Wednesday, May 30, 2007

MEREKA YANG DIBINASAKAN


25. Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (Dia berkata): "Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu,

26. Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan". (Hud:25~26)

Kaum Nabi Nuh adalah kaum yang diberitakan pertama kali oleh Al Qur’an sebagai umat yang dibinasakan karena mereka mengingkari dakwah Nabi Nuh as agar mereka menyembah Allah saja, seperti termaktub dalam dua ayat tersebut diatas.

Mereka, para pemuka kaum Nabi Nuh as mengatakan bahwa Nabi Nuh as tidak lebih dari manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan (tidak mendapat wahyu) apapun, bahkan mereka menantang Nabi Nuh as untuk untuk mendatangkan azab kepada mereka;


32. Mereka Berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu Telah berbantah dengan kami, dan kamu Telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, Maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar" (Hud:32).

Maka setelah sekian lama dakwahnya tidak “berhasil” mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah dan sikap kaumnya yang sudah melampaui batas, Nabi Nuh as kemudian memohon kepada Allah untuk menurunkan azab kepada kaumnya yang membangkang, hingga akhirnya Allah menimpakan gelombang besar yang membinasakan kaumnya yang membangkang itu, sementara orang-orang yang beriman kepada Allah diselamatkan dengan bahtera yang dibuat Nabi Nuh atas perintah Allah Swt, termasuk mereka yang binasa adalah putra Nabi Nuh yaitu Kan’an.

Kemudian Al qur’an menceritakan bagaimana kaum ‘Ad yang mengingkari dakwah Nabi Hud untuk untuk menyembah Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya, dan bahkan mereka mengatakan bahwa Nabi Hud menderita penyakit gila, dan kemudian Allah-pun membinasakan mereka

Kaum Nabi Shaleh, yaitu kuam Samud, mengingkari seruan Nabi Shaleh untuk menyembah Allah swt, bahkan mereka membunuh unta yang diwasiatkan oleh Nabi Shaleh untuk tidak dibunuh.

Dan atas keingkaran mereka untuk menyembah Allah dan seruan Nabi Shaleh, Allah menimpakan guntur sehingga mereka mati bergelimpangan dirumah-rumah mereka sendiri.

Kemudian kita juga mendapati kisah kaum Luth yang tidak mau mengikuti seruan Nabi-nya untuk meyembah Allah swt, dan bahkan mereka melakukan perbuatan yang melampau batas, yaitu melakukan penyimpangan seksual dengan sesama jenis, dan akhir kisah kaum Nabi Luth adalah mereka mati ditimpa azab Allah berupa dijungkir balikannya bumi tempat mereka berpijak dan hujan batu dari tanah yang terbakar, Naudzubillah.

Penduduk Madyan, kaum Nabi Syu’aib, adalah contoh lain dari umat yang dibinasakan Allah karena mereka mengurangi takaran dan timbangan serta tidak memenuhi hak-hak orang lain, selain mereka mengingkari Allah sebagai satu-satunya ilah yang berhak dan wajib disembah serta tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. Maka akhir yang tragis pun menimpa mereka, Allah membinasakan mereka dengan suara yang mengguntur sehingga mereka mati bergelimpangan dirumahnya.

Dan kisah terbesar yang paling banyak diingat adalah bagaimana Fir’an, sang raja mesir yang mengaku dirinya tuhan dan tidak mengakui kenabian Nabi Musa serta memperbudak bani israil dengan kekejamananya, ditenggelamkan Allah dilautan ketika Fir’an dan pasukannya hendak mengejar Nabi Musa dan kaumnya.

Salah satu kaum Nabi Musa lain yang tercatat sebagai salah seorang yang diazab Allah adalah Qorun sebagaimana tergambar dalam surat Al Qashas ayat 76~81;

76. Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa[1138], Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan kami Telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya Berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".

77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

78. Karun berkata: "Sesungguhnya Aku Hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada padaku". dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh Telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih Kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.

79. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang Telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".

80. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".

81. Maka kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).

[1138] Karun adalah salah seorang anak paman nabi Musa a.s.
[1139] menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya.

Ditenggelamkannya kaum Nabi Nuh, kebinasaan yang menimpa kaum ‘Ad (Kaum Nabi Hud), kehancuran kaum Samud, diazabnya kaum Nabi Shaleh, kehancuran penduduk Madyan, kaum Nabi Luth sampai dengan tenggelamnya Fir’an ditelan gelombang lautan serta harta kekayaan Qarun yang ditelan bumi, semuanya merupakan ibrah bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat, agar kita bisa selamat fi dunya wal akhirat.

Apa saja “kesalahan-kesalahan” mereka?

1. Mereka tidak mau menyembah Allah

2. Mereka mengingkari seruan nabi-Nya

3. Mereka mempersekutukan Allah dengan berhala dan sesembahan lain

4. Mereka berlaku tidak adil dengan mengurangi takaran dan timbangan serta tidak memenuhi hak-hak orang lain – kaum Nabi Syu’aib

5. Mereka berlaku maksiat dengan melakukan penyimpangan seksual, - kaum Nabi Luth

6. Mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan mengangap dirinya tuhan serta haus kekuasaan – seperti fir’aun

7. Mereka mentuhankan harta dan sombong karena ilmunya– seperti Qarun

Mari kita tengok sekarang kedalam diri kita masing-masing atau keseliling kita, adakah sebab-sebab yang telah menghancurkan kaum-kaum terdahulu itu dalam diri dan lingkungan kita?

Kalau mereka binasa karena tidak mau menyembah Allah swt, lalu kenapa masih banyak diantara kita yang enggan untuk menyembah Allah dengan meninggalkan shalat dengan senang hati misalnya?

Kalau mereka binasa karena mengabaikan seruan para nabi dan rasul, lalu kenapa masih banyak diantara kita yang dengan bangga membelakangi sunnah-sunnah junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw,bahkan sekedar shalat nafilah saja misalnya?

Kalau mereka binasa karena mereka mempersekutukan Allah dengan berhala dan patung, lalu kenapa masih banyak diantara kita yang mempersekutukan Allah dengan harta, pangkat dan jabatan?

Kalau mereka binasa karena mereka berlaku tidak adil dengan mengurangi timbangan dan takaran serta mengabaikan hak-hak orang lain, lalu kenapa masih banyak diantara kita yang masih bisa tertawa terbahak-bahak diatas penderitaan orang lain yang hak-haknya kita rampas? Kita masih bisa tersenyum padahal kita tidak mengeluarkan zakat yang didalamnya ada hak fakir miskin, anak yatim, musafir dan orang-orang yang terlantar?

Kalau mereka binasa karena penyimpangan perilaku seksual, lalu kenapa masih banyak diantara kita yang masih bangga dengan SLI (Selingkuh Itu Indah) yang jelas-jelas tidak ada syariatnya?

Kalau mereka binasa karena merasa dirinya paling hebat dan berkuasa, lalu kenapa masih banyak diantara kita justru menjadi orang yang gila hormat, mabuk jabatan dan memimpikan kekuasaan dengan berbagai cara yang kadang melampaui batas dan tidak dibenarkan secara syari’at?

Kalau mereka binasa karena sombong dengan hartanya dan bangga dengan ilmu yang dimilikinya, lalu kenapa masih banyak diantara kita yang berlomba mengumpulkan harta dengan mengesampingkan kewajiban kita sebagai hamba untuk mengabdi kepada Allah swt? Masih banyak pula diantara kita yang merasa paling pintar, sok jago, paling segalanya?

Bahkan yang lebih memprihatinkan, tindak tanduk kita, tingkah polah kita, tutur kata kita seolah-olah “menantang Allah” untuk segera menurunkan azab sebagaimana kaum durhaka dulu.

“Aaah, shalat tidak shalat sama saja, toh saya tidak apa-apa”

“Aaah, mau musyrik kek, mau kafir kek, itu khan urusan saya, bukan urusan ustadz”

“Aaah, ustadz mah nggak usah ikut-ikutan, uang ini khan uang saya, hasil keringat
saya, kenapa saya harus bayar zakat segala”

Dan masih banyak lagi ucapan dan perilaku bernada menantang, ketika kita diingatkan oleh ustadz atau kyai.

Apakah benar kita sudah siap menerima azab Allah? Ingat azab Allah itu sangat pedih!!!

Jangankan untuk menerima azab yang besar sebagaimana ditimpakan Allah kepada kaum-kaum terdahulu, lha wong sakit gigi aja kita teriaknya kayak orang kesurupan!!

Agar kita selamat dan terhindar dari azab Allah, mari kita mohon kepada Allah untuk diselamatkan dari siksa dunia dan siksa akhirat, dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan kaum terdahulu dengan mengikuti secara penuh dan secara benar apa yang digariskan Allah lewat Al qur’an dan Rasul-Nya.

Ingin Selamat, Laksanakan Ajaran Muhammad, yaitu Islam dengan sempurna.

Wassalam

May 30, 2007

Tuesday, May 29, 2007

ALL BEGINNING IS DIFFICULT

Maulana, namanya, bayi berusia enam bulan itu telah mengingatkan kembali ayahnya terhadap sebuah tulisan yang terpampang didinding Sekolah Teknik Menengahnya dulu, “All beginning is Difficult – Setiap permulaan adalah sulit”, begitu kira-kira bunyi pepatah tersebut.

Diusianya yang sekarang, ia sedang belajar merangkak, terasa sulit olehnya untuk memulai merangkak, satu, dua kali kaki dan tangannya melangkah, ia kembali tersungkur diatas kasur. Ia mencoba lagi meraih benda-benda yang berada dihadapannya, tapi kemampuan merangkapnya yang belum sempurna, membuat ia sangat kesulitan untuk mendekati apa yang diinginkannya.

Merangkak, adalah pekerjaan mudah bagi kita orang dewasa, atau untuk anak usia lima tahun sekalipun. Tapi tidak demikian untuk bayi yang baru memulai belajar merangkak, pekerjaan merangkak adalah sebuah kesulitan yang sangat, karena ia baru memulainya.

Kesulitan dalam memulai hal baru, bukan hanya dialami oleh seorang bayi, tapi juga akan dialami oleh siapapun, terlepas dari apakah ia seorang dewasa, seorang terdidik, seorang terpelajar atau ahli sekalipun, ketika kita kan memulai hal yang baru, pasti kita akan dihadang oleh kesulitan, ya sebuah kesulitan karena kita belum berpengalaman dibidang itu, belum memiliki kekuatan dan ilmu yang cukup atau berbagai hal lain yang merupakan sesuatu yang lumrah terjadi bagi mereka yang akan memulai sesuatu yang baru.

Ketika ada kawan atau teman yang menganjurkan dan mengajak kita shalat berjamaah dimasjid, terasa sangat sulit bagi kita untuk melangkahkan kaki ini kemasjid,

“Iya, Pak, Insya Allah,nanti saya kemasjid” Itu yang paling sering kita dengar dari orang yang diajak kemasjid, atau yang lebih ekstrim mereka akan mengatakan;

“Dirumah juga khan sama-sama shalat, kenapa mesti kemasjid?”

Kemasjid untuk shalat berjamaah adalah sesuatu yang mudah bagi mereka yang terbiasa melakukannya, tapi merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi orang yang baru akan memulainya, All beginning is difficult.

Tapi cobalah rasakan betapa kita akan merasakan suatu “kerugian” ketika kita melewatkan momen shalat berjamaah, karena disana ada kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sudah terbiasa kemasjid.

Membaca Al qur’an, terasa sangat menyakitkan geraham dan melelahkan lidah bagi mereka yang baru memulai membacanya.Apalagi kalau sudah belajar tahsin, susahnya minta ampun.
“Tidak sulit kok Pak, belajar tahsin dan membaca al qur;an itu nikmat dan menyenangkan...” , Kata Pak Ustadz yang memang setiap hari membaca al qur’an, lagi bahwa setiap permulaan pasti mengalami kesulitan.

“Saya seperti merasa punya utang, kalau saya belum mengeluarkan zakat dari harta dan penghasilan saya” Kata seorang dermawan.

Lain halnya ketika kita bertanya pada seorang yang baru memulai untuk membayar zakat, beraaaat sekali, susaaaah sekali, sampai kepikiran terus bahwa seandainya uang yang dizakatkan itu untuk membeli ini dan itu, karena memang setiap permulaan pasti ada kesulitan.

Lalu apakah karena setiap kita akan memulai sesuatu yang baru (yang baik tentunya), kita akan mengalami kesulitan, kemudian kita tidak akan pernah melakukan hal-hal baru?

Apakah jika kita merasakan kesulitan ketika pertama kali kemasjid, kita merasa susah, malu, minder atau berat, kemudian kita tidak akan pernah shalat berjamaah kemasjid selamanya?

Apakah kalau belajar tahsin dan membaca al qur’an untuk pertama kali itu susahnya setengah mati, kemudian kita memutuskan untuk meninggalkan membaca al qur;an untuk selamanya?

Apakah jika sedekah, zakat dan berderma untuk pertama kali itu berat sekali, kemudian lantas kita memutuskan untuk menjadi orang kikir selamanya?

Apakah kita siap menjadi orang yang paling merugi hanya karena kita takut memulai hal-hal baru yang lebih baik?

Akal sehat kita tidak akan menerima pendapat keliru bahwa kita lebih baik tidak melakukan pembaharuan karena kita akan mengalami kesulitan pada awalnya. Akal kita pasti mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal baru yang lebih baik sesuai dengan kadar kemampuan kita.

Perlu kita ingat bahwa “kemudahan” yang kita rasakan adalah karena kita telah berjuang mengalahkan “rasa sulit” pada permulaannya.

Betapa kita merasakan nikmatnya bisa berjalan normal, dan ini tidak akan tercapai jika dulu kita tidak pernah merasakan sulit dan sakitnya kita belajar berjalan.

Betapa kita merasakan nikmatnya bisa membaca al qur’an, dan ini tidak akan tercapai jika kita dulu tidak pernah merasakan sulit dan susahnya belajar tajwid dan tahsin dengan benar.

Betapa kita merasakan nikmatnya bisa shalat berjamaah dimasjid, dan ini tidak akan tercapai jika kita selalu bilang “insya Allah, nanti” setiap ada rekan yang mengajak kita.

Pun dalam hal lain, kendaraan adalah sebuah jawaban terhadap kesulitan menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki

Pesawat terbang adalah jawaban terhadap kesulitan perjalanan yang tidak bisa dicapai dengan kendaraan darat.

Pun dengan kapal laut, kereta api, pesawat telepon, pasti mereka menemui dan mengalami kesulitan ketika pertama kali mereka berusaha menemukan dan menggunakan alat-alat dan kendaraan tersebut. Dan dari sana kita bisa belajar bahwa kesulitan bukan sesuatu yang harus kita hindari, tapi harus kita atasi.

Dengan apa kita mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut?

Ilmu – dengan pengetahuan yang memadai, kita bisa mengatasi kesulitan-kesulitan yang pasti datang menghadang dalam setiap gerak dan langkah kita.

Kemauan dan tekad – ada banyak orang yang dikarunia ilmu dan pengetahuan yang memadai, tapi sangat miskin kemauan dan tekad, sehingga ilmu dan pengetahuannya hanya sebatas wacana. Seorang yang mampu memadukan ilmu dan kemauan serta tekadnya sajalah yang mempunyai potensi lebih besar untuk mampu mengatasi kesulitan.

Keyakinan – adalah pondasi utama yang akan mampu menopang secara kokok tingginya ilmu serta besarnya kemauan. Ilmu dan kemauan yang besar, tidak akan bisa mencapai tingkatan maksimal tanpa dilandasi oleh sebuah keyakinan yang besar pula.

Keberanian – Berani mencoba, berani berlatih, berani gagal, dan keberhasilan hanya milik mereka yang memiliki keberanian.

Dan yang terpenting adalah ridha Allah swt, Insya Allah, Allah akan memudahkan mereka dalam mengatasi kesulitan, selama mereka berada dijalan-Nya dan memiliki perpaduan sempurna antara Ilmu, kemauan dan tekad, keyakinan dan keberanian dalam dirinya.

Wassalam

May 22, 2007

Monday, May 28, 2007

SEHAT ITU NIKMAT

Berada di Rumah Sakit selama kurang lebih 4 hari adalah sebuah pengalaman yang memberikan banyak kesan mendalam, betapa kesehatan itu sebuah nikmat yang luar biasa dan sangat mahal harganya.

Disana, dirumah sakit, kita mendapat pelajaran yang sangat berharg dengan perantaraan mereka yang sakit;

Ada pasien yang duduk dikursi roda, karena kakinya patah

Ada pasien yang lengannya harus diemban karena tanganya patah

Ada pasien yang kepalanya dibalut perban karena mengalami pendarahan

Ada pasien yang matanya ditutup sebelah karena sakit mata

Ada pasien yang tidak bisa makan

Ada pasien yang tidak bisa buang air

Ada pasien yang justru kebanyakan buang air

Ada banyak lagi pasien dengan segala keluhan dan penyakitnya, mereka terlihat menderita, mereka terlihat menghiba menahan rasa sakit dan rasa tidak nyaman karena penyakit yang didderitanya, lalu bagaimana dengan kita?

Saat ini kaki kita sehat tak kurang suatu apa, sehingga kita bisa berjalan dengan nyaman menyusuri jalanan atau menuju tempat yang kita inginkan

Saat ini tangan dan lengan kita sehat tak kurang suatu apa, sehingga kita bisa mengetik, menulis dan memungut benda-benda kesukaan kita tanpa rasa nyeri atau sakit

Saat ini kepala kita sehat tak kurang suatu apa, sehingga kita bisa menggeleng, menengok kiri dan kanan dengan nyaman

Saat ini mata kita sehat tak kurang suatu apa, sehingga kita bisa membaca atau melihat keindahan ciptaan Allah disekeliling kita

Saat ini perut kita sehat tak kurang suatu apa, sehingga kita bisa menyantap makanan kesukaan kita

Seandainya kita mau, kita bisa menukar kesehatan kaki kita kepada pasien yang kakinya patah dengan imbalan ribuan atau jutaan rupiah, insya Allah mereka yang sakit mau membeli kesehatan yang kita miliki dengan harta apapun yang mereka miliki.

Seandainya kita mau, kita bisa menukar kesehatan tangan kita dengan pasien yang tangannya teramputasi, dengan imbalan yang kita inginkan

Seandainya kita mau, kita bisa menukar kesehatan mata kita, kesehatan kepala kita, kesehatan mulut dan perut kita kepada mereka yang sakit, dan bagi mereka yang berpikiran sehat, pasti akan setuju bahwa mereka tidak akan mau menukar kesehatan yang dikaruniakan Allah kepadanya dengan sakit yang sedang ditimpakan pada orang lain.

Lalu kenapa kita masih saja mengeluh tak punya motor atau mobil padahal kita telah dikaruniai kaki yang sehat?

Lalu kenapa kita masih saja mengeluh dengan pekerjaan kita, sementara kita telah dikaruniai tangan yang sehat?

Lalu kenapa kita masih saja mengeluh dengan makanan yang kita makan, sementara mereka yang sakit perut, tak sesuap nasipun bisa masuk perutnya?

Lalu kenapa kita masih saja mengeluh mata kita tidak seindah artis, sementara mereka yang sakit bahkan tak bisa melihat apapun?

Lalu kenapa kita masih saja mengeluh dengan segala nikmat yang telah Allah karuniakan kepada kita, seolah-olah Allah selalu saja salah dimata kita.....

Ya, Allah akan selalu salah dalam pikiran dan pandangan orang-orang yang kufur atas nikmat Allah;

Dikasih sehat, masih ingin yang lebih, dan lebih, sementara mereka tak pernah menggunakan karunia Allah sesuai dengan kehendak-Nya.

Kaki yang seharusnya dilangkahkan kemasjid atau ketempat-tempat yang diridhai Allah, justru digunakan untuk berjalan menuju tempat maksiat.

Tangan yang seharusnya terulur untuk berzakat dan berinfak, malah disembuyikan dibelakang punggungnya karena kekikiran.

Mata yang seharusnya digunakan untuk membaca ayat-ayat Allah, justru digunakan untuk memandang apa yang diharamkan-Nya.

Perut yang harusnya diisi dengan makan baik dan halal, justru dipenuhi dengan makanan subhat atau bahkan haram;

Terlebih ketika ditimpakan kepada mereka yang kufur berupa penyakit; Allah seolah-olah “musuh” yang sangat menakutkan, sehingga mereka bukan berupaya untuk tafakur dan berintropeksi diri dengan penyakit yang dideritanya, tapi justru mengeluarkan sumpah serapah yang tak jelas juntrungannya.

Kapan Allah akan benar dimata orang-orang kufur ini?

Sakit adalah ujian, untuk menguji sejauh mana kesabaran kita, sakit juga boleh sangat jadi merupakan cara Allah untuk memutar rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Bukankan dengan sakit itu berarti kita menjadi wasilah bagi rezeki dokter, perawat, rumah sakit tempat kita berobat?

Sehat adalah juga ujian, untuk menguji sejauh mana kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kita.

Dua-duanya ujian dari Allah, hanya dengan sikap terbaik sajalah kita bisa mendapatkan keuntungan dari apa yang tengah kita alami.

Sabar dan iman kita dalam menghadapi penyakit yang kita derita, insya Allah akan menggugurkan sebagian dosa-dosa kita, selain juga kita mendapat pahala atas sabar itu sendiri.

Syukur dan iman kita dalam memanfaatkan nikmat Allah, adalah jalan pembukan bagi turunya nikmat Allah yang lebih besar, Insya Allah.

So, tidak ada yang salah dengan kebijaksanaan Allah dalam memberi sehat dan sakit kepada kita, karena Dia adalah Allah Yang Maha Bijaksana.

Wassalam

May 28, 2007

Tuesday, May 22, 2007

SESUDAH KESULITAN ITU ADA KEMUDAHAN


5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.



Setiap kali membaca dua ayat diatas, penulis selalu teringat dengan sebuah nasehat bijak seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama dulu, beliau, Pak Dede Karya, kala itu bertutur bahwa;

“Jangan takut menghadapi tanjakan yang menghadang didepanmu, karena setinggi apapun tanjakan yang akan kamu lalui, dibalik tanjakan sana pasti ada jalan menurun”.


“Setinggi-tingginya gunung, pasti ada dibaliknya ada turunan, tidak akan selamanya jalanan digunung itu naik, suatu ketika pasti akan turun”.

Dua buah tutur bijak yang ketika pertama disampaikan dulu, seperti tak memberi kesan apapun, baru setelah sekian lama berselang, nasehat itu benar adanya.

Bukan hanya jalan atau gunung yang memiliki dua sisi yang berlawanan, dalam kehidupan kita pun sudah merupakan sebuah sunatullah bahwa segala sesuatunya berpasang-pasangan.

Ada siang, ada malam, Ada panas, ada hujan,Ada matahari dan rembulan,Ada lelaki dan ada perempuan, dan masih banyak hal yang dengan mudah kita temukan untuk menggambarkan betapa sempurnanya Allah menciptakan alam ini penuh keserasian dan keseimbangan.

Pun demikian halnya dengan gerak dan laju kehidupan kita, pasti ada riak gelombang yang mewarnainya, pasti ada suka dan duka yang menyertainya, pasti ada tangis dan tawa yang bergantian menyelinginya, karena dengan itulah Allah hendak menguji kita siapa yang terbaik diantara kita dalam menghadapi dan menyikapi skenario Allah yang Maha Sempurna ini.

“Demikianlah hidup” Kata Abah

“Hidup artinya berubah, hari ini mungkin kamu kaya, besok lusa, mungkin kamu akan menjadi orang yang miskin papa”

“Hari ini kita bisa tertawa terbahak-bahak, mungkin besok kita akan menangis tersedu-sedu”

“Hari ini kita bahagia, boleh jadi besok kita menderita, hidup ibarat perputaran roda, kadang diatas, sehingga kita laksana berada diatas awan, tapi suatu ketika pasti kita berada dibawah, serasa kita diinjak-injak tak bisa melawan, karena memang demikianlah kehidupan” Kata Abah lagi, memberikan nasehat kepada penulis.

“Pernah lihat indikator jantung dirumah sakit?” Tanya Teteh yang bekerja sebagai seorang perawat disebuah rumah sakit diJakarta.

Penulis mengangguk tanda mengerti, bahwa indikator jantung yang bergerak turun naik menandakan pasien yang dirawat masih “hidup”, seperti terlihat dari indikator jantungnya.

“Begitulah, orang hidup harus mengalami naik-turun, pasang surut, seperti gelombang pergerakan jantung itu” Kata Teteh lagi.

“Kalau indikator jantung itu rata, artinya sang pasien telah meninggal, pun dengan kita, kalau kita tidak lagi mengalami atau merasakan turun naiknya laju kehidupan kita, boleh jadi kita juga telah “mati”, Kata Teteh lagi.

“Senang atau susah, sedih atau gembira, kaya atau tak berpunya, bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan, karena itu hanya sebentuk ujian dari Allah, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita menyikapi semuanya dengan sikap terbaik dari kita” Kata Abah.

“Maksud Abah?” Tanya penulis.

“Sabar dan Syukur, itulah dua sikap terbaik yang harus senantiasa kita kedepankan dalam menghadapi apapun dalam kehidupan kita
” Kata Abah.

“Bersabarlah menghadapi apa yang sedang kamu alami sekarang, aaaah, itu mah sepele, masak anak Abah harus “kalah” hanya karena hal itu?” Kata Abah mencoba membesarkan hati penulis.

“Ya Abah, saya sering dimintai pendapat oleh teman mengenai apa yang mereka alami, alhamdulillah, mereka mau mengerti pendapat saya bahwa “sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, tapi rasanya berat sekali ketika saya mengalaminya sendiri” Kata penulis.

“Apalagi kamu sudah tahu ayat-ayatnya, mestinya kamu harus lebih bisa mengerti dan memahami bahwa apa yang sedang kamu rasakan adalah sebuah ujian apakah kamu hanya sekedar bisa berbicara kepada orang lain atau kamu sudah benar-benar paham makna ayat itu” Kata Abah lagi.

“Sudah jangan terlalu dipikirkan, jalani saja semuanya dengan ikhlas, insya Allah kamu bisa”
Kata Abah menenangkan penulis.

“Coba ingat-ingat berapa lama kamu sudah bekerja dengan penghasilan yang besar? Tanya Abah

“Kemudian bandingkan dengan keadaan sekarang, baru berapa hari....., lebih banyak dan lebih lama nikmat yang kamu rasakan kan?“ Kata si Abah lagi.

Penulis mengangguk, menyadari kebenaran ucapan si Abah

“Jangan sampai ujian yang beberapa hari ini saja akan menghapus syukur kita atas nikmat Allah selama ini, itu sebuah kesalahan besar, perbanyak istighfar, mudah-mudahan Allah mau memaafkan dan memberi jalan keluar kepada kamu....” Kata Abah.

“Sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, dua kali Allah mengulang kalimat ini dalam satu surat untuk memberi penegasan kepada kita bahwa Allah akan memberikan jalan keluar dari segala kesulitan kita selama kita masih meyakini dan beriman pada kebenaran kalamullah tadi, dan dengan berlaku sabar terhadap ujian-Nya dan menggantungkan asa dan harapan kita kepada Allah swt semata.

45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (Al Baqarah:45)

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Al Baqarah:153)

[99] ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.

Sabar, sekali lagi merupakan sarana dari Allah bagi kita untuk menggapai ridha-Nya.

Kemudian berbaik sangkalah kepada Allah;

19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.


Sabar, Syukur, Ikhlas dan Husnudhan, merupakan kata kunci yang insya Allah akan mengantar kita untuk mencapai ridha-Nya, amiin.

Wassalam

May 22, 2007

Tuesday, May 15, 2007

JANJI ADALAH HUTANG

34. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Al Israa’34)

Janji adalah hutang, demikian ungkapan yang sering kita dengar, dan ayat diatas dengan lebih jelas menyatakan bahwa “Janji itu pasti diminta pertanggungan Jawabnya”.

Dalam banyak ayat, al qur’an menceritakan bagaimana Allah memuliakan mereka yang memenuhi janjinya, sebaliknya betapa Allah akan menimpakan azab bagi mereka yang melanggar janji yang seharusnya mereka pegang teguh.

Al qur’an menceritakan bagaimana Allah mengangkat janji Bani Israil, sebagaimana termaktub dalam ayat berikut;

40. Hai Bani Israil[41], ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku[42], niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).

[41] Israil adalah sebutan bagi nabi Ya'qub. Bani Israil adalah turunan nabi Ya'qub; sekarang terkenal dengan bangsa Yahudi.

[42] Janji Bani Israil kepada Tuhan ialah: bahwa mereka akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta beriman kepada rasul-rasul-Nya di antaranya nabi Muhammad s.a.w. sebagaimana yang tersebut di dalam Taurat.

Namun yang terjadi kemudian adalah pengingkaran terhadap janji bahwa mereka akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta beriman kepada rasul-rasul-Nya di antaranya nabi Muhammad s.a.w. yang telah mereka buat dengan Allah, yang mengakibatkan mereka dimurkai oleh Allah swt;

Lalu bagaimana dengan kita? janji apa saja yang telah kita ucapkan terhadap Allah dan Rasul-Nya?

Mari kita merenung sejenak, janji apa saja yang telah kita ucapkan, dalam shalat misalnya;
Shalat kita adalah serangkaian janji prasetia kita kepada Allah dan rasul-Nya, dimulai ketika kita berniat,bahwa shalat kita Lillahita’ala, bukan karena pujian, bukan karena kita menginginkan pangkat atau jabatan dan bukan karena sesuatu yang lainnya, tapi shalat kita, sesuai dengan ucapan kita, hanya karena Allah swt, sudahkah kita memenuhi apa yang kita ucapkan dalam niat shalat kita?

Selanjutnya, ketika kita bertakbiratul Ihram dengan mengucap “Allahu Akbar”, kita mendeklarasikan bahwa tidak ada yang lebih besar selain Allah, tidak ada yang lebih penting selain Allah, tidak ada yang menghalangi pandangan mata dan hati kita kecuali kebesaran Allah, lalu sudahkan kita meresapkan keagungan Allah itu dalam hati kita?

Lalu dalam setiap shalat kita, kita mengikrarkan bahwa “hidup kita, mati kita serta amal ibadah kita hanya karena Allah dan untuk Allah, dan kita menyatakan diri sebagai Hanif dan bukan seorang orang musyrik”.

Apakah itu sudah memenuhi ikrar dan janji kita tersebut? Kadang kita justru melakukan amaliah yang bertolak belakang dengan apa yang kita ucapkan, hidup dan kehidupan kita lebih condong untuk diabdikan pada kepentingan dunia, bukan kepada Allah.

Mati kita juga bukan untuk berjihad dimedan juang demi membela agama Allah, bahkan banyak diantara kita yang membiarkan umurnya habis untuk hal-hal yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah.

Kemudian ibadah kita, juga masih sering untuk kepentingan dan pemuas nafsu kita, kita rajin tahajud karena kita ingin jabatan, kita rajin dhuha karena kita takut kemiskinan, bukan Allah-nya yang kita tuju sebagaimana ikrar dan janji kita dalam setiap shalat kita.

Selepas do’a iftitah, dengan lantang kita pun berikrar bahwa “Segala puji bagi Allah, tuhan semesta Alam” dalam fatihah yang kita baca.Tapi coba tengok lagi kedalam diri kita, masih terlalu sering kita ingin dipuji, berdakwah hanya karena ingin dipanggil ustadz, bukan merupakan panggilan ilahi bahwa menyampaikan amanah Allah adalah sebuah kewajiban, berzakat, masih sering hati kita diselimuti keinginan untuk disebut dermawan, puasa kitapun masih belum sepenuhnya luput dari bisikan ujub dan keinginan untuk dipuji.

Lalu kita juga menyatakan bahwa “hanya kepada-Mu lah kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan”, sudahkah kita mendhahirkan apa yang kita ucapkan tersebut?

Kalau mau jujur, kita masih lebih banyak mengabdi kepada sesama mahluk, kalau atasan kita yang minta kita lembur misalnya, kita dengan penuh semangat akan memenuhinya sebagai bukti pengabdian kita pada atasan dan perusahaan. Namun manakala Allah memerintahkan kita untuk bertahajud untuk penambah amal ibadah kita, justru kita demikian enggan untuk bangun menunaikannya.

Lalu tengok lagi, berapa sering kita mengeluh kepada sesama mahluk, dibanding kita mengembalikan segala permasalahan kepada Allah? Katanya kita hanya mohon pertolongan kepada Allah, sementara hati kita sendiri tidak pernah meyakini bahwa Allah akan menolong kita, maka kita cari orang pintar, dukun atau lainnya yang kita anggap mampu menolong kita, padahal itu sama sekali tidak benar!!

107. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Yunus:107)

Jelas dan tegas, bahwa “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia”, bukan ilah-ilah lainnya.

Ikrar apalagi yang kita ucapkan dalam shalat kita?

Syahadat yang kita ucapkan dalam setiap tahiyat kita, juga merupakan sesuatu yang harus kita penuhi hak-haknya, bahwa kita tidak akan mengibadahi ilah lain selain Allah dan bahwa kita bersaksi Muhammad itu utusan Allah, yang sebagai konsekuensinya kita tidak akan menjadikan panutan lain selain beliau Rasulullah saw, sudahkah itu kita penuhi?

Menurut beberapa kalangan, salah satu hikmah dari kisah-kisah kaum terdahulu yang terdapat dalam al qur’an adalah untuk memberikan pelajaran bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu, atau sebaliknya meniru hal-hal positif yang mengantar umat-umat tersebut mencapai kejayaannya, lalu bagaimana dengan janji kita?

Kalau dulu Allah mengembalikan Bani Israil dari “sebaik-baik umat” menjadi umat yang dinistakan Allah karena mereka, sebagian Bani Israil tersebut melanggar janji yang telah mereka ikrarkan kepada Allah, apakah kita akan mengulangi kesalahan yang sama, sehingga kita terperosok kedalam jurang yang sama dengan mereka? Naudzubillah!!

Untuk itu marilah dari sekarang kita belajar untuk memenhi segala janji prasetia kita kepada Allah, kepada Islam, kepada sang pembawa Risalah-Nya, agar kita menjadi umat yang dimuliakan Allah karena insya Allah kita termasuk umat yang berpegang teguh pada janji kita.

10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397], Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Al Fath:10)

Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang memenuhi janji, amiin.

Wassalam

May 17, 2007

Monday, May 14, 2007

PRACTICE MAKE PERPECT

Alhamdulillahirabil’alamin, hampir dalam setiap acara peringatan hari-hari besar Islam yang diselenggarakan diberbagai masjid dan musholla, selalu dipenuhi jamaah. Baik itu peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Maulid Nabi, peringatan Nuzulul Qur’an serta peringatan-peringatan hari-hari besar Islam lainnya, laris manis dikunjungi kaum muslimin dan muslimat, apalagi kalau sang mubaligh atau penceramahnya seorang dai yang terkenal dan sering muncul di TV, antusiasme pengunjung dijamin makin meninggi.

Setiap tahun acara-acara tersebut diselenggarakan dengan persiapan dan penyelenggaraan yang memakan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit, lalu apakah ada hal lain “yang tertinggal” selepas acara-acara peringatan tersebut?

Sebuah contoh kecil, dalam sebuah peringatan Isra’ Mi’raj, seperti biasanya sang mubaligh mengupas berbagai hal tentang shalat. Mulai dari perjalanan Isra ‘ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw hingga akhirnya beliau dihadiahi amalan shalat lima waktu oleh Allah swt.

Dengan berapi-api dan semangat yang luar biasa, para mubaligh menyampaikan hal ikhwal shalat;

“Hadirin yang dimuliakan Allah, shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat, maka ia berarti telah menegakan agamanya, sebaliknya, siapa diantara kita yang melalaikan shalat, berarti mereka telah menghancurkan agamanya”

“Shalat merupakan amaliah pokok yang merupakan sendi dasar agama Islam, shalat merupakan amalan yang kelak akan dihisab terlebih dahulu sebelum amalan-amalan lainnya, barang siapa shalatnya baik, maka insya Allah amalan lainnya diterima, sebaliknya, siapa diantara mereka yang shalatnya tidak benar, maka amalan-amalan lainnya tertolak”

“Shalat Isya dan Shubuh merupakan shalat yang menentukan kadar keimanan seseorang, barang siapa yang selalu melalaikan shalat Isya dan Shubuh, maka ia rawan terjangkit penyakit munafik........”

Dan masih banyak lagi uraian sejenis yang disampaikan oleh para mubaligh, tapi ada sebuah ironi setiap kali peringatan Isra’ Mi’raj itu selesai. Uraian dan ceramah yang panjang lebar mengenai shalat, mengenai fadhilah bagi mereka yang menunaikannya, serta ancaman bagi mereka yang meninggalkannya, seakan sama sekali tidak berpengaruh untuk “merubah” perilaku dan cara pandang mereka yang hadir dalam taklim itu, apalagi merubah pola pikir mereka yang tidak hadir dalam tabligh-tabligh semacam itu, karena selepas ceramah tersebut, ketika waktu shubuh, dimasjid tempat penyelenggaraan acara peringatan Isra’ Mi’raj tersebut, sepi senyap, hanya beberapa gelintir saja orang yang mau hadir untuk shalat berjamaah dimasjid!!

Apa yang salah dengan ceramah semalam? Bukankah pak Kyai telah dengan jelas menerangkan bahwa shalat shubuh merupakan indikator keimanana seseorang, apakah ia benar orang yang benar imannya, atau sebaliknya, ia hanya seorang munafik yang mengaku-ngaku orang Islam?

Alasan yang digunakan oleh sebagian besar orang yang tidak hadir saat shalat shubuh biasanya seragam, “Ngantuk karena nonton pengajian semalam”, aneh bukan?

Lha wong pengajian kok ya ditonton gitu lho!! Bukannya apa yang dibicarakan itu disimak dan diamalkan!!

Kepengajian kok ya disamakan dengan nonton bola, ke majelis taklim kok disamakan dengan nonton dangdutan.........setelah nonton, kelelahan, tidur, selesai urusan!!

Ini yang masih sering terjadi diantara kita, menghadiri majelis taklim itu untuk menambah ilmu dan wawasan, untuk kemudian diamalkan, bukan sekedar menonton ustadznya yang terkenal, kyainya yang kondang, atau yang lebih parah, kemajelis taklim hanya untuk menonton mubalighnya yang banyak guyon-nya......kalau nggak ada leluconnya, nggak rame, ngantuk dan lain sebagainya.

Menuntut ilmu itu penting, bahkan sangat penting, tapi mengamalkan ilmu yang kita terima juga merupakan sesuatu yang teramat sangat penting sekali, karena ceramah saja, membaca saja, mendengar saja, berdiskusi saja, tanpa mempraktekan apa yang kita tahu, belum cukup untuk menjadikan kita menjadi orang yang benar keimanannya.

Practice Make Perpect!

Sebuah analogi yang menarik yang disampaikan oleh Pak Ustadz kemarin, begini:

“Pernah nonton pertunjukan gajah disirkus?” Tanya Pak Ustadz.

“Pernah Pak...” Jawab Hadirin

“Lihat gajah-gajah itu, mereka bisa duduk, mereka bisa bergandengan, bahkan mereka bisa main bola, tahu khan ada sepakbola gajah?” Tanya pak Ustadz lagi.

Hadirin hampir semuanya mengangguk tanda mengerti apa yang dikatakan pak Ustadz.

“Sekarang Ana mau tanya, apakah kemampuan gajah untuk duduk, bergandengan belalai serta main bola itu “hasil” ceramah pelatihnya?” Pancing Pak Ustadz

“Seandainya pelatih gajah itu bilang “ Hai gajah yang baik, engkau adalah mahluk besar yang pintar, maka engkau bisa main bola”, apakah kira-kira gajah itu mau menendang bola seperti ceramah pelatihnya tadi?” Tanya Ustadz lagi.

“Atau dalam pertunjukan harimau, pelatihnya berkata dengan semangat “Wahai raja hutan yang gagah perkasa, melompatlah kedalam lingkaran api itu, berhati-hatilah, jangan sampai kulitmu terkena api itu, karena api itu panas, api itu membakar”, apa yang akan dilakukan harimau mendengar ceramah tadi? Tidak ada, selain auman, auuhhhh aaaah, gelap!!!
Canda Pak Ustadz.

Lalu apa yang menjadikan Gajah bisa bermain bola dan Harimau bisa melompati lingkaran api yang menyala-nyala?

Jawabnya adalah latihan......
mereka, gajah dan harimau itu mungkin hanya mengerti sedikit bahasa dan isyarat pelatihnya, tapi dengan latihan yang terus menerus mereka lakukan, mereka pada akhirnya mampu melakukan sesuatu yang berat sekalipun, sesuatu yang sesuai dengan perintah pelatihnya.

Kecakapan kita dalam ibadah, bukan hanya didapat dari kita mendengar kaset atau pengajian semata, lebih dari itu kita harus mengamalkan apa yang sudah kita tahu dari bacaan, dari kaset atau dari pengajian yang kita ikuti.

Seperti contoh diatas, kalau dalam peringatan Isra’ Mi’raj itu kita mendapat tambahan pengetahuan bahwa shalat adalah tiang agama, bahwa shalat adalah amalan yang utama, bahwa shubuh adalah shalat yang disaksikan malaikat, ya coba kita praktekan, terlepas dari apakah selepas mengikuti pengajian itu kita ngantuk atau lelah sekalipun, karena itu bukan sebuah alasan, itu hanya dalih yang kita buat untuk menutupi keimanan kita yang masih coreng moreng.

Kita tidak akan pernah sampai pada tujuan kita, kalau kita tidak pernah beranjak dari tempat duduk kita!!

Kalau kita tidak pernah mau melangkahkan kaki kita kemasjid, kapan kita bisa merasakan bagaimana nikmatnya suasana shalat berjamaah dimasjid.

Kalau kita tidak pernah mau shalat shubuh tepat waktunya, maka selamanya kita akan shalat shubuh menjelang matahari terbit.

Kalau kita tidak pernah mau melatih diri untuk menyegerakan shalat Isya, maka selamanya kita akan shalat sisa dengan sisa-sisa semangat dan diselingi rasa kantk, karena shalat isya nya selepas liga inggris – tengah malam.

Latihan akan membuat kita mampu melakukan hal-hal yang baik dan benar, meski teori yang kita miliki masih sangat-sangat terbatas.

Kalaulah sudah teori kita terbatas, lalu praktekpun kita malas, lalu mau jadi apa kita?

Latihan, latihan, dan latihan, itu yang membuat sesuatu menjadi sempurna, dalam bidang apapun, baik latihan shalat yang benar dan ikhlas, latihan menyisihkan sebagian rezeki untuk yang berhak, latihan shaum yang disertai keimanan dan kesabaram serta amaliah apapun merupakan sebuah proses yang memerlukan penyempurnaan lewat latihan, even sekedar mengucap salam.

Pernah merasakan beratnya mengucap salam kala kita bertemu suadara sesama muslim atau mau masuk kerumah? Insya Allah semua kita pernah, kelu rasanya lidah ini untuk mengucap salam, malu rasanya kita mengucap salam, enggan, malas, atau merasa tidak ada pentingnya mengucap salam, dan penyebabnya adalah bukan karena kita tidak tahu ilmunya, tapi karena kemalasan kita untuk berlatih mengucap salam, that’s all.

Selamat berlatih......

Wassalam

May 14, 2007.

Friday, May 11, 2007

DO’A YANG LANGKA (2)

19. Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (An Naml:19)

Kalau kemarin kita berbicara tentang do’a Nabi Ibrahim yang memohon kepada Allah untuk memasukan beliau berserta anak keturnannya kedalam golongan orang yang senantiasa mendirikan shalat, maka kali ini insya Allah kita akan menambah satu wawasan lagi tentang do’a yang dipanjatkan oleh Nabiyullah Sulaiman As.

Nabi Sulaiman bin Daud As adalah seorang nabi yang dikarunia Allah dengan berbagai kelebihan, yang salah satu diantaranya adalah beliau diberi kemampuan oleh Allah untuk dapat mengerti bahasa mahluk lain dari jenis binatang dan jin.

Ayat 17 dan 18 dari Surat An Naml menceritakan “Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan), Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari"; yang kemudian membuat nabi Sulaiman tersenyum dan mengucapkan do’a diatas.

Lalu kenapa Allah memerintahkan kita untuk memohon secara khusus untuk dikaruniai kemampuan untuk bersyukur?

Karena memang untuk menjadi orang yang pandai bersyukur itu “sulit”, coba kita renungkan kembali betapa sulitnya kita bersyukur;

Hampir setiap pertengahan bulan seperti sekarang ini atau bahkan mungkin diawal bulan, kita menunggu tanggal gajian, tapi coba ingat-ingat lagi, berapa kali kita berucap “alhamdulillah” setelah kita mengambil uang di ATM, hampir tidak pernah? Itu salah satu bukti kecil bahwa bersyukur itu relatif sulit, bahkan untuk sekedar berucap alhamdulillah sekalipun.

Ketika kita akan pergi kekantor, insya Allah kita hampir setiap hari baca basmalah, bahkan ditambahin dengan Bismillahiladzi layaduruu ma’asmihi sai’un fil arhi walaa fisammi wahuhuwa sami’ul’alim, tapi coba ingat-ingat berapa kali kita mengucap hamdalah ketika kita sudah kembali sampai rumah, hampir tidak pernah? Kita menganggap kalau sudah sampai ya sudah, tanpa merenungi siapa yang telah mengantar dan menyelamatkan kita hingga kita tiba dirumah, juga merupakan bukti betapa sulitnya kita bersyukur.

Ketika kita diserang flu, hingga kita megap-megap susah nafas, kemudian Allah menyembuhkan kita dari penyakit itu, kita pun kerap pula untuk bersyukur atas nikmat sehat yang dikaruniakan Allah kepada kita, bersyukur, memang sulit bagi sebagian orang.

Ketika kita bisa shalat berjama’ah dimasjid, kita kerap menganggap bahwa itu adalah bukti “kehebatan” kita dibanding orang yang tidak pergi kemasjid, tanpa pernah berpikir bahwa Allah-lah yang telah memberikan kekuatan kepada kita untuk mengalahkan rasa malas kita dan beranjak memenuhi panggilan shalat berjamaah, kita juga kerap lupa untuk bersyukur untuk hal itu.

Apa lagi?

Pernahkah kita bersyukur bahwa udara yang kita hirup untuk bernafas itu gratis, tanpa dipungut biaya apapun? Alih-alih bersyukur atas nikmat itu, kita malah justru lebih sering mengotori udara kita dengan kepulan asap rokok dan polusi kendaraan kita.

Pernahkah kita bersyukur dengan air yang tersedia untuk minum dan mandi kita? Hampir tidak pernah, padahal kalau setiap hari kita beli lima dirijen air seperti ketika kemarau, berapa kepeng rupiah yang akan kita habiskan untuk memenuhi kebutuhan minum dan mandi kita.

Pernahkah kita berpikir bahwa kemampuan mengerjapkan mata atau memejamkan mata itu sebuah nikmat yang harus disyukuri? Bayangkan berapa juta harus dihabiskan untuk mengobati penyakit tidak bisa tidur?

Pernahkah kita berpikir bahwa bisa buang angin (maaf) itu sebuah nikmat yang luar biasa? Betapa perut kita kembung dan tidak nyaman ketika kita tidak bisa melakukan hal itu?

18. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nahl:18)

Demikian banyak nikmat Allah sehingga kita tidak akan mampu menghitung apalagi untuk membalasnya, dan Allah tidak meminta kita untuk membayar semua karunia-Nya kecuali dengan mengabdi dan bersyukur kepada-Nya.

Syukur, sekali lagi adalah sesuatu yang sulit, sehingga dengan ayat pembuka diatas, Allah menuntun kita untuk memohon kepada-Nya kemampuan untuk bersyukur.

Lalu apakah syukur itu untuk Allah? Tidak, sama sekali tidak!!
Allah tidak akan rugi sedikitpun seandainya semua kita tidak bersyukur kepada-Nya, sebaliknya, tidak akan menambah apapun bagi Allah jika seluruh mahluk bersyukur kepada-Nya, lalu?

12. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Luqman:12)


Ternyata, syukur itu untuk kita sendiri, bukan untuk Allah!!
Jadi kenapa kita “pelit” untuk bersyukur?

Bukankah Allah berfirman;

7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Ibrahim:7)

Allah akan menambah nikmat-Nya kalau kita bersyukur atas nikmat-Nya.

So, kalau Nabi Sulaiman yang merupakan manusia pilihan Allah saja masih memohon untuk dapat bersyukur atas nikmat Allah, masihkah kita akan melupakan do’a tersebut dalam untaian panjang do’a yang kita panjatkan kepada Allah swt?


Wassalam

May, 11, 2007

PEMABUK YANG JADI PELOPOR PEMBANGUNAN MUSHOLLA

Pak Urih namanya, pria setengah baya asal betawi, yang sekarang bermukim dikomplek kami, Taman Jomin Estate – Cikampek, sangat menarik mendengar pituturnya yang selalu bersemangat dan berapi-api, khas Betawi.

Pagi tadi, Allah mempertemukan penulis dengan beliau dalam sebuah kesempatan dimobil yang kami tumpangi dalam perjalanan menunju ketempat kerja. Beliau bercerita banyak tentang hal ikhwal beradaan Musholla Jami’atul Khoiri dikomplek kami, yang merupakan cikal bakal Masjid Jami’atul Khoiri yang sekarang berdiri megah di Taman Jomin Estate-Kota Baru.

Dipertengahan tahun 1990-an, ketika awal pembangunan komplek perum taman jomin estate, developer menyediakan sebidang lahan kosong yang diperuntukan sebagai fasilitas umum. Tanah kosong itu kemudian dimanfaatkan warga untuk membuat taman dan lapangan bulutangkis, dan dari sinilah kemudian cerita tentang tokoh kita kali ini bermula.

Pak Urih, sebagaimana beliau tuturkan langsung kepada penulis, ketika itu adalah seseorang yang suka meminum meminuman keras (Khamr) ketika beliau begadang malam hari, untuk menghangatkan badan ditengah kedinginan malam hari, demikian alasan yang selalu digunakan untuk “membenarkan” apa yang beliau dan teman-temannya lakukan.

Lalu apa hubungannya dengan judul diatas?

Suatu malam ketika Pak Urih dengan teman-temannya sedang begadang dengan aktivitas rutinnya yakni menghangatkan badan dengan khamr, hidayah (insya Allah) datang ditengah-tengah percakapan mereka.

Kesadaran “tiba-tiba” saja datang menghampiri mereka, bahwa meminum minuman keras itu adalah perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama dan juga tidak disenangi oleh masyarakat secara umum.

“Gimana ya pak dengan anak-anak kita nanti?” Kata Pak Urih ketika itu.

“Apakah mereka juga akan seperti kita, suka minum-minuman keras seperti ini?” Lanjutnya.

“Kalau bisa jangan sampai Pak, jangan sampai kebiasaan jelek ini ditiru dan diteruskan anak-anak kita nanti” Kata yang lain menimpali.

“Iya, pak, kadang saya juga kepikiran kalau anak-anak kita seperti kita” Yang lain ikut merasakan kegundahan yang sama tentang masa depan anak-anaknya, agar menjadi orang yang lebih baik dari mereka sekarang.

“Kita harus bikin mushola pak, agar anak-anak kita bisa belajar agama dan mengaji, agar mereka menjadi orang-orang yang mengerti tata aturan agama, agar mereka tidak seperti kita sekarang” Usul pak Urih.

Bak gayung bersambut, usulan pak Urih yang ketika itu disetujui oleh yang lain.

“Iya pak, bener, buat musholla, kita kan belum punya mushola” Kata yang lain.

“Iya pak bener...” Kata yang lain.

Agak aneh bukan? Sekumpulan pemabuk menghasilkan sebuah usulan membangun mushola, Wallahu’alam darimana datangnya ide seperti itu, tapi yang jelas kemudian wacana itu diteruskan pada malam itu juga.

“Dimana kita mau bangun mushola pak? Tanya seorang diantara mereka.

“Dilahan fasilitas umum saja” Kata yang lain.

“Tapi khan lahan itu untuk taman dan olah raga pak?” Yang lain agak keberatan.

“Bagaimana kalau ada yang tidak setuju?” Timpal yang lain.

“Yang tidak setuju itu orang Islam bukan pak?” Tanya Pak Urih.

“Ya orang Islam juga sih” Jawab temannya.

“Saya yang akan menjelaskan kepada mereka pak, kalau mereka tetap tidak setuju, saya yang akan menghadapi mereka, masak orang Islam tidak setuju untuk membangun musholla?” Pak Urih tampil kedepan untuk meyakinkan teman-temannya bahwa membangun mushola adalah sebuah kebutuhan, yang melebihi kebutuhan terhadap taman dan fasilitas olahraga.

“Ya udah kalau begitu, saya sih setuju saja” Kata yang lain.

“Kapan kita mulai pak? Tanya yang lain.

“Dananya gimana Pak?” Kata yang lain lagi

Dan masih sederet keraguan yang umum terjadi ketika akan memulai sebuah pekerjaan “besar” seperti ini.

Sekali lagi pak Urih tampil;

“Udah gini aja, pak, besok saya menghadap RW untuk memberi tahu rencana ini, lalu kita langsung gali tanah untuk buat pondasi dulu, dari situ mudah-mudahan warga lain mau membantu, yang penting kita mulai saja dulu” Kata Pak Urih.
“Besok? Dan benar saja, pak Urih keesokan harinya menemui Pak RW dan pada hari itu juga, Pak Urih dan teman-teman mabuknya menggali tanah membuat pondasi ditengah tatapan keheranan warga.

Tapi dasar Pak Urih, ia dan temannya tidak mau ambil pusing dengan warga yang tidak setuju, ia terus berjalan dengan keyakinannya bahwa membangun mushola ada sebuah kebutuhan bersama yang sangat mendesak, maka ia tetap melanjutkan penggalian tanah dengan teman-temannya.

Dana yang kemarin menjadi bahan pertimbangan, entah dari mana datangnya, sedikit demi sedikit terkumpul sehingga pondasi mushola itu selesai.

Setelah nampak pondasi musholla, barulah kemudian ada orang-orang yang ikut terpanggil dan peduli dengan pembangunan mushola. Maka dibentuklah panitia kecil-kecilan untuk kelanjutan pembangunan mushola dengan Pak Urih sebagai Ketuanya.

Pak Urih, seorang (mantan) pemabuk, menjadi pelopor pembangunan masjid sekaligus menjadi ketua panitia pembangunan mushola......, yang kemudian semangat Pak Urih dalam membangun Mushola dulu diteruskan ketika kami memutuskan untuk mengganti Mushola dengan membangun masjid agar bisa menampung jama’ah lebih banyak, dan satu lagi, agar semakin banyak anak-anak kami yang terproteksi dari perilaku menyimpang yang mungkin pernah dilakukan oleh kami, para orang tua.

Apa komentar kita?

No comment, yang jelas, kisah tentang Pak Urih diatas mengajarkan kepada kita untuk tidak berburuk sangka atau memvonis seseorang itu jahat atau menyimpang hanya dari satu sisi saja. Cerita tadi dan dalam banyak kisah, ketika Allah menghendaki hidayah itu datang, maka tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menahannya, terlepas apakah dia pemabuk, penjahat, pencuri, hidayah adalah prerogatif Allah kepada siapa yang dikendakinya.

Sebaliknya, kisah diatas juga mengajarkan kepada kita untuk tidak berbangga diri dengan amal ibadah yang telah kita lakukan, karena sangat boleh jadi kebanggaan kita tersebut akan melahirkan perasaan ujub dan takabur yang pada gilirannya akan menghapus semua pahala amal kita sehingga kita menjadi orang yang merugi diakhirat kelak.

Namun demikian, jangan sampai kita kemudian berdalih “aah, mumpung masih muda, puas-puasin saja dulu, mabok saja dulu, karena kalau Allah menghendaki end toh kita nanti bisa balik kejalan yang benar juga”, bukan, bukan itu maksudnya, kalau pemabok saja bisa menjadi pelopor dan ketua panitia pembangunan mushola, bagaimana dengan kita yang bukan pemabok?

Idealnya, dengan latar belakang yang relatif “baik”, kita bukan hanya menjadi pelopor pembangunan mushola, melainkan juga adalah orang yang mampu membangun masjid secara fisik, lebih dari itu, dalam tataran ideal, kita juga harus mampu memakmurkan masjid dengan menjadikannya tempat shalat berjamaah, memakmurkannya dengan majelis taklim dan dengan berbagai aktivitas amal ibadah yang lainnya.

Sudahkah kita memakmurkan masjid?
Sudahkah kita shalat berjamaah dimasjid?
Kalau kemarin lusa kita kemasjid hanya untuk shalat ied dan jum’atan saja, sekarang saatnyalah kita kemasjid setiap waktu shalat kita.

Pak Urih, terima kasih atas ilmunya.....

Wassalam

May 11, 2007.

Thursday, May 10, 2007

DO’A YANG LANGKA

40. Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.(Ibrahim:40)

Do’a diatas adalah do’a yang dipanjatkan kepada Allah Swt, do’a seorang nabiyullah Khalilullah, sebuah do’a yang sangat indah namun langka.

Ya sebuah permohonan yang sangat langka, bahkan sampai sekarangpun, dalam setiap kesempatan berdo’a ba’da Shalat, dalam do’a penutup khutbah, dalam majelis taklim atau dalam do’a-do’a harian yang biasa kita amalkan, jarang sekali ada ustadz atau jamaah atau kita sendiri memohon kepada Allah untuk dijadikan orang-orang yang tetap mendirikan shalat, hingga anak cucunya kelak.

Bukankah hampir semua kita maklum, bahwa shalat adalah satu dari lima rukun Islam yang memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan keberagamaan kita dan juga sangat penting dalam menopang keseharian kita, sehingga kita semua maklum dengan hadits yang menyatakan bahwa shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat, maka ia telah menegakan agamanya, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, ia telah menghancurkan agamanya.

Kalau kita semua memahami kandungan hadits tersebut, lalu kenapa kita tidak pernah meminta kepada Allah sesuatu yang justru sangat penting dan sangat kita butuhkan?

Kita lebih sering memohon “Ya Allah karuniakan kami rezeki yang banyak”, “Ya Allah, beri kami kedudukan yang baik” dan lain sebagainya, yang rata-rata do’a yang kita panjatkan itu berorientasi jangka pendek, hanya untuk dunia ini saja.

Tidak salah memang kalau kita memohon rezeki yang banyak dan kedudukan yang baik kepada Allah, karena memang Allah pemilik rezeki dan pemberi kekuasaan yang sempurna, namun demikian akan jauh lebih baik jika kita mengedepankan “kedudukan” yang baik disisi Allah, karena itulah derajat tertinggi yang Allah tawarkan Allah kepada kita yakni dengan sabar dan Shalat kita;

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

[99] ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.


Sabar dan Shalat yang dilakukan berdasarkan keimanan yang benar, dibalasi oleh Allah dengan sebuah maqam khusus disisi-Nya, dan Nabiyullah Ibrahim telah mencontohkan bagaimana seharusnya kita bermohon kepada Allah agar kita dan anak cucu kita tetap termasuk dalam golongan orang-orang yang tetap senantiasa mendirikan shalat.

Hari ini mungkin kita dan anak cucu kita masih shalat, meski dengan mengakhirkan waktu shalat atau masih terdapat bolong-bolongnya, tapi tidak ada jaminan bahwa esok atau lusa kita dan anak cucu kita masih bisa mendirikan shalat seperti hari ini kecuali Allah, untuk itulah sepatutnya kita senantiasa memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan kemampuan untuk istiqomah menjaga dan mendirikan shalat kita.

Betapa malangnya kita jika kita atau anak cucu kita sampai meninggalkan shalat, Naudzubillah, betapa kita akan menderita kalau sampai kita kehilangan sebuah “mutiara” shalat kita, karena kita “tak bisa hidup” tanpa shalat.

Benar kita masih melihat orang yang lalai atau bahkan meninggalkan shalat sama sekali masih bisa berjalan kian kemari, tapi apakah mereka benar-benar “masih hidup?”.

Jasad kita adalah kendaraan jiwa untuk menunaikan segala tugas dan tanggung jawab pengabdian kita kepada Allah, dan kendaraan hanya mungkin bisa hidup dan berjalan kita “mesin” penggeraknya hidup, yaitu “hati” yang ada didalam dada.

Sebagus apapun body kendaraan yang tidak disertai mesin, maka ia hanya akan menjadi seonggok barang rongsokan yang tidak banyak berguna. Pun dengan tubuh dan jasad kita, segagah atau setampan apapun kita, ketika hati kita mati karena kelalaian kita dalam mendirikan shalat, maka ia hanya menyerupai bangkai berjalan, yang tidak memancarkan aura dan pesona kehidupan.

Shalat adalah salah satu sarana kita untuk menjaga agar hati kita tetap hidup. Shalat adalah sarana kita untuk mengingat Allah, dan hanya dengan mengingat Allah sajalah kehidupan hati kita akan senantiasa terpelihara dengan baik.

Shalat ibarat angka 1 (Satu), demikian analogi seorang ustadz. Manakala kita tidak mempunyai angka satu, berapapun angka 0 (nol) yang kita miliki, maka tetap tidak bernilai alias Nol.

Pun demikian dengan shalat, ketika kita meninggalkan shalat, berapapun ibadah yang kita lakukan, maka tidak akan bernilai samasekali disisi Allah swt. Puasa kita, boleh sangat jadi hanya akan membuat kita lapar dan haus, sementara nilai dan pahala puasanya tidak kita dapat karena shalat kita belum benar. Zakat yang kita tunaikan bisa jadi hanya akan mengurangi harta kita, sementara imbalan yang dijanjikan Allah tidak akan kita dapatkan karena shalat kita belum benar, pun demikian dengan haji dan ibadah kita yang lain, boleh sangat jadi hanya akan menjadi angka Nol, manakala shalat kita belum menjadi angka satu.

Sebaliknya, jika shalat kita sudah benar, maka kita sudah memiliki nilai 1, kalau ditambah puasa yang dilandasi keimanan dan kesabaran, maka nilai kita menjadi 1&0=10, ditambah lagi zakat kita yang disertai keikhlasan, maka nilai kita 1&0&0=100, ditambah dengan haji kita, maka nilai kita menjadi 1000 disisi Allah swt, Insya Allah amiin.

Jadi kalau kita berdo’a, jangan lupa memohon kepada Allah untuk tetap menjadikan kita dan anak cucu kita sebagai abdi yang senantiasa mendirikan shalat dengan benar dan penuh keikhlasan, agar kita menjadi orang-orang yang beruntung fidunya wal akhirat, amiin.

60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (Al Mu'min:60).

[1326] yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

Wasssalam

May 10, 2007

Wednesday, May 9, 2007

KISAH SITUKANG RAMBUTAN

Alkisah ada seorang tukang rambutan yang hendak menjual dagangannya ke Jakarta. Hari itu, dipagi buta ia sudah bergegas menuju terminal bus antar kota, sesampainya digerbang terminal, ia dikerubuti para kernet yang menawarkan jasanya untuk mengantar situkang rambutan;

“Kemana kang, rambutan?” Tanya seorang kernet bus warga baru jurusan Cikampek – Kampung Rambutan

“Iya, ini teh rambutan, satu ikatnya akan saya jual seharga 6000 rupiah” Balas tukang rambutan.

“Yeeeh, bukan itu, akang mau ke rambutan?” Tanya kernet lagi

“Ari kamu teh gimana, saya kan udah bilang ini rambutan, kok nanya lagi-nanya lagi” Kata si emang tukang rambutan.

“Emang mau kejakartanya kemana, ke priok atau ke rambutan?” Tanya kernet lagi dengan nada agak kesel.

“Saya mau kejakarta jual rambutan, bukan kerambutan” Kata situkang rambutan.

“Eeh dasar orang kampung.....” Kata si Kernet sambil pergi meninggalkan tukang rambutan yang keheranan.

“Kenapa orang itu marah-marah...” , Guman situkang rambutan.

Akhirnya tukang rambutan itu naik kesebuah Bus jurusan kampung rambutan, ia duduk disebuah bangku dan meletakan rambutan dagangannya disebelahnya.

“Rambutan mang?” Tanya kondektur bus

“Iya, rambutan” Kata situkang rambutan.

“Ini apa?” Tanya kondektur lagi sambil menunjuk karung bawaan situkang rambutan.

“Rambutan, kang tadi saya udah bilang!” Kata tukang rambutan lagi.

“Mang, kalau rambutan ini disimpan dibagasi aja, biar emang tidak bayar dua kali” Kata si kondektur.

“Nanti kalau hilang bagaimana?” Tanya situkang rambutan

“Nggak, aman kok” Kata kondektur meyakinkan tukang rambutan.

Selanjutnya bus itu melaju menuju Jakarta, situkang rambutan merasa kepalanya pusing akibat goncangan kendaraan yang bergetar, akhirnya ia pun tertidur pulas dibangkunya.

Singkat cerita, bus tersebut sudah sampai dijakarta;

“Rambutan abis, rambutan abis.....”, Teriak kernet dengan lantang untuk membangunkan penumpang jurusan kampung rambutan yang tertidur.

Situkang rambutan yang juga tertidur terperanjat bangun mendengar teriakan itu, ia segera beringsut menghampiri si kernet dan tanpa basa basi terlebih dahulu, ia langsung melayangkan bogem mentahnya pada muka sikernet.

“Aduh......kenapa kamu mukul saya??!!” teriak sikernet yang sempoyongan kena hantaman bogem ditukang rambutan.

“Tadi kan saya sudah bilang, rambutan itu biar saya pangku saja agar tidak hilang, tapi kondektur itu maksa agar rambutan saya disimpan dibagasi, sekarang rambutannya habis, sedangkan itu satu-satunya modal saya, nanti bagaimana saya pulang?” Kata situkang rambutan.

“Rambutan yang mana yang habis?” Tanya sikernet.

“Itu yang tadi kamu bilang, rambutan habis-rambutan habis”, Kata situkang rambutan lagi.

Sikernet segera saja menarik tangan situkang rambutan menuju bagasi,

“Tuh rambutan kamu, ambil......”, Kata sikernet.

Dengan rasa heran situkang rambutan tadi mengambil dan memeriksa rambutan daganganya yang ternyata masih utuh.

Situkang rambutan memandang kernet dengan rasa bersalah;

“Rambutan habis itu maksudnya penumpang jurusan kampung rambutan turun disini, karena busnya nggak masuk terminal, bukan rambutan NT yang abis.....”, Kata sikernet kesal.

Sementara situkang rambutan garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Cerita diatas hanyalah sebuah analogi untuk menggambarkan betapa “kebodohan” yang diperankan oleh situkang rambutan sangat berbahaya, bukan saja bagi dirinya, tapi bagi orang lain, seperti kernet bus diatas, yang harus menerima bogem mentah akibat sebuah kebodohan situkang rambutan.

“Kebodohan” dengan berbagai sinonimnya, adalah sesuatu yang harus secara terus menerus diperangi agar tidak menimbulkan korban, baik korban dari orang yang bodoh tersebut atau orang lain yang kena getah akibat kebodohan orang lain.

Kebodohan dalam arti keterbelakangan pendidikan, adalah merupakan salah satu penyebab terbesar dari timbulnya kemiskinan. Ibarat ayam dan telur, entah mana yang lebih dulu, apakah kebodohan menimbulkan kemiskinan atau sebaliknya kemiskinan yang kemudian menimbulkan kebodohan, namun yang jelas, kedua-duanya adalah penyakit yang demikian dikhawatirkan agar menyeret orang yang berada dalam lingkaran kebodohan dan kemiskinan tersebut kedalam jurang kemusyrikan.

Untuk itulah Islam demikian menekankan pentingnya pendidikan dan menjadikannya fardhu ‘ain bagi kepada setiap pemeluknya,

“Tuntutlah ilmu sampai kenegeri china”, demikian matan sebuah hadits yang oleh sebagian kalangan didhaifkan, sementara tetap dijadikan rujukan oleh kalangan lain dengan alasan bahwa kenapa hadits tersebut merujuk china dan bukan Indonesia misalnya, adalah karena disana, di China ada sahabat Sayyid Saad dan dan Sayyid Jafar yang ditugaskan oleh nabi untuk belajar disana dan sekaligus menyebarkan Islam disana. Alasan rasional lain adalah sejauh-jauh china dari arab adalah bentangan daratan yang sangat mungkin ditempuh, dibanding dengan Indonesia yang harus melalui jalan laut dan udara yang ketika itu masih sangat langka, wallahu’alam, yang jelas, kebodohan sangat dekat dengan kemiskinan, dan kemiskinan sangat dekat dengan kemusyrikan.

Banyak sudah contoh betapa mereka yang tertinggal secara keilmuan, kemudian hidup mereka berada dibawah garis kemiskinan, harus terpaksa atau dipaksa menjual akidahnya demi menutupi rasa lapar mereka.

Kebodohan emosional, akan melahirkan timbulnya manusia-manusia yang berahlaq dan bermoral rendah, seperti analogi diatas, main pukul, main hantam, tak kenal belas kasih atau berbagai perilaku yang tidak dituntun oleh pengetahuan lainnya, maka kebodohan jenis ini menimbulkan dampak yang tidak kalah mengerikan dibanding dengan jenis kebodohan pertama tadi.

Rasa welas asih, tepo seliro, tenggang rasa, hormat menghormati, saling menghargai dan berkasih sayang hanya mungkin dilakukan oleh “orang-orang pintar” yang memiliki wawasan dan pengetahuan serta tingkat emosi yang memadai.

Stabilitas mental dan emosi dalam berbagai hal, kadang justru lebih menentukan daripada tingkat intelejensia yang jenius sekalipun. Betapa banyak orang yang memiliki nilai akademik mengagumkan, tapi justru gagal meraih cita-cita mereka, karena ketidakstabilan tingkat emosi yang mereka miliki. Sebaliknya, nilai akademik yang sekedar rata-rata akan sangat terbantu dengan perilaku dan tutur kata yang santun serta tingkat pengedalian diri yang baik, sehingga justru merelah orang yang dikategorikan “berhasil”

Kebodohan secara spritual, mengakibatkan penderitanya tidak mampu mengenal diri dan tuhannya, sementara mengenal Allah adalah pokok dari segala pokok ibadah dan agama “Awaludiini makrifatullahi ta’ala – dasar agama adalah mengenal Allah Swt”. Lalu bagaimana kita dapat dikatakan telah beragama dengan benar, sementara kita tidak mengenal siapa yang menyuruh kita shalat, siapa yang memerintahkan kita puasa, atau siapa yang kita ibadahi ketika kita berwukuf di padang Arofah, boleh sangat jadi ibadah dan keberagamaan kita menjadi “batal” karena kita belum tahu kepada siapa dan untuk siapa ibadah kita, hidup mati kita seperti yang kita ucapkan dalam setiap shalat kita.

Salah satu syarat atau cara mengenal Allah adalah dengan cara mengenal “diri kita – man arofa nafsahu faqaad arofa rabbahu – siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya”, kenapa?

Karena dalam diri kita tersimpan selaksa pelajaran dan petunjuk untuk mengarahkan kita kepada siapa pencipta kita. Detak jantung kita, aliran darah kita, hembusan nafas kita, kerdip mata kita, “seharusnya”, mengarahkan kita pada satu titik, yaitu adanya Allah swt yang Maha Wujud.

Dan ini hanya akan mampu dilakukan oleh orang-orang yang mau belajar dan senantiasa memperbaiki kapasitas keilmuannya, bukan seperti analogi tukang rambutan tadi, yang hanya mengandalkan insting dan ‘katanya” saja.

Kebodohan intelejensi, kebodoan emosional serta kebodohan spirual adalah penyakit yang harus kita perangi dengan jihad dan kesungguhan agar tidak menghinggapi diri kita, keluarga kita dan syukur-syukur kalau kita bisa membantu lingkungan dan masyakat kita agar terbebas dari serangan penyakit jenis ini.

Wassalam

May 09, 2007

Tuesday, May 8, 2007

TUA SEBUAH KEPASTIAN, DEWASA SEBUAH PILIHAN

“Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”, Demikian sebuah peribahasa yang sangat familiar ditelinga kita untuk menggambarkan seseorang yang dalam hitungan bilangan telah mencapai angka tertentu, tapi kadang berbanding terbalik dengan jumlah bilangan usianya.

Tua adalah bilangan usia, satu tahun, dua tahun atau lima puluh tahun, dan itu pasti terjadi pada siapapun yang dikarunia usia yang sesuai dengan bilangannya, tidak ada orang yang mampu menahan laju usia dan bilangan umurnya, namun kadang usia yang sudah “matang” tidak diimbangi dengan kematangan atau tingkat kedewasaan seseorang, kenapa?

Sekali lagi, tua adalah kepastian, sementara kedewasaan banyak dipengaruhi berbagai faktor, dan tidak tergantung usia.

Ilmu, pengalaman, lingkungan, tingkat pendidikan dan masih banyak lagi yang berperan dalam proses pendewasaan seseorang.

Seseorang yang masih muda, tapi memiliki ilmu pengetahuan yang sangat baik, bertempat tinggal dilingkungan yang menunjang perkembangan fisik dan jiwanya, akan sangat mungkin memiliki tingkat kedewasaan yang jauh diatas orang-orang yang lebih tua, tapi tidak memiliki tingkat pendidikan dan ilmu yang memadai serta tinggal dilingkungan yang membuat perkembangan jiwa dan fisiknya terganggu.

Dalam hal apa saja kedewasaan seseorang harus tercermin.

Kedewasaan dalam beragama – beragama membutuhkan kedewasaan, karena dalam beragama dituntut sebuah tanggung jawab, dan hanya mereka yang sudah benar-benar dewasa sajalah yang mengerti tanggung jawab keberagamaan.

Ikrar Syahadat adalah sebuah pengakuan yang mensyaratkan tanggung jawab, bahwa kita bertanggung jawab untuk membuktikan pengakuan kita bahwa tidak ilah yang berhak disembah dan diibadahi selain Allah Swt. Ikrar kita bahwa Nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul utusan Allah juga mensyaratkan adanya tanggung jawab kita untuk mengaplikasikan apa yang dibawanya dalam peri kehidupan kita, dan menjadikan beliau satu-satunya teladan yang harus diikuti, bukan lainnya.

Sebagaimana dalam sebuah perusahaan, ketika kita menandatangani kontrak kerja kita, artinya kita sudah terikat dan mengikatkan diri dalam perusahaan tersebut, yang sebagai konsekuensinya adalah bahwa kita akan melakukan apa yang menjadi tanggung jawab kita dalam perusahaan itu. Semakin bagus kita bekerja dan bertanggung jawab, maka kita akan mendapat imbalan yang sepadan dengan kualitas dan tanggung jawab kita. Sebaliknya, ketika kita sudah terikat kontrak kemudian kita bermain-main dan melalaikan tanggung jawab kita sebagai seorang karyawan, maka kitapun harus bersiap diri untuk mendapatkan sanksi sebagai konsekuensi kelalaian kita dalam memenuhi tanggung jawab kita.

Shalat kita juga butuh tanggung jawab, Innashalati wanusuki wamayahya wamati lillahita’ala” adalah sebuah “janji” loyalitas dari seorang hamba kepada pencipta-Nya. Kita akan dikategorikan sebagai seorang munafik manakala apa yang kita baca dalam setiap shalat itu hanya sekedar ucapan kamuplase agar kita disebut orang islam.

Sebuah ilustrasi yang bagus dari sosok Cepot dalam pegelaran wayang golek disebuah stasiun televisi yang menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim melaksanakan shalat sebagai kewajiban dan tanggung jawab keberagamaanya;

“Kamu mah seperti anak kecil” Kata Si Cepot kepada Dawala

“Kenapa gitu?” Tanya si Dawala

“Iya, kamu masih seperti anak kecil, yang kalau disuruh mandi saja harus diiming-imingi sesuatu atau ditakut-takuti baru mau mandi” Papar si Cepot.

“Begitupun dengan ibadah kamu, mau tahajud, hanya ketika ingin sesuatu atau takut sesuatu, mau berzakat, ketika ada pamrih, mau berpuasapun bukan semata karena Allah swt” Lanjut si Cepot

“Seandainya anak kecil itu tahu bahwa mandi itu baik bagi kesehatan dirinya, niscaya tanpa disuruhpun ia akan mandi, pun halnya dengan kedewasaan kita dalam beragama, kalau kita tahu esensi shalat untuk kepentingan kita, hakekat zakat untuk kebaikan kita, puasa salah satunya untuk kesehatan kita, niscaya kita akan dengan segera menunaikan kewajiban-kewajiban keberagamaan kita tanpa rasa terpaksa atau dipaksa” Kata Cepot lagi.

Kedewasaan, sekali lagi merupakan hal yang sangat diperlukan bagi siapapun yang menghendaki kebaikan dalam beragama.

Kedewasaan dalam perilaku – ada banyak orang yang bilangan usianya sudah tua, tapi berperilaku seperti anak kecil. Lihat apa saja perilaku anak kecil yang masih sering ditiru oleh “anak-anak yang berusia 50 tahun”,

Ia, anak-anak usia 50 tahun ini masih suka pamer, kalau shalat, shalatnya ingin dilihat orang, kalau zakat, zakatnya karena ingin dikatakan dermawan, kalau berhaji, hanya karena ingin dipanggil pak haji, perilaku ini adalah cerminan ketidak dewasaan seseorang yang melakukannya.

Kita juga masih sering menjumpai “anak-anak usia 50 tahun” yang bicaranya asal bunyi, asal nyeplos, tanpa didasari ilmu, tanpa disertai perasaan apakah ucapannya itu baik atau buruk bagi dirinya atau orang lain. Bahkan” anak-anak usia 50 tahun” yang duduk sebagai pejabatpun masih banyak yang asbun, asal bunyi.

Lalu juga perilaku balita yang masih nampak pada “anak usia paruh baya” adalah “suka merengek” minta ini atau minta itu, kalau tidak dituruti, ngambek.

Kalau meminta kepada Allah penginnya banyak, maunya cepat, sementara kalau shalat telat terus, kalau zakat mikirnya kelamaan, itu adalah cerminan sebuah ketidak dewasaan.

“Mau menang sendiri” juga merupakan perilaku ketidakdewasaan yang masih sering kita jumpai pada “anak-anak paruh baya”.

Dalam pekerjaan misalnya, kalau minta sesuatu ke orang lain maunya cepat, pas diminta bantuan orang lain, ngambek, ukurannya “saya”, yang penting saya selesai, yang penting sudah tidak dimeja saya, bukan dari apakah pekerjaannya sudah bisa dipakai orang lain, itu lain hal bagi mereka yang masih “anak-anak” alias belum dewasa.

Masih banyak sebenarnya perilaku “anak-anak paruh baya” yang kadang lebih kekanak-kanakan dari anak balita sekalipun.

Mudah-mudahan bilangan usia kita yang sudah kepala tiga, kepala empat atau bahkan kepala lima, bisa tercermin dalam kedewasan kita dalam beragama, dalam berperilaku, dalam bersikap, dalam berpikir, sehingga kita benar-benar menjadi orang dewasa, bukan semata karena bilangan usia kita yang banyak jumlahnya.

Selamat datang kedewasaan, selamat tinggal kekanak-kanakan.

Wassalam.

May, 07, 2007

Tuesday, May 1, 2007

DAKWAH, SEBUAH KEBUTUHAN

33. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

Hampir setiap menjelang kumandang adzan, kalimat diatas terdengar nyaring dikumandangkan muadzin di masjid kami; “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

Sehingga suatu ketika penulis menanyakan hal ini kepada Pak Ustadz, beliau menjawab;

“Ayat itu berkaitan dengan anjuran untuk berdakwah, karena sekarang ini, ditengah kondisi umat seperti sekarang ini, kita memerlukan banyak sekali orang-orang yang mau berdakwah, orang-orang yang mau menyeru saudara-saudaranya kepada Allah, sambil senantiasa mengerjakan amal shaleh, seperti ayat diatas...” Jelas Pak Ustadz.

“Ya Pak, kami sebenarnya ingin sekali kemasjid atau ikut majelis taklim, tapi kami “tidak tahu jalan kemasjid (maksudnya: Tidak ada yang mengajak dan memberikan pengajaran kepada mereka)”, karena selama ini kami dianggap orang-orang buangan yang tidak bisa dinasehati.....” Kata seorang preman yang “berhasil” dibujuk untuk meninggalkan kebiasaannya dijalanan oleh seorang mantan dosen.

“Pak saya mau pinjam buku tuntutan shalat, saya ingin belajar shalat, tapi saya belum bisa do’anya....”Kata bibi pembantu dirumah.

Dan masih banyak pernyataan sejenis yang menggambarkan bagaimana mereka, sebagian saudara-saudara kita belum “tersentuh” oleh para ustadz dan kyai yang memberikan ceramah keagamaan dimasjid-masjid atau majelis taklim karena berbagai alasan, biasanya karena kesibukan atau karena alasan ekonomi, mereka harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memenuhi periuk nasi dan dapurnya, sehingga mereka “tidak sempat” kemasjid atau menuntut ilmu agama, atau latar belakang mereka yang cenderung tidak mengenalkan mereka pada agama yang benar.

Mereka yang dijalanan, anak-anak terlantar, para preman, pengamen, dan lainya, sebagian besar juga beragama islam, tapi sekali lagi, mereka hampir tidak tersentuh oleh ceramah dan pendidikan islami yang memadai, sehingga mereka tidak tahu jalan kemasjid, tidak tahu shalat, lalu apakah kita akan membiarkan mereka, yang juga saudara kita akan seperti itu selamanya?

Atau cukupkah kita berdalih “aah mereka khan emang nggak mau shalat, nggak mau ngaji, atau mereka khan preman”?

Jikapun mereka preman, kalaupun mereka gembel dan anak jalanan, mereka tetap manusia, mereka tetap saudara seakidah yang juga berhak mendapatkan informasi dan pendidikan agama dari saudaranya yang lain.

Lalu jika pak ustadz dan pak kyai sudah sedemikian sibuk menempa para santri dipesantren dan jama’ah dimajelis taklim,siapa yang peduli akan mereka?

Rasanya kurang bijak kalau kita belum memberikan penerangan kepada mereka, kemudian kita mengklaim bahwa mereka emang sudah begitu dari sononya.

Rasanya kurang arif kalau kita membiarkan mereka “tersesat” karena kekurang pedulian kita.

Rasanya kurang sreg kalau kita diam saja menyaksikan mereka dalam ketidaktahuaanya.

Atau jangan-jangan kita justru yang mendapat “teguran” dari Allah karena tingkah pola mereka yang jauh dari tuntunan agama karena ketidak tahuan, sementara kita berdiam diri saja?

Ingat, bahwa malapetaka bukan hanya akan menimpa mereka yang berlaku dhalim,tapi siapapun yang berada disana, tidak peduli dia ustadz atau kyai, tidak peduli mereka yang dhalim dalam ketidak tahuannya; seperti firman Allah berikut;

25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Al Anfal:25)

Terlambat rasanya ketika petaka datang kemudian kita menyalahkan mereka yang berbuat dhalim sementara kita tak pernah mengingatkan mereka sebelumnya.

Kita juga tidak bisa lantas mencari kambing hitam terhadap bencana yang terjadi dengan menunjuk suatu kelompok atau golongan tertentu yang berbuat ini dan itu, yang berlaku salah menurut kita , sementara kita sendiri tidak pernah mencoba mengajak mereka untuk berlaku yang patut.

“Aah, gara-gara banyak yang pasang togel nih, makanya hujan tidak turun-turun’

“Aah, gara-gara banyak warung remang-remang nih, maka kekeringan”

Itu yang sering kita dengar, tapi pernahkah kita mengingatkan kepada mereka, pemasang togel dan penghuni warung remang-remang itu untuk meninggalkannya? Kalau belum, rasanya kitapun turut andil dalam berbagai peristiwa yang tidak kita senangi itu kalau tidak mau dikatakan ikut bertanggung jawab.

Seorang teman pernah bertanya kepada penulis;

“Mas, apa yang harus kita lakukan kalau kita mengetahui ditempat kerja kita ada kemaksiatan?” Tanya sang teman.

Merujuk apa yang pernah penulis dapatkan dari pak ustadz, penulis menjawab;

“Rubah dengan “tangan kita” jika memang kita mampu”, atau beri pengertian kepada mereka dengan cara yang bijak”, atau kalau tidak do’akan agar mereka mendapatkan petunjuk dari Allah, atau kalau memang sudah tidak mungkin melakukan semua, hijrahlah, pindah dari tempat kerja tersebut....”

Lalu apa yang harus kita lakukan?

“Sampaikan dariku walau satu ayat” Demikian potongan matan sebuah hadits.

Atau dalam bahasa al qur’an, Allah berfirman;

104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran:104)

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

“Ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan” didefinisikan oleh beberapa kalangan sebagai ustadz atau ulama untuk menyampaikan dan menyeru kebajikan, namun sekali lagi, kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab menyeru kepada kebajikan itu hanya terbatas pada ustadz dan ulama saja, setidaknya kita punya tanggung jawab moral untuk sedikit meringankan perjuangan para ustadz dan kyai.

Benar, untuk berdakwah dan menyeru kepada kebajikan diperlukan ilmu yang memadai, oleh karenanya sampaikan satu ayat saja yang kita tahu dan sudah kita amalkan kepada saudara kita yang belum mengetahuinya, atau setidaknya kita menunjukan jalan bagi mereka untuk dapat belajar dan bertanya pada ustadz atau kyai yang mumpuni keilmuannya, sambil kita terus mengasah ilmu dan amal kita tentunya.

Seperti ayat pembuka diatas, bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan orang-orang yang menyeru Allah, mengerjakan amal shaleh dan mengajak orang lain untuk bersama-sama menggapai ridha-Nya.

27. Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. (Al Kahfi:27)

125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(An Nahl:125)

[845] Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.


“Bacakanlah” dan “Serulah” manusia kepada jalan Tuhan-mu, makin memperkuat pondasi kita untuk menbacakan Al qur’an dan menyeru manusia pada jalan yang digariskan Allah, atau dengan kata lain “Berdakwalah”, walaupun dengan satu ayat!

Ada e-mail, ada saat makan siang bersama, ada saat pulang pergi kekantor bersama, ada saat ngobrol bersama, kenapa kita tidak gunakan waktu,sarana dan media yang tersedia tersebut untuk saling berbagi dengan teman dan saudara kita?

Jangan patah arang kalau dengan itu kita dikatakan sok pinter, jangan patah semangat kalau kemudian kita justru dijauhi, karena memang demikianlah seharusnya, semuanya hanya ujian bagi kita.

Semoga kita bisa menjadi dai bagi diri dan keluarga kita khususnya dan bisa pula menjadi perantara bagi mereka yang ingin meniti jalan dan ridha-Nya, amiin.


Nahnu Du'aat Qobla Kulli Syaii' - Kita adalah da'i sebelum segala sesuatu yang lain

Wassalam

May 01, 2007