Friday, February 29, 2008

DARI BALIK KEMUDI

“Nak Mas masih suka bawa mobil...............?” Tanya Ki Bijak menanggapi pertanyaan Maula mengenai kenapa dalam kehidupan seseorang kadang terasa ‘melambat’, seperti penghasilannya turun, atau karirnya mandeg dan mengalami stagnasi dalam kehidupannya.

“Masih ki, meski tidak sesering dulu, ana kadang-kadang bawa mobil teman.......” Kata Maula.

“Apakah dalam berkendara, Nak Mas selalu menjalankan mobil dengan kecepatan yang sama..?”, apakah dalam mengemudikan mobil Nak Mas selalu memakai persnelling yang sama, misalnya selalu digigi empat.....?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Tentu tidak ki, kecepatan ana hampir selalu berubah, kadang ana harus melambatkan laju kendaraan ana, karena jalannya berkelok, kadang ana harus menginjak rem karena ada kendaraan didepan, pun ana harus memindahkan transmisi sesuai dengan kecepatan atau kondisi jalan yang ana lalui............” kata Maula.

“Lalu, bagaimana seandainya Nak Mas memaksakan tetap dalam kecepatan tinggi, tanpa melihat kondisi jalan, misalnya Nak Mas tetap diposisi gigi empat ketika jalan menanjak, atau Nak Mas tetap dengan kecepatan tinggi ketika jalanan ramai dan padat dengan kendaraan lain.......?” Tanya Ki Bijak lagi

“Waah, kendaraan kita tidak akan bisa nanjak ki, kalau kita memaksakan diri tetap digigi empat ketika jalananya menanjak, dan kalau jalan padat kita tetap melaju dengan kecepatan tinggi, sangat riskan ki, bisa-bisa kita nyerempet kendaraan lain...........” kata Maula.

“Dari jawaban Nak Mas tadi, kita bisa mengambil pelajaran untuk menjawab pertanyaan Nak Mas dipermulaan, kenapa kadang kita merasakan kehidupan kita melambat...........” Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki, laju kehidupan kita sama dengan kita berkendara, ki..........?” Tanya Maula.

“Tidak sepenuhnya sama, hanya agar kita lebih mudah memahami sesuatu, kadang kita memang memerlukan padanan atau analogi, mungkin tidak tepat seratus persen, tapi setidaknya kita bisa melihat gambaran yang lebih nyata dari sebuah permasalahan........” kata Ki Bijak.

“Kembali pada pertanyaan Nak Mas, jika kita merasakan kehidupan kita melambat, penghasilan kita turun, karir kita mandeg atau usaha kita mengalami kemunduran, sikapi dengan tenang dan bijak Nak Mas, jangan grasa-grusu, jangan panik, karena memang kadang kita harus berlaku demikian.......” Kata Ki Bijak.

“Seperti tadi Nak Mas katakan, kita kadang memang harus oper persneling kegigi yang lebih rendah, agar kita kuat nanjak, atau kadang kita juga harus menginjak rem dalam-dalam untuk menghindari tabrakan dengan kendaraan lain....”

“Pun demikian dengan laju kehidupan kita, dalam menjalani kehidupan ini, kita harus pandai-pandai membaca ‘peta jalan’ yang harus kita lalui, kita harus mampu melihat bagaimana kondisi jalan kehidupan yang kita hadapi, kita juga harus terampil mengendalikan ‘kemudi’ ketika kita harus sedikit berbelok atau menepi, kita juga harus lihai mengendalikan pedal gas dan pedal rem kehidupan kita secara tepat dan benar, dan satu hal yang pasti, jika kehidupan kita melambat, bukan berarti itu sebuah kejelekan....., dalam banyak kejadian, justru melambatnya kehidupan kita ini, akan menyelamatkan kita dari kecelakaan.....” Kata Ki Bijak.

“Contoh konkretnya begini Nak Mas, ketika kita diberi kemudahan oleh Allah, kondisi itu kira-kira sama dengan kita berkendara dijalan yang mulus dan rata atau dijalan tol, sehingga kita bisa memacu kendaraan kita dengan kecepatan tinggi, tapi dengan kecepatan yang tinggi, jalan yang rata, kadang kita terlena, atau bahkan kadang kita jadi ngantuk, dan itu sangat membahayakan, karenanya dijalan tol pun kadang sengaja diberi tonjolan untuk mengingatkan kita agar kita tidak mengantuk...............”

“Pun demikian halnya dengan kehidupan kita, ketika usaha kita lagi lancar, karir kita lagi berkembang pesat, gaji kita naiknya diatas rata-rata, kadang kita terlena, kadang kita berfikir bahwa kelancaran usaha kita semata karena usaha kita, kadang kita lupa dan berfikir bahwa pesatnya perkembangan karir kita semata karena ketrampilan dan kecakapan kita, atau ketika gaji ita naik diatas rata-rata, kita merasa sebagai karyawan terbaik, kita menjadi lupa, kita merasa bangga, kita menjadi sombong, kita menjadi terlena, dan itu sangat berbahaya Nak Mas......”,

“Karenanya, dengan kebijaksanaan-Nya, dengan kasih sayang-Nya, Allah memberikan ‘tonjolan-tonjolan’ pada jalan kehidupan yang kita lalui, berupa ujian, berupa kesulitan, berupa cobaan, berupa kondisi yang tidak kita senangi, dan itu samasekali tidak berarti Allah tidak sayang pada kita, justru dengan ujian dan cobaan itu, justru dengan kemandegan, justru dengan melambatnya laju karir dan kehidupan kita, semata untuk mengingatkan dan menyelamatkan kita agar kita tidak terlena dan tidak mengantuk sehingga membahayakan kita...........” kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana pernah mengalami hal itu, ketika semuanya mudah, ketika karir ana meningkat demikian pesat, ketika gaji ana jauh lebih besar dari yang lain, ana dihinggapi perasaan seperti yang aki sebutkan tadi..........” kata Maula mengenang kejadian yang pernah dialaminya.

“Dan kalau kemudian sekarang penghasilan dan karir Nak Mas tidak ‘sebaik dulu’, itu samasekali bukan berarti Allah tidak sayang lagi pada Nak Mas, justru dengan ‘teguran’ seperti itu, Allah mengingatkan Nak Mas agar tidak terlena dengan apa yang sudah Nak Mas dapat, justru seharusnya Nak Mas harus semakin dalam menundukan hati Nak Mas untuk mensyukuri semuanya..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana mengerti, hanya kadang masih ada perasaan kenapa ana tidak bisa ‘secepat’ dulu ya ki..........” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, “Bukan tidak bisa secepat dulu, tapi belum Nak Mas, dan itu wajar, bukankah ketika Nak Mas berkendarapun demikian, setelah laju kendaraan Nak Mas melambat atau menepi, Nak Mas tidak langsung bisa menggunakan percepatan tinggi, tapi gigi satu dulu, kemudian gigi dua, gigi tiga sebelum akhirnya Nak Mas bisa melaju dengan kecepatan penuh.......?’ Tanya Ki Bijak.

“Iya ki...........” Kata Maula pendek.

“Pun apa yang dialami Nak Mas sekarang ini, setelah Nak Mas ‘menginjak rem dalam - dalam’ dan bahkan berhenti, Nak Mas pindah kerja, Nak Mas harus menapaki karir Nak Mas satu demi satu, dari staff dulu, kemudian insya Allah naik lagi, hingga akhirnya Nak Mas bisa mencapai level dimana Nak Mas dulu berada......., mungkin bisa saja Nak Mas langsung mendapatkan penghasilan dan posisi yang setidaknya sepadan dengan apa yang Nak Mas peroleh dulu, tapi menurut Aki akan sangat riskan........” kata Ki Bijak.

“Kenapa ki..........?” Kata Maula.

“Ketika Nak Mas langsung memakai percepatan empat setelah Nak Mas berhenti, akan sangat mungkin kendaraan Nak Mas mengalami kerusakan, karena gigi dan kecepatanya tidak seimbang, pun demikian dengan Nak Mas, ketika Nak Mas langsung pada pendapatan dan posisi semula, sangat mungkin Nak Mas akan goyah lagi, tahajudnya tidak jalan lagi, kemasjid ogah-ogahan lagi, atau rasa mulia-nya muncul lagi....”,

“Jadi menurut Aki, apa yang Nak Mas alami sekarang sudah berada pada trek yang benar, Nak Mas sudah mulai menyadari perlunya kehati-hatian dalam menjalani kehidupan ini, Nak Mas mulai menyadari perlu adanya ‘tonjolan-tonjolan’, dan wajar kalau kemudian Nak Mas memulai laju kehidupan Nak Mas dari gigi satu, kemudian gigi dua dan seterusnya, setelah Nak Mas benar-benar sudah tahu medan yang akan dilaju, kecepatan berapapun, insya Allah, Nak Mas akan mampu melaju dengan stabilitas yang mantap.........” kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana mengerti sekarang ki, kalau kita berjalan pelan, bukan berarti kita kalah ya ki..........” Kata Maula.

“Seorang pengemudi yang handal tidak akan pernah berfikir bahwa menginjak rem dan melambatkan kendaraan adalah sebuah kemunduran, seorang pengemudi yang handal akan berfikir bahwa dengan menginjak rem dan melambatkan laju kendaraan, justru sebuah momentum untuk dapat melaju dengan kecepatan dengan akselerasi yang lebih tinggi, untuk kemudian menjadi pemenang sejati....................”Kata Ki Bijak lagi.

“Terima kasih ki, semoga ini menjadi bekal bagi ana untuk dapat menjadi pemenang sejati dalam menjalani kehidupan ini........” kata Maula.

“Amin, dan satu yang harus Nak Mas ingat, dalam perlombaan apapun, keselamatan adalah diatas segala-galanya, silahkan Nak Mas melaju dengan kencang untuk menjadi yang terbaik dalam kehidupan Nak Mas, tapi diatas segalanya, Nak Mas harus mengutamakan keselamatan negeri akhirat sebagai terminal akhir dari perjalanan panjang ini.........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, sekali lagi terima kasih, puji syukur kepada-Mu ya Allah.....” Kata Maula sambil menengadahkan wajahnya dan menadahkan tanganya kehadlirat ilahi, mulutnya komat-kamit memanjatkan do’a agar dikaruniakan keselamatan dan kesejahteraan selalu..............”

Wassalam

February 29, 2008

Monday, February 25, 2008

BATU PERTAMA

“Subhanallah......, panorama pemandangan dimana ini Nak Mas, indah sekali......” Kata Ki Bijak sambil melihat beberapa photo pemandangan yang keindahannya melebihi lukisan.

“Ooh, ini ki..., ini photo-photo yang ana ambil sepanjang perjalanan menuju pesantren Hidayatul Ihwan – Purwakarta, memang indah sekali ki, sawahnya hijau menghampar, bak permadani yang tergelar dengan sempurna, sungainya gemerik mengalir, berkelok indah, mengundang orang untuk mandi disana, gunungnya tinggi menjulang, gagah mewarnai alam desa yang masih asri, disamping kelok jalannya yang sangat menantang untuk dititi..............” Kata Maula sambil menerawang, membayangkan kembali keindahan panorama alam desa yang mempesona.

“Nak Mas kemarin jadi kepesantren..................?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, ana ingin ikut menyaksikan peletakan batu pertama renovasi pondok pesantren yang dilaksanakan kemarin ki...........” Kata Maula.

“Subhanallah, puji syukur kepada-Mu ya Allah yang telah meringakan kaki dan tangan anak-anak muda ini, semoga Allah meridhai jerih payah mereka untuk menyisihkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk berbagi dengan sesamanya.......” Kata Ki Bijak, mendengar penuturan Maula, bahwa renovasi pondok pesantren ini dikordinr oleh anak-anak muda yang datang jauh-jauh dari Jakarta, ditengah kesibukan dan rutinitasnya.

“Iya ki, ana juga sangat kagum dan terharu dengan totalitas mereka dalam kegiatan ini, bahkan ana merasa ‘malu’, karena ana belum bisa seperti mereka ki.......” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, kita memang pantas bangga dengan mereka, karena ditengah kondisi masyarakat kita yang cenderung acuh tak acuk akhir-akhir ini, justru mereka tampil kedepan untuk ambil bagian dalam kegiatan seperti ini..., subhanallah............’ Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, semoga peletakan batu pertama ini akan menjadi awal yang baik bagi perkembangan pendidikan dipesantren ini ya ki............” Kata Maula.

“Iya Nak Mas.........., peletakan batu pertama memang sebuah momentum yang sangat penting bagi sebuah proses pembangunan, karena sekuat dan sebagus apa nantinya bangunan yang sedang dibangun itu, akan sangat tergantung pada seberapa kuat dan seberapa pondasi yang ditanamnya...........” Kata Ki Bijak.

“Seperti ini Nak Mas...................” Kata Ki Bijak sambil menunjuk photo galian untuk pelatekan batu pertama dan pondasi bangunan.


Maula kembali mengamati dengan seksama photo-photo yang ditunjukan Ki Bijak.

“Nak Mas perhatikan, sebelum batu pertama diletakan dan pondasi dibuat, terlebih dahulu dibuat galian, agar batu yang ditanam sebagai pondasi akan ternaman dengan kokoh sehingga kelak akan mampu menopang struktur bangunan diatasnya............” Kata Ki Bijak.

“Dan sekuat apa pondasi ini, sekali lagi Aki ulangi, akan sangat menentukan sekuat apa bangunan diatasnya mampu berdiri kelak.............” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, kemarin pun arsitek renovasi pondok banyak berdiskusi tentang struktur pondasi ini, tujuannya agar pondai ini bisa menopang beban bangunan diatasnya.........” kata Maula

“Ya Nak Mas, dari sini, kita bisa mengambil sebuah pelajaran, bahwa pondasi memang sangat penting, karenanya harus benar-benar kita perhatikan........” kata Ki Bijak.

“Yang Aki maksud bukan hanya pondasi bangunan ini khan ki.........?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, bukan hanya struktur pondasi bangunan ini, tapi juga ‘bangunan-bangunan’ lainnya.......” Kata Ki Bijak.

“Bangunan Islam misalnya, seperti Nak Mas ketahui, bahwa tatanan bagunan Islam terdiri dari lima rukun yang menopangnya, Syahadat, shalat, shaum ramadhan, zakat dan menunaikan ibadah haji..............” kata Ki Bijak.

“Lalu ki.............?” Tanya Maula.
“Jika kita analogikan struktur bangunan Islam ini, syahadat adalah ‘pondasi’ dari seluruh struktur bangunan islam ini, sebaik apa pemahaman syahadat kita dan seberapa baik dan seberapa kuat kualitas syahadat kita, akan sangat menentukan seberapa kokoh tiang shalat kita dapat menyangga kontruksi bangunan islam kita secara keseluruhan...............” kata Ki Bijak.

“Ki, jika ada orang yang ‘rajin’ shalat, tapi tidak zakat dan malas puasa, bahkan ada yang takut pergi haji, apakah ini sebuah indikasi rapuhnya pondasi akidah yang menopangnya ki............” Kata Maula.

“Wallahu’alam Nak Mas, hanya Allah yang mengetahui sebesar apa kualitas iman dan akidah seseorang, namun secara lahiriah, memang akan tampak gambaran seberapa baik kualitas iman dan akidah seseorang...........” kata Ki Bijak.

“Ibaratnya begini Nak Mas, kita tidak mengetahui seberapa kuat pondasi sebuah bangunan, karena pondasi itu tertanam didalam tanah, tapi kita bisa melihat gambaran seberapa kuat pondasi bangunan itu dari apa yang nampak diluarnya, misalnya, pondasi yang kurang kuat, akan menimbulkan keretakan-keretakan pada dinding bangunan, atau bahkan bangunan itu bisa jadi akan roboh dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama................” Kata Ki Bijak.

“Kalau dalam struktur bangunan Islam, pondasi akidah yang kurang memadai, agar tergambar dari ‘keretakan-keretakan’ ibadah lainnya, seperti shalatnya belum mampu memproteksi orang tersebut dari perbuatan keji dan munkar, kemudian juga akan timbul tanda-tanda tidak kokohnya pondasi akidah itu lewat keengganan mereka membayar zakat, akan terlihat dari kemalasan mereka menunaikan shaum ramadhan, serta tercermin dari keragu-raguan mereka untuk menunaikan rukun islam yang kelima, mereka ragu perlu tidaknya berangkat ketanah suci untuk berhaji.........” kata Ki Bijak

“Ooh, itu yang membuat sebagian orang memandang penting prosesi peletakan batu pertama ya ki...........” Kata Maula.

“Kalaupun tidak semua orang memandang demikian, setidaknya salah satu alasan kenapa sebagian orang memandang hal ini penting adalah karena alasan diatas.........” kata Ki Bijak.

“Kemudian, selain struktur bangunan Islam, dalam membangun atau membentuk pribadi putra-putri kita juga mensyaratkan sebuah pondasi akidah yang kokoh, sebelum anak kita mengenal matematika, sebelum anak kita diajari bahasa inggris atau ilmu komputer, sebagai orang tua muslim, seharusnya kita menanamkan pondasi akidah sekuat dan sedalam mungkin dihati anak-anak kita......” Kata Ki Bijak.

“Tantangan jaman kedepan, mungkin akan jauh lebih berat daripada yang kita hadapi saat ini, dan anak-anak kita, adalah orang-orang yang akan berhadapan dengan jaman itu secara langsung, Aki khawatir jika pondasi akidah anak-anak kita tidak kokoh dan kuat, mereka akan mudah digoncang dengan berbagai hal didalam kehidupannya.....”,

“Dari itu, sekali lagi, persiapkan pondasi akidah anak kita sedini mungkin, sekuat mungkin, sekokoh mungkin, insya Allah, jika pondasi akidahnya sudah kuat, kelak, ketika anak kita menjadi pejabat, maka ia akan menjadi pejabat yang berakidah, kelak, jika anak-anak kita menjadi teknokrat, mereka akan menjadi teknokrat yang beriman, kelak, jika anak-anak kita menjadi pengusaha, mereka akan jadi pengusaha yang berimana, kelak, akan menjadi apapun anak kita, setinggi apapun pangkat dan jabatannya, sekaya apapun harta yang dimilikinya, insya Allah, dengan pondasi akidah yang mumpuni, mereka akan mampu berdiri kokoh diatas landasan iman dan akidah yang benar................” Kata Ki Bijak lagi.

“Sudah banyak contoh mereka yang landasan akidahnya kurang kokoh, mereka menjadi korban kerasnya tantangan jaman, ketika menjadi pejabat, mereka yang tidak memiliki pondasi akidah, akan cenderung korup, ketika menjadi teknokrat, mereka cenderung korup, ketika mereka kaya, mereka yang tidak memiliki landasan akidah yang memadai akan cenderung ‘lupa’ seperti qarun yang lupa dari mana kekayaannya berasal, dan masih banyak lagi contoh diberbagai bidang kehidupan yang menggambarkan betapa pondasi akidah yang lemah, telah melahirkan sedemikian banyak kemunkaran..............” tambah Ki Bijak lagi.

“Iya ki, ana mengerti sekarang, batu pertama, pembangunan pondasi yang kokoh, adalah merupakan syarat utama bagi kekokohan sebuah bangunan, baik itu bangunan secara fisik, bangunan tatanan islam atau pun bangunan kepribadian kita dan anak-anak kita ya ki............” kata Maula.

“Ya, Nak Mas, semoga Nak Mas bisa terus ikut serta dalam prosesi renovasi itu, karena didalam setiap tahapan, disana ada ibrah yang besar untuk kita....................” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki................” kata Maula sambil pamitan.

Wassalam

February 25, 2008

Friday, February 22, 2008

BAHKAN DARI CICAK PUN KITA BISA BELAJAR

“Bahkan dari seeokor cicak pun kita bisa belajar banyak Nak Mas......” Kata Ki Bijak, menjawab pertanyaan Maula mengenai berbagai hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan manusia.

“Apa yang bisa kita pelajari dari cicak ki......?” Tanya Maula.

“Nak Mas hafal lagu anak-anak ‘cicak-cicak didinding’.......?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, lagu anak yang sangat populer, karena selain baitnya pendek, cicak juga dengan mudah ditemukan hampir disetiap tempat........” Kata Maula.

“Terfikir tidak oleh Nak Mas, kalau cicak yang ‘hanya bisa merayap’ didinding, tapi makanannya utamanya justru nyamuk yang bisa terbang............?” Kata Ki Bijak.

Maula tampak merenung sejenak demi mendengar pitutur gurunya, “Iya ya ki, kenapa cicak yang hanya bisa merayap justru makanannya nyamuk yang bisa terbang.................?!” Kata Maula terheran-heran.

Ki Bijak tersenyum, “Secara logika, akan sangat sulit bagi cicak yang hanya bisa merayap, tapi makananya nyamuk yang bisa terbang, tapi hingga saat ini, Aki belum pernah mendengar ada cicak mati kelaparan karena susah cari makan, karena nyamuknya bisa terbang.............” Kata Ki Bijak.

“Hee...hee, iya ki, ana juga belum pernah membaca atau mendengar kalau ada cicak mati kelaparan karena susah cari makan..........” Maula tersenyum mendengar kata-kata Ki Bijak yang setengah berkelakar.

“Lalu, pernah tidak Nak Mas mendengar berita ada cicak ‘mengeluh’, karena susah menangkap nyamuk..............?” Tanya Ki Bijak.

“Belum ki.................” Kata Maula.

“Di sinilah yang Aki maksud dengan pelajaran yang bisa kita ambil dari cicak, sesulit apapun cicak menangkap nyamuk, cicak tidak pernah mengeluh kepada Allah atau ‘protes’ kepada allah kenapa cicak disuruh makan nyamuk yang terbang........, sementara kita, manusia, yang sudah dijamin Allah dengan berbagai kemudahan, lebih banyak mengeluhnya dari pada bersyukur..........” kata Ki Bijak sambil mengutip sebuah ayat al qur’an;

20. Dan kami Telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. (Al Hijr)


“Kita lebih sering mendengar orang yang mengeluh kekurangan, dari pada mendengar mereka yang mengucap syukur atas apa yang diterimanya....., mengeluh kehujanan, mengeluh kepanasan, mengeluh kecapekan, mengeluhkan jadwal pekerjaan, mengeluhkan macetnya perjalanan, mengeluhkan teman yang ‘karep sorangan’, mengeluhkan atasan yang cerewetnya bukan kepalang, mengluhkan berbagai hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan keinginannya............” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ya ki............, apa yang kurang dari kita ya ki, keperluan-keperluan hidup kita telah dipenuhi oleh Allah, buah-buahan, tanaman pangan, hewan ternak, dilaut, Allah menyediakan ikan yang tak terhitung banyaknya, diudara ada burung-burung yang halal lagi lezat rasanya, belum lagi hasil hutan, hasil pertanian, tambak, sawah dan ladang, apa lagi ya ki..............” Kata Maula, mulai menyadari betapa Allah telah menghamparkan sedemikian banyak nikmat dan kemudahan bagi umat manusia, yang tidak diberikan kepada mahluk-mahluk Allah yang lain.

“Yang kurang dari kita, umat manusia ini adalah rasa syukur Nak Mas, nikmat dan karunia Allah yang tidak terhingga itu, menjadi tidak terlihat dimata mereka yang tidak pandai mensyukurinya........., kurang atau hilangnya rasa syukur inilah yang kemudian menjadikan manusia lebih banyak mengeluh ditengah limpahan nikmat dan karunia yang tidak terhingga, sementara mahluk Allah yang lain, cicak, ikan, dan burung-burung, mereka mungkin memiliki keimanan dan rasa syukur yang jauh diatas manusia, sehingga apapun yang Allah karuniakan kepada mereka, mereka tidak pernah mengeluh menjalani takdirnya..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana jadi kepikiran, ikan hiu yang sebegitu besar, mungkin memerlukan makanan yang sangat banyak, mungkin puluhan atau bahkan ratusan kilo, tapi ikan hiu tetap bisa memenuhi kebutuhan makannya, meski ikan hiu tidak memiliki saham di perusahaan bursa, ikan hiu juga tidak memiliki perusahaan pencetak uang, ikan hiu juga tidak memiliki pekerjaan tetap...., apalagi jabatan ya ki............” Kata Maula.

“Sementara kita, manusia, yang hanya membutuhkan sepiring atau dua piring nasi, justru jauh lebih sibuk dan lebih pusing dari ikan hiu, meski banyak diantara kita yang memiliki saham, ada yang memiliki dua atau tiga perusahaan, tabungan diberbagai bank, deposito serta berbagai usaha lainnya, tapi ditengah berbagai kecukupan itu, masih saja banyak diantara kita yang mengeluh dan meratapi nasibnya, karena memang tidak ada kata cukup atau puas bagi mereka yang kufur.....................” Kata Ki Bijak

“Cicak-cicak didinding...”
“Diam-diam merayap...“
“Datang seekor nyamuk..”,
“Haaap, lalu ditangkap....”

Maula menirukan lagu anak-anak yang populer itu, sebelumnya ia tidak pernah memikirkan bahwa cicak yang hampir setiap hari dilihatnya, ternyata memberinya sebuah pelajaran yang sangat berharga, bahwa syukur dan mensyukuri nikmat Allah adalah sebuah ‘kunci rahasia’ bagi siapapun yang ingin hidupnya bahagia.

“Benar ki, rasa tidak puas, rasa kurang, keinginan terhadap dunia yang berlebihan, telah menjadikan banyak manusia terjebak untuk memperbudak dirinya, mereka rela menjadi budak nafsu duniawinya yang tanpa batas, ya ki................”Kata Maula sambil menerawang.

“Nak Mas harus berhati-hati ketika rasa kurang, rasa tidak puas itu muncul, jangan biarkan perasaan seperti itu menggerogoti rasa syukur kita kepada Allah, karena sifat kufur hanya akan membuat kita menderita, sifat kufur hanya akan menyeret kita kedalam jurang kehancuran yang terdalam............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, memang tidak bisa dipungkiri, keinginan dan rasa itu masih sering ‘menggoda’ ana, berterima kasih pada Aki yang selalu mengingatkan ana akan bahaya kufur ini ki, terima kasih ya ki...........” Kata Maula.

“Bukan Aki yang mengingatkan Nak Mas, Allah, Nak Mas, Allah yang telah membawa Nak Mas kesini, Allah yang telah menjadikan Nak Mas mau mendengar peringatan-Nya melalui apa yang Aki katakan, Aki tidak memiliki apapun untuk membantu dan mengingatkan Nak Mas, kecuali dengan izin dan kuasa Allah, apa yang Nak Mas anggap baik dari perkataan Aki, itu semata datangnya dari Allah, sementara khilaf dan salah, semua bersumber dari kedhaifan Aki sendiri................” kata Ki Bijak.

“Iya Ki, Yaa Hadii....., ihdinashirathalmustaqiem......, yaa hadii...ihdini........., Yaa Allah tunji hamba kejalan_mu yang lurus, wahai Maha Pemberi Petujuk, tunjuki hamba jalan-Mu ya Allah.................” Kata Maula, memohon kepada Allah agar diberi petunjuk menapaki jalan kehidupannya.

69. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (An-nissa)

[314] ialah: orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.


Wassalam

February 22, 2008

Thursday, February 21, 2008

DARI KRAN AIR

“Ki, ana sedikit mengalami kesulitan untuk menjelaskan dan memahami bahwa memang Allah-lah yang menjamin rezeki kita, ki............” Kata Maula.

“Maksud Nak Mas.....?” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, disatu sisi, ana sering mendengar orang berkata bahwa mereka hafal dalil dan ayat yang menyatakan bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki seluruh mahluk, tapi disisi lain, banyak orang yang ‘meyakini’ dan menganggap rezekinya tergantung dari perusahaan tempatnya bekerja, tergantung pada atasannya, tergantung dari usahanya, sehingga sebagian orang ‘memilih’ lebih patuh dan takut pada atasan atau perusahaan tempatnya bekerja, daripada takut pada Allah...........” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, memang sebagian orang masih memiliki ketakutan seperti itu, mereka lebih takut untuk tidak berangkat kekantor, daripada takut tidak mengerjakan shalat, sebagian orang lebih takut terlambat absen, daripada takut terlambat shalat, sebagian orang bahkan rela berbohong dengan berbagai alasan untuk dapat meyakinkan atasannya untuk tidak masuk kerja, daripada takut kepada Allah yang melarang dan mencela orang yang suka bohong, dan masih banyak ketakutan-ketakutan yang kadang samasekali tidak berdasar...........” Kata Ki Bijak

“Ki, bagaimana kita melatih keyakinan kita agar kita dapat ‘melihat’ secara benar, bahwa Allah-lah sumber dari segala sumber rezeki kita ki.........?” Tanya Maula.

“Nak Mas lihat kran air itu............?” Tanya Ki Bijak sambil menunjuk kran air ditempat wudlu.

“Ya, Ki..............” Kata Maula.

“Apakah Nak Mas berfikir bahwa kran itu yang memberikan air untuk wudlu kita...........?” Kata Ki Bijak.

“Tentu tidak ki, kran air itu hanya berfungsi untuk menyalurkan air yang dari mata air yang dihisap oleh pompa air, kemudian ditampung di penampungan, dan kran itu ‘hanya’ mengalirkan air yang ‘dititipkan’ kepadanya...............” Kata Maula.

“Nak Mas benar, kran air hanya berfungsi sebagai alat untuk mengalirkan air, bukan yang menghasilkan air....., dan perusahaan tempat Nak Mas bekerja, sawah dan ladang tempat pak tani bercocok tanam, kios dan warung atau gerobak tempat pedagang berjualan, mobil dan kendaraan yang hilir mudik mengangkut penumpang, adalah ‘kran-kran rezeki ’ yang disiapkan Allah untuk menyalurkan rezeki-Nya kepada kita, sementara hak untuk memberikan rezeki itu adalah hak mutlak Allah, untuk membagikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kenapa selama ini tidak terfikir seperti itu ya ki, ana sering dengar, ketika air wudlu tidak ada, banyak orang mengatakan kran-nya yang rusak, tanpa melihat darimana sumber air itu sendiri............” Kata Maula.

“Itulah yang kemudian mengantar orang berfikir ketika gajinya tidak naik, sebagian kita buru-buru memvonis atasanya tidak fair, perusahaannya tidak adil, dan sebagainya, atau ketika pendapatan tidak bertambah, sebagian kita buru-buru mengambil kesimpulan bahwa ada orang yang tidak senang kepadanya, atau ketika usahanya lagi seret, buru-buru mereka mencari ‘orang pintar’, mereka cenderung melihat permasalahan itu dari satu sisi saja, bukan melihat dan berfikir bahwa diatas semuanya, disetiap kejadian yang dialaminya, baik ketika gajinya tidak naik, baik ketika pendapatannya turun atau usahanya mandeg, disana, ada Allah yang berkuasa melapangkan atau menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehedaki-Nya...........” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat al qur’an

37. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman. (Ar-rum)


52. Dan Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman .(Az-zumar).

“Iya ki, ana pun pernah merasakan hal seperti itu, lalu bagaimana seharusnya kita bersikap ki.......?” Kata Maula.

“Bersikap dan berfikirlah sebagaimana kita berfikir bahwa bukan kran itu yang memberi kita air.............., sebagaimana dua ayat diatas, dibalik lapang atau sempitnya rezeki kita, disana ada ‘sesuatu’ yang harus kita imani, karena ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman’, jadi apapun yang menimpa kita, lapang atau sempitkah rezeki kita, imani dan yakini bahwa semua itu datangnya dari Allah, pencipta kita yang Maha Pemberi Rezeki.............” Kata Ki Bijak

“Ketika kita berfikir dengan cara yang benar dan kemudian mengimani bahwa segalanya dari Allah, cara kita untuk ‘mengatasi’nya pun insya Allah akan benar, ketika Allah memberi kita kesempitan, kita akan berfikir dan beriman bahwa ini adalah sebuah ujian kesabaran dari Allah untuk kita, dan kita akan terhindar dari tipu daya setan yang membujuk kita untuk meminta pertolongan pada orang pintar atau tukang ramal..........”

“Sebaliknya ketika rezeki kita lapang, kita tidak akan terjebak untuk berbangga diri atau membanggakan perusahaan tempat kita bekerja misalnya, tapi kita akan lebih bijak dan berfikir bahwa kelapangan yang Allah berikan kepada kita juga sebuah ujian untuk menguji sebesar apa syukur kita terhadap nikmat-nikmat-Nya.........” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kalau kita sudah mengerti dari mana air ini berasal, ketika airnya tidak keluar, jalan terbaik adalah mengecek apakah ada yang menghalangi sumber air ini sehingga tidak sampai ke kran ini ya ki...........” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, banyak keterangan yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan‘terhambatnya’ aliran rezeki kita adalah bertumpuknya ‘kotoran’ dan dosa yang menghalangi kedekatan kita dengan Allah, dengan Sumber rezeki itu sendiri....., selain juga sumbatan yang diakibatkan kurangnya rasa syukur dan tawakal kita kepada Allah swt...........” kata Ki Bijak.

“Jadi ketika kita diuji oleh Allah dengan kesempitan, jalan keluarnya adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah, kemudian membersihkan sumbatan dosa dan kotoran dengan beristighfar dan taubat, meningkatkan rasa syukur kepada Allah dan selebihnya menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan memupuk sifat tawakal kita ya, ki................” Kata Maula berusaha menyimpulkan.

“Benar Nak Mas, dekatkan diri kepada Allah, tobat dan istighfar, syukur nikmat dan tawakal, disamping kita menyempurnakan ikhtiar dan kasab kita, merupakan cara terbaik untuk menyikapi berbagai hal yang kita hadapi, terlebih ketika kita diuji Allah dengan kesempitan............” Kata Ki Bijak.

“Pun ketika Allah menguji kita dengan kelapangan, kita tidak akan salah meng-alamat-kan rasa terima kasih dan syukur kita kepada selain Allah, karena kita tahu dan meyakini bahwa kelapangan itu bersumber dari-Nya...........”Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, akan menjadi ‘lucu’ kalau kran ini tidak mengeluarkan air, kemudian kita marah-marah pada kran ini, tanpa tahu kenapa kran ini macet, atau sebaliknya, ketika kran ini mengalirkan air dengan lancar, ‘lucu’ rasanya kalau kita kemudian ‘memuja’ kran ini secara berlebihan, tanpa menyadari dari mana air ini bersumber.........” Kata Maula.

“Berterima kasih pada atasan atau perusahaan sebagai ‘kran’ rezeki kita, juga merupakan sebuah sifat yang terpuji Nak Mas, selama cara berfikir dan keyakinan kita benar, bahwa atasan kita, perusahaan tempat kita kerja, ladang dan sawah kita, warung atau gerobak kita, ‘hanya’ sebatas kran saja, selebihnya kita panjatkan rasa syukur kita dengan penuh keikhlasan pada sumber utama dan satu-satunya sumber itu sendiri, yaitu Allah swt...........” kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana mengerti sekarang.............., ya Allah bimbing hamba-Mu yang dhaif ini untuk mendekat kepada-Mu, beri kemampuan hamba untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, kuatkan hamba untuk bisa berserah diri kepada-Mu, dan tunjuki hamba untuk menyempurnakan kasab hamba dijalan-Mu, ya Allah...., hanya kepada-Mu hamba bermohon dan berserah diri.................” Kata Maula sambil menengadahkan kedua tangannya memohon kepada Allah.

“Amiiin................” Ki Bijak mengamini doa muridnya.

Wassalam

Februari 21, 2008

Monday, February 18, 2008

LAGI, SEBUAH CERMIN

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..............” Salam Maula kepada Ki Bijak, yang tengah beristirahat disebuah saung dikebun yang rindang, tidak jauh dari pondok pesantren.

“Walaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh....., Nak Mas..., mari duduk disini Nak Mas..............” Jawab Ki Bijak sambil mengajak Maula untuk masuk kedalam saung yang cukup luas dari asri itu.

“Tadi ana kepondok, tapi kata para santri Aki disini, makanya ana menyusul kesini ki..........” Kata Maula sejurus kemudian setelah ia duduk disisi Ki Bijak.

“Ya Nak Mas, kalau lagi senggang, Aki sering kemari, selain udaranya yang sejuk dan asri, pemandangan disini juga sangat indah........”Kata Ki Bijak sambil memutar matanya untuk menikmati panorama alam yang memang indah dan asri.

Secara spontan Maula pun melakukan hal yang sama, ia menebarkan pandangannya untuk melihat keelokan pemandangan disekitar kebun itu.

“Iya ki, indah sekali pemandangan disini, pepohonan hijau, gemerisik daun, gemerincing dan gemericik air mengalir, gunung yang menjulang serta kicau burung yang bersahutan, damai sekali suasana disini ya ki......................” Kata Maula mengagumi kesempurnaan ciptaan Allah swt.

Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, kemudian dari bibirnya yang senantiasa berdzikir dan mengagungkan asma Allah itu, terdengar sebuah ayat al qur’an;

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (ali Imran)

“Iya Nak Mas, dibalik keindahannya, alam ini, pepohonan ini, kicau burung, angin yang semilir, gunung yang menjulang, juga merupakan cermin yang sangat baik bagi kita untuk berkaca untuk melihat seperti apa kita ini.........” Kata Ki Bijak.

“Kita bercermin pada alam ki......?, bagaimana mungkin kita bisa bercermin pada pepohonan, pada burung-burung itu atau pada angin ki.........?” Tanya Maula sedikit keheranan.

“Benar Nak Mas, alam ini merupakan ‘cermin ajaib’ yang akan memberikan gambaran yang sangat bening kepada kita tentang siapa kita ini............” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas perhatikan batang pohon pisang ini......................” Kata Ki Bijak sambil memegang sebatang pohon pisang yang tumbuh tepat disamping saung tempat guru dan murid itu beristirahat sambil bercengkrama.

Maula menoleh kearah yang dimaksud, dan sejurus kemudian ikut memegang batang pohon pisang raja yang nampak mulai berbuah.

“Ada apa dengan pohon pisang ini ki........?” Tanya Maula.

“Pohon pisang ini adalah sebuah lambang integritas yang luar biasa, beda dengan sebagian kita dari bangsa manusia.............” kata Ki Bijak.

“Pohon pisang ini sebuah simbol integritas ki...............?” Tanya Maula

“Pohon pisang ini memiliki batang, yaitu batang pohon pisang, pohon ini memiliki daun, daung pisang, pohon ini menghasilkan buah, buah pisang, bahkan ketika pada saatnya ia berkembang biak, anaknya pun anak pohon pisang, semuanya selaras dan sesuai dengan tujuan penciptaan dan penamaannya...............” Kata Ki Bijak.

“Pun dengan tanaman singkong disana, tanaman itu memiliki batang tanaman singkong, daun singkong, buahnya juga singkong.......”

“Burung yang cantik itu juga demikian Nak Mas, kicaunya pasti merupakan kicau burung, anaknya anak burung, perilakunya juga perilaku burung, yang dimakannya ada apa yang memang seharusnya dimakan burung, tidak pernah ada burung makan semen atau sarapan aspal, tidak pernah ada burung mengaum layaknya harimau, tidak pernah ada burung yang berperilaku menyimpang dari fitrahnya sebagai burung.....................” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki....................?” Tanya Maula penasaran.

“Lalu coba Nak Mas perhatikan ayat ini;

4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

“Dengan kesempurnaanya, sebagian manusia justru tidak mampu menjadi manusia secara utuh sebagaimana layaknya pohon pisang atau tanaman singkong yang kita bicarakan tadi, dibalik kesempurnaan penciptaanya, manusia kadang ‘kalah’ dari burung dalam bertutur kata atau berperilaku...., "
"Coba Nak Mas lihat dengan seksama disekitar kita, ada manusia yang keganasananya lebih dari seekor harimau, ada manusia yang keserakahannya melebihi srigala, ada manusia yang kelicikannya melebihi musang, ada manusia yang kata-katanya melebihi bisa ular, ada manusia yang kejamnya melebihi singa, ada manusia yang kesombongannya melebihi setan, ada banyak manusia yang tidak mampu menjadi manusia..........” Kata Ki Bijak.

Maula tampak termenung sejenak menyimak kata-kata gurunya barusan.

“Nak Mas perhatikan dan lihat, betapa banyak manusia yang membunuh manusia lain dengan cara-cara yang jauh melebihi kebuasan binatang buas sekalipun, kalau harimau memangsa binatang lain sekedar untuk menyambung hidupnya, sementara manusia melakukannya dengan ‘senang hati’ dan demi memuaskan hatinya, kalau harimau membunuh dengan seketika, ada manusia yang membunuh sesamanya dengan perlahan dan dengan cara yang sangat menyakitkan, mereka memakan hak orang lain dengan cara korupsi, sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk menghidupi hajat hidup orang banyak, tidak dapat dinikmati oleh orang yang berhak menerimanya, bahan makanan menjadi mahal, pendidikan menjadi tidak terjangkau, busung lapar merajalela, kemiskinan menjadi pemandangan yang biasa, dan bukankah ini sebuah pembunuhan yang biadab, membunuh dengan perlahan dan dengan cara yang jauh lebih kejam dari binatang.......” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, hampir setiap hari ada berita mereka yang bunuh diri karena tekanan ekonomi dan kemiskinan yang sedemikian mencekik, sehingga mereka tidak sanggup lagi menahan beban kehidupan yang semakin hari semakin menghimpitnya, ditambah dengan lemahnya iman, sebagian mereka kemudian mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri.......” Kata Maula.

“Jika uang yang ‘dilalap’ oleh segelintir manusia durjana itu yang jumlah milyaran atau bahkan triliyunan rupiah itu dibelikan sembako, atau dijadikan modal, atau buat subsidi, kalaupun tidak seratus persen, setidaknya akan ada banyak orang yang tertolong dari himpitan kemiskinan yang mendera sebagian rakyat negeri ini..............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, uang satu triliyun saja, kalau digunakan untuk membantu orang-orang kelaparan, berapa orang yang akan merasa kenyang ya ki........................” Kata Maula.

“Lalu ki, tadi Aki bilang ada manusia yang kesombongannya melebihi setan, ki......?” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, setan yang terkutuk itu masih mau mengakui Allah sebagai pencipta, ungkapan iblis ‘Engkau ciptakan aku dari api’ adalah sebuah pengakuan iblis kepada Allah sebagai penciptanya, kemudian iblis pun tetap memohon kepada Allah untuk diberi tangguh, karena iblis ‘menyadari’ ketidak berdayaan dan ketidak mampuannya, sementara disisi lain, manusia, sekali lagi dengan kesempurnaan ciptaanya, ada banyak manusia yang tidak mau mengakui Allah sebagai penciptanya........” Kata Ki Bijak.

“Seperti Firaun ya ki............” kata Maula.

“Ya seperti firaun, dan hingga dizaman kita sekarang pun tipikal manusia seperti firaun ini, orang-orang yang tidak mau mengakui Allah sebagai rabb-ya, tidak pernah habis dan terus lahir disetiap generasi...................”Kata Ki Bijak.

“Lalu dengan kesombongannya pula, ada manusia yang dengan sadar mengatakan ‘tidak mau merepotkan Allah’, ‘tidak mau memohon kepada Allah’ karena merasa mampu mencukupi keperluannya sendiri tanpa melibatkan Allah, mereka berfikir mereka hanya perlu bekerja keras, sekeras-kerasnya kemudian dengan sendirinya segalanya keperluannya terpenuhi, tanpa perlu berfikir bahwa Allah-lah yang telah memberikan segala apa yang dimakannya, bahwa Allah yang telah memberi apa yang diminumnya, bahwa Allah-lah yang telah memberi apa yang dihirupnya.............” Kata Ki Bijak.

“Ada gitu ki orang yang mengatakan ‘tidak akan merepotkan Allah’......?” Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Kelak Nak Mas akan menemukan orang atau segolongan orang yang kebablasan seperti ini, pesan Aki, Nak Mas cukup mengetahui saja, setelah itu, segera jauhi mereka, jangan dekati dan berpalinglah dari mereka, karena mereka bukan golongan yang dapat kita jadikan teman atau teladan...........” Kata Ki Bijak.

“Ana jadi teringat ungkapan qorun yang mengatakan bahwa harta yang dimilikinya semata karena ilmu dan kepintaraanya semata ya ki........” kata Maula sambil mengutip ayat al qur’an;

78. Karun berkata: "Sesungguhnya Aku Hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada padaku". dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh Telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih Kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (Al Qasash)

“Ya Nak Mas, akan selalu lahir karun-karun generasi baru yang bahkan mungkin jauh lebih sombong dari karun dizaman Nabi Musa dulu, karena dengan harta yang jauh lebih sedikit dari karun, kesombongan mereka sudah menyamai karun, jauhi mereka Nak Mas, karena akhir kesudahan dari golongan ini sangat jelas, kebinasaan, baik didunia terlebih diakhirat kelak......” Kata Ki Bijak.

‘Rabbana maa khalaqta haada bathiil.......subhanaka faqina ‘adabanarr.......” Hanya itu yang keluar dari bibir Maula, ia seperti baru tersadar bahwa alam yang selama ini tak pernah ia hiraukan, memberi banyak sekali pelajaran yang sangat berharga baginya, “subhanallah, subhanallah,subhanallah.....................”



Wassalam

February 16, 2008

‘PR’ DARI UYUT DAN SANG JUTAWAN

“Ki, Aki masih ingat dengan photo ini ki...........?” Tanya Maula.

“Iya Nak Mas, bukankah ini photo uyut penjual sapu lidi yang Nak Mas ceritakan beberapa waktu lalu.....?” Kata Ki Bijak.

“Benar ki, ini photo uyut penjual sapu lidi yang kemarin ana ceritakan.........” Kata Maula.

“Ada apa rupanya Nak Mas, sehingga Nak Mas masih nampak terkesan sekali dengan uyut ini.............” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki, ana masih sangat terkesan dengan kebersahajaan uyut ini, selain juga ana sangat terkesan dengan kemandirian uyut dalam upaya menyambung hidupnya, belum lagi bagaimana sosok uyut ini mengajarkan betapa tangan diatas jauh lebih mulia dari tangan yang tengadah, sehingga uyut, dengan sisa-sisa tenaganya, lebih memilih menjual sapu lidi daripada meminta-minta, yang justru banyak dilakukan oleh orang-orang yang jauh lebih kuat dan lebih gagah dari uyut ini.........” Kata Maula.

“Lalu Nak Mas...........?” Tanya Ki Bijak yang dengan sabar menyimak apa yang diutarakan Maula.

“Tepat seminggu atau dua minggu sesudahnya, ana mendapat sebuah PR besar lagi untuk ana pecahkan ki.........” Kata Maula.

“PR apa Nak Mas......?” Tanya Ki Bijak.

“Teman ana ki, seorang teman yang dua tahun lebih tidak pernah berkunjung, tidak pernah ketemu, tidak pernah telpon, kemarin ‘tiba-tiba’ datang kerumah dengan membawa PR itu ki...........” Kata Maula.

“Cukup lama ya Nak Mas tidak ketemu dengan teman Nak Mas itu, dua tahun.....” Kata Ki Bijak

“Ya ki, setelah lama tak ada kabar beritanya, teman ana datang kerumah, kemudian ia bercerita bahwa dia keluar dari pekerjaannya........” Kata Maula.

“Kenapa Nak Mas, kenapa teman Nak Mas itu keluar dari pekerjaannya.....?” Tanya Ki Bijak dengan nada prihatin.

“Ia tidak cerita secara detail alasan kenapa ia keluar kerja, tapi justru ana lebih tertarik dengan ceritanya tentang majikan yang selama ini ia layani, teman ana bercerita kalau majikannya ini adalah seorang pejabat teras sebuah perusahaan besar, dengan gaji besar, disamping juga usaha pribadinya yang menghasilkan banyak uang, selain memiliki wajah rupawan dan istri yang cantik jelita, ki.........” Kata Maula.

“Lalu.......?” Tanya Ki Bijak.

“Ditengah limpahan materi yang membuat banyak orang iri itu, justru sang majikan itu memiliki jalur cerita yang berbanding terbalik dengan limpahan materinya........” Kata Maula.

“Maksudnya Nak Mas........?” Tanya Ki Bijak.

“Ya itu ki, gajinya yang puluhan juta, pendapatan usahanya yang puluhan juta, jabatannya yang tinggi serta wajahnya yang tampan, tidak mampu membuatnya bahagia, tapi justru kehidupannya jauh dari kata bahagia ki........” Kata Maula.

“Kenapa Nak Mas......?” Tanya Ki Bijak.

“Keluarganya berantakan, hartanya jadi rebutan, wajah tampannya menjadi fitnah baginya, aneh ya ki........, kenapa justru uyut yang bersahaja bisa hidup laksana disurga, sementara sang majikan yang hidup bergelimang harta, justru seperti berada didalam neraka..............” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Tidak ada yang aneh Nak Mas, dan dalam hemat Aki, apa yang Nak Mas alami beberapa waktu terakhir bukanlah sebuah ‘kebetulan’, kalau sebelumnya Nak Mas dipertemukan dengan uyut yang bersahaja tapi bahagia, dan beberapa waktu kemudian Nak Mas diperdengarkan cerita jutawan yang sengsara, itu adalah sebuah ibrah yang sangat besar dan berharga untuk Nak Mas renungkan................” Kata Ki Bijak.

“Ada makna apa dibalik semua yang ana alami ini ki................?” Tanya Maula.

“Makna dan pesannya sangat jelas Nak Mas, bahwa kebersahajaan, kekurangan, ‘kemiskinan’, yang disimbolkan dengan uyut penjual sapu lidi itu, sama sekali tidak berarti kehinaan dan kenistaan, justru ‘kekurangan’ yang ada pada uyut, menjadikan uyut sebagai ‘sosok teladan’ bagi Nak Mas untuk tidak silau dengan gemerlap dunia ini, dan ini dibuktikan langsung melalui apa yang diceritakan teman Nak Mas, bahwa seorang jutawan, seorang hartawan, seorang yang kaya raya, tidak secara otomatis menjadikan orang itu bahagia dan mulia, sebaliknya ‘kelebihan’ yang ada padanya justru menjadikan terjebak pada ketidakbahagiaan, tidak kah Nak Mas melihat ini sebuah pelajaran yang sangat mahal dan berharga.....?” Kata Ki Bijak.

“Tidakkah Nak Mas melihat, disana ada pesan yang sangat jelas dan dalam untuk Nak Mas tafakuri, tidakkah Nak Mas melihat bahwa kedatangan teman Nak Mas adalah sebuah ‘cara’ dari Allah untuk mengingatkan Nak Mas, karena mungkin Nak Mas masih menyimpan sedikit keraguan setelah ‘pesan’ yang disampaikan melalui uyut penjuan sapu lidi itu.........” Kata Ki Bijak.

“Subhanallah, astaghfirullah.........., Aki benar ki, itu jawaban atas PR ana ki........., itu jawaban atas pertanyaan ana, apakah ana harus menjadi orang kaya agar ana bisa menajdi bahagia........, dan apa yang Aki katakan tadi, merupakan jawaban atas pertanyaan ana selama ini...........” Kata Maula.

“Berkali-kali Aki katakan bahwa agama kita tidak melarang seseorang untuk menjadi kaya dan berharta, yang salah adalah ketika kita memandang kekayaan adalah segala-galanya, yang tidak boleh adalah ketika kita memandang kekayaan sebagai kemulian, yang harus kita perhatikan adalah jangan sampai kita beranggapan bahwa kekayaan berarti secara otomatis kebahagian, karena dengan sangat jelas terpampang dihadapan Nak Mas, kebahagiaan justru berpihak pada mereka yang bersyukur dan tawakal kepada Allah, bukan pada mereka yang tamak dan bangga dengan harta kekayaan, bukan pada mereka yang menjadikan kekayaan sebagai satu-satunya tujuan yang harus dicapai, tanpa pernah berfikir dari mana kekayaan itu berasal dan bagaimana seharusnya amanah harta itu dibelanjakan...................” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat dengan ayat ini...........” Tanya Ki Bijak

35. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.

“Ya ki, Surat Al Anbiya, ayat 35 ya ki......................” Kata Maula.

“Dan Nak Mas masih ingat sepenggal hikmah yang pernah kita diskusikan beberapa waktu lalu mengenai ayat ini....................?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, kebaikan dan keburukan yang kita terima, dua-duanya adalah ujian dari Allah sebagai ujian yang sebenar-benarnya.............” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, ini yang sering kita lupakan, kita hanya menganggap ujian terhadap keburukan yang kita terima, kita hanya merasa diuji ketika kita tidak punya harta, kita hanya merasa diuji ketika kita terkena sesuatu yang tidak kita sukai, kita hanya merasa diuji ketika sakit, ketika kehilangan, ketika kematian ..,

“Sementara banyak diantara kita justru lalai ketika menerima kebaikan, banyak diantara kita yang menganggap dan beranggapan kebaikan yang kita terima adalah semata karena ilmu kita, karena kerja keras kita, karena usaha kita, tanpa melihat dan berfikir disana ada ujian Allah kepadanya, untuk menguji sejauh mana ia bisa bersyukur dan memanfaatkan amanah hartanya sesuai dengan kehendak yang menitipkannya, dan ketika kita berfikir harta kita adalah semata hasil upaya kita sendiri, kita akan cenderung merasa berhak menggunakan harta itu sesuai dengan keinginan kita, tanpa memperdulikan lagi nilai-nilai yang diujikan pada harta yang ada padanya..............” Kata Ki Bijak.

“”Iya ki, bahkan ada beberapa orang yang sering sekali mengatakan bahwa kesehatan anak dan keluarganya karena mengkonsumsi ini dan itu, sehingga seakan-akan kesehatan mereka semata karena makanan atau suplemen yang dikonsumsinya, tanpa melihat Allah dibalik kesehatan anak dan keluarganya..............” Kata Maula.

“Suplemen, vitamin, obat atau olahraga yang kita lakukan, memang merupakan syari’at untuk kesehatan kita, tapi bukan itu yang membuat kita sehat, tapi Allah, terbukti betapa banyak orang yang mengkonsumsi vitamin dan obat, olahraga secara teratur juga mengalami sakit, karena sekali lagi, sehat dan sakit, dua-duanya ujian bagi kita, agar kita dapat memberikan respon terbaik ketika kita mengalaminya......”,

“Sakit kita, kemudian kita sabar dan tawakal, dan berikhtiar dengan menyerahkan sepenuhnya hasil upaya kita kepada Allah swt, insya allah, itu sebuah nilai pahala, sehat kita, kemudian kita memanfaatkannya untuk beribadah, untuk berusaha yang diridhai Allah, untuk berjuang dijalan Allah, insya allah, itu juga sebuah keutamaan disisi Allah..............” kata Ki Bijak.

“Uyut penjual sapu lidi yang bersahaja tapi bahagia, seorang juragan dan hartawan yang ‘menderita’................,

26. Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran)

“Maha Benar firman-Mu ya Allah......................” kata Maula, terngiang kembali ayat yang sering dibacakan gurunya ketika taklim.

Wassalam

February, 18, 2008

Wednesday, February 13, 2008

AWAS PERANGKAP NJAMBON


120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

“Ada yang menarik perhatian Nak Mas dengan ayat ini.............?” Tanya Ki Bijak melihat Maula tengah membaca dan memperhatikan ayat ke 120 dalam surat Al Baqarah.

Maula nampak menghela nafas dalam-dalam, “Benar ki, setiap kali pertengahan bulan februari datang, ana selalu teringat dengan pesan-pesan dalam ayat itu ki...., ana sedikit cemas, jangan-jangan memang sebagian kita telah terjebak dalam ‘perangkap njambon (bhs Jawa – Merah muda/pink )’ itu ki.......” Kata Maula.

“Perangkap Njambon Nak Mas, apa itu................?” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, ana melihat dimana-mana terlihat warna njambon mendominasi, disepanjang jalan, ditoko-toko, warna pakaian, aksesoris, dan bahkan hampir semua event di media informasi mengadopsi warna njambon ini sebagai bahan jualannya, yang ana khawatirkan, dikampung kita pun sebagian anak-anak dan remaja turut larut dalam euforia njambon ini, meski ana tidak yakin kalau mereka tahu apa arti perayaan dengan warna njambon itu...............” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, diakui atau tidak, kita mau jujur atau tidak, sebagian kita, bukan hanya remaja, telah masuk kedalam perangkap yang ditebar oleh mereka yang tidak menginginkan kebaikan bagi kita umat Islam, dan perangkap njambon yang Nak Mas katakan tadi, hanyalah salah satunya saja, karena mereka memiliki banyak sekali ranjau yang ditebar, yang jika kita tidak hati-hati, mungkin kita bisa celaka karenanya...............” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat dengan istilah Ghaswul fikr yang beberapa waktu lalu pernah kita bicarakan..........?” Tanya Ki Bijak

“Ya ki, Ghaswul berasal dari kata Ghuswah yang berarti Serangan, invasi atau serbuan, sementara Fikr adalah Pikiran atau pola pikir, dengan demikian Ghaswul Fikr biasa didefinisikan dengan Penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat Islam guna merubah apa yang ada didalamnya sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara Islam dan selainnya.....” Jawab Maula.

“Nak Mas juga masih ingat dengan pola-pola serangan Ghaswul Fikr......?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Iya ki, pertama mereka menggunakan metode yang disebut dengan Tasykik – Pendangkalan / Peragu-raguan, baik itu pendangkalan akidah, pendangkalan pemahaman hukum dan syariat serta pendangkalan pemahaman terhadap berbagai aktivitas ibadah umat Islam. Mereka menggunakan berbagai cara agar kedalaman akidah umat Islam tercemar........” Kata Maula.

“Yang kedua Nak Mas.......?” Tanya Ki Bijak setengah menguji daya ingat Maula.

“Yang kedua, mereka dengan menggunakan metode yang disebut dengan Tasywih – Pencemaran/Pelecehan. Seperti pencemaran Nabi Muhammad dengan membuat karikatur, memperolok-olok ajaran islam dan lain sebagainya.......”

“Sementara yang ketiga, mereka menggunakan metode Tadhlil – penyesatan. Ini adalah langkah kelanjutan dari fase diatas, ketika umat Islam sudah mengalami pendangkalan akidah, pendangkalan pemahaman syari;at serta ibadahnya dan umat Islam sudah tidak lagi menemukan titik terang pada ajaran Islam yang sudah tercemari, maka mereka dengan cara apapun akan berusaha untuk membelokan dan menyesatkan kita dapat lembah kekufuran, Naudzubillah.......;

“Dan yang keempat, Taghrib – Pembaratan.........” Maula menjawab pertanyaan Ki Bijak sekaligus.

“Subhanallah, Nak Mas masih ingat dengan baik semua pembicaraan kita beberapa waktu lalu, dan perayaan Njambon yang tengah kita bicarakan ini, hanya salah satu cara untuk menggelincirkan kita pada tata nilai islami yang harusnya kita pegang teguh, ini adalah sebuah propaganda nyata yang harus kita cermati dengan seksama..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, sayangnya hingga saat ini, ana belum melihat adanya upaya sistematis dari umat islam untuk menanggulanggi dampak yang mungkin timbul dari propaganda yang berkedok budaya itu, kita lebih sering menjadi orang latah dan kagetan ketika mendapati sedemikian banyak remaja dan bahkan orang-orang tua, yang ikut-ikutan larut dalam perayaan itu..............” Kata Maula.

“Ya, itulah memang masalah yang belum bisa kita pecahkan hingga saat ini, kita cenderung memilih cara sporadis untuk meng-counter serangan-serangan tersebut, bukan melalui tatanan pendidikan yang baik dan memadai dan terstruktur dengan rapih, ini PR kita yang harus kita benahi Nak Mas......” Kata Ki Bijak.

“Lalu apa yang bisa kita perbuat sekarang Ki.........?” Tanya Maula.

“Pertama dan utama, selamatkan anak-anak dan remaja kita yang belum tercemar dengan cara memberi pemahaman yang benar kepada anak dan remaja kita tentang islam, sehingga mereka memiliki system kekebalan aqidah ketika mereka kelak berbaur dengan lingkungan yang lebih besar........” Kata Ki Bijak.

“Kita harus sesegera mungkin membentengi dan memagari anak-anak kita dengan iman dan aqidah yang teguh, kita harus memulai sedini mungkin, agar lebih mudah kita membentuk karakter dan kepribadian anak-anak kita........” Kata Ki Bijak.

“Harus dari kecil ya ki..............?” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, harus dari kecil, kita akan jauh lebih mudah membentuk sesuatu ketika yang akan kita bentuk itu masih kecil dan lentur, Nak Mas masih suka membuat tanaman bonsai......?” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, ana masih suka dengan tanaman itu karena bentuknya yang unik........” Kata Maula.

“Untuk membentuk ‘keunikan’ yang kita inginkan, kita perlu membentuk dahan dan ranting yang masih muda itu dengan sedikit kawat agar bisa diarahkan sesuai dengan keinginan kita, jauh lebih mudah bagi kita ketika dahan dan ranting yang akan kita bentuk itu masih kecil, karena ketika dahan dan ranting yang akan kita bentuk sudah besar dan kuat, kita akan mengalami kendala ketika kita ingin membentuknya, karena akan ada ‘perlawanan’ dari dahan dan ranting yang sudah tumbuh besar dan kuat, salah kita membentuknya, maka dahan itu akan patah.........” Kata Ki Bijak.

“Pun dengan anak-anak kita, ketika anak-anak kita sedari kecil sudah kita bentuk dan kita arahkan pada ajaran dan pola hidup yang benar, maka insya Allah, ketika mereka besar nanti, setidaknya mereka sudah memiliki gambaran seperti apa bentuk yang sesuai dengan tuntutan agama dan aqidahnya......, akan lain ketika kita baru mengarahkan anak-anak kita, ketika mereka sudah menjelang remaja, anak-anak pada usia ini, cenderung akan memberontak ketika kita mengarahkan pada suatu pola yang mereka tidak sukai, terlalu keras kita, maka mereka akan frustasi, terlalu lembek kita, mereka akan ‘menjalar’ menjadi dahan yang tidak tertata dengan baik.........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana juga melihat adanya ‘kelonggaran’ dari sebagian orang tua muslim dalam mendidik dan membentuk anak-anaknya, mereka cenderung mengedepankan ‘rasa sayangnya’ yang kadang berlebihan, ‘biar sajalah masih kecil, nanti setelah besar baru kita arahkan’, ‘biar saja tidak shalat, masih kecil, nanti kalau sudah besar baru disuruh shalat, dan masih banyak lagi idiom-idiom semacam itu..........” kata Maula.

“Dan apa yang kita hadapi sekarang ini, dimana banyaknya remaja kita yang larut dalam berbagai pola hidup yang tidak islami, sedikitnya dipengaruhi oleh pola pendidikan yang mereka terima semasa kecil dulu, kita tidak boleh lagi mengulangi hal seperti itu Nak Mas.......” kata Ki Bijak.
“Iya ki, ada sebagian orang yang beranggapan kalau kita terlalu menekan anak, maka ia akan merasa tertekan............” Kata Maula.

“Mendidik, beda dengan ‘menekan’ Nak Mas, mendidik samasekali tidak berarti merampas kebebasan anak-anak kita, mendidik dalam arti membentuk dan mengarahkan demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak itu sendiri, jauh lebih baik kita mengorbankan sedikit perasaan sayang kita kepada anak, daripada anak-anak kita menjadi korban karena kasih sayang kita yang salah kaprah........” Kata Ki Bijak.

“Dan cara terbaik untuk mendidik anak-anak kita adalah dengan mendidik diri kita selaku orang tua, agar menjadi contoh dan teladan yang benar bagi anak-anak kita, bukan sekedar dengan kata-kata dan doktrin yang menjemukan.........” Kata Ki Bijak.

“Seperti yang Aki bilang bercermin pada bayangan itu ya ki.........” kata Maula.

“Ya Nak Mas, memberi contoh dan teladan adalah metode pendidikan yang terbaik yang bisa kita lakukan............” Kata Ki Bijak lagi.

“Terima kasih ki, semoga ana bisa menjadi teladan bagi anak-anak dirumah.........” kata Maula.

“Insya Allah, amiiin................” Balas ki Bijak sambil menyambut uluran tangan Maula yang pamitan.

Wassalam

Februari 13, 2008

Tuesday, February 12, 2008

‘NILAI’ YANG TERLUPAKAN

“Ki, tadi ana ikut pelatihan yang sangat bagus ki..........” kata Maula.

“Pelatihan apa Nak Mas............?” Tanya Ki Bijak

“Itu ki, pelatihan tentang nilai-nilai perusahaan tempat ana bekerja, ada nilai semangat pantang menyerah, ada nilai kebersamaan, ada nilai harmoni yang terbentuk dari ucapan selamat, nilai kedisplinan, nilai loyalitas, kerendahan hati, kerja sama, kebersihan dan ketertiban ditempat kerja, serta nilai perilaku pada rekan dan atasan, dan masih banyak lagi ki......” Kata Maula.

“Mudah-mudahan apa yang tadi Nak Mas pelajari dapat menambah wawasan dan pengetahuan Nak Mas...., Aki fikir juga nilai itu sangat bagus, dan memang sudah semestinya dimiliki oleh setiap orang, terlebih bagi kita umat Islam, Nak Mas...........” Kata Ki Bijak.

“Kenapa Aki tadi bilang umat Islam harusnya memiliki nilai-nilai itu secara lebih baik ki...........?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, sebagai seorang muslim, kitapun memiliki nilai-nilai luhur yang sepatutnya kita banggakan, kita memiliki nilai jihad, sebuah nilai untuk menggambarkan kesungguhan dalam upaya kita mencapai sesuatu, jihad juga dapat diartikan semangat pantang menyerah, nilai keberanian dan nilai yang mampu membuat seseorang dapat mati dengan tersenyum, meski mungkin konteknya tidak sama persis dengan yang Nak Mas sebutkan tadi, dalam hemat Aki nilai jihad dalam islam sudah mewakili ‘nilai semangat’ yang Nak Mas dapatkan dipelatihan tadi......................” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kalau dalam pelatihan tadi digambarkan bahwa dengan semangat baja seseorang dapat mencapai mission impossible, semangat jihad lebih hebat lagi ya ki............” Kata Maula.

“Nak Mas ingat-ingat kembali bagaimana kisah perang badar......?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, perang Badar terjadi tepat pada tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijriah. Di mulai ketika Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk melawan rombongan kafir Quraish yang sedang dalam perjalanan dari kota Sham ke kota Makkah. Pasukan muslimin saat itu ada 313 orang, terdiri dari 260 bersenjata dan 2 ekor kuda. Rombongan kafir Quraish melarikan diri, tapi Abu Sofyan berhasil meminta bala bantuan kepada rekan-rekannya. Kafir Quraish keluar dari berbagai penjuru kota Makkah dan sekitarnya, 600 orang bersenjata, 100 ekor kuda, 700 ekor onta, dan suplai makanan lengkap yang sanggup untuk berhari-hari. Total pasukan kafir Quraish adalah 1000 orang. Tujuan utama mereka satu: melenyapkan kaum muslimin untuk selama-lamanya………” Kata Maula penuh semangat.

“Nak Mas tahu akhir kesudahan perang bersejarah itu………..?” Tanya Ki Bijak.
“Ya ki, dengan izin Allah, pasukan muslimin yang ‘hanya’ berjumlah 313 orang itu mampu memukul mundur pasukan kafir quraish yang jumlahnya hampir tga kali lipat itu…………..” Kata Maula.

“Ya, dengan izin Allah dan dengan semangat jihad yang luar biasa, dengan keteguhan hati yang tiada tara, dengan tekad baja, dengan keyakinan yang sempurna, sesuatu yang hampir mustahil, bisa diraih oleh umat islam ketika itu, dan bukankah itu sebuah nilai yang sangat luhur Nak Mas………….?” Tanya Ki Bijak.

“Benar Ki, kata Jihad memiliki nilai yang menurut ana jauh lebih sempurna dari yang ana dapatkan tadi, lalu kenapa banyak diantara kita yang lupa ya ki……….” Kata Maula.
“Selain karena kita memang telah dimabukan dengan berbagai paham yang datang dari luar islam, kita sendiri pun sudah sedemikian jauh dari sumber nilai-nilai luhur tadi, kita sudah sedemikian jauh dari al qur’an yang mengajarkan dan menginspirasi kita dengan berbagai nilai yang agung, faktor ‘kita’-nya yang menurut Aki telah melunturkan nilai-nilai luhur al qur’an dari dada umat islam sendiri………….” Kata Ki Bijak.

“Seperti cerita Aki tentang harimau dikebun binatang itu ya ki……..” kata Maula mengingat petuah Ki Bijak beberapa waktu lalu.

“Ya Nak Mas, segagah-gagahnya harimau, ketika ia sudah keluar dari hutan, sang raja rimba itu tidak lebih dari sekedar tontonan yang tidak lagi memiliki wibawa dimata anak kecil sekalipun, pun dengan umat islam, ketika kita sudah jauh dari al qur’an, ketika didada kita tidak lagi terisi al qur’an, kegagahan dan ketangguhan umat Islam seperti dalam perang badar yang Nak Mas ceritakan tadi, tidak lagi membuat orang lain segan, malah jadi bahan tertawaan, bahan ejekan dari mereka yang tidak menyukai Islam……….” Kata Ki Bijak.

“Lalu apa yang tadi Nak Mas katakan…?”, ada nilai kebersamaan, loyalitas dan kedisiplinan…….?” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, tadi ana diajari nilai kebersamaan, ada nilai harmoni yang terbentuk dari ucapan selamat, nilai kedisplinan, nilai loyalitas, kerja sama, tanggung jawab, kebersihan dan ketertiban ditempat kerja dan lainnya ki............” Kata Maula.

“Bukankah Nak Mas dan umat Islam sudah berlatih setiap hari tentang nilai-nilai itu.........?” Tanya Ki Bijak.

“Umat Islam sudah dan senantiasa berlatih tentang nilai-nilai itu ki.......?” Tanya Maula.
“Ya, kita sudah dan senantiasa melatihnya, Nak Mas masih ingat beberapa nilai yang terkandung dalam shalat kita.......?” Tanya Maula.

“Astaghfirullah, benar ki, ana khilaf....., ana ingat sekarang bahwa shalat mengajarkan kita kedisiplinan, karena shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya, gerakannya pun harus tertib dan teratur, bacaannya pun ditata sedemikian rupa, shalat juga mensyaratkan adanya kesucian lahir bathin bagi orang yang akan mendirikannya, serta ada rukun dan syarat sahnya shalat yang harus kita penuhi, Subhanallah, betapa agung nilai-nilai yang terkandung dalam shalat kita ya ki..........” kata Maula.

“Bukan hanya itu Nak Mas, ketika kita shalat, khususnya shalat berjamaah, disana ada nilai persatuan dan kesatuan yang tercermin dengan rapat dan lurusnya shaf ketika kita shalat berjamaah.........”

“Kemudian keseragaman niat antara iman dan seluruh makmum, merupakan cerminan kesamaan visi dan misi dari seluruh jamaah dan pemimpinnya, bukankah ini juga sebuah nilai yang sangat penting dalam sebuah organisasi Nak Mas.....?” Kata Ki Bijak.

“Bahkan sangat penting ki, hanya organisasi dengan visi dan misi yang sama sajalah yang akan mampu membangun dirinya menjadi kekuatan yang besar.......” Kata Maula.

“Do’a iftitah yang kita baca setelah takbiratulikhram, juga merupakan sebuah nilai, sebuah nilai loyalitas dan totalitas kita sebagai hamba kepada khaliqnya, inna shalati, wanusuki wama yahya wama mati lillahirabbil’alamin, adalah sebuah nilai luhur untuk kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari..........” Kata Ki Bijak.

“Waah lengkap sekali nilai yang terkandung dalam shalat ya ki...........” Kata Maula.

“Lengkap dan sempurna, belum lagi kalau kita berbicara bagaimana gerakan ruku’ kita sebagai simbol sifat tawadlu, kerendahan hati untuk rela berada dibelakang / dipantat orang lain yang mungkin status sosialnya dibawah kita, ini juga sebuah pelatihan yang sangat bagus untuk kita dalam beretika dilingkungan kerja kita, mau menerima pendapat orang lain, mau mendengar saran orang lain, mau berendah hati dan tidak sombong............” Kata Ki Bijak lagi.

“Pun demikian dengan I’tidal kita yang mengajarkan kita rasa tanggung jawab, setelah kita disadarkan dengan posisi kita, dimana kita harus melepaskan strata sosial kita ketika ruku’, kita kemudian dikembalikan pada posisi tegak, dimana posisi tegak ini melambangkan kontinuitas, dan kontinuitas akan sangat bergantung pada adanya rasa tanggung jawab, dan tanggung jawab, dilihat dari sudut pandang manapun merupakan nilai yang mutlak harus dimiliki oleh setiap orang…………” kata Ki Bijak.

“Ketika kita sujud, kita diajari agar kita bisa ‘membumi’, tidak sombong, tidak angkuh, tidak merasa paling baik, tahiyat merupakan nilai korektif yang juga sangat dibutuhkan setiap kita, hingga salam, kalau tadi Nak Mas menggambarkan terciptanya sebuah harmoni dengan ucapan ‘selamat’, nilai salam kita, assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, jauh lebih bermakna karena disana juga ada doa dan umpan balik dari yang kita beri salam……” Kata Ki Bijak sambil mengutip perintah al qur’an untuk mengucapkan salam / penghormatan dan memberi balasan terbaik atas salam dan penghormatan itu.

86. Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (An-nissa)

[327] penghormatan dalam Islam ialah: dengan mengucapkan Assalamu'alaikum.


“Subhanallah......kenapa justru mereka yang ‘menemukan’ nilai-nilai dalam shalat dari pada kita yang setiap hari melakukannya ya ki......” kata Maula.

“Itu tugas kita semua,itu pelajaran bagi kita semua untuk bisa memaknai shalat dengan benar dan sungguh-sungguh, sehingga kita tidak lagi menjadi umat yang ‘kagetan’ seperti ini, ketika ada orang yang mempopulerkan sesuatu, kita hanya bisa ‘harusnya’ kita dulu yang tahu, kita dulu yang memiliki, sementara itu tidak pernah ada upaya nyata dan sungguh-sungguh dari kita untuk menggali nilai-nilai yang terkandung dalam keluhuran kalam al qur’an........” kata Ki Bijak.

“Iya ki...................., semoga ana, Aki dan umat Islam pada umumnya diberikan bimbingan dan kemampuan untuk bisa memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai dalam shalat dan al qur’an ya ki.........” Kata Maula sambil menyalami Ki Bijak untuk pamitan.

Wassalam

Februari 12, 2008

MINYAK WANGI

“Kenapa Nak Mas....................” Tanya Ki Bijak demi melihat Maula seperti menahan sesuatu.

“Tidak apa-apa ki, ana hanya sedikit pusing dengan harum minyak wangi, tajam dan menyengat sekali wanginya.......................” Kata Maula sambil memijit-mijit keningnya.

“Nak Mas tidak suka minyak wangi................?” Tanya Ki Bijak.

“Suka ki, tapi kalau wanginya terlalu menyengat dan tajam seperti tadi, ana malah pusing ki.......................” Kata Maula.

“Iya, Aki juga beberapa kali mengalami hal seperti itu, tapi setelah Aki renungkan, ternyata kejadian seperti yang Nak Mas alami tadi, mengajari kita banyak hal Nak Mas......” Kata Ki Bijak.

“Pelajaran dari minyak wangi yang membuat pusing ki...........? Tanya Maula .

“Ya, sebuah pelajaran berharga yang mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua yang kita anggap ‘wangi’ itu baik pula bagi orang lain.......” kata Ki Bijak.

“Artinya apa ki................?” Tanya Maula.

“Artinya apa-apa yang kita anggap baik, belum tentu benar bagi orang lain, belum tentu cocok untuk orang lain, belum tentu berkenan dengan orang lain, karenanya kita harus bijak dan pandai-pandai dalam menjaga sikap dan kata-kata kita, sehingga tidak ada orang lain yang merasa tersinggung atau terbebani dengan perilaku dan kata-kata kita, seperti Nak Mas yang justru mual dan pusing dengan wangi parfum orang lain...........” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kadang memang ana pun masih suka lepas kontrol ketika menyampaikan suatu pendapat yang menurut ana benar, atau pandangan yang menurut ana paling baik, tapi ternyata memang kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mengikuti selera dan pendapat kita, yang menurut kita paling benar sekalipun............” kata Maula.

“Pun dalam kita bersikap dan berperilaku Nak Mas, orang lain akan lebih tahu seberapa ‘wangi’ sikap dan perilaku kita yang kita anggap sudah baik dan benar, karena memang penciuman kita cenderung subjektif dan selalu menganggap kita yang paling benar............” Kata Ki Bijak.

“Pun ketika orang lain memakai minyak wangi atau badannya bau keringat, kita akan lebih tahu dari orang itu sendiri, sekali lagi, karena sebagian kita terlalu subjektif dan protektif.....................” Kata Ki Bijak lagi.

“Ki, apakah permisalan ini juga berlaku ketika kita hendak menyampaikan sesuatu, misalnya ketika kita dakwah atau tabligh......?” Tanya Maula.
“Dalam hemat Aki begini Nak Mas, dakwah atau tabligh yang disampaikan oleh para dai dan mubaligh, seruan dan ajakan yang disampaikan oleh para ustadz, layaknya ‘wewangian’ yang harum semerbak yang mengundang selera orang-orang untuk datang dan mengikuti apa yang disampaikan oleh para ustadz, mubaligh dan dai, tapi kenyataannya, hingga saat ini masih banyak terjadi orang-orang justru ‘menutup diri’ dari ajakan dan seruan itu, persis seperti Nak Mas menutup hidung terhadap wewangian tadi.................” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, seperti taklim mingguan dimasjid ini, masih banyak jamaah yang enggan untuk menghadiri taklim, hanya beberapa orang saja yang rutin hadir........” Kata Maula.

“Nak Mas tahu alasannya kenapa yang hadir ditaklim itu sedikit.............?” Tanya Ki Bijak.

“Ana tidak tahu persis ki..............” kata Maula.

“Coba Nak Mas gali lagi alasan apa yang membuat jamaah masih enggan untuk ikut taklim, karena sangat mungkin hal ini dipengaruhi oleh ‘selera’ para jamaah itu...........” Kata Ki Bijak.

“Dipengaruhi ‘selera’ ki.............?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, seperti Nak Mas yang merasa pusing dengan wewangian yang asing bagi Nak Mas, para jamaah pun mungkin memiliki ‘selera’ yang berbeda, sehingga mereka merasa enggan untuk datang ke majelis taklim, mungkin materi kajiannya yang kurang berkenan, mungkin cara penyampaian dainya yang kurang pas, dan masih banyak lagi yang harus kita gali dari para jamaah, sehingga mereka semua merasakan wangi yang sama, sehingga mereka merasa nyaman dengan taklim yang mereka ikuti, itu yang kadang luput dari perhatian para dai dan ustadz serta kita selaku penyelenggara taklim itu............” Kata Ki Bijak.

“Kita juga harus bisa memaklumi kapasitas dan potensi setiap jamaah yang hadir, seperti halnya minyak wangi tadi, minyak wangi yang kemasannya bagus dan wanginya menyengat, belum tentu disukai oleh orang lain, mungkin justru kemasan yang sederhana dan wangi yang alami akan banyak mengundang selera..............” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, ana juga pernah merasakan hal seperti itu, taklim yang disampaikan dengan bahasa formil dan text book justru terasa membosankan, bahkan cenderung berjalan sendiri-sendiri, karena jamaah tidak bisa mengikuti bahasa dan gaya yang disampaikan da’inya...........” kata Maula.

“Ya, seperti itu Nak Mas, kita, Aki sebut ‘kita’ saja biar mudah untuk menyebut kesatuan antara da’i dan penyelenggara, harus pandai dan bijaksana memilih materi apa yang tepat dalam suatu acara, dan cara apa yang sesuai untuk menyampaikannya, dua-duanya harus kita perhatikan, karena jika kita hanya memperhatikan sisi materinya saja misalnya, materi yang sangat bagus sekalipun, tapi disampaikan dengan cara yang salah, bisa jadi intisari materi itu justru kabur dan tidak mengena, sebaliknya, jika kita cenderung hanya fokus pada penampilan dan cara kita menyampaikan, sementara materinya tidak kita kuasai, hal itu juga akan menjadikan dakwah yang disampaikan menjadi kurang gregat dan hambar..................” kata Ki Bijak.

“Ada banyak contoh mereka yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, hapalan haditsnya banyak, qur’annya mumpuni, tapi mereka tidak mendapat tempat dihati jamaah, hanya karena mereka ‘memaksakan’ dakwahnya dengan cara yang mereka anggap benar, dengan intimidasi, dengan menghujat orang lain, dengan memproklamirkan diri bahwa caranya yang paling baik dan paling benar, cara-cara seperti ini cenderung mendapat resistensi dari penerimanya...............” kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat dengan analogi singkong rebus dan roti........” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, ketika kita menawarkan singkong rebus dengan cara yang santun, sangat mungkin tamu kita akan menerimanya, atau setidaknya mau mencicipi apa yang kita tawarkan, sementara sekalipun yang kita bawa roti isi keju, tapi kita tawarkan dengan cara yang kurang santun, sangat mungkin mereka akan enggan menerimanya................” kata Maula.

“Ya, mestinya kita belajar banyak dari kisah bijak itu, ketika kita ingin mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang kita sampaikan, sampaikanlah ajakan kita dengan cara yang santun, bukan dengan mencaci atau dengan provokasi, karena hal itu cenderung akan semakin menjauhkan mereka dari apa yang kita sampaikan......................” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, memang masih banyak ajakan dan seruan yang dilakukan dengan cara yang kurang santun, bahkan cenderung menghujat orang lain.......” Kata Maula.

“Ya, memang setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan sesuatu, ada yang tegas dan keras ada juga yang menggunakan cara-cara yang lemah-lembut, dan Aki lebih memilih cara yang kedua, dakwah dengan lemah lembut...............” kata Ki Bijak sambil mengutip ayat al qur’an.

159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran)

[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

“Iya ya ki, bahkan ketika Nabi Musa diperintahkan Allah untuk memperingatkan fir’aun yang telah melampui batas, Allah-pun meminta Nabi Musa dan Harun untuk berkata dengan lemah lembut dalam menyampaikan dakwahnya............” Kata Maula sambil mengutip ayat Al Qur’an;

44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Thaaha)

“Iya Nak Mas, apalagi kalau kita berbicara dan mengajak saudara-saudara kita yang ‘hanya’ berbeda pandangan dengan kita, alangkah bijaknya jika kita mengajak dan mengingatkan mereka dengan cara yang jauh lebih santun...............” Kata Ki Bijak.

Maula tersenyum, ternyata rasa pusingnya telah memberinya tambahan pelajaran yang sangat berkesan baginya.

Wassalam

February 12, 2008

Tuesday, February 5, 2008

APAPUN PILIHANNYA, KITA HARUS TAHU KENAPA

“Jadi kita harus pilih yang mana ya ki, kalau kita menentang arus, maka itu berbahaya, tapi ketika kita ikut arus juga sangat mungkin kita celaka, karena kita tidak tahu kearah mana arus itu akan membawa kita, mungkin ketepian, atau sebaliknya mungkin arus itu membawa kita ke jurang yang dalam....................” Tanya Maula menyambung pembicaraan kemarin tentang sandal jepit yang terbalik.

Ki Bijak tersenyum mendengar pertanyaan Maula, “Nak Mas pernah perhatikan bagaimana ikan-ikan disungai atau dilaut.............?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki....................” Kata Maula.

“Ditengah arus sungai yang deras atau gelombang laut yang tinggi, ikan tetap mampu bertahan dan tidak terbawa arus, ikan tetap bisa berada dikomunitasnya..., bisa berenang dengan nyaman seolah tidak terganggu dengan derasnya arus disekelilinya, Nak Mas tahu kenapa sebabnya........?” Tanya Ki Bijak.

Maula menggeleng tanda tak mengerti.

“Pertama, kenapa ikan-ikan itu tidak serta merta terbawa arus adalah karena ikan-ikan itu ‘hidup’, Nak Mas perhatikan,hanya ikan-ikan yang mati sajalah yang kemudian terbawa arus, terombang ambing dihentakan gelombang, tanpa daya, tanpa upaya, karena memang ikan itu mati..........” Kata Ki Bijak.

“Pun demikian halnya dengan kita, selama kita ‘hidup’, dalam arti bukan sekedar hidup secara jasmani, tetapi hidup hatinya, hidup nuraninya, niscaya kita akan mampu bertahan dari derasnya arus kehidupan yang setiap saat mengelilingi kita...........” Kata Ki Bijak lagi.

“Bagaimana kita bisa tahu kalau kita ini benar-benar ‘hidup’ ki..............?” Tanya Maula.

“Nak Mas pernah mengantar jenazah untuk dikebumikan..............?” Tanya Ki Bijak.

“Pernah beberapa kali ki.........................” Kata Maula.

“Nak Mas tahu ada makna apa dibalik kumandang adzan dan iqomah yang mengiringi jenazah keliang lahat................?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Ana tidak tahu ki, kenapa jenazah yang dimasukan keliang lahat ‘harus’ diiringi oleh kumandang adzan dan iqomah.......” Kata Maula.

“Sebagian orang memang mempermasalahkan ada tidaknya tuntunan ‘ritual’ ini, tapi sebenarnya disana ada makna yang sangat dalam yang ingin disampaikan oleh orang-orang tua kita zaman dulu, yang ketika itu mungkin belum sefasih kita dalam memberikan nasehat kepada kerabatnya.............” Kata Ki Bijak.

“Nasehat apa ki..................” tanya Maula.

“Nak Mas perhatikan, ketika adzan dan iqomah berkumandang disisi kanan dan kiri jenazah itu, apakah si mayit menyahut.........?” Tanya Ki Bijak.

“Tentu tidak ki, kan sudah mati...............” Kata Maula.

“Ya, itulah sebuah simbol, ketika seseorang tidak lagi menyahut dan menyambut seruan adzan dan iqomah, artinya dia telah ‘mati’, mati hatinya, mati bathinnya, karena tidak bisa lagi mendengar dan menyambut panggilan Allah yang menyerunya menuju kebahagiaan dan kemenangan...............” Kata Ki Bijak.

“Jadi salah satu indikator hidup atau matinya hati kita adalah bagaimana respon kita terhadap panggilan adzan dan iqomah itu ya ki............” kata Maula.

“Ya itu salah satunya, indikator lainnya adalah apakah mata hati kita masih bisa melihat mana yang buruk dan mana yang baik, karena hanya orang hiduplah yang mampu memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah, mana yang makruf dan mana yang munkar, mana yang bathil dan mana yang haq....................” Kata Ki Bijak.

“Jadi agar kita tidak terbawa arus atau menentang arus, kita harus hidup ya ki “ kata Maual

“Benar Nak Mas, kita harus hidup, agar kita bisa memilih jalan mana yang terbaik bagi kita, jika kita harus menentang arus, kita sudah siap dengan segala resiko yang akan kita hadapi, bekal kitapun cukup, senjata kitapun sudah terasah, sehingga ketika kita menemukan tantangan arus didepan kita, kita tidak gagap atau kaget karenanya...............” Kata Ki Bijak.

“Sebaliknya, jika kita harus mengikuti arus air yang mengalir, ketika kita ‘hidup’, kita akan bisa melihat dan memilih arus mana yang harus kita ikut, ‘ulah tuturut munding’ orang sunda bilang, jangan sekedar taklid, tapi harus i’tibba, kita harus tahu kenapa kita memilih sesuatu atau meninggalkan sesuatu, insha Allah, ‘hidup’nya hati kita akan menjadi kemudi ketika kita mengikuti arus, dan menjadi tambatan dan pijakan yang kokoh ketika kita harus menentang arus...................” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, ana mengerti, lalu hal apa lagi yang harus kita miliki agar kita ‘selamat’ dari derasnya arus kehidupan ini ki.............” Tanya Maula lagi.

“Lagi, kita bisa belajar dari ikan-ikan itu Nak Mas, Nak Mas perhatikan, ikan-ikan dibagian manakah yang paling mudah terbawa arus...............?” Tanya Ki Bijak.

“Ikan-ikan yang berada dipermukaan atau perairan dangkal, biasanya lebih mudah terbawa arus dibanding ikan-ikan yang berada dikedalaman sungai atau laut ki........” Kata Maula.

“Kalau Aki boleh menganalogikan, ikan yang berada diperairan dangkal itu adalah kita yang dangkal ilmunya, dangkal imannya, dangkal akidahnya, dangkal ahlaqnya, dan pada posisi ini, posisi dimana iman kita lemat, saat ilmu kita tak mumpuni, akan sangat mudah bagi kita diombang-ambing oleh gelombang dan arus kehidupan...........” Kata Ki Bijak.

“Ada orang yang tiba-tiba mengaku nabi, mereka yang dangkal imannya, dangkal ilmunya, dangkal akidahnya, lantas saja ikut-ikutan tanpa hujah yang jelas........”

“Ada orang yang mengaku ‘pintar’ kemudian menawarkan jasa untuk menaikan pangkat dan jabatan dengan ‘kepintarannya’, mereka yang dangkal imannya, dangkal akidahnya, dangkal akal pikirnya, lantas saja mengambil jalan pintas untuk memenuhi nafsunya...........”

“Dan persis seperti ikan-ikan yang berenang ditepian yang dangkal, mereka yang dangkal imannya, mereka yang dangkal akidahnya, mereka yang dangkal pola pikirnya, berpotensi mengalami ‘kematian dini’ akibat benturan karang-karang kehidupan yang tidak mampu mereka hindari..............” Lanjut Ki Bijak.

“Jadi selain ‘hidup’ kita juga harus menjaga kedalaman iman kita, kedalaman akidah kita, kedalam ilmu kita, kedalam akal pikir kita ya ki............” kata Maula.

“Ya, itulah hidup yang benar-benar hidup Nak Mas, kesempurnaan hidup kita terletak pada seberapa besar iman kita, seberapa dalam ilmu kita, seberapa dewasa akal pikiran kita............” kata Ki Bijak.

“Jadi apapun pilihan kita, kita harus tahu alasannya ya ki..................” Kata Maula.

“Ya, Nak Mas, Iman, Ilmu dan Akal kita yang terjaga dengan baik, akan sangat membantu kita mengurangi segala resiko yang pasti ada, terlepas dari apapun pilihan kita......” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana mengerti sekarang......................., ikan dilaut harus ‘hidup’ ‘dikedalaman’ air yang memadai agar tidak terseret arus.....................” Kata Maula mengulang-ulang wejangan yang baru diterimanya.

Wassalam

Februari 05, 2008

Monday, February 4, 2008

BALADA SENDAL JEPIT TERBALIK

“Sedang apa Nak Mas..............?” Tanya Ki Bijak keheranan melihat tingkah Maula yang berjalan tertatih-tatih karena sendal jepit yang dipakainya terbalik, yang kiri dipakai dipakai dikaki kanan dan sebaliknya.

“Sedang mengadakan percobaan ki..............” Jawab Maula sambil tersenyum.

“Percobaan apa Nak Mas....?, Kok aneh percobaannya..................?” Tanya Ki Bijak tambah heran.

“Ternyata pakai sendal jepit terbalik itu susah ya ki, selain tidak nyaman dipakai, juga tidak bisa berjalan dengan cepat..............” Kata Maula.

“Nak Mas ini ada-ada saja, ya pasti akan susah Nak Mas, karena memang sendal itu dibuat sesuai dengan posisi dan ukuran kakinya, kalau sendal kita terlalu kecil atau terlalu besar saja tidak enak pakainya, apalagi kalau dipakai berbalik...................” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ternyata pakai sendal saja mesti menuruti aturan yang membuat sendal ya ki..................” Kata Maula.

“Oooh, Aki mengerti maksud Nak Mas sekarang, yang Nak Mas maksud dalam menjalani kehidupan kitapun harus demikian, harus sesuai dengan ketentuan yang mengatur hidup ini, kita tidak boleh melanggar aturan semau kita, karena kalau kita menjalani kehidupan tidak sesuai dengan ketentuan, maka hidup kita pasti bermasalah, hidup kita menjadi tidak nyaman, hidup kita jadi’lambat’, hidup kita jadi tidak pantas dimata manusia, terlebih dimata Allah, bukan demikian Nak Mas.................?” Kata Ki Bijak.

“Benar ki, kalau memakai sendal jepit saja kita harus sesuai, bagaimana mungkin kita menjalani hidup ini dengan cara menyimpang ya ki...........? “ Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar perkataan Maula, “Bukan hanya memakai sendal, ketika kita memakai baju yang paling mahal harganya, dan paling indah desainnya, tapi ketika kita memakainya terbalik, pasti tidak akan nampak lagi keindahan desain baju tersebut, tidak akan lagi terlihat kalau baju itu mahal harganya........” kata Ki Bijak.

“Iya ya ki..............” Kata Maula.

“Dan masih banyak lagi berbagai hal dalam keseharian kita yang mengajarkan kepada kita bahwa menyalahi aturan adalah sebuah benih menuju jurang kehancuran...........,

“Nak Mas lihat kapal yang berlayar dilaut lepas sana, kapal yang mengarungi samudra luas searah dengan arah angin, jauh lebih mudah daripada kapal yang berlayar kearah yang berlawanan dengan arah angin, atau ketika kita berkendara disebelah kanan misalnya, sementara orang lain disebelah kiri, kita berpotensi mengalami kecelakaan lebih besar daripada mereka yang berjalan dijalur yang benar..................” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana juga sering memperhatikan pak tani yang tengah menyemprotkan insektisida, selalu searah dengan angin, karena kalau tidak, pak tani akan menghirup racun yang disemprotkannya, dan tentu hal itu akan membahayakan dirinya....................” Kata Maula.

“Ya seperti itu Nak Mas, ketika kita berenang melawan arus, artinya kita harus bersiap dengan tenaga ekstra, itupun belum tentu kita bisa sampai ketempat yang kita tuju dengan selamat, karena sekali lagi, sesuatu yang dilakukan secara terbalik, sangat berpotensi untuk membuat kita celaka............” Kata Ki Bijak lagi.

“Allah sebagai sutradara kehidupan ini, telah menuliskan skrip terbaik bagi kita yang tertuang dalam kitab suci Al qur’an secara detail, disana,didalam al qur’an Allah telah menulislan aturan-aturan hidup kita secara paripurna, kita sebagai pemain, tinggal menjalaninya saja dengan penuh penghayatan dan penjiwaan, insha Allah, kita akan menemukan kebahagiaan......”,

“Sebaliknya, jika kita berusaha merubah atau membelokan alur cerita yang telah digariskan menurut kehendak kita sendiri, menurut hawa nafsu kita, , niscaya kita akan kehilangan alur cerita yang mesti kita jalani...................” Kata Ki Bijak.

“Allah menciptakan manusia (insanàinsun- Bhs Arab) yang berarti harmonis, manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh keharmonisan, baik itu keharmonisan hubungannya dengan alam sekitar, dengan sesama manusia, dengan Allah dan bahkan dengan dirinya sendiri........” Kata Ki Bijak.

“Jadi menjalani hidup secara harmonis merupakan salah satu syarat untuk kita hidup bahagia ya ki.............” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, keharmonisan, keselarasan, merupakan unsur yang sangat penting untuk sebuah keindahan, untuk sebuah kebahagiaan, musik hanya akan terdengar merdu ketika semua alat musik itu dimainkan dengan nada yang sama dan selaras...........”

“Syair hanya akan terdengar syahdu, apabila bait-baitnya tertata baik dan penuh keselarasan...............”

“Pun demikian langkah kaki dan ayunan tangan kita, mesti harmonis dan beraturan, coba Nak Mas melangkah dengan irama yang lain dari biasanya, misalnya ketika kaki kanan melangkah, kemudian tangan kanan kedepan, atau ketika tangan kiri kedepan berbarengan dengan langkah kaki kiri kedepan, akan sangat terasa betapa langkah kita tidak nyaman...............” Kata Ki Bijak.

“Jadi seperti robot ya ki...............” Kata Maula.

“Mau Nak Mas hidup seperti robot.............?” Tanya Ki Bijak.

“Tentu tidak ki..........” Jawab Maula.

“Karena itu, jalani kehidupan ini dengan cara yang benar, bukan dengan membolak-balik aturan yang telah ditetapkan hanya demi kepentingan sesaat......,” Kata Ki Bijak

“Coba Nak Mas perhatikan bagaimana kehidupan mereka yang menjalani kehidupannya secara ‘terbalik’, misalnya Al qur’an mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah permainan yang melalaikan kita, dan al qur’an pun mengajarkan kita untuk memperhatikan akhirat, tapi ketika kemudian kita justru lebih senang bermain-main dengan kehidupan dunia, kita akan menjadi budak dunia, kita diperalat oleh keinginan duniawi kita sehingga kerap kita menjadi robot-robot pencari uang yang tak kenal lagi tuhan, sementara akhirat yang harusnya kita perhatikan, justru semakin jauh dari perhatian kita......”

“Lalu Nak Mas perhatikan juga bagaimana mereka yang berkawan dengan setan, seperti ramal meramal, perdukunan, klenik, dan lainnya, sementara al qur’an mengatakan setan adalah musuh yang nyata bagi kita, betapapun secara lahiriah mereka terlihat hidup bahagia, yakinlah semua itu hanya permainan yang menipu dan menyesatkan...............” Kata Ki Bijak.

Maula kembali mengamati gerak langkahnya dengan mengenakan sendal jepit secara terbalik, ia tidak dapat melangkah dengan cepat, kaku, dan bahkan hampir jatuh.

Sementara ketika ia mengenakan sendal jepitnya dengan posisi yang benar, langkahnya menjadi nyaman dan ia bisa berjalan jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Maula tersenyum simpul demi mengetahui betapa dari sendal jepit yang terbalik ini, ia mendapatkan sesuatu yang selama ini tidak terpikirkan olehnya.........

Wassalam

February 04, 2008

Saturday, February 2, 2008

BURUNG DALAM SANGKAR EMAS

“Menarik sekali ki.....................” Kata Maula.

“Apa yang menarik Nak Mas............?” Tanya Maula.

“Itu tadi ki dimobil, sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, teman-teman terlibat obrolan yang sangat menarik, mereka membicarakan harapan dan keinginannya yang sangat hebat ki, yang satu sedang menunggu panggilan untuk menjadi seorang manager, kemudian mendapat mobil, serta memiliki usaha sampingan lain, selain dari yang sudah dijalaninya sekarang, dan yang lain pun tak kalah hebat harapannya, jabatan, mobil dan penghasilan yang lebih besar..................” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, “Bukankah itu semua gambaran keinginan Nak Mas beberapa waktu lalu...........?” Tanya Ki Bijak.

“Benar Ki, ana pun mengalami fase-fase seperti itu, ana mengalami mimpi-mimpi indah untuk menjadi manager, memiliki kendaraan pribadi, berpenghasilan besar, rumah mewah dan prestise dalam kehidupan ana................” Kata Maula.

“Dan kalau Aki tidak salah ingat, hampir semua harapan dan mimpi Nak Mas itu terwujud, Nak Mas punya rumah, berpenghasilan relatif lebih besar dari rekan-rekan Nak Mas, Nak Mas juga memiliki mobil meskipun bukan mobil baru, Nak Mas juga punya sebidang tanah dikampung, bukan begitu Nak Mas.....?” Tanya Ki Bijak.

“Benar Ki, ana hampir mencapai semua mimpi ana, sehingga suatu saat ana terjaga..............” Kata Maula.

“Apa yang terjadi kemudian Nak Mas........?” Tanya Maula.

“Ternyata ana melupakan suatu hal dalam impian ana ki..............” Kata Maula.

“Impian apa yang lupa itu Nak Mas...........?” Tanya Maula.

“Ana telah melupakan satu hal yang seharusnya ana jadikan tujuan ana, yaitu kebahagiaan..............” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, bukan hanya Nak Mas yang mengalami hal itu, banyak orang yang bermimpi dan berharap memiliki rumah megah, mobil mewah, penghasilan besar, jabatan tinggi, tapi justru lupa dengan sebuah pertanyaan mendasar yang harusnya mereka jawab diawal, yaitu untuk apa semua itu......, dan seperti Nak Mas katakan tadi, muara dan jawaban dari semua keinginan itu adalah kebahagiaan................” Kata Ki Bijak.

“Betapa banyak orang yang ketika penghasilannya biasa saja justu bisa menikmati kehidupannya, ia bisa beribadah kepada Allah dengan tenang, ia memiliki waktu yang banyak untuk keluarga, ia memiliki waktu untuk dirinya, tapi justru ketika penghasilannya meningkat, ibadahnya jadi berkurang karena kesibukan mengurus harta yang menguras energinya, waktu untuk keluarganya pun berkurang drastis demi mempertahankan penghasilannya, loyalitasnya pun bukan lagi semata kepada Allah, tapi menjadi bercabang dengan loyalitas pada nafsu dan keinginan, dan pada titik ini, sebenarnya ia telah ‘gagal’ memaknai arti kebahagiaan........”

“Kita juga bisa dengan mudah menemukan orang-orang yang ketika jabatanya biasa saja, ia bisa menjalani kehidupannya dengan penuh ketenangan dan kedamaian, tapi justru ketika pangkat dan jabatannya meningkat, ia menjadi kehilangan sebagian atau bahkan seluruh kebebasannya dengan mengatasnamakan demi sebuah impian, dan lagi, pada titik ini, ia pun telah ‘gagal’ memaknai kebahagiaan........” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, kebahagian kadang tersamar dengan pemahaman banyaknya harta, tingginya jabatan atau luasnya rumah dan lahan..........., lalu apa sebenarnya kebahagiaan itu ki................?” Tanya Maula.

Ki Bijak menghela nafas panjang “Sangat luas dan beragam Nak Mas, jika Nak Mas bertanya pada sepuluh orang misalnya, mungkin Nak Mas akan mendapatkan jawaban yang mungkin bertolak belakang antara satu sama lainnya, tapi karena Nak Mas bertanya pada Aki, maka menurut Aki kebahagian tidak semata terletak pada banyaknya harta, tidak semata terletak pada tingginya jabatan, tidak semata terletak mobil mewah dan rumah megah, kebahagiaan menurut Aki adalah seberapa besar rasa syukur kita terhadap apa yang kita miliki, kebahagiaan terletak pada seberapa besar ridha kita terhadap kehendak ilahi, kebahagiaan terletak pada seberapa besar sabar kita terhadap ujian-ujian yang tengah kita alami, kebahagiaan terletak pada seberapa besar Qanaah kita terhadap pemberian rahmat Allah kepada kita....................” Kata Ki Bijak.

“Ki, banyak orang yang mengatakan bahwa sekarang ini kan segalanya memerlukan uang, kita perlu uang untuk makan, kita perlu uang untuk biaya pendidikan anak-anak kita, kita perlu uang untuk jalan-jalan, kita perlu uang untuk ini dan itu, bahkan ada yang berpikir kita harus berupaya mendapatkan dan mencari uang sebanyak-banyaknya untuk segala hal dalam kehidupan dizaman modern ini ki................?” Kata Maula.

“Memang benar Nak Mas, hampir segala-galanya memerlukan uang, tapi Aki tetap memiliki sebuah keyakinan bahwa sekalipun segalanya memerlukan uang, itu tidak berarti uang merupakan segala-galanya, masih teramat banyak hal yang tidak mungkin bisa dibeli dengan uang.................” Kata Ki Bijak.

“Ketenangan bathin misalnya, ketenangan bathin merupakan syarat mutlak bagi lahirnya kebahagiaan, tidak mungkin dibeli dengan uang, mungkin ada yang mengatakan dengan uang kita bisa berlibur untuk mencari ketenangan, tapi teori itu sama sekali belum terbukti, karena betapa banyak orang yang pergi berlibur justru tidak menemukan ketenangan dan bahkan menimbulkan kegelisahan baru karena uangnya habis atau kendaraannya rusak misalnya...............” Kata Ki Bijak.

“Kepuasan bathin misalnya, hal ini pun merupakan sesuatu yang tidak terbeli dengan uang, kenikmatan beribadah, ketentraman keluarga, juga merupakan beberapa contoh lain betapa dengan uang, kita tidak secara otomatis bisa sampai pada tujuan akhir kita untuk mendapatkan kebahagiaan...................” Kata Ki Bijak.

“Benar ki, tapi sayang ya ki, betapa banyak orang yang dengan sukarela memenjarakan kebahagiaannya dengan nafsunya, atau setidaknya mereka berjudi untuk menukar kebahagiaan yang mungkin sudah didapatnya dengan harapan yang kadang berlebihan...............” Kata Maula.

“Nak Mas pernah dengar pepatah bagai burung didalam sangkar emas....?” Tanya Ki Bijak.

“Pernah ki................” Kata Maula.

“Seperti itulah orang-orang yang memenjarakan kebahagiaanya dengan nafsunya yang tidak terbatas, ia terkungkung dengan mimpi-mimpi indah, terpenjara dengan harapan-harapannya, mereka mengira bahwa jika tinggal disangkar emas itu mereka akan bahagia, padahal betapapun seekor burung tinggal disangkar emas, burung akan jauh lebih bahagia jika ia terbang dialam bebas............” kata Ki Bijak.

“Iya ki, itu kalau burung ya ki, bagaimana agar kita bisa terbang bebas melintasi langit kebahagiaan kita ki..............?” tanya Maula.

“Bebaskan hati kita dari ikatan-ikatan yang membelenggu dan mengurungnya Nak Mas, bebaskan hati kita dari angan kosong, bebaskan hati kita dari rasa was-was yang berlebihan dalam urusan dunia, bebaskan hati kita dari kurungan keinginan-keinginan kita yang berlebihan, bebaskan hati kita dari khayalan-khayalan semu, bebaskan hati kita dari mempertuhankan berhala-berhala, bebaskan hati kita dari perbudakan uang, pangkat dan jabatan, karena nilai kita bukan terletak pada uang, pangkat atau jabatan kita, nilai kita, sekali lagi terletak seberapa besar hati kita untuk mensyukuri nikmat Allah, bersabar atas ujiannya, ridha atas taqdirnya serta lapang dalam menerima pemberian-Nya, insha Allah, kita akan bisa melintasi mega-mega kebahagian yang kita idamkan...............” kata Ki Bijak.

“Sekali lagi ya Nak Mas, apa yang Aki uraikan tadi samasekali tidak berarti kita tidak boleh bermimpi dan menginginkan aksesori dunia ini dan ragamnya, karena memang dunia ini Allah amanahkan kepada kita, Aki hanya ingin Nak Mas bisa membuat pilihan-pilihan bijak dalam menjalani kehidupan ini, Nak Mas harus benar-benar berhitung dan memperhitungkan segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan, jangan sampai kejadian yang menimpa Nak Mas dulu, yang hanya berfokus dan berorientasi jangka pendek, akhirnya Nak Mas justru tidak menemukan hakikat kebahagiaan yang Nak Mas cari..................” kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana mengerti........., kita harus membuat dan mengambil keputusan-keputusan bijak agar mimpi kita tidak mengorbankan hal-hal lain yang lebih besar, atau dalam bahasa ekonomi mungkin bagaimana mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan (cost) yang sekecil-sekecilnya ya ki...........” kata Maula.

“Nak Mas lebih pandai rumus-rumus ekonomi dari Aki, dan jika itu baik, bisa Nak Mas terapkan dalam pengambilan keputusan dalam perjalanan hidup Nak Mas, seperti Aki bilang kemarin kita harus berfikir lebih besar lagi dari sekedar mementingkan urusan dunia, karena akhirat adalah target yang jauh lebih besar dan lebih penting kita utamakan, tentu juga membutuhkan pengorbanan atau cost seperti Nak Mas bilang tadi, yang juga tidak sedikit, itu pilihan yang lebih bijak menurut Aki...............” kata Ki Bijak.

“Iya ki, terima kasih Aki mengingatkan ana ki, karena ana juga masih sering khilaf ketika tawaran-tawaran nafsu duniawi itu datang menggoda...........” kata Maula.

“Bukan Aki yang mengingatkan Nak Mas, tapi Allah..................” kata Ki Bijak

Maula mendongakan kepalanya, mengucap syukur atas karunia_Nya yang tanpa batas.

Wassalam

February 02, 2008