak salah, artinya bulan yang diharamkan untuk berperang;

“Kemudian, bulan yang kedua; Shafar, artinya daun yang menguning; atau ada pula yang mengartikan perjalanan, karena dibulan ini, biasanya masyarakat Arab banyak yang melakukan perjalanan, baik itu untuk berdagang atau untuk mencari air;

“Bulan yang ketiga; Rabi’ul Awwal ,artinya musim semi pertama”

“Bulan yang keempat; Rabi’ults Tsani, artinya musim semi yang kedua”

“Bulan yang kelima; Jumadil Awwal, artinya masa air membeku (musim dingin) yang pertama;

“Bulan yang keenam; Jumadits Tsani, artinya masa air membeku (musim dingin) yang kedua;

“Bulan yang ketujuh Rajab, artinya masa air yang membeku mulai mencair; atau ada juga yang mengartikan bulan yang agung, karena dibulan Rajab ini terjadi peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu peristiwa di Isra’ Mi’raj-kannya Nabi Muhammad Saw”

“Bulan yang kedelapan Sya’ban, artinya lembah-lembah yang mulai ramai digarap penduduk untuk bercocok tanam atau beternak; atau ada pula yang mengartikannya ‘yang bercabang’ karena banyaknya cabang-cabang kebaikan yang terdapat dibulan ini, bahkan Nabi banyak melakukan shaum sunnah dibulan ini..”

“Bulan yang kesembilan, Ramadhan, artinya panas yang membakar;

“Bulan yang kesepuluh Syawwal, artinya peningkatan panas yang membakar tersebut; atau peningkatan kualitas ibadah setelah sebelumnya ditarbiyah dibulan ramadhan..”

“Bulan yang kesebelas Dzul Qa’iah, artinya yang di dalamnya banyak orang yang hanya duduk-duduk karena panasnya udara;

“Dan bulan yang kedua belas,Dzulhijjah artinya yang di dalamnya ada haji ki….” Tutur Maula menjawab pertanyaany gurunya seputar bulan hijriah.

“Alhamdulillah, Aki senang Nak Mas mengetahui dengan baik nama-nama bulan hijriah, dan memang seharusnya seperti itu, kita umat islam seharusnya lebih mengetahui kalender hijriah daripada kalender masehi, hanya sayangnya, sekarang ini, sangat sedikit generasi muda kita yang tahu dan mengenal kalender hijriah seperti Nak Mas….” Kata Ki Bijak senang dengan pengetahuan Maula, sekaligus prihatin dengan minimnya generasi muda sekarang dengan kalender agamanya.

“Iya ki, kalau menyambut tahun baru masehi, hampir semua orang tahu, dan bahkan ada yang turut merayakannya, meniup terompet, kompoi dijalanan dan lainnya, padahal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, sementara ketika menyambut tahun baru Islam, mungkin hanya beberapa orang saja yang tahu dan mengambil pelajaran daripadanya……..” Kata Maula lagi.

“Inilah tantangan kita Nak Mas, bagaimana kita ‘mengembalikan’ pola fikir dan pemahaman umat islam kepada yang seharusnya, bukan sekedar merayakan, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan sekedar ingin dikatakan tidak ketinggalan zaman…..” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas juga masih ingat sejarah singkat penetapan tahun hijriah…?” Tanya Ki Bijak beberapa saat kemudian.

“Dari beberapa literatur yang pernah ana baca, penetapan tahun baru Hijriah ini dimulai pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, tepatnya ditahun kelima masa pemerintahannya, ketika itu Umar menerima surat dari Musa Al As’ari, yang ketika itu menjabat gubernut kuffah; dibuku yang an abaca, isi suratnya kira-kira begini ki….;

“KATABA MUSA AL AS’ARI ILA UMAR IBNUL KHOTHOB. INNAHU TAKTIINA MINKA KUTUBUN LAISA LAHA TAARIIKH.”

Artinya: Telah menulis surat Gubernur Musa Al As’ari kepada Kepala Negara Umar bin Khothob. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat-surat tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya.

“Setelah menerima surat itu, Sayyida Umar mengumpulkan para tokoh untuk merumuskan tarekh atau kalender Islam…, dalam musyawarah yang dipimpin langsung oleh Sayyidina Umar, ada sahabat yang mengusulkan penanggalan islam dimulai dari tahun kelahiran Nabu Muhammad, ada juga kemudian yang mengusulkan tahun pengangkatan Nabi Muhammad sebagai Rasul, ada pula yang mengusulkan tahun di Isra’ Mi’raj-kannya Nabi Muhammad sebagai awal tahun Hijriah, dan Sayyidina Ali mengusulkan penanggalan tahun hijriah dimulai dari Tahun hijrahnya Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin dari Makkah ke Madinah, sebagai symbol berpisahnya kerusakan menuju kebaikan(Mekkah ketika itu disimbolkan tempat kerusakan, dan Madinah sebagai kota penuh cahaya dan ilmu)…..” Tutur Maula menceritakan kembali apa yang pernah dibacanya mengenai sejarah penetapan tahun Hijriah.

Ki Bijak hampir bertepuk tangan mendengar Maula dengan fasih menuturkan sejarah penaggalan Hijriah, namun akhirnya Ki Bijak mengganti tepuk tangganya dengan berdoa ”Yaa Allah, karuniakan ilmu dan hikmah kepada anakku ini, semoga ia kelak bisa menjadi pewaris para alim sebagai penerus dan penegak panji-panji_Mu…..” Doa Ki Bijak dalam hati.

Maula nampak diam, karena ia tidak mendengar doa Ki Bijak;

“Setelah Nak Mas paham mengenai sejarah tahun hijriah, satu hal lagi yang Nak Mas harus pahami, yaitu hikmah dan aktualisasi hijrah dalam kehidupan kita sekarang ini…..” Kata Ki Bijak beberapa saat kemudian.

“Hijrah secara harfiah hijrah artinya berpindah Nak Mas…, sementara secara istilah, Hijrah mengandung dua makna, yaitu hijrah makani dan hijrah maknawi…”

“Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yg kurang baik menuju yg lebih baik, seperti Hijrah kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah, secara fisik mereka pindah dari negeri penuh kebathilan, menuju negeri penuh ilmu dan harapan….”

“Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yg kurang baik menuju nilai yg lebih baik dari kebatilan menuju kebenaran dari kekufuran menuju keislaman, ringkasnya hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya…..” Kata Ki Bijak panjang lebar.

Maula diam sejenak, menyimak penuturan gurunya; “Makna Hijrah yang paling relevan bagi kita untuk saat ini mungkin makna Hijrah maknawi ini ya ki….” Kata Maula sejurus kemudian.

“Aki sependapat dengan Nak Mas, bahwa makna hijrah yang relevan untuk kita saat ini adalah hijrah maknawi, meski negeri kita sekarang ini masih banyak dihiasi oleh berbagai kekufuran dan kejahiliyahan, namun yang paling mendesak saat ini adalah semua kita, yang mengaku muslim, yang mengaku nabinya Nabi Muhammad, yang mengaku kitab sucinya Al qur’an, harus segera ‘hijrah’!!;

“Kita harus segera hijrah dari kebodohan menuju keilmuan, bukan jamannya lagi orang islam tidak bisa baca qur’an, bukan saatnya lagi orang islam tidak mengetahui tarekh nabinya, bukan jamannya lagi orang islam tidak tahu tahun apa yang dipakainya….;

“Kita harus segera hijrah dari kemiskinan menuju kekayaan, bukan jamannya lagi orang islam miskin ilmu, bukan saatnya lagi orang islam miskin ahlaq, bukan jamannya lagi orang islam miskin pengetahuan, bukan jamannya lagi orang islam miskin akidah….., saatnyalah kini umat islam kembali tampil sebagai umat pilihan Allah yang beriman kepada Allah, beramal shaleh dan beramar ma’ruf nahi munkar…”

“Kita harus segera berhijrah dari kurafat menuju kemurnian akidah, tidak jamannya lagi umat islam pergi kedukun, tidak jamannya lagi umat islam memohon pada quburan tua, tidak jamannya lagi orang islam percaya sesajen, bukan jamannya lagi umat islam percaya klenik dan lain sebagainya, kini saatnyalah kita kembali kejalan lurus yang Allah bentangkan untuk kita lalui dengan memurnikan iman dan Akidah kita…."

“Kita harus segera berhijrah dari malas menuju sikap rajin, sudah ketinggalan jaman orang islam shalatnya ketinggalan terus, sudah kuno orang islam zakatnya terlambat terus; sudah bukan zamannya orang islam malas ibadah, sudah termasuk golongan terbelakang kalau masih ada orang islam yang malas baca qur’an, kini saatnyalah kita rajin, kita giat dan semangat untuk mencari keridhaan Allah swt…”

“Dan masih banyak lagi aktualisasi hijrah yang bisa kita lakukan untuk menjadi lebih baik dalam pandangan Allah dan dimata manusia….” Kata Ki Bijak dengan semangat.

“Iya ki, rasanya aneh kalau masih ada orang islam tidak bisa baca qur’an, rasanya mengherankan kalau ada orang yang KTPnya islam tapi shalatnya musiman, jumat saja, atau bahkan idul fitri dan idul adha saja, padahal masjid banyak, waktu ada, badan sehat, apalagi yang menghalangi mereka untuk bergegas menyembah Allah…?” Kata Maula menambahkan.

“Iman Nak Mas, iman yang ada disini……” kata Ki Bijak sambil menunjuk dadanya.

“Iman inilah yang harus segera dibenahi, hati inilah yang harus segera ditata kembali untuk menemukan cahaya ilahiyah yang mungkin tertutup oleh kurafat dan dosa, sehingga tidak lagi mampu menangkap keindahan sinyal-sinyal ilahiyah yang Allah pancarkan…..” Tambah Ki Bijak.

“Mumpung nanti malam momentum peringatan tahun baru hijriyah, ayo kita introspeksi diri, muhasbah, menghitung dan mengkaji lagi apa yang telah kita lakukan setahun kebelakang, untuk kemudian menyempurnakan yang masih kurang, memperbaiki yang rusak, dan menambah yang belum ada, dan itulah makna peringatan tahun baru; untuk introspeksi dan koreksi, bukan sekedar ikut-ikutan dan seremonial belaka….” Kata Ki Bijak member kesimpulan.

“Iya ki…..” Jawab Maula pendek mengakhiri diskusinya dengan Ki Bijak.

Wassalam

30 Dzulhijjah 1431 H/Desember 06,2010

Thursday, November 18, 2010

QURBAN DAN SETELAHNYA

“Qurban berbeda dengan korban Nak Mas…..” kata Ki Bijak ketika berbicara mengenai hari raya qurban..

“Meski secara sepintas kedengarannya sama, tapi keduanya memiliki maksud yang berbeda, "Qurban" merupakan bahasa agama , dan merupakan salah satu istilah Qur'ani, sedangkan "korban" merupakan bahasa rumpun melayu, meski dalam tataran praktis kedua kata atau istilah tersebut dikonotasikan sama yakni "mengeluarkan suatu perkara untuk menggapai suatu tujuan", namun ada perbedaan yang sangat mendasar diantara keduanya, yakni "Qurban" didasari atas dasar cinta, loyalitas, kemesraan, dan kepatuhan, sedangkan "korban" memiliki dasar yang sebaliknya yakni; kebencian, ketakutan, dendam dan keterpaksaan…..” Papar Ki Bijak mengenai perihal qurban.

“Ditinjau dari asal katanya, "qurban" terambil dari kata qarraba-yuqarribu, qurbanan, yang artinya kedekatan, kecintaan, kemesraan, sementara secara syar’i; qurban didefinisikan sebagai suatu aktifitas penyembelihan / menyembelih hewan ternak yang dilakukan pada tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah atau disebut juga hari tasyrik / hari raya haji / lebaran haji / lebaran kurban / Idul Adha dengan niat untuk beribadah kepada Allah SWT, sementara hukum ibadah qurban adalah sunat muakkad atau sunah yang penting untuk dikerjakan….., para ulama menyandarkan perintah qurban ini pada firman Allah dalam surah Al Kautsar………..” Kata Ki Bijak lagi.

“Dilingkungan Nak Mas banyak yang qurban tahun ini..?” Tanya Ki Bijak kemudian

“Alhandulillah ki, kemarin ada enam ekor sapi dan dua puluh lima ekor kambing yang dititipkan kepada panitia qurban, dan alhamdulillah, warganya kompak, sehingga pelaksanaan pemotongan hingga penyaluran hewan qurban lancar……” kata Kata Maula.

“Syukurlah Nak Mas, Aki senang mendengarnya, semoga tahun depan akan lebih banyak lagi orang yang berqurban ditempat Nak Mas, karena dalam qurban, ada selaksa hikmah yang bisa kita ambil darinya…” kata Ki Bijak.

“Hikmahnya apa saja ki….?” Tanya Maula.

“Qurban bukanlah semata menyembelih hewan ternak, kemudian membagi-bagikannya, lalu selesai, qurban bukan sekedar ritual kuno , lebih dari itu qurban adalah sebuah symbol dari totalitas ketaatan dan keikhlasan hamba kepada Rabbnya…..” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas perhatikan ayat ini….” Kata Ki Bijak sambil membacakan ayat 102-109 dari surat ash-shafat;

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

103. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).

104. Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,

105. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

107. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285].

108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian,

109. (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".

[1284] yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksana- kannya.

[1285] sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). peristiwa Ini menjadi dasar disyariatkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.

“Dialog ini adalah dialog antara Nabiyullah Ibrahim as dengan putranya Nabi Ismail as; keyakinan Nabi Ibrahim akan perintantah Allah lewat isyarat mimpinya, adalah cerminan totalitas ketaatan Nabi Ibrahim kepada perintah Allah, apapun itu bentuknya, termasuk perintah untuk mengorbankan putranya sendiri….”

“Beda dengan kita sekarang ini, banyak diantara kita yang pilih-pilih dalam menjalankan perintah Allah, kalau sekiranya perintah itu mudah, dan kita nilai menguntungkan kita, maka kita melaksanakannya, sebaliknya jika perintah itu kita ‘anggap susah’, maka kita berdalil dan berdalih untuk sedapat mungkin tidak melaksanakannya…..” Tambah Ki Bijak.

“Pun dengan larangan Allah, kita masih sering ‘sembunyi-sembunyi’ atau terang-terangan melanggar aturan Allah, seperti misalnya orang mau korupsi saja bisa berdalih bahwa ia berhak atas uang tersebut, karena ia yang mengurusnya, atau ada orang yang menerima suap yang jelas-jelas diharamkan, kemudian mereka berdalih bahwa itu uang hadiah, bahwa itu uang hibah, bahwa itu uang yang tidak merugikan orang lain dan lain sebagainya…..” kata Ki Bijak.

Maula menghela nafas panjang mendengar penuturan gurunya; “Iya ki…., orang sekarang memang sangat pandai berdalih…, meski kadang dalihnya terlalu mengada-ada dan dipaksakan…., perbuatan yang jelas-jelas mengandung unsur riba, dipelintir sedemikian rupa sehingga orang ‘saru’ melihatnya…..” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, semoga Allah menghindarkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji tersebut….” Kata Ki Bijak

“Ki…, bagi sebagian orang, mengeluarkan uang satu sampai dua juta untuk menyembelih hewan qurban, mungkin sangat mudah, tapi bagaimana bagi mereka yang juga ingin mengaplikasikan kecintaannya pada Allah, tapi tidak memiliki uang untuk berqurban…? Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar pertanyaan Maula; “Kita pilah-pilah dulu ya Nak Mas, ada orang yang ingin ber qurban, tapi tidak punya uang, dilain sisi, ada orang yang punya uang, tapi tidak ingin berqurban…..” Kata Ki Bijak.

“Orang yang memiliki niat tulus ikhlas ingin berqurban, tapi tidak punya uang, insya Allah niat qurbannya sudah dicatat sebagai niat baik disisi Allah swt….., selebihnya dia harus berusaha untuk mewujudkan niatnya itu ditahun berikutnya, misalnya dengan berusaha lebih keras, atau menabung dari jauh-jauh hari, menabung semampunya…,insya Allah akan ada jalan untuk mewujudkan niat baiknya…..” Kata Ki Bijak.

“Yang tidak boleh itu begini Nak Mas, ketika ada perintah untuk berqurban, sementara ia tidak mampu, kemudian ia bilang ‘boro-boro buat qurban, buat makan sehari-hari saja susah’…., ini tidak boleh, ini pamali kata orang tua dulu….” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ya ki, Ana pernah beberapa kali mendengar ungkapan seperti itu, boro-boro qurban, boro-boro nyumbang masjid, boro-boro naik haji dan lainnya, padahal rezeki orang kan tidak tahu ya ki, mungkin tahun ini belum bisa, tapi siapa tahu tahun depan mampu…..” Kata Maula.

“Kata-kata yang positif, selain merupakan perbuatan menyenangkan, perbuatan yang dianjurkan agama, juga merupakan ‘vitamin’ bagi jiwa kita, ketika kita berbicara yang baik-baik, ketika kita berbicara dengan optimis, ketika kita bicara dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada Allah, kata-kata positif itu akan menjadi stimulus bagi fikiran dan jiwa kita untuk bergerak maju dan mencapai keinginan kita….”

“Sebaliknya, ketika kita berkata dengan nada pesimis, dengan nada keputus asaan, merupakan ‘tekanan’ bagi jiwa kita, menjadi pengekang bagi kemajuan kita, ketika kita berbicara ‘aah boro-boro nyumbang masjid, untuk makan saja susah’, kata-kata seperti itu merupakan pukulan yang akan mencederai jiwa kita……” Tambah Ki Bijak.

“Iya ki…..” Kata Maula.

“Hakekat qurban, seperti Aki katakan tadi, merupakan symbol dari ketaatan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah Allah swt, selain juga sebagai symbol ‘penyembelihan’terhadap sifat-sifat hewani yang ada dalam diri manusia…” Kata Ki Bijak kemudian.

“Menyembelih hewan qurban sebagai symbol penyembelihan sifat-sifat hewani yang ada dalam diri manusia ki…?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, sebagaimana Imam Ghazali menulis, bahwa dalam diri manusia itu ada sifat Ilahiyah, seperti sifat kasih sayang, dermawan, pemaaf dan lain sebagainya disatu sisi, sementara disisi lain, dalam diri manuasia juga terdapat sifat syaitoniyah, seperti sifat sombong dan takabur, selain juga sifat bahimiyah, yakni sifat buas dan kejam, dan sabaiyah, yakni sifat rakus, tamak, serakah dan tidak tahu malu…….; maka menyembelih hewan qurban, secara simbolik bertujuan untuk ‘menekan’ sifat buas manusia, sifat rakus manusia, sifat tidak tahu malu yang terdapat dalam diri manusia…..” Kata Ki Bijak.

Maula manggut-manggut mendengar penuturan Ki Bijak, jadi kalau ada orang yang tiap tahun berqurban, tapi tanpa rasa malu masih korupsi, itu artinya qurbannya belum benar ya ki….” Kata Maula.

“Sangat mungkin seperti itu Nak Mas, karena orang yang secara benar memahami hakekat dan esensi qurban, pasti malu untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya….”

“Orang yang memahami secara benar hakekat dan esensi qurban secara benar, insya Allah ia tidak akan menjadi orang yang rakus, tidak akan menjadi orang yang tamak, tidak akan menjadi orang yang gila harta, tidak akan menjadi orang yang mengumbar birahi, tidak akan menjadi orang yang tidak tahu malu, karena ia menyadari bahwa sifat-sifat hewani itu telah ia’sembelih’ sebagai mana hewan qurbannya….” Kata Ki Bijak lagi.

“Justru orang yang qurbannya benar, akan menjadi sosok yang penuh ketaatan, penuh keikhlasan, penuh cinta dan kasih sayang, dermawan dan berbagai sifat terpuji lainnya akan mendominasi peri kehidupaanya,karena sifat-sifat ilahiyah itu telah ‘menang’ dan ‘mengalahkan sifat hewani dan kebinatangannya, setelah sebelumnya, sifat syaitoniyah juga telah ‘dipenjarakan’ dengan shaum ramadhan……” Imbuh Ki Bijak.

“Sifat Ilahiya, sifat syaitoniyah, sifat bahimiyah, sifat sabaiyah……, kalau yang tiga ini telah berhasil ‘dikalahkan’, maka yang ada dan kemudian muncul dari dalam diri kita adalah sifat –sifat ilahiyah yang agung dan luhur….hmmmh…..” Kata Maula sambil manggut-manggut.

“Makanya Nak Mas harus rajin menabung dari sekarang, mumpung masih setahun lagi, mulai sekarang Nak Mas nabung, siapa tahu tahun depan Nak Mas bisa berqurban dengan seekor sapi….” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki, ana akan mulai nabung dari sekarang…., moga tahun depan bisa berqurban dengan sapi, mohon doanya ya ki…..” Kata Maula sambil menyalami gurunya untuk pamitan.

Wassalam

November,2010

Friday, November 12, 2010

DEBU

“Mohon maaf sebentar ki……” Kata Maula, meminta izin pada gurunya untuk membersihkan kacamatanya dari debu yang menghalangi pandangannya kepapan tulis.

Ki Bijak menghentikan penjelasannya, sambil menunggu Maula yang tengah membersihkan kacamata dengan tissue.
“Sudah bersih Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

“Sudah ki, alhamdulillah……” Kata Maula.

“Itulah debu Nak Mas, meskipun kecil, tetap akan menghalangi pandangan mata kita yang jernih…..” Kata Ki Bijak kemudian.

“Iya ki, padahal debu ini sangat kecil, bahkan hampir tidak terlihat, tapi tetap sangat mengganggu….” Kata Maula lagi.

“Karenanya kita harus berhati-hati dengan ‘debu’ Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
Maula menyadari bahwa gurunya tengah membicarakan hal lain diluar yang ditulisnya dipapan tulis.
“Nak Mas lihat, debu merapi misalnya, debu-debu yang kecil itu, mampu merusak ratusan hektar tanaman yang siap panen, debu-debu yang kecil itu mampu menutup areal pemukiman ratusan bahkan ribuan hektar yang bahkan berjarak ribuan kilo dari puncak merapi, dan kalau Aki tidak salah, banyak maskapai penerbangan yang menunda jadwal penerbangannya karena khawatir dengan efek debu yang kecil ini, yang jika masuk kemesin pesawat, akan merusak mesin dan sangat membahayakan…..” Kata Ki Bijak.

Maula menarik nafas panjang, ia membenarkan apa yang dikatakan gurunya, betapa debu merapi yang terdiri dari partikel-partikel kecil itu sangat berbahaya, termasuk juga berbahaya bagi kesehatan, karena ketika terhirup dan masuk kedalam paru-paru, akan menimbulkan kerusakan pada orang vital tersebut.

Ki Bijak menarik nafas panjang, “Jika pandangan mata Nak Mas terhalang karena debu kecil yang menempel pada kacamata Nak Mas, jika tanaman menjadi rusak dan layu karena debu yang mengenainya, jika halaman dan pemukiman menjadi kotor karena debu-debu yang kecil, jika mesin pesawat bisa rusak karena debu-debu yang kecil, ini artinya kita sama sekali tidak boleh mengacuhkan dan membiarkan debu-debu ini begitu saja….” Kata Ki Bijak.

Maula diam, menunggu kelanjutan penuturan gurunya…”Dikeseharian kita, ada banyak ‘dosa-dosa kecil’ yang sudah kita anggap biasa,seperti contohnya saling mencela antar teman, kelihatannya sekarang ini sudah dianggap biasa, dan bukan merupakan sebuah dosa..”

“Kemudian mencela kondisi fisik seseorang, ini juga sepertinya sudah sebuah kelaziman dikeseharian kita, belum lagi ghibah, belum lagi berprasangka buruk, belum lagi mengumpat, belum lagi menunda waktu shalat, belum lagi menyia-nyiakan waktu luang, belum lagi janji palsu, belum lagi berkata dusta, belum lagi khianat, dan masih banyak lagi aktivitas keseharian kita yang mengandung ‘debu-debu dosa’…..” Kata Ki Bijak.

“Kalau debu merapi dapat mengotori dan merusak banyak hal, maka debu-debu dosa ini akan mengotori kejernihan mata hati kita….., kalau tadi setitik debu saja yang menempel dikacamata Nak Mas menjadikan pandangan Nak Mas terganggu, konon lagi kalau banyak dosa-dosa yang menempel dan menutup hati kita, niscaya hati kita akan gelap gulita, jauh dari cahaya ilahi…….” Kata Ki Bijak lagi.

Degh….., Maula membayangkan hujan abu merapi yang demikian pekat, sehingga menggangu dan mengurangi jarak pandang, menyebabkan penyakit, dan menyebabkan kerusakan dalam berbagai hal, lalu bagaimana jika hati, yang merupakan pelita, yang merupakan sumber cahaya, yang merupakan cermin, yang merupakan sarana berlabuhnya petunjuk ilahi ini tertutup oleh tebalnya debu-debu dosa…?.

“Hanya sayangnya, kalau debu dhahir seperti yang menempel pada kacamata Nak Mas tadi dengan mudah kita ketahui, tapi debu dosa yang menempel pada hati kita, jarang sekali orang yang mengetahuinya, ataupun kalau ia mengetahuinya, ia lebih cenderung untuk tak acuh dan mengabaikannya…..” kata Ki Bijak lagi.

“Ki……, apa akibatnya kalau kita membiarkan hati kita terus-menerus kena debu dosa..?” Tanya Maula.

“Apa yang Nak Mas rasakan kalau banyak debu yang menempel dikacamata Nak Mas…?” Ki Bijak balik bertanya.

“Pandangan ana buram ki, selain juga kacamata akan tergores dan rusak….” Jawab Maula.

“Pun dengan hati kita Nak Mas, manakala terus menerus terkena dosa, dosa sekecil apapun itu, akan mempengaruhi kualitas kejernihannya, pandangan mata hati kita jadi buram, hati kita jadi tidak peka, dan pada stadium lanjut, hati kita akan keras membatu, bahkan lebih keras dari batu, sehingga akan sulit menerima kebenaran, cenderung congkak dan sombong, dan pada gilirannya, hati kita akan buta dan mati…..!” Kata Ki Bijak lagi.

“Naudzubillah….., bagaimana ciri-ciri orang yang mati hatinya ki…?” Tanya Maula.
“Nak Mas pernah mengantar jenazah….?” Tanya Ki Bijak.

“Pernah ki…..” Jawab Maula.

“Apakah jenazah merespon ketika ada orang menangis…?” Tanya Ki Bijak.

“Tidak ki…..” Jawab Maula.

“Apakah jenazah menyahut ketika adzan dan iqomah dikumandangkan…?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Tidak ki….” Jawab Maula lagi.

“Apakah jenazah tahu ada yang sedih, ada yang berduka,ada orang yang menangis, ada orang yang lapar atau orang yang sakit..? Tanya Ki Bijak lagi.

“Tidak ki, jenazah tidak merespon atau berbuat apapun ki….” Jawab Maula lagi.

“Begitulah kira-kira keadaan orang yang hatinya mati Nak Mas, ia tidak peduli pada tetangganya yang lapar….”,

“Orang yang hatinya mati, ia tidak berbuat apapun ketika ada anak yatim yang kelaparan..”,
“Orang yang hatinya mati, ia tidak berbuat apapun ketika ada saudaranya tengah dilanda musibah….”

“Orang yang hatinya mati, tidak akan tergerak ketika terdengar panggilan adzan, orang yang hatinya mati, tidak akan merespon jika ada anjuran bersedekah, berzakat atau berderma lainnya….”

“Orang yang hatinya mati, ia bahkan tidak dapat menerima kebenaran atau nasehat dari siapapun, persis seperti jenazah, ia laksana bangkai berjalan……” papar Ki Bijak lagi.

Maula diam, menyimak penuturan gurunya yang demikian gamblang, Orang yang Hatinya mati, sama dengan mayit, yang tidak bisa melakukan apapun baik untuk dirinya, apalagi bagi orang lain…!!!

“Ki…., adakah cara untuk membersihkan dan menghidupkan hati ki….?” Tanya beberapa saat kemudian.

“Kita harus banyak-banyak beristighfar Nak Mas…..” Kata Ki Bijak

“Dengan memperbanyak istighfar ki…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, istighfar adalah deterjen pemberish debu-debu dosa, dengan istighfar mudah-mudahan Allah membersihkan noda-noda yang menempel dihati kita, yang membuat hati kita hitam pekat, yang membuat hati kita kotor, yang membuat hati kita menjadi sakit dan mati…..”

“Sebagaimana Nabi Adam beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena telah ‘melanggar’ peringatan Allah untuk menjauhi pohon khuldi;

“Sebagaimana Nabi Nuh beristighfar, memohon ampun dan perlindungan dari berbagai hal yang ia tidak ketahui hakekatnya”,

“Sebagaimana Nabi Musa beistighfar, memohon ampun kepada Allah, karena telah menganiaya diri sendiri..”,

“Sebagaimana Nabi Sulaiman beristighfar, memohon ampun kepada Allah ketika beliau diuji dengan sakit yang luar biasa…”,

“Sebagaimana Nabi Yunus, beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena kemarahannya dan kemudian ditelan ikan paus…”,

“Maka selayaknyalah kita yang pasti banyak dilumuri debu-debu dosa ini, memperbanyak istighfar, memohon ampunan dari Allah, semoga dengan beristighfar, dengan memohon ampun, dengan senantiasa membersihkan diri dan hati dari debu-debu dosa, hati kita akan senantiasa jernih, hati kita akan senantiasa lembut, hati kita senantiasa sehat, hati kita senantiasa hidup, sehingga mampu menangkap cahaya kebenaran ilahi, sehingga kita peka terhadap keadaan diri dan lingkungan kita, sehingga kita tidak hanya seonggok daging pembungkus tulang yang berjalan tanpa hati, sehingga kita benar-benar menjadi manusia, mahluk yang Allah ciptakan dengan berbagai kelebihan, salah satunya adalah Allah menanugerahkan kepada manusia sebentuk hati, yang dengannya manusia diuji untuk bagaimana menggunakan hati untuk mengenal siapa penciptanya……” Kata Ki Bijak panjang lebar.

Maula manggut-manggut, meresapi setiap untai kata yang keluar dari tutur bijak gurunya.
“Bahkan baginda Rasul, manusia paling agung dan mendapat predikat maksum, pun senantiasa beristighfar kepada Allah swt…..” Sambung Ki Bijak sambil membacakan sayyidul istighfar sebagaimana diajarkan Baginada Rasul;

“(Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada ilaha selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu dan aku selalu berusaha menepati ikrar dan janjiku kepadaMu dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui betapa besar nikmat-nikmatMu yang tercurah kepadaku; dan aku tahu dan sadar betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Karenanya, ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”

Maula mencoba mengulang-ngulang bacaan sayyidul istighfar yang dibacakan gurunya;

Allahumma anta rabbi laa ilaha illa anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’udzubika min syarri ma shona’tu abu-u laka bini’matika ‘alaiyya wa abu-u bidzanbi faghfirli fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta

Tanpa terasa, air matanya menetes dipipinya, meresapi keindahan lafadz istighfar yang dicontohkan baginda Rasul, sambil menyelami maknanya yang demikian menyentuh dan menggetarkan hati…., Maula terus mengulang dan mengulang bacaan istighfar sambil menikmati indahnya istighfar.

Ki Bijak membiarkan Maula terus larut dalam kenikmatan dzikir, ia sendiri kemudian turut serta berdzikir dengan membaca istighfar………………….”

Wassalam

November 2010.

Wednesday, October 27, 2010

SEBUAH HIKMAH

“Ternyata memang bukan Mbah Maridjan sipemilik dan pemilihara gunung merapi ya ki, tapi Allah jualah pemilik dan Dzat yang maha berkuasa atas segalanya, terbukti kakek yang arif itu pun tidak kuasa meredam meletusnya gunung merapi…………” Kata Maula, dengan nada prihatin mendengar berita meninggalnya sosok yang selama ini dikenal sebagai juru kunci gunung merapi.

“Ya Nak Mas…., Aki juga prihatin dengan banyaknya jumlah korban letusan gunung merapi kali ini……” Kata Ki Bijak tidak kalah prihatin.

“Kabar terakhir, sudah dua puluh delapan jenazah ditemukan ki……, yaa Allah, semoga ini bukan sebentuk kemurkaan_Mu atas kelalaian kami dalam mengabdi kepada_Mu……” Kata Maula pelan.

Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar kata-kata Maula, “Rasanya memang agak berat bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini bukan sebentuk teguran yang sangat keras dari Allah kepada kita Nak Mas, belum lagi kering air mata duka yang membasahi bumi papua dengan banjir bandang wasior, kini gempa bumi dan tsunami juga menambah luka dibumi mentawai sana, bertambah pedih dengan luluh lantaknya sebagai wilayah disekitar gunung merapi….., Aki tidak menemukan padanan kata lain untuk menggambarkan semua yang terjadi sekarang ini selain teguran dari Allah Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.

Maula menghela nafas panjang sebagaimana gurunya, “Iya ki….., ana merasa sudah sedemikian nyata ‘peringatan’ yang Allah berikan untuk mengingatkan kita ya ki…..” Kata Maula lagi.
“Ya Nak Mas, semoga Allah membukakan pintu hikmah dari apa yang sekarang terjadi, sehingga kita bisa belajar untuk memperbaiki diri, memperbaiki kesalahan-kesalan kita, sebelum semuanya menjadi terlambat……” Kata Ki Bijak.

“Semoga ki, dan dalam kejadian meletusnya gunung merapi ini, hikmah apa yang bisa kita ambil ki….?” Tanya Maula.

Ki Bijak diam sesaat, “Pertama, mungkin kita bisa berintrospeksi diri, bahwa bukan Mbah Maridjan atau pun mahluk lain yang menguasai dan pemilik gunung atau apapun dimuka bumi ini, tapi Allah, Allah-lah yang menciptakan gunung, Allah-lah yang memeliharanya, dan Allah pulalah yang maha berkuasa atas apapun yang akan dan harus terjadi pada gunung itu, maka sudah saatnyalah kita menata kembali keimanan kita, untuk tidak bergantung kepada sesama mahluk, untuk tidak meyakini hal-hal yang tahayul dan mistik, Aki khawatir setan akan memanfaatkan kelengahan kita untuk kemudian mengelincirkan akidah kita dari tauhid yang benar……” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kasihan Mbah Maridjan, mungkin beliau tidak pernah mengatakan bahwa ia berkuasa atau tahu semua hal ikhwal gunung merapi, apalagi memiliki kekuasan untuk menunda atau mempercepat letusan gunung, tapi hanya karena keyakinan yang ‘salah’ pada sebagian orang, orang tua bijak ini kemudian disangkut pautkan dengan banyak hal mengenai meletusnya gunung merapi…..” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, tidak bijak rasanya kalau kemudian kita ‘menyalahkan’ Mbah Mardijan yang tidak mau mengungsi karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya, kitalah yang harusnya bisa berfikir jernih dan memilah apa yang terbaik bagi kita…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki…..” Kata Maula pendek.

“Hal kedua yang Aki lihat adalah bagaimana sebagian orang tidak mau diungsikan dengan alasan mereka harus menjaga harta mereka, mereka harus menjaga ternak mereka, mereka harus menjaga sawah dan ladang mereka, sehingga ketika kemudian gunung merapi meletus, sebagian mereka tidak sempat lagi untuk menyelamatkan diri……”

“Ini sebuah simbol atau pelajaran bagi kita Nak Mas, bahwa kadang harta kita, ladang kita, sawah kita, ternak kita, dan materi duniawi justru membuat kita tidak dapat berfikir dengan bijak, kita lebih mementingkan ‘dunia dan materi’ yang sedikit ini, dengan mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu nyawa kita….” Kata Ki Bijak.

“Memang benar adanya bahwa kematian pasti datang, letusan gunung, kemudian awan panas dan debu vulkanik hanyalah wasilah datangnya ajal yang telah Allah tentukan bagi setiap mahluk, tapi dari sana pula, terdapat pelajaran bahwa kita tidak boleh ‘mencintai’ dunia dengan gelap mata, ada hal-hal lain yang jauh lebih berharga yang harus kita ‘selamatkan’ yakni kehidupan kita yang lebih luas, kehidupan akhirat kita……” Kata Ki Bijak lagi.

“Dunia ini laksana ini Nak Mas…….” Kata Ki Bijak melanjutkan pituturnya, sambil memperlihatkan batu kecil kepada Maula.

“Dunia seperti batu ini ki….?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, dunia ini kecil seperti batu ini,hanya kita menempatkannya persis didepan pelupuk mata kita seperti ini…” Kata Ki Bijak sambil menempatkan batu kecil persis didepan matanya.

“Dengan posisi batu kecil seperti ini, Aki tidak dapat melihat apapun yang ada didepan Aki kecuali batu kecil ini, pun ketika kita menempatkan dunia ini sangat dekat dengan kita, fikiran kita, hati kita, motivasi kita, akan cenderung tertutup oleh urusan dunia yang ‘kecil’ dan justru lalai terhadap urusan akhirat yang jauh lebih besar yang lebih penting………” Kata Ki Bijak.

Maula mengambil batu kecil dan menirukan gurunya, menempatkan batu kecil itu tepat didepan pelupuk matanya, “Benar ki…., dengan batu sekecil ini didepan mata ana, ana bahkan tidak bisa melihat Aki yang tepat berada didepan ana….” Kata Maula.

“Sekarang coba Nak Mas agak jauhkan posisi batu itu dari mata Nak Mas, apa yang Nak Mas lihat sekarang…?” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana bisa melihat lebih luas ki….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, manakala kita menempatkan dunia pada proporsi yang benar, maka kita akan melihat sesuatu yang lebih luas, lebih indah……” Kata Ki Bijak.

“Ya Ki….” Jawab Maula.

Bersambung…insya Allah.
Wassalam
October 27,2010

Thursday, October 21, 2010

BERDAMAI DENGAN “UJIAN”



“Ki, bagaimana seharusnya kita bersikap, ketika kita menghadapi ‘ujian’…?” Tanya Maula.

“Sikap kita dalam menghadapi ujian Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, ujian dalam pengertian umum, seperti bagaimana ketika kita sakit, ketika kita dalam kesempitan, ketika kita dalam kekurangan dan sebagainya, karena akhir-akhir ini, ana sering sekali mendengar berita orang yang berbuat nekat bahkan harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena mereka tidak kuat dalam menghadapi himpitan kehidupan yang mereka jalani, biasanya dalam kondisi seperti inilah orang akan merasa sedang diuji, meski sebenarnya, seperti yang pernah Aki bilang, bahwa hidup ini seluruhnya adalah ujian, baik ketika kita mendapat kebaikan atau sebaliknya…..” Kata Maula.

Ki Bijak menghela nafas panjang, “Bagaimana kita bersikap dalam menghadapi ujian…., hal pertama yang harus kita miliki untuk dapat bersikap dengan benar kala menghadapi ujian adalah bahwa kehidupan kita didunia ini adalah ujian, dalam kondisi apapun, baik ujian berupa kebaikan, maupun ketika kita diuji dengan keburukan, sehingga dengan sikap mental ini, kita tidak kaget dan tidak gagap ketika ujian itu datang pada kita, karena memang dunia ini adalah tempat ujian……” Kata Ki Bijak.

Maula masih diam menyimak penuturan gurunya;

“Sikap yang kedua, yang harus kita miliki agar kita dapat bersikap dengan benar dalam menghadapi ujian adalah kesadaran bahwa bukan hanya kita yang diuji, misalnya ketika kita tidak punya uang, kita merasa bahwa kita sedang diuji, tanamkan kesadaran dalam diri kita bahwa bukan hanya kita yang saat ini tidak memiliki uang, ada banyak orang yang juga tengah menjalani ujian yang sama dengan kita, tidak memiliki uang, dengan demikian, kita tidak larut dalam kesedihan yang berlebihan, apalagi sampai menyalahkan Allah…..’

“Atau misalnya lagi, ketika kita ditimpa musibah, seperti penyakit misalnya, tanamkan dalam diri kita bahwa bukan hanya kita yang sedang ditimpa penyakit, mungkin kita bisa berkunjung ke rumah sakit misalnya, disana ada banyak orang yang tengah diuji dengan penyakit yang mungkin penyakitnya lebih parah dari yang kita derita, dengan sikap ini, kita bisa mengurangi beban ujian yang tengah kita alami, end toh bukan hanya kita yang sedang sakit…..”

“Atau contoh lainnya, ketika kita tidak punya kerjaan, karena PHK atau lainnya, tidak perlu berkecil hati, toh diluar sana, banyak orang yang bahkan belum pernah mendapatkan kesempatan kerja seperti kita….”

“Atau contoh lain, ketika kita merasa kekurangan, gaji kecil, tidak punya tabungan dan lain sebagainya, besarkan hati kita bahwa diluar sana bahkan ada orang yang sehari-harinya tidak mempunyai penghasilan sama sekali, apalagi tabunga….., dengan menanamkan sikap seperti itu, beban kita dalam menghadapi ujian, akan berkurang dan kita bisa menyikapinya secara benar….” Kata Ki Bijak panjang lebar.

“Benar ki, kalau hari ini kita tidak punya uang, orang lain mungkin dari kemarin sudah tidak punya uang, kalau hari ini kita kena penyakit, ada banyak orang yang sudah berbulan-bulan dirumah sakit atau terkena penyakit menahun, kalau hari ini kita tidak punya beras, ada banyak orang yang bahkan sudah berhari-hari tidak menemukan nasi…, ana mengerti ki…..” Kata Maula.

“Hal kedua yang harus kita tanamkan dalam diri kita dalam menghadapi ujian adalah bahwa ujian yang tengah kita jalani, samasekali tidak membuat kita hina dimata Allah, selama kita menyikapinya dengan benar…..” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki….?” Tanya Maula.

“Ada banyak orang yang ketika diuji dengan kekurangan atau kemiskinan, kemudian merasa rendah diri, merasa hina dimata orang lain, atau ada orang yang ketika diuji dengan penyakit, menjadi rendah diri, padahal sekali-kali ujian kekurangan, kemiskinan atau apapun bentuk uiian yang kita jalani ini tidak akan menghinakan kita, justru dengan ujian inilah kita dididik dan dibentuk Allah untuk menjadi orang yang sabar,tegar dan kuat……;

“Hanya kadang seperti yang Aki katakan tadi, ada banyak orang yang salah dalam menyikapi ujian ini, dan sebagai orang yang beriman kepada Allah, yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu apapun, baik itu kekurangan, bencana atau penyakit yang menimpa kita kecuali dengan izin dan kehendak Allah…, tidak ada kekurangan, bencana atau penyakit yang Allah ujikan kepada kita melainkan disana ada selaksa hikmah yang akan mengantar orang yang dapat memaknainya menuju kemulian fidunya wal akhirat……” Kata Ki Bijak lagi.

Maula diam, dia meresapi setiap untai kata yang keluar dari bibir bijak gurunya; “Iya ki…., banyak tokoh-tokoh yang menghiasi panggung sejarah, justru lahir dan mendapat kemulian setelah mereka mendapat ujian yang sangat berat…..” Kata Maula.

“Itu hal ketiga yang harus kita miliki dalam diri kita Nak Mas, bahwa tanjakan yang terjal, jurang yang curam, jalan yang penuh onak dan duri, gelombang besar, caci maki, hinaan, intimidasi, bahkan ancaman pembunuhan, adalah jalan yang ‘biasa’ dilalui oleh orang-orang besar….,hampir tidak ada orang yang tampil dipanggung sejarah dengan jalan yang lurus dan landai tanpa ujian…..”

“Kita mengenal Nabiyullah Ibrahim as, bagaimana beliau harus menghadapi ujian yang sangat berat, harus dibakar hidup-hidup oleh para penentangnya, kita pun tahu bagaimana Nabi Musa as harus berhadapan dengan tembok keangkuhan fir’aun, kita tahu bagaiman Nabi Ayyub as diuji dengan penyakit langka, dan bahkan Nabi kita, baginda Rasul, makluk kecintaan Allah, tidak luput dari ujian yang maha berat, beliau mengalami intimidasi dari kaumnya, beliau diembargo hingga kekurangan, beliau diancam dibunuh, dan bahkan beliau ‘diusir’ dari tanah kelahirannya, end toh mereka tidak menjadi hina, dan bahkan nama-nama mereka terpatri abadi dalam al qur’an dan tetap akan hidup disepanjang jaman………” Kata Ki Bijak.

“Belum lagi para ulama penegak ajaran tauhid, para penerus jejak rasul, seperti ibnu tammiyyah dan lainya, mereka pun harus berhadapan dengan berbagai ujian, penjara, dan lainnya….” Tambah Ki Bijak

“Benar ki……, dijaman sekarang pun, Nelson Mandela, harus mendekam dipenjara hampir 28 tahun, sebelum akhirnya menjadi presiden Afrika Selatan, dan bahkan Bung Karno beberapa kali keluar masuk penjara, ditangkap dan dibuang sebelum akhirnya namanya harum dalam sejarah bangsa Indonesia……” Kata Maula.

“Yah, seperti itu Nak Mas, jadi ujian adalah sesuatu yang tidak harus membuat kita menggigil ketakutan, kita bisa ‘berdamai’ dengan ujian dengan cara bersikap dengan benar dalam menghadapi ujian tersebut…..” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas simak beberapa ayat ini……” Kata Ki Bijak sambil membacakan ayat-ayat al qur’an yang menyatakan bahwa ujian adalah sebuah sunatullah, ujian berlaku bagi siapapun, ujian bisa terjadi dimanapun, kapanpun dan dalam bentuk apapun….


16. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (At Taubah)


34. Dan Sesungguhnya kami Telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah Karena sakit), Kemudian ia bertaubat[1302].( Shaad)

[1302] sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ujian Ini ialah keberantakan kerajaan Sulaiman sehingga orang lain duduk di atas singgasananya.


41. Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya Aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan". (Shaad)

“Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menyatakan bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, bahwa ujian adalah sebuah warna kehidupan yang membuatnya menjadi lebih indah, bahwa ujian laksana riak gelombang yang memperindah lautan, bahwa ujian adalah tanjakan yang akan membuat kita bisa menikmati indahnya jalan yang melandai, bahwa ujian dari salah satu cara Allah untuk memutar kehidupan ini……; Kata Ki Bijak lagi.

“Ki, tadi Aki mengatakan bahwa ujian merupakan salah satu cara Allah untuk memutar roda kehidupan ini…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, contoh kecilnya begini, ketika kita sakit, kita perlu obat, perlu dokter, dan lainnya, bayangkan jika setiap orang tidak pernah sakit, dan mereka tidak perlu obat, betapa banyak perusahaan farmasi tutup, berapa banyak karyawannya tidak bekerja, belum lagi supplier penopangnya, atau kalau tidak orang sakit, dokter tidak memiliki penghasilan, fakultas kedokteran tutup, dosen nganggur dan seterusnya, dengan satu jenis penyakit saja, dengan seorang penderita saja, sudah sedemikian banyak putaran roda kehidupan yang bergulir karenannya…., konon lagi dengan jenis penyakit dan ujian lainnya…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, seperti juga bencana alam misalnya, berapa banyak orang dan pihak yang terlibat dalam kejadian itu,subhanallah…., betapa besar rencana dan keagungan_Mu ya Allah……” Kata Maula.

“Karenanya, mulai sekarang, Nak Mas harus belajar berfikir dan bersikap bijak dalam menyikapi semua apa yang Allah takdirkan pada Nak Mas, jangan sedih kala dilanda musibah, dan jangan bangga diri kala diberi kelapangan, sikapi dengan wajar, dan senantiasa ingat bahwa semua berasal dari Allah dan semua akan kembali padanya……” Kata Ki Bijak menutup perbincangan sambil mengutip ayat dalam surat Al Baqarah;

155. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.


Wassalam

October 2010

Wednesday, October 20, 2010

KETIKA BENCANA YANG BICARA

“Astagfirullahal adzim……, banyak banget ya ki…..” kata Maula

“Apanya yang banyak Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.

“Ini ki, menurut sebuah sumber, wilayah Negara kita ini, selama kurun waktu 13 tahun terakhir, dari tahun 1997 hingga tahun 2008 saja, telah dilanda bencana kurang lebih sekitar 6,632 kali, dimana tahun 2008 menjadi tahun yang paling banyak mengalami bencana yakni sebanyak 1.302 kali, dari seluruh catatan bencana itu, banjir merupakan bencana yang paling sering dialami Negara kita, yakni mencapai angka 35%, disusul kemudian kekeringan sebanyak 18%, tanah longsor, angin topan dan kebakarang masing-masing 11%, sebuah angka yang membuat bulu kuduk ana merinding membacanya ki……” Kata Maula.

Ki Bijak menarik nafas dalam-dalam, berat sekali rasanya ia mendengar rangkaian bencana demi bencana yang datang silih berganti, hujan yang harusnya menjadi rahmat, justru menjadi banjir, kemarau yang mestinya bermanfaat bagi manusia, justru lebih sering menimbulkan kekeringan, kebakaran dan lainnya…..;

“Mungkin inilah saat yang digambarkan oleh al qur’an sebagai telah nampaknya kerusakan didaratan dan dilautan karena ulah tangan manusia yang ‘nakal’….; kata Ki Bijak sambil mengutip ayat 41 dari surat Ar-rum;


41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


“Iya ki, belum lagi kalau ditambah dengan bencana yang terjadi ditahun 2009 dan 2010, baru kemarin bencana banjir bandang melanda kota Wasior di tanah Papua, korban meninggal 152 orang, dan masih banyak korban yang belum ditemukan, belum lagi yang luka, kehilangan tempat tinggal, kehilangan tempat ibadah dan lainnya…..; Maula tidak melanjutkan kata-katanya, tenggorokannya terasa tercekat.

Kembali Ki Bijak menarik nafas dalam-dalam, “Aki hanya sedikit menyayangkan sikap kita dalam menyikapi ‘teguran-teguran’ ini, kita lebih banyak berkubang dan terjebak dalam hitungan angka korban, berapa jumlah kerugian materi, berapa rumah yang rusak, dan kalau ada yang lebih, hanyalah perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi, itu saja……,

“Kita tidak pernah beranjak lebih jauh untuk mempelajari hikmah apa yang ada dibalik semua musibah ini, Tsunami Aceh yang demikian besar, dengans sedemikian banyak ‘ayat-ayat’ Allah yang terpampang disana, tertelan dan terlupakan sedemikian cepat, tidak ada pelajaran apapun yang kita ambil dari kejadian itu…;

“Kemudian, gempa jogya yang tak lama berselang, kembali hanya hitung-hitungan diatas kertas mengenai jumlah korban dan kerugian materi yang diderita…;selebihnya kembali kita lupa…;

“Kemudian lagi tanah longsong di Sukabumi, gempa bumi di Padang, lumpur Lapindo dan yang terakhir banjir bandang di Wasior, kembali hanya menjadi komoditi berita dan hitung-hitungan diatas kertas mengenai jumlah korban dan jumlah kerugian materi…….,

“Kalau dengan tsunami Aceh kita tidak bisa diingatkan, kalau dengan gempa padang kita masih mudah lupa, kalau dengan banjir bandang Wasior kita pun melupakannya begitu saja, Aki khawatir, dan kita patut khawatir, Allah akan ‘mengingatkan’ kita dengan sesuatu yang lebih besar dari semua yang pernah selama ini……” Kata Ki Bijak dengan nada penuh keprihatinan.

“Naudzubillah min dzalik ki, kalau ada bencana yang lebih besar dari Tsunami Aceh atau gempa bumi Padang, seperti apa lagi, ana tidak sanggup membayangkannya ki……” Kata Maula.

“Karenanya, sekarang saatnya lah kita mentafakuri kalimat terakhir dari ayat tadi, bahwa dikembalikannya sebagian akibat dari ulah tangan manusia itu adalah “agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”, maka mari kita segera kembali kejalan yang benar, kembali ke jalan lurus yang Allah bentangkan melalui contoh dan teladan Rasulnya, melalui firman-firmannya di dalam Al qur’an…..” Kata Ki Bijak.

“Ki…., apakah perilaku kita sekarang ini sudah jauh dari tuntunan Allah dan contoh Rasul_Nya….?” Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum; “Kita tidak perlu jauh-jauh untuk dapat menemukan contoh betapa sudah jauhnya kita meninggalkan jalan lurus yang Allah bentangkan, mari kita tengok kedalam diri kita masing-masing, adakah kita sudah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah, misalnya dari keseharian kita, sudahkah kita shalat tepat waktu, sudahkan kita membayar zakat, lalu sudahkan kita bergaul dengan orang lain sesuai dengan kaidah dan tuntunan yang benar, sudahkan kita makan dan minum dari makanan yang halal, sudahkah kita mengkoreksi kalau-kalau ada rezeki yang tidak halal bercampur dalam pendapatan kita…, dan masih banyak pertanyaan lain yang dengan mudah kita bisa ajukan pada diri kita sendiri untuk mengukur dijalan mana kita berjalan sekarang ini…………” Kata Ki Bijak.

“Kalau kita mau jujur, pasti banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang sedikit banyak ‘menyimpang’ dari jalan Allah, waktu shalat kita semaunya, zakat yang harusnya kita tunaikan pun masih sekedahnya, cara bergaul kitapun sudah jauh dari tuntunan yang semestinya, belum lagi kalau kita berkaca dari bagaimana cara kita memperlakukan alam dan lingkungan kita, jauh dari kata bijaksana, kita lihat bagaimana kita dengan semena-mena memangkas gunung, bagaimana kita dengan tanpa pemikiran matang mengurug lautan, bagaimana kita mengekplorasi isi perut bumi dengan seenak kita, bagaimana kita dengan tanpa rasa bersalah kita mencemari tanah, air dan udara kita dengan berbagai hal yang sangat ‘menyakiti’ alam dan lingkungan kita…….., jadi rasanya wajar kalau teguran demi teguran selalu Allah alamatkan pada kita, selama kita tidak pernah hirau dengan kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita…..” Kata Ki Bijak lagi.

Maula nampak menghela nafas panjang, ia membenarkan apa yang barusan diuraikan gurunya, dan memang wajar kalau kemudian kita ‘ditegur’ dengan berbagai bencana karena memang kita selalu lupa atau melupakan setiap peringatan yang datang sebelumnya;

“Ki…., dari mana kita harus memulai untuk memperbaiki diri ki….?” Tanya Maula beberapa saat kemudian.

“Dari sini Nak Mas….?” Jawab Ki Bijak sambil menunjuk dadanya.

“Dari sini ki….?” Tanya Maula menirukan Ki Bijak yang menunjuk dadanya.

“Ya Nak Mas, kerusakan yang demikian nyata ini, adalah akibat ulah tangan-tagan manusia, dan tidaklah tangan-tangan itu akan membuat kerusakan jika hati yang ada didalam dada ini baik….” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat haditsnya…?” Tanya Ki Bijak kemudian.

“Iya Ki….Rasulullah bersabda “ Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati". (HR Bukhari dan Muslim).

Ki Bijak mengangguk, “Hati yang rusak, akan mendorong tangan untuk berbuat kerusakan, hati yang rusak, akan melangkahkan kaki ketempat kemaksiatan, hati yang rusak, akan mendorong keinginan tanpa batas, rakus, tamak, dan bahkan diluar batas-batas kewajaran, hati yang rusak, akan membuat anggota tubuh lainnya berbuat kerusakan, dan hal inilah yang dalam hemat Aki menajdi penyebab kerusakan-kerusakan yang ada, dan karenanya, hati ini pulalah yang harus segera diobati dan diperbaiki…..” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki.., kalau dalam hal penyakit dhahir, hampir semua orang aware, sekedar flu atau masuk angin pun, segera kedokter atau minum obat, tapi sangat jarang orang yang mengetahui bahwa hatinya sakit….., termasuk ana, mungkin juga tidak mengetahui secara persis apakah hati ana baik atau sakit…., lalu bagaimana mengetahui keadaan baik buruknya hati kita ki…..” Kata Maula.

“Hanya diperlukan sedikit ‘kejujuran’ kita untuk mengetahuinya Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

“Hanya dibutuhkan sedikit kejujuran kita ki…?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, hati yang sakit, akan selalu condong pada keburukan, seperti shalatnya malas, zakatnya enggan, kemasjid tidak jalan, menolong orang segan, dan selalu dipenuhi oleh angan kosong dan khalayalan, dan pastinya jauh dari mengingat Allah……, bukankah ini mudah untuk kita deteksi Nak Mas..?” Tanya Ki Bijak.

“Sebaliknya, hati yang sehat, selalu cenderung pada kebaikan, menikmati ibadah, dan selalu mengingat Allah dan setiap helaan nafas dan langkahnya……” Tambah Ki Bijak

Maula mengangguk tanda mengerti; “Allahumma ya muqallibal quluubi, tsabit qalbi alaa diinika wa ala ta’atika”. (Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku kepada dien/agama dan ketaatan kepada-MU); pintanya pada Allah beberapa saat kemudian

“Amiin…..” Ki Bijak mengamini.

Wassalam

October 2010

Saturday, September 4, 2010

KISAH SEBUTIR KURMA

“Nak Mas Aki punya sebuah kisah hikmah yang mungkin bisa menjadi ibrah bagi kita, Nak Mas mau mendengarnya….?” Tanya Ki Bijak.

“Tentu ki, ana dengan senang hati mau mendengarkan kisah itu…..” Jawab Maula.

“Kisahnya tentang Ibrahim adham, Nak Mas masih ingat…?” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, ana masih ingat…..” Jawab Maula.

“Suatu ketika, sepulang perjalanan menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham hendak pergi ke Palestine, tepatnya ke masjidil aqsa……”

“Sebagai bekal perjalanannya, beliau membeli satu kilogram kurma yang dijual oleh seorang penjual kurma yang sudah tua…., setelah ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan, Ibrahim mengira bahwa sebutir kurma itu adalah bagian dari kurma yang dibelinya, ia mengambil dan kemudian memakan kurma itu…..” Kata Ki Bijak.

“Lalu apa yang terjadi kemudian ki…?” Tanya Maula penasaran.

“Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa, empat Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa, dan seperti biasa, Ibrahim suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra, ia shalat dan berdoa khusuk sekali ketika tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.

“Apa isi percakapan malaikat tentang Ibrahim bin adham ki…?” Tanya Maula.

“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT, kata malaikat yang satu….” Ki Bijak menirukan percakapan Malaikat.

“Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi..”

“Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah swt gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya……”

“Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar, ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma,untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya….”

“Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda, dan Ibrahim berkata pada anak muda penjual kurma;. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya Ibrahim.

“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda penjual kurma itu.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”, lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat.

“Nah, begitulah, wahai anak muda, engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?” kata ibrahim

“Bagi saya tidak masalah, Insya Allah saya halalkan,tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang, saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya…..” Jawab si penjual kurma

“Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu…..” Ibrahim meminta kesediaan sipenjual kurma untuk menunjukan alamat para ahli waris pak tua yang sebutir kurmanya ia makan tanpa meminta izinnya….

“Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui semua ahli waris pak tua penjual kurma yang berjumlah 11 orang, meskipun tempat tinggal mereka berjauhan, Ibrahim terus mencari mereka untuk meminta dihalalkan kurma yang telah dimakannya, akhirnya selesai juga, semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim bin adham…….

“Empat bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra lagi, tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain….”

“Oooh, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu, diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain,sekarang ia sudah bebas…...” Secara runtut Ki Bijak menceritakan perihal kurma yang dimakan Ibrahim tanpa izin sipemiliknya.

“Astagfirullah………, hanya sebutir kurma yang ‘tidak halal’, tapi daya rusaknya luar biasa ya ki……, doa menjadi tidak makbul, ibadah dan amal jadi tertolak, astaghfirullah….., bagaimana dengan makanan dan minuman yang ada didalam perut ini……” Kata Maula sambil memegangi perutnya, wajahnya nampak khawatir kalau-kalau dalam perutnya terdapat makanan atau minuman yang tanpa ia sadari telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, yang dapat mengakibatkan kerusakan amal dan ibadahnya.

“Itulah kenapa kita harus selalu berhati-hati Nak Mas, seperti sering Aki katakan, kadang kita meremehkan sesuatu perbuatan tanpa berfikir dan mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkannya….” Kata Ki Bijak.

“Astaghfirullah….,astaghfirullah…., ya Allah ampuni hamba jika dalam perut hamba ini ada makanan dan minuman yang tidak halal…., ampuni ya Allah……” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas, dan semoga Allah melindungi kita dari makanan dan minuman yang tidak halal, dan menjaga kita dari kerusakan yang ditimbulkannya,…..” Kata Ki Bijak.

“Amiiin……..”

September 2010

Wednesday, September 1, 2010

HATI-HATI, BAHAYA SUBHAT DALAM OVERTIME

“Terima kasih Nak Mas, kok repot-repot bawa buah tangan segala….” Kata Ki Bijak sambil menerima buah tangan yang Maula bawa.

“Tidak apa-apa ki, Alhamdulillah, bulan ini ana ada rezeki lebih……” Kata Maula.

“Syukurlah…., tambahan rezeki darimana Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.

“Bulan kemarin ana ada banyak lembur ki, jadi ada sedikit tambahan…….” Maula menjawab dengan hati-hati, karena ia melihat raut muka gurunya yang sedikit bertanya.

“Nak Mas, Aki minta maaf sebelumnya, kalau boleh Aki tahu, apakah Nak Mas lembur Nak Mas atas permintaan perusahaan atau atas inisiatif Nak Mas sendiri….?” Tanya Ki Bijak.

“Atas permintaan kantor ki, bulan lalu ada stocktaking yang mengharuskan ana menyelesaikannya sampai agak larut, memangnya kenapa ki…?” Tanya Maula agak khawatir.

KI Bijak menarik nafas panjang, “Syukurlah…., tidak apa-apa Nak Mas, Aki hanya sedikit khawatir kalau dalam uang lembur Nak Mas itu ada uang yang subhat yang tanpa Nak Mas sadari terbawa, betapapun kecil, itu akan berdampak tidak baik bagi Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

“Astaghfirullah…., pada uang lembur ada potensi tercemar uang subhat ki…?” Tanya Maula.

Ki Bijak mengangguk, “Kemarin ada santri disini yang menceritakan pada Aki, bahwa ditempatnya bekerja, ada beberapa orang yang ‘dengan sengaja’ melemburkan diri dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan uang lembur, modusnya macam-macam, ada yang hari jum’at atau senin dia tidak masuk, tapi justru ia masuk dihari sabtu dan minggu, hingga dihitung lembur…, ada juga yang sengaja menunda-nunda pekerjaan hariannya, sehingga harus diselesaikan dengan lembur, dan menurut cerita santri tadi, masih banyak lagi modus yang digunakan beberapa oknum karyawan untuk menambah uang lembur….”

“Dan dalam hemat Aki, lembur dengan cara-cara menambah lemburan seperti ini adalah cara yang tidak elegan dan menyalahi peraraturan, baik itu peraturan perusahaan, terlebih aturan syari’at, karena uang yang didapat dengan cara seperti ini, seperti Aki bilang tadi, sangat berpotensi tercemar subhat atau bahkan haram…….” Kata Ki Bijak menambahkan.

“Naudzubillah……, uang lemburnya tidak seberapa, tapi mudharatnya lebih besar ya ki….” Kata Maula.

“Itulah kenapa Aki menanyakan kepada Nak Mas, apakah alas an lembur Nak Mas benar, atau hanya mengada-ada, karena Aki tidak ingin ada makanan atau minuman yang Nak Mas dan kelurga makan tercampur dengan hal-hal yang tidak baik, meski itu sebutir nasi atau setetes air sekalipun…..” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, terima kasih sudah mengingatkan….., dan insya Allah ana tidak ingin seperti itu…..” Kata Maula.

“Harus Nak Mas, dan bahkan wajib hukumnya bagi kita untuk senantiasa komit untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang seperti ini, uang subhat tidak akan menambah apapun bagi kita, kecuali kerugian….”

“Dalam kasus lemburan misalnya, ketika kita tidak ‘jujur’ dalam pekerjaan, dan kemudian kita melemburkan diri untuk menambah penghasilan, percayalah, bahwa saat itu jiwa kita tidak akan tenang, jiwa kita akan merasa bersalah, meski atasan kita atau perusahaan tidak mengetahuinya dan tetap akan membayar uang lembur kita…..”

“Setelahnya, setelah kita mendapatkan uang lembur, uang itu akan digunakan untuk menafkahi anak istri kita, saat itu pun, sebenarnya jiwa kita menjerit, karena sebenarnya kita tahu, uang yang kita berikan, tercemar dengan uang subhat, jiwa kita akan menghukum kita karena telah meracuni anak istri kita dengan uang subhat….”

“Dan kalau sampai uang yang dihasilkan dari jalan subhat itu masuk lewat makanan dan minuman yang dibeli dengan uang subhat, maka ‘racun subhat’ ini akan menggerogoti jiwa dan hati kita, jiwa dan hati anak istri kita, jiwa dan hati siapapun yang ikut menikmati uang subhat yang kita hasilkan, naudzubillah……” Kata Ki Bijak.

“Mengerikan sekali ya ki…..” Kata Maula.

“Aki tidak bermaksud menakut-nakuti Nak Mas, Aki hanya ingin kita benar-benar menjaga diri dari kesalahan sekecil apapun, karena kesalahan yang kita anggap kecil, sangat mungkin berdampak besar dikemudian hari, baik itu secara lahir maupun secara bathin…., dan satu lagi, tidak ada dosa kecil, jika dosa itu dilakukan terus menerus tanpa pernah diperbaiki…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki……” Kata Maula pendek.

“Dan satu lagi Nak Mas, jangan pernah silau dengan mereka yang berpenghasilan banyak, cukupkan penghasilan kita dari cara baik dan halal, insya Allah itu cukup bagi mereka yang menginginkan pertemuan dengan Allah diakhirat kelak…..” Kata Ki Bijak.

Maula diam termenung memikirkan kata-kata gurunya, ia mencoba mengintrospeksi diri, jangan-jangan masih ada uang subhat dalam penghasilannya.

“Nak Mas, boleh Aki coba oleh-olehnya…..?” Kata Ki Bijak memecah lamunan Maula.

“Iya Ki, silahkan, insya Allah ini dibeli dengan uang halal, semoga diterima ya Ki….” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Ana percaya pada Nak Mas, dan semoga Allah senantiasa menjaga Nak Mas dan keluarga agar senantiasa terlindung dari bahaya uang subhat dan apalagi haram….” Kata Ki Bijak sambil menikmati buah tangan yang dibawa Maula.

“Amiiin…..” Kata Maula mengamini.

August 31,2010

Friday, August 13, 2010

ASA SANG MASJID

Aku adalah sang masjid yang terbiasa kesepian
Aku layaknya bangunan tak bertuan
Debu dan sarang laba-laba bergelantungan
Disetiap sudutku hampir tak tersentuh tangan

Kini, aku bisa sedikit tersenyum lega
Manakala bulan ramadhan tiba
Wajahku yang lusuh berubah menjadi cerah
Seiring datangnya sang bulan penuh berkah

Betapa lama ku rindukan saat seperti
Saat mana jamaah datang membanjiri
Dzikir, tasbih dan tahmid mengalun dari setiap tepi
Ruanganku yang luas pun kini terpenuhi

Mengharu biru rasaku menyambut para tamu
Rahmat dan keberkahan semoga tercurah untukmu
Wahai hamba Allah yang telah berkenan memakmurkanku
Semoga ini bukan hanya sementara waktu…….

Saturday, July 17, 2010

H-25 RAMADHAN.

“Dalam hal apapun, persiapan selalu memiliki peran penting dalam sebuah proses…., baik itu dalam proses pelaksanaan sebuah proyek, dalam proses produksi, dalam proses pekerjaan, atau bahkan dalam proses menuju tangga juara sebuah kejuaraan, persiapan…., adalah salah satu factor lahiriah yang sangat menentukan berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai……” Kata Ki Bijak, mengenai pentingnya persiapan.

“Iya ki….., dalam putaran piala dunia kemarin, memang sangat terlihat tim atau pemain mana yang memiliki persiapan yang baik atau sebaliknya…., tim dan pemain dengan persiapan yang baik, menampilkan permainan yang baik pula, sementara mereka yang persiapannya kurang, mainnya pun kurang memuaskan….” Kata Maula mengibaratkan pentingnya perisapan dalam sebauh pertandingan sepakbola.

“Ya Nak Mas, meski persiapan yang baik, tidak menjamin sebuah tim menjadi juara, setidaknya dengan persiapan yang baik akan membuat penampilan mereka tidak mengecewakan, terlepas dari hasil akhir yang dicapai…..”,

“Pun demikian dengan ibadah ramadhan Nak Mas, kalau Aki tidak salah hitung, hari ini, adalah tepat 25 hari sebelum tanggal 1 ramadhan 1431 H akan tiba…., dan sama halnya dengan yang lain, persiapan untuk memasuki gerbang ramadhan, akan sangat membantu kita untuk menjalani shuam ramadhan dan ibadah lainnya dibulan mulia ini dengan sebaik-baiknya, dengan harapan tentu diakhir ramadhan nanti kita akan menjadi ‘pemenang-pemenang’ ramadhan yang mendapat predikat ‘mutaqien’…..” Kata Ki Bijak.

“Masya Allah.., sekarang sudah masuk bulan Sya’ban ya ki….., ya Allah, rasanya cepat sekali waktu berlalu, syukur Alhamdulillah.., semoga kita bisa sampai keramadhan lagi ya ki……” Kata Maula, baru menyadari bahwa ramadhan hanya tinggal dalam hitungan hari.

“Memang sepantasnyalah kita bersyukur dengan karunia umur yang Allah anugerahkan kepada kita, namun mensyukuri nikmat umur, hingga kita dipertemukan dengan ramadhan lagi, bukan semata dengan ungkapan kata-kata, namun lebih dari itu, rasa syukur kita harus kita barengi dengan tindakan nyata, yakni mempersiapkan diri memasuki gerbang ramadhan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai setelah kita menunggu kedatangan ramadhan sepanjang tahun, tapi begitu ramadhan tiba, kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang dicontohkan baginda Rasul…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ya ki, ramai-ramai orang menggemakan ramadhan akan tiba, tapi kadang pelaksanan ramadhannya sendiri ala kadarnya saja, shaumnya pun asal shaum saja, bahkan tak jarang dengan alas an melaksanakan shaum, ibadah lainnya jadi malas-malasan karena lapar…..” kata Maula.

“Karenanya kita harus mempersiapkan diri dengan baik Nak Mas, agar kita tidak termasuk kedalam golongan orang yang menyia-nyiakan ramadhan…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Apa saja persiapannya ki…..?” Tanya Maula.

“Banyak hal yang bisa kita lakukan demi mencapai hasil ibadah yang maksimal selama bulan ramadhan; beberapa diantaranya adalah persiapan mental, persiapan spiritual, persiapan fikriyah, persiapan fisik dan materi, dan yang tak kalah penting adalah kita membuat perencanaan atau agenda untuk meningkatkan prestasi ibadah kita dibulan ramadhan…….” Kata Ki Bijak.

“Persiapan mental artinya mempersiapkan mental kita untuk focus dan konsentrasi menjalankan ibadah ramadhan, tidak terganggu dengan hal-hal lain semisal keinginan membeli baju baru atau kesibukan untuk persiapan mudik misalnya…, begitu ki….?” Kata Maula mencoba mendefinisikan.

“Benar Nak Mas, persiapan mental adalah bagaimana kita menjaga konsentrasi ibadah agar memperoleh hasil maksimal…..” Ki Bijak membenarkan.

“Sementara persiapan spiritual adalah persiapan ruhaniyah kita untuk menerima keagungan ramadhan…..” Tambah Ki Bijak.

“Persiapan ruhaniyah kita untuk menerima keagungan ramadhan ki…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, untuk memperoleh hasil maksimal, kita harus mempersiapkan ‘wadah’nya terlebih dahulu, ruhani kita harus dibersihkan dahalu sebelum kita memasuki gerbang ramadhan, ruhani kita harus diisi dengan memperbanyak dzikir, memperbanyak istighfar, memperbanyak shodaqoh, serta memperbanyak amaliah lainya, sehingga ketika kita memasuki gerbang ramadhan, kita sudah benar-benar siap mengisinya dengan aktivitas ibadah yang maksimal…..” Kata Ki Bijak.

“Baginda Rasul mencontohkan bahwa pada bulan sya’ban beliau banyak melakukan shaum sunnah, yang menurut hemat Aki, ini juga salah satu bentuk atau cara baginda Rasul mempersiapkan diri memasuki bulan suci ramadhan….” Tambah Ki Bijak

“Ana mengerti ki, sementara persiapan fikriyah, tentu ilmu tentang shaum dan ibadah shaum itu sendiri, dan persiapan fisik dan materi maksudnya agar kita menjaga kesehatan dan mempersiapkan materi (kalau ada) agar tidak mengganggu konsentrasi ibadah kita ya ki….” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, dan mengenai perencanaan, kita tahu bahwa ramadhan bulan ibadah, bulan tarbiyah, serta bulan muhasabah….., begitu banyak keutamaan yang akan kita dapatkan jika kita bisa memanfaatkannya secara maksimal, karenanya bisa harus menyusun rencana secara baik, agar keutamaan-keutaman ramadhan tidak lewat dengan sia-sia, dengan alas an kita sibuk dengan rutinitas pekerjaan atau lainnya…….” Kata Ki Bijak lagi.

“Ini Nak Mas…, Aki punya contoh agenda ramadhan yang dibuat seorang beberapa waktu lalu….., Nak Mas bisa menambahkan aktifitas lainnya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan Nak Mas……” Sambung Ki Bijak sambil menyerahkan contoh agenda ramadhan pada Maula
“Terima kasih Ki……” Kata Maula sambil menerima sample agenda ramadhan yang diserahkan gurunya.

“Kalau dalam sepakbola, persiapan seperti ini mungkin seperti proses aklimatisasi dan adaptasi ya ki…., agar tidak kaget lagi ketika benar-benar sudah memasuki medan kompetisi yang sesungguhnya…..” Kata Maula menambahkan.

“Iya Nak Mas, persiapan menyambut bulan suci ramadhan ini adalah proses aklimatisasi dan adaptasi, sekaligus membiasakan suasana kompetesi dan juga agar pada saat ramadhan tiba, kita sudah siap dan berada pada peak performance, bukan begitu istilah sepakbolanya Nak Mas……?” Kata Ki Bijak.

Maula tersenyum mendengar Ki Bijak yang dengan fasih menirukan istilah yang biasa digunakan dalam sepakbola…….

“Ya ki, peak performance…., itu istilah yang biasa gunakan para atlet dalam mempersiapkan diri sebelum mengikuti sebuah kompetisi atau kejuaraan…..” Kata Maula.

“Dan sebentar lagi, kita akan menjadi ‘atlet-atlet’ kompetesi ramadhan, yang menyediakan piala berupa syurga da segala kenikmatannya bagi mereka yang berhasil memasuki garis finish dengan sempurna dan dengan cara yang diridahi Allah swt……” Kata Ki Bijak lagi.

Maula tersenyum dan makin menyadari bahwa gurunya tidaklah semata alim dalam urusan hati dan akhirat, tapi juga fasih berbicara dan menggunakan istilah-istilah olahraga.

“Iya ki, semoga kita menjadi pemenang-pemeang ramadhan ya ki…..” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas, maksimalkan persiapannya, laksanakan shaumnya dengan ikhlas, selebihnya biarlah Allah yang akan membalas amal kita sesuai dengan kehendak_Nya…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Insya Allah ki……..” Kata Maula mengakhiri perbincangan denga gurunya untuk bersiap melaksanakan shalat.

Wassalam
July 16, 2010