Monday, February 2, 2009

HUJAN BUKAN ALASAN

“Nak Mas melihat sesuatu yang janggal dari situasi ini...?” Tanya Ki Bijak, menyikapi cerita Maula yang hampir tiap hari kehujanan ketika berangkat dan pulang kantor.

“Sesuatu yang janggal ki...?” Tanya Maula heran.

“Ya Nak Mas, sesuatu yang menurut Aki agak janggal Nak Mas, hujan, kerap kali dijadikan kambing hitam atas kosongnya masjid, hujan dijadikan alasan banyak orang untuk tidak shalat berjamaah dimasjid, hujan juga kerap dijadikan ‘pembenar’ untuk tidak kemasjid.............”Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu ki....?” Tanya Maula masih belum mengerti.

“Tapi disisi lain, hujan deras tidak menjadi halangan untuk tetap pergi kekantor, hujan deras bahkan digunakan oleh sebagian orang sebagai bukti loyalitasnya terhadap perusahaan, sehingga apapun yang terjadi, ditengah guyuran hujan lebat dan kilat menyambar, orang tetap bersemangat untuk pergi kekantor atau ketempat usahanya....”Sambung Ki Bijak.

Rona wajah Maula sedikit berubah demi mendengar penjelasan gurunya, ia merasa bahwa gurunya sedang membicarakan ketidak hadirannya dimasjid beberapa hari lalu ketika hujan deras mengguyur daerah sekitar rumahnya;

“Iya ki, ana juga masih sering merasakan hal itu.......”Katanya kemudian jujur.

“Nak Mas tahu alasan kenapa orang-orang, atau Nak Mas sendiri masih suka merasa enggan kemasjid ditengah hujan lebat, tapi tetap bersemangat kekantor tanpa peduli lebatnya hujan dan kilat yang menyambar....?” Tanya Ki Bijak.

“Aaaah...,apa ya ki....., mungkin karena loyalitas ya ki, mungkin juga karena ingin mendapat penilaian yang baik dari perusahaan, atau mungkin juga karena ‘takut’ dapat teguran, sehingga orang-orang tetap pergi bekerja dan kekantor meski ditengah hujan lebat dan sambaran halilintar.....” Kata Maula ragu.

“Jika kita loyal terhadap perusahaan, itu hal yang memang seharusnya, karena itu merupakan salah satu kewajiban setiap karyawan, lalu pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa loyal kepada Allah yang memerintahkan kita untuk shalat berjamaah dimasjid, adakah kita sudah menganggap perusahan lebih patut menerima loyalitas kita daripada Allah, yang telah menciptakan kita, yang telah memberikan kita segalanya, mulut, mata, telinga, kaki dan tangan bahkan nafas dan hidup kitapun merupakan pemberian Allah, jadi sungguh mengherankan kalau loyalitas kita terhadap perusahaan jauh lebih besar daripada kepatuhan kita kepada Allah.......” Kata Ki Bijak.

“Lalu, kalau benar ada orang yang rela berhujan ria pergi kekantor demi alasan penilaian yang baik dari perusahaan, itu sah-sah saja, lalu pertanyaannya pernahkah kita memikirkan seberapa baik nilai kita dimata Allah...., kalau kita mengharap penilaian yang baik dari perusahaan dengan berbagai cara dengan pengorbanan, lalu kenapa kita merasa sedemikian berat untuk hanya sekedar melangkahkan kaki dari rumah kemasjid, yang jaraknya Aki yakin jauh lebih dekat dari jarak rumah ke kantor......” Tambah Ki Bijak lagi.

“Kemudian, jika ada orang yang takut dan khawatir dapat teguran dari perusahaan karena tidak datang ketempat kerja, tidakkah kita takut kepada Allah, yang dalam berbagai ayat disebutkan bahwa azab Allah sangatlah pedih, yang kepedihan dan kedahsyatannya tidak dapat dibandingkan dengan apapun, apalagi konon hanya dibandingkan dengan teguran atau bahkan PHK sekalipun....................” Kata Ki Bijak masih dengan nada herannya.

“Benar ki, kalau mau jujur,memang tidak alasan untuk menunda atau tidak pergi kemasjid, sementara kita masih mampu pergi kekantor, meski itu disertai hujan dan kilat yang mengguntur.....” Kata Maula, menyadari betapa dirinya masih terlalu banyak memiliki dalih untuk tidak pergi kemasjid.

“Ki...lalu bagaimana agar semangat kita kemasjid bisa sebaik atau bahkan melebihi semangat kita kekantor ya ki.....?” Tanya Maula.

“Jadikan shalat berjamaah dan kemasjid sebagai sebuah kebutuhan Nak Mas.....” Jawab Ki Bijak.

“Shalat berjamaah dan kemasjid sebagai sebuah kebutuhan Ki...?” Tanya Maula.

“Benar, Aki melihat semangat yang luar biasa untuk datang kekantor setiap hari, meski hujan angin menyertai adalah karena adalah dorongan ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi oleh kita, kita beranggapan kalau tidak kekantor ia akan merugi dan kebutuhannya tidak akan terpenuhi, nah semangat inilah yang harus kita adopsi untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, kita butuh shalat, kita butuh berjamaah, kita butuh kemasjid, kita butuh Allah, sehingga dengan kebutuhan-kebutuhan itulah kita akan merasa rugi kalau kita tidak shalat, kita akan merasa kurang kalau tidak berjamaah, kita akan merasa kehilangan sesuatu kalau tidak kemasjid, dan kita akan merasa menjadi orang yang paling berdosa manakala kesibukan kita melalaikan kita dari mengingat Allah......................” Kata Ki Bijak.

“Benar ki, seandainya orang yang kekantor hanya berfikir untuk memenuhi kewajibannya sebagai karyawan, tentu ia akan berat dan enggan untuk kekantor, apalagi hujan-hujan seperti sekarang ini...., karena mereka merasa butuh pekerjaan, butuh penghasilan dan butuh uang itulah segala resiko ditempuh ya ki.....” Kata Maula mulai mengerti.

“Itulah yang ideal Nak Mas, bahwa loyalitas kita, ketaatan kita, ketakutan kita, ketergantungan kita hanya semata kepada Allah swt, lain tidak..., dan kalau sekarang ini kita belum mampu sepenuhnya untuk bersandar dan bergantung kepada Allah, maka itulah PR terbesar yang harus segera kita selesaikan, semakin kita bergantung kepada selain Allah, maka semakin ‘capek’ kita diperbudak oleh kepentingan-kepentingan orang lain, dan Nak Mas masih ingat dengan hadits qudsi yang menyatakan Allah akan melapangkan jalan bagi mereka yang mendahulukan pengabdiannya kepada Allah....?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Ya ki.....” Kata Maula sambil mengutip hadits dimaksud;

Hai anak Adam, luangkanlah waktu mu untuk beribadah kepada-Ku, Aku akan lapangkan dadamu, dan aku akan hapuskan kemiskinan darimu. Jika tidak, Aku akan memberimu kesibukan, dan Aku tidak akan menghapuskan rasa kemiskinanmu” (HR. Turmidzi, Hakim, dan Ahmad).

“Astagfirullah..., jadi inikah yang sering membuat ana merasa kurang ki...?” Tanya Maula menyadari betapa hadits itu mengingatkannya akan ‘kelalaian’nya dalam mendahulukan Allah dibandingkan yang lainnya.

Ki Bijak tersenyum; “Tanyakan pada hati Nak Mas dengan jujur, insya Allah Nak Mas temukan jawabannya....” Jawabnya kemudian.

Terima kasih ki.......” Kata Maula sambil pamitan.

Wassalam;

Februari 02,2009