Wednesday, October 27, 2010

SEBUAH HIKMAH

“Ternyata memang bukan Mbah Maridjan sipemilik dan pemilihara gunung merapi ya ki, tapi Allah jualah pemilik dan Dzat yang maha berkuasa atas segalanya, terbukti kakek yang arif itu pun tidak kuasa meredam meletusnya gunung merapi…………” Kata Maula, dengan nada prihatin mendengar berita meninggalnya sosok yang selama ini dikenal sebagai juru kunci gunung merapi.

“Ya Nak Mas…., Aki juga prihatin dengan banyaknya jumlah korban letusan gunung merapi kali ini……” Kata Ki Bijak tidak kalah prihatin.

“Kabar terakhir, sudah dua puluh delapan jenazah ditemukan ki……, yaa Allah, semoga ini bukan sebentuk kemurkaan_Mu atas kelalaian kami dalam mengabdi kepada_Mu……” Kata Maula pelan.

Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar kata-kata Maula, “Rasanya memang agak berat bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini bukan sebentuk teguran yang sangat keras dari Allah kepada kita Nak Mas, belum lagi kering air mata duka yang membasahi bumi papua dengan banjir bandang wasior, kini gempa bumi dan tsunami juga menambah luka dibumi mentawai sana, bertambah pedih dengan luluh lantaknya sebagai wilayah disekitar gunung merapi….., Aki tidak menemukan padanan kata lain untuk menggambarkan semua yang terjadi sekarang ini selain teguran dari Allah Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.

Maula menghela nafas panjang sebagaimana gurunya, “Iya ki….., ana merasa sudah sedemikian nyata ‘peringatan’ yang Allah berikan untuk mengingatkan kita ya ki…..” Kata Maula lagi.
“Ya Nak Mas, semoga Allah membukakan pintu hikmah dari apa yang sekarang terjadi, sehingga kita bisa belajar untuk memperbaiki diri, memperbaiki kesalahan-kesalan kita, sebelum semuanya menjadi terlambat……” Kata Ki Bijak.

“Semoga ki, dan dalam kejadian meletusnya gunung merapi ini, hikmah apa yang bisa kita ambil ki….?” Tanya Maula.

Ki Bijak diam sesaat, “Pertama, mungkin kita bisa berintrospeksi diri, bahwa bukan Mbah Maridjan atau pun mahluk lain yang menguasai dan pemilik gunung atau apapun dimuka bumi ini, tapi Allah, Allah-lah yang menciptakan gunung, Allah-lah yang memeliharanya, dan Allah pulalah yang maha berkuasa atas apapun yang akan dan harus terjadi pada gunung itu, maka sudah saatnyalah kita menata kembali keimanan kita, untuk tidak bergantung kepada sesama mahluk, untuk tidak meyakini hal-hal yang tahayul dan mistik, Aki khawatir setan akan memanfaatkan kelengahan kita untuk kemudian mengelincirkan akidah kita dari tauhid yang benar……” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kasihan Mbah Maridjan, mungkin beliau tidak pernah mengatakan bahwa ia berkuasa atau tahu semua hal ikhwal gunung merapi, apalagi memiliki kekuasan untuk menunda atau mempercepat letusan gunung, tapi hanya karena keyakinan yang ‘salah’ pada sebagian orang, orang tua bijak ini kemudian disangkut pautkan dengan banyak hal mengenai meletusnya gunung merapi…..” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, tidak bijak rasanya kalau kemudian kita ‘menyalahkan’ Mbah Mardijan yang tidak mau mengungsi karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya, kitalah yang harusnya bisa berfikir jernih dan memilah apa yang terbaik bagi kita…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki…..” Kata Maula pendek.

“Hal kedua yang Aki lihat adalah bagaimana sebagian orang tidak mau diungsikan dengan alasan mereka harus menjaga harta mereka, mereka harus menjaga ternak mereka, mereka harus menjaga sawah dan ladang mereka, sehingga ketika kemudian gunung merapi meletus, sebagian mereka tidak sempat lagi untuk menyelamatkan diri……”

“Ini sebuah simbol atau pelajaran bagi kita Nak Mas, bahwa kadang harta kita, ladang kita, sawah kita, ternak kita, dan materi duniawi justru membuat kita tidak dapat berfikir dengan bijak, kita lebih mementingkan ‘dunia dan materi’ yang sedikit ini, dengan mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu nyawa kita….” Kata Ki Bijak.

“Memang benar adanya bahwa kematian pasti datang, letusan gunung, kemudian awan panas dan debu vulkanik hanyalah wasilah datangnya ajal yang telah Allah tentukan bagi setiap mahluk, tapi dari sana pula, terdapat pelajaran bahwa kita tidak boleh ‘mencintai’ dunia dengan gelap mata, ada hal-hal lain yang jauh lebih berharga yang harus kita ‘selamatkan’ yakni kehidupan kita yang lebih luas, kehidupan akhirat kita……” Kata Ki Bijak lagi.

“Dunia ini laksana ini Nak Mas…….” Kata Ki Bijak melanjutkan pituturnya, sambil memperlihatkan batu kecil kepada Maula.

“Dunia seperti batu ini ki….?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, dunia ini kecil seperti batu ini,hanya kita menempatkannya persis didepan pelupuk mata kita seperti ini…” Kata Ki Bijak sambil menempatkan batu kecil persis didepan matanya.

“Dengan posisi batu kecil seperti ini, Aki tidak dapat melihat apapun yang ada didepan Aki kecuali batu kecil ini, pun ketika kita menempatkan dunia ini sangat dekat dengan kita, fikiran kita, hati kita, motivasi kita, akan cenderung tertutup oleh urusan dunia yang ‘kecil’ dan justru lalai terhadap urusan akhirat yang jauh lebih besar yang lebih penting………” Kata Ki Bijak.

Maula mengambil batu kecil dan menirukan gurunya, menempatkan batu kecil itu tepat didepan pelupuk matanya, “Benar ki…., dengan batu sekecil ini didepan mata ana, ana bahkan tidak bisa melihat Aki yang tepat berada didepan ana….” Kata Maula.

“Sekarang coba Nak Mas agak jauhkan posisi batu itu dari mata Nak Mas, apa yang Nak Mas lihat sekarang…?” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana bisa melihat lebih luas ki….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, manakala kita menempatkan dunia pada proporsi yang benar, maka kita akan melihat sesuatu yang lebih luas, lebih indah……” Kata Ki Bijak.

“Ya Ki….” Jawab Maula.

Bersambung…insya Allah.
Wassalam
October 27,2010

Thursday, October 21, 2010

BERDAMAI DENGAN “UJIAN”



“Ki, bagaimana seharusnya kita bersikap, ketika kita menghadapi ‘ujian’…?” Tanya Maula.

“Sikap kita dalam menghadapi ujian Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, ujian dalam pengertian umum, seperti bagaimana ketika kita sakit, ketika kita dalam kesempitan, ketika kita dalam kekurangan dan sebagainya, karena akhir-akhir ini, ana sering sekali mendengar berita orang yang berbuat nekat bahkan harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena mereka tidak kuat dalam menghadapi himpitan kehidupan yang mereka jalani, biasanya dalam kondisi seperti inilah orang akan merasa sedang diuji, meski sebenarnya, seperti yang pernah Aki bilang, bahwa hidup ini seluruhnya adalah ujian, baik ketika kita mendapat kebaikan atau sebaliknya…..” Kata Maula.

Ki Bijak menghela nafas panjang, “Bagaimana kita bersikap dalam menghadapi ujian…., hal pertama yang harus kita miliki untuk dapat bersikap dengan benar kala menghadapi ujian adalah bahwa kehidupan kita didunia ini adalah ujian, dalam kondisi apapun, baik ujian berupa kebaikan, maupun ketika kita diuji dengan keburukan, sehingga dengan sikap mental ini, kita tidak kaget dan tidak gagap ketika ujian itu datang pada kita, karena memang dunia ini adalah tempat ujian……” Kata Ki Bijak.

Maula masih diam menyimak penuturan gurunya;

“Sikap yang kedua, yang harus kita miliki agar kita dapat bersikap dengan benar dalam menghadapi ujian adalah kesadaran bahwa bukan hanya kita yang diuji, misalnya ketika kita tidak punya uang, kita merasa bahwa kita sedang diuji, tanamkan kesadaran dalam diri kita bahwa bukan hanya kita yang saat ini tidak memiliki uang, ada banyak orang yang juga tengah menjalani ujian yang sama dengan kita, tidak memiliki uang, dengan demikian, kita tidak larut dalam kesedihan yang berlebihan, apalagi sampai menyalahkan Allah…..’

“Atau misalnya lagi, ketika kita ditimpa musibah, seperti penyakit misalnya, tanamkan dalam diri kita bahwa bukan hanya kita yang sedang ditimpa penyakit, mungkin kita bisa berkunjung ke rumah sakit misalnya, disana ada banyak orang yang tengah diuji dengan penyakit yang mungkin penyakitnya lebih parah dari yang kita derita, dengan sikap ini, kita bisa mengurangi beban ujian yang tengah kita alami, end toh bukan hanya kita yang sedang sakit…..”

“Atau contoh lainnya, ketika kita tidak punya kerjaan, karena PHK atau lainnya, tidak perlu berkecil hati, toh diluar sana, banyak orang yang bahkan belum pernah mendapatkan kesempatan kerja seperti kita….”

“Atau contoh lain, ketika kita merasa kekurangan, gaji kecil, tidak punya tabungan dan lain sebagainya, besarkan hati kita bahwa diluar sana bahkan ada orang yang sehari-harinya tidak mempunyai penghasilan sama sekali, apalagi tabunga….., dengan menanamkan sikap seperti itu, beban kita dalam menghadapi ujian, akan berkurang dan kita bisa menyikapinya secara benar….” Kata Ki Bijak panjang lebar.

“Benar ki, kalau hari ini kita tidak punya uang, orang lain mungkin dari kemarin sudah tidak punya uang, kalau hari ini kita kena penyakit, ada banyak orang yang sudah berbulan-bulan dirumah sakit atau terkena penyakit menahun, kalau hari ini kita tidak punya beras, ada banyak orang yang bahkan sudah berhari-hari tidak menemukan nasi…, ana mengerti ki…..” Kata Maula.

“Hal kedua yang harus kita tanamkan dalam diri kita dalam menghadapi ujian adalah bahwa ujian yang tengah kita jalani, samasekali tidak membuat kita hina dimata Allah, selama kita menyikapinya dengan benar…..” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki….?” Tanya Maula.

“Ada banyak orang yang ketika diuji dengan kekurangan atau kemiskinan, kemudian merasa rendah diri, merasa hina dimata orang lain, atau ada orang yang ketika diuji dengan penyakit, menjadi rendah diri, padahal sekali-kali ujian kekurangan, kemiskinan atau apapun bentuk uiian yang kita jalani ini tidak akan menghinakan kita, justru dengan ujian inilah kita dididik dan dibentuk Allah untuk menjadi orang yang sabar,tegar dan kuat……;

“Hanya kadang seperti yang Aki katakan tadi, ada banyak orang yang salah dalam menyikapi ujian ini, dan sebagai orang yang beriman kepada Allah, yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu apapun, baik itu kekurangan, bencana atau penyakit yang menimpa kita kecuali dengan izin dan kehendak Allah…, tidak ada kekurangan, bencana atau penyakit yang Allah ujikan kepada kita melainkan disana ada selaksa hikmah yang akan mengantar orang yang dapat memaknainya menuju kemulian fidunya wal akhirat……” Kata Ki Bijak lagi.

Maula diam, dia meresapi setiap untai kata yang keluar dari bibir bijak gurunya; “Iya ki…., banyak tokoh-tokoh yang menghiasi panggung sejarah, justru lahir dan mendapat kemulian setelah mereka mendapat ujian yang sangat berat…..” Kata Maula.

“Itu hal ketiga yang harus kita miliki dalam diri kita Nak Mas, bahwa tanjakan yang terjal, jurang yang curam, jalan yang penuh onak dan duri, gelombang besar, caci maki, hinaan, intimidasi, bahkan ancaman pembunuhan, adalah jalan yang ‘biasa’ dilalui oleh orang-orang besar….,hampir tidak ada orang yang tampil dipanggung sejarah dengan jalan yang lurus dan landai tanpa ujian…..”

“Kita mengenal Nabiyullah Ibrahim as, bagaimana beliau harus menghadapi ujian yang sangat berat, harus dibakar hidup-hidup oleh para penentangnya, kita pun tahu bagaimana Nabi Musa as harus berhadapan dengan tembok keangkuhan fir’aun, kita tahu bagaiman Nabi Ayyub as diuji dengan penyakit langka, dan bahkan Nabi kita, baginda Rasul, makluk kecintaan Allah, tidak luput dari ujian yang maha berat, beliau mengalami intimidasi dari kaumnya, beliau diembargo hingga kekurangan, beliau diancam dibunuh, dan bahkan beliau ‘diusir’ dari tanah kelahirannya, end toh mereka tidak menjadi hina, dan bahkan nama-nama mereka terpatri abadi dalam al qur’an dan tetap akan hidup disepanjang jaman………” Kata Ki Bijak.

“Belum lagi para ulama penegak ajaran tauhid, para penerus jejak rasul, seperti ibnu tammiyyah dan lainya, mereka pun harus berhadapan dengan berbagai ujian, penjara, dan lainnya….” Tambah Ki Bijak

“Benar ki……, dijaman sekarang pun, Nelson Mandela, harus mendekam dipenjara hampir 28 tahun, sebelum akhirnya menjadi presiden Afrika Selatan, dan bahkan Bung Karno beberapa kali keluar masuk penjara, ditangkap dan dibuang sebelum akhirnya namanya harum dalam sejarah bangsa Indonesia……” Kata Maula.

“Yah, seperti itu Nak Mas, jadi ujian adalah sesuatu yang tidak harus membuat kita menggigil ketakutan, kita bisa ‘berdamai’ dengan ujian dengan cara bersikap dengan benar dalam menghadapi ujian tersebut…..” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas simak beberapa ayat ini……” Kata Ki Bijak sambil membacakan ayat-ayat al qur’an yang menyatakan bahwa ujian adalah sebuah sunatullah, ujian berlaku bagi siapapun, ujian bisa terjadi dimanapun, kapanpun dan dalam bentuk apapun….


16. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (At Taubah)


34. Dan Sesungguhnya kami Telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah Karena sakit), Kemudian ia bertaubat[1302].( Shaad)

[1302] sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ujian Ini ialah keberantakan kerajaan Sulaiman sehingga orang lain duduk di atas singgasananya.


41. Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya Aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan". (Shaad)

“Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menyatakan bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, bahwa ujian adalah sebuah warna kehidupan yang membuatnya menjadi lebih indah, bahwa ujian laksana riak gelombang yang memperindah lautan, bahwa ujian adalah tanjakan yang akan membuat kita bisa menikmati indahnya jalan yang melandai, bahwa ujian dari salah satu cara Allah untuk memutar kehidupan ini……; Kata Ki Bijak lagi.

“Ki, tadi Aki mengatakan bahwa ujian merupakan salah satu cara Allah untuk memutar roda kehidupan ini…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, contoh kecilnya begini, ketika kita sakit, kita perlu obat, perlu dokter, dan lainnya, bayangkan jika setiap orang tidak pernah sakit, dan mereka tidak perlu obat, betapa banyak perusahaan farmasi tutup, berapa banyak karyawannya tidak bekerja, belum lagi supplier penopangnya, atau kalau tidak orang sakit, dokter tidak memiliki penghasilan, fakultas kedokteran tutup, dosen nganggur dan seterusnya, dengan satu jenis penyakit saja, dengan seorang penderita saja, sudah sedemikian banyak putaran roda kehidupan yang bergulir karenannya…., konon lagi dengan jenis penyakit dan ujian lainnya…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, seperti juga bencana alam misalnya, berapa banyak orang dan pihak yang terlibat dalam kejadian itu,subhanallah…., betapa besar rencana dan keagungan_Mu ya Allah……” Kata Maula.

“Karenanya, mulai sekarang, Nak Mas harus belajar berfikir dan bersikap bijak dalam menyikapi semua apa yang Allah takdirkan pada Nak Mas, jangan sedih kala dilanda musibah, dan jangan bangga diri kala diberi kelapangan, sikapi dengan wajar, dan senantiasa ingat bahwa semua berasal dari Allah dan semua akan kembali padanya……” Kata Ki Bijak menutup perbincangan sambil mengutip ayat dalam surat Al Baqarah;

155. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.


Wassalam

October 2010

Wednesday, October 20, 2010

KETIKA BENCANA YANG BICARA

“Astagfirullahal adzim……, banyak banget ya ki…..” kata Maula

“Apanya yang banyak Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.

“Ini ki, menurut sebuah sumber, wilayah Negara kita ini, selama kurun waktu 13 tahun terakhir, dari tahun 1997 hingga tahun 2008 saja, telah dilanda bencana kurang lebih sekitar 6,632 kali, dimana tahun 2008 menjadi tahun yang paling banyak mengalami bencana yakni sebanyak 1.302 kali, dari seluruh catatan bencana itu, banjir merupakan bencana yang paling sering dialami Negara kita, yakni mencapai angka 35%, disusul kemudian kekeringan sebanyak 18%, tanah longsor, angin topan dan kebakarang masing-masing 11%, sebuah angka yang membuat bulu kuduk ana merinding membacanya ki……” Kata Maula.

Ki Bijak menarik nafas dalam-dalam, berat sekali rasanya ia mendengar rangkaian bencana demi bencana yang datang silih berganti, hujan yang harusnya menjadi rahmat, justru menjadi banjir, kemarau yang mestinya bermanfaat bagi manusia, justru lebih sering menimbulkan kekeringan, kebakaran dan lainnya…..;

“Mungkin inilah saat yang digambarkan oleh al qur’an sebagai telah nampaknya kerusakan didaratan dan dilautan karena ulah tangan manusia yang ‘nakal’….; kata Ki Bijak sambil mengutip ayat 41 dari surat Ar-rum;


41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


“Iya ki, belum lagi kalau ditambah dengan bencana yang terjadi ditahun 2009 dan 2010, baru kemarin bencana banjir bandang melanda kota Wasior di tanah Papua, korban meninggal 152 orang, dan masih banyak korban yang belum ditemukan, belum lagi yang luka, kehilangan tempat tinggal, kehilangan tempat ibadah dan lainnya…..; Maula tidak melanjutkan kata-katanya, tenggorokannya terasa tercekat.

Kembali Ki Bijak menarik nafas dalam-dalam, “Aki hanya sedikit menyayangkan sikap kita dalam menyikapi ‘teguran-teguran’ ini, kita lebih banyak berkubang dan terjebak dalam hitungan angka korban, berapa jumlah kerugian materi, berapa rumah yang rusak, dan kalau ada yang lebih, hanyalah perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi, itu saja……,

“Kita tidak pernah beranjak lebih jauh untuk mempelajari hikmah apa yang ada dibalik semua musibah ini, Tsunami Aceh yang demikian besar, dengans sedemikian banyak ‘ayat-ayat’ Allah yang terpampang disana, tertelan dan terlupakan sedemikian cepat, tidak ada pelajaran apapun yang kita ambil dari kejadian itu…;

“Kemudian, gempa jogya yang tak lama berselang, kembali hanya hitung-hitungan diatas kertas mengenai jumlah korban dan kerugian materi yang diderita…;selebihnya kembali kita lupa…;

“Kemudian lagi tanah longsong di Sukabumi, gempa bumi di Padang, lumpur Lapindo dan yang terakhir banjir bandang di Wasior, kembali hanya menjadi komoditi berita dan hitung-hitungan diatas kertas mengenai jumlah korban dan jumlah kerugian materi…….,

“Kalau dengan tsunami Aceh kita tidak bisa diingatkan, kalau dengan gempa padang kita masih mudah lupa, kalau dengan banjir bandang Wasior kita pun melupakannya begitu saja, Aki khawatir, dan kita patut khawatir, Allah akan ‘mengingatkan’ kita dengan sesuatu yang lebih besar dari semua yang pernah selama ini……” Kata Ki Bijak dengan nada penuh keprihatinan.

“Naudzubillah min dzalik ki, kalau ada bencana yang lebih besar dari Tsunami Aceh atau gempa bumi Padang, seperti apa lagi, ana tidak sanggup membayangkannya ki……” Kata Maula.

“Karenanya, sekarang saatnya lah kita mentafakuri kalimat terakhir dari ayat tadi, bahwa dikembalikannya sebagian akibat dari ulah tangan manusia itu adalah “agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”, maka mari kita segera kembali kejalan yang benar, kembali ke jalan lurus yang Allah bentangkan melalui contoh dan teladan Rasulnya, melalui firman-firmannya di dalam Al qur’an…..” Kata Ki Bijak.

“Ki…., apakah perilaku kita sekarang ini sudah jauh dari tuntunan Allah dan contoh Rasul_Nya….?” Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum; “Kita tidak perlu jauh-jauh untuk dapat menemukan contoh betapa sudah jauhnya kita meninggalkan jalan lurus yang Allah bentangkan, mari kita tengok kedalam diri kita masing-masing, adakah kita sudah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah, misalnya dari keseharian kita, sudahkah kita shalat tepat waktu, sudahkan kita membayar zakat, lalu sudahkan kita bergaul dengan orang lain sesuai dengan kaidah dan tuntunan yang benar, sudahkan kita makan dan minum dari makanan yang halal, sudahkah kita mengkoreksi kalau-kalau ada rezeki yang tidak halal bercampur dalam pendapatan kita…, dan masih banyak pertanyaan lain yang dengan mudah kita bisa ajukan pada diri kita sendiri untuk mengukur dijalan mana kita berjalan sekarang ini…………” Kata Ki Bijak.

“Kalau kita mau jujur, pasti banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang sedikit banyak ‘menyimpang’ dari jalan Allah, waktu shalat kita semaunya, zakat yang harusnya kita tunaikan pun masih sekedahnya, cara bergaul kitapun sudah jauh dari tuntunan yang semestinya, belum lagi kalau kita berkaca dari bagaimana cara kita memperlakukan alam dan lingkungan kita, jauh dari kata bijaksana, kita lihat bagaimana kita dengan semena-mena memangkas gunung, bagaimana kita dengan tanpa pemikiran matang mengurug lautan, bagaimana kita mengekplorasi isi perut bumi dengan seenak kita, bagaimana kita dengan tanpa rasa bersalah kita mencemari tanah, air dan udara kita dengan berbagai hal yang sangat ‘menyakiti’ alam dan lingkungan kita…….., jadi rasanya wajar kalau teguran demi teguran selalu Allah alamatkan pada kita, selama kita tidak pernah hirau dengan kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita…..” Kata Ki Bijak lagi.

Maula nampak menghela nafas panjang, ia membenarkan apa yang barusan diuraikan gurunya, dan memang wajar kalau kemudian kita ‘ditegur’ dengan berbagai bencana karena memang kita selalu lupa atau melupakan setiap peringatan yang datang sebelumnya;

“Ki…., dari mana kita harus memulai untuk memperbaiki diri ki….?” Tanya Maula beberapa saat kemudian.

“Dari sini Nak Mas….?” Jawab Ki Bijak sambil menunjuk dadanya.

“Dari sini ki….?” Tanya Maula menirukan Ki Bijak yang menunjuk dadanya.

“Ya Nak Mas, kerusakan yang demikian nyata ini, adalah akibat ulah tangan-tagan manusia, dan tidaklah tangan-tangan itu akan membuat kerusakan jika hati yang ada didalam dada ini baik….” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat haditsnya…?” Tanya Ki Bijak kemudian.

“Iya Ki….Rasulullah bersabda “ Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati". (HR Bukhari dan Muslim).

Ki Bijak mengangguk, “Hati yang rusak, akan mendorong tangan untuk berbuat kerusakan, hati yang rusak, akan melangkahkan kaki ketempat kemaksiatan, hati yang rusak, akan mendorong keinginan tanpa batas, rakus, tamak, dan bahkan diluar batas-batas kewajaran, hati yang rusak, akan membuat anggota tubuh lainnya berbuat kerusakan, dan hal inilah yang dalam hemat Aki menajdi penyebab kerusakan-kerusakan yang ada, dan karenanya, hati ini pulalah yang harus segera diobati dan diperbaiki…..” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki.., kalau dalam hal penyakit dhahir, hampir semua orang aware, sekedar flu atau masuk angin pun, segera kedokter atau minum obat, tapi sangat jarang orang yang mengetahui bahwa hatinya sakit….., termasuk ana, mungkin juga tidak mengetahui secara persis apakah hati ana baik atau sakit…., lalu bagaimana mengetahui keadaan baik buruknya hati kita ki…..” Kata Maula.

“Hanya diperlukan sedikit ‘kejujuran’ kita untuk mengetahuinya Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

“Hanya dibutuhkan sedikit kejujuran kita ki…?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, hati yang sakit, akan selalu condong pada keburukan, seperti shalatnya malas, zakatnya enggan, kemasjid tidak jalan, menolong orang segan, dan selalu dipenuhi oleh angan kosong dan khalayalan, dan pastinya jauh dari mengingat Allah……, bukankah ini mudah untuk kita deteksi Nak Mas..?” Tanya Ki Bijak.

“Sebaliknya, hati yang sehat, selalu cenderung pada kebaikan, menikmati ibadah, dan selalu mengingat Allah dan setiap helaan nafas dan langkahnya……” Tambah Ki Bijak

Maula mengangguk tanda mengerti; “Allahumma ya muqallibal quluubi, tsabit qalbi alaa diinika wa ala ta’atika”. (Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku kepada dien/agama dan ketaatan kepada-MU); pintanya pada Allah beberapa saat kemudian

“Amiin…..” Ki Bijak mengamini.

Wassalam

October 2010