Thursday, November 18, 2010

QURBAN DAN SETELAHNYA

“Qurban berbeda dengan korban Nak Mas…..” kata Ki Bijak ketika berbicara mengenai hari raya qurban..

“Meski secara sepintas kedengarannya sama, tapi keduanya memiliki maksud yang berbeda, "Qurban" merupakan bahasa agama , dan merupakan salah satu istilah Qur'ani, sedangkan "korban" merupakan bahasa rumpun melayu, meski dalam tataran praktis kedua kata atau istilah tersebut dikonotasikan sama yakni "mengeluarkan suatu perkara untuk menggapai suatu tujuan", namun ada perbedaan yang sangat mendasar diantara keduanya, yakni "Qurban" didasari atas dasar cinta, loyalitas, kemesraan, dan kepatuhan, sedangkan "korban" memiliki dasar yang sebaliknya yakni; kebencian, ketakutan, dendam dan keterpaksaan…..” Papar Ki Bijak mengenai perihal qurban.

“Ditinjau dari asal katanya, "qurban" terambil dari kata qarraba-yuqarribu, qurbanan, yang artinya kedekatan, kecintaan, kemesraan, sementara secara syar’i; qurban didefinisikan sebagai suatu aktifitas penyembelihan / menyembelih hewan ternak yang dilakukan pada tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah atau disebut juga hari tasyrik / hari raya haji / lebaran haji / lebaran kurban / Idul Adha dengan niat untuk beribadah kepada Allah SWT, sementara hukum ibadah qurban adalah sunat muakkad atau sunah yang penting untuk dikerjakan….., para ulama menyandarkan perintah qurban ini pada firman Allah dalam surah Al Kautsar………..” Kata Ki Bijak lagi.

“Dilingkungan Nak Mas banyak yang qurban tahun ini..?” Tanya Ki Bijak kemudian

“Alhandulillah ki, kemarin ada enam ekor sapi dan dua puluh lima ekor kambing yang dititipkan kepada panitia qurban, dan alhamdulillah, warganya kompak, sehingga pelaksanaan pemotongan hingga penyaluran hewan qurban lancar……” kata Kata Maula.

“Syukurlah Nak Mas, Aki senang mendengarnya, semoga tahun depan akan lebih banyak lagi orang yang berqurban ditempat Nak Mas, karena dalam qurban, ada selaksa hikmah yang bisa kita ambil darinya…” kata Ki Bijak.

“Hikmahnya apa saja ki….?” Tanya Maula.

“Qurban bukanlah semata menyembelih hewan ternak, kemudian membagi-bagikannya, lalu selesai, qurban bukan sekedar ritual kuno , lebih dari itu qurban adalah sebuah symbol dari totalitas ketaatan dan keikhlasan hamba kepada Rabbnya…..” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas perhatikan ayat ini….” Kata Ki Bijak sambil membacakan ayat 102-109 dari surat ash-shafat;

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

103. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).

104. Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,

105. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

107. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285].

108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian,

109. (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".

[1284] yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksana- kannya.

[1285] sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). peristiwa Ini menjadi dasar disyariatkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.

“Dialog ini adalah dialog antara Nabiyullah Ibrahim as dengan putranya Nabi Ismail as; keyakinan Nabi Ibrahim akan perintantah Allah lewat isyarat mimpinya, adalah cerminan totalitas ketaatan Nabi Ibrahim kepada perintah Allah, apapun itu bentuknya, termasuk perintah untuk mengorbankan putranya sendiri….”

“Beda dengan kita sekarang ini, banyak diantara kita yang pilih-pilih dalam menjalankan perintah Allah, kalau sekiranya perintah itu mudah, dan kita nilai menguntungkan kita, maka kita melaksanakannya, sebaliknya jika perintah itu kita ‘anggap susah’, maka kita berdalil dan berdalih untuk sedapat mungkin tidak melaksanakannya…..” Tambah Ki Bijak.

“Pun dengan larangan Allah, kita masih sering ‘sembunyi-sembunyi’ atau terang-terangan melanggar aturan Allah, seperti misalnya orang mau korupsi saja bisa berdalih bahwa ia berhak atas uang tersebut, karena ia yang mengurusnya, atau ada orang yang menerima suap yang jelas-jelas diharamkan, kemudian mereka berdalih bahwa itu uang hadiah, bahwa itu uang hibah, bahwa itu uang yang tidak merugikan orang lain dan lain sebagainya…..” kata Ki Bijak.

Maula menghela nafas panjang mendengar penuturan gurunya; “Iya ki…., orang sekarang memang sangat pandai berdalih…, meski kadang dalihnya terlalu mengada-ada dan dipaksakan…., perbuatan yang jelas-jelas mengandung unsur riba, dipelintir sedemikian rupa sehingga orang ‘saru’ melihatnya…..” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, semoga Allah menghindarkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji tersebut….” Kata Ki Bijak

“Ki…, bagi sebagian orang, mengeluarkan uang satu sampai dua juta untuk menyembelih hewan qurban, mungkin sangat mudah, tapi bagaimana bagi mereka yang juga ingin mengaplikasikan kecintaannya pada Allah, tapi tidak memiliki uang untuk berqurban…? Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar pertanyaan Maula; “Kita pilah-pilah dulu ya Nak Mas, ada orang yang ingin ber qurban, tapi tidak punya uang, dilain sisi, ada orang yang punya uang, tapi tidak ingin berqurban…..” Kata Ki Bijak.

“Orang yang memiliki niat tulus ikhlas ingin berqurban, tapi tidak punya uang, insya Allah niat qurbannya sudah dicatat sebagai niat baik disisi Allah swt….., selebihnya dia harus berusaha untuk mewujudkan niatnya itu ditahun berikutnya, misalnya dengan berusaha lebih keras, atau menabung dari jauh-jauh hari, menabung semampunya…,insya Allah akan ada jalan untuk mewujudkan niat baiknya…..” Kata Ki Bijak.

“Yang tidak boleh itu begini Nak Mas, ketika ada perintah untuk berqurban, sementara ia tidak mampu, kemudian ia bilang ‘boro-boro buat qurban, buat makan sehari-hari saja susah’…., ini tidak boleh, ini pamali kata orang tua dulu….” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ya ki, Ana pernah beberapa kali mendengar ungkapan seperti itu, boro-boro qurban, boro-boro nyumbang masjid, boro-boro naik haji dan lainnya, padahal rezeki orang kan tidak tahu ya ki, mungkin tahun ini belum bisa, tapi siapa tahu tahun depan mampu…..” Kata Maula.

“Kata-kata yang positif, selain merupakan perbuatan menyenangkan, perbuatan yang dianjurkan agama, juga merupakan ‘vitamin’ bagi jiwa kita, ketika kita berbicara yang baik-baik, ketika kita berbicara dengan optimis, ketika kita bicara dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada Allah, kata-kata positif itu akan menjadi stimulus bagi fikiran dan jiwa kita untuk bergerak maju dan mencapai keinginan kita….”

“Sebaliknya, ketika kita berkata dengan nada pesimis, dengan nada keputus asaan, merupakan ‘tekanan’ bagi jiwa kita, menjadi pengekang bagi kemajuan kita, ketika kita berbicara ‘aah boro-boro nyumbang masjid, untuk makan saja susah’, kata-kata seperti itu merupakan pukulan yang akan mencederai jiwa kita……” Tambah Ki Bijak.

“Iya ki…..” Kata Maula.

“Hakekat qurban, seperti Aki katakan tadi, merupakan symbol dari ketaatan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah Allah swt, selain juga sebagai symbol ‘penyembelihan’terhadap sifat-sifat hewani yang ada dalam diri manusia…” Kata Ki Bijak kemudian.

“Menyembelih hewan qurban sebagai symbol penyembelihan sifat-sifat hewani yang ada dalam diri manusia ki…?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, sebagaimana Imam Ghazali menulis, bahwa dalam diri manusia itu ada sifat Ilahiyah, seperti sifat kasih sayang, dermawan, pemaaf dan lain sebagainya disatu sisi, sementara disisi lain, dalam diri manuasia juga terdapat sifat syaitoniyah, seperti sifat sombong dan takabur, selain juga sifat bahimiyah, yakni sifat buas dan kejam, dan sabaiyah, yakni sifat rakus, tamak, serakah dan tidak tahu malu…….; maka menyembelih hewan qurban, secara simbolik bertujuan untuk ‘menekan’ sifat buas manusia, sifat rakus manusia, sifat tidak tahu malu yang terdapat dalam diri manusia…..” Kata Ki Bijak.

Maula manggut-manggut mendengar penuturan Ki Bijak, jadi kalau ada orang yang tiap tahun berqurban, tapi tanpa rasa malu masih korupsi, itu artinya qurbannya belum benar ya ki….” Kata Maula.

“Sangat mungkin seperti itu Nak Mas, karena orang yang secara benar memahami hakekat dan esensi qurban, pasti malu untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya….”

“Orang yang memahami secara benar hakekat dan esensi qurban secara benar, insya Allah ia tidak akan menjadi orang yang rakus, tidak akan menjadi orang yang tamak, tidak akan menjadi orang yang gila harta, tidak akan menjadi orang yang mengumbar birahi, tidak akan menjadi orang yang tidak tahu malu, karena ia menyadari bahwa sifat-sifat hewani itu telah ia’sembelih’ sebagai mana hewan qurbannya….” Kata Ki Bijak lagi.

“Justru orang yang qurbannya benar, akan menjadi sosok yang penuh ketaatan, penuh keikhlasan, penuh cinta dan kasih sayang, dermawan dan berbagai sifat terpuji lainnya akan mendominasi peri kehidupaanya,karena sifat-sifat ilahiyah itu telah ‘menang’ dan ‘mengalahkan sifat hewani dan kebinatangannya, setelah sebelumnya, sifat syaitoniyah juga telah ‘dipenjarakan’ dengan shaum ramadhan……” Imbuh Ki Bijak.

“Sifat Ilahiya, sifat syaitoniyah, sifat bahimiyah, sifat sabaiyah……, kalau yang tiga ini telah berhasil ‘dikalahkan’, maka yang ada dan kemudian muncul dari dalam diri kita adalah sifat –sifat ilahiyah yang agung dan luhur….hmmmh…..” Kata Maula sambil manggut-manggut.

“Makanya Nak Mas harus rajin menabung dari sekarang, mumpung masih setahun lagi, mulai sekarang Nak Mas nabung, siapa tahu tahun depan Nak Mas bisa berqurban dengan seekor sapi….” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki, ana akan mulai nabung dari sekarang…., moga tahun depan bisa berqurban dengan sapi, mohon doanya ya ki…..” Kata Maula sambil menyalami gurunya untuk pamitan.

Wassalam

November,2010

Friday, November 12, 2010

DEBU

“Mohon maaf sebentar ki……” Kata Maula, meminta izin pada gurunya untuk membersihkan kacamatanya dari debu yang menghalangi pandangannya kepapan tulis.

Ki Bijak menghentikan penjelasannya, sambil menunggu Maula yang tengah membersihkan kacamata dengan tissue.
“Sudah bersih Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

“Sudah ki, alhamdulillah……” Kata Maula.

“Itulah debu Nak Mas, meskipun kecil, tetap akan menghalangi pandangan mata kita yang jernih…..” Kata Ki Bijak kemudian.

“Iya ki, padahal debu ini sangat kecil, bahkan hampir tidak terlihat, tapi tetap sangat mengganggu….” Kata Maula lagi.

“Karenanya kita harus berhati-hati dengan ‘debu’ Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
Maula menyadari bahwa gurunya tengah membicarakan hal lain diluar yang ditulisnya dipapan tulis.
“Nak Mas lihat, debu merapi misalnya, debu-debu yang kecil itu, mampu merusak ratusan hektar tanaman yang siap panen, debu-debu yang kecil itu mampu menutup areal pemukiman ratusan bahkan ribuan hektar yang bahkan berjarak ribuan kilo dari puncak merapi, dan kalau Aki tidak salah, banyak maskapai penerbangan yang menunda jadwal penerbangannya karena khawatir dengan efek debu yang kecil ini, yang jika masuk kemesin pesawat, akan merusak mesin dan sangat membahayakan…..” Kata Ki Bijak.

Maula menarik nafas panjang, ia membenarkan apa yang dikatakan gurunya, betapa debu merapi yang terdiri dari partikel-partikel kecil itu sangat berbahaya, termasuk juga berbahaya bagi kesehatan, karena ketika terhirup dan masuk kedalam paru-paru, akan menimbulkan kerusakan pada orang vital tersebut.

Ki Bijak menarik nafas panjang, “Jika pandangan mata Nak Mas terhalang karena debu kecil yang menempel pada kacamata Nak Mas, jika tanaman menjadi rusak dan layu karena debu yang mengenainya, jika halaman dan pemukiman menjadi kotor karena debu-debu yang kecil, jika mesin pesawat bisa rusak karena debu-debu yang kecil, ini artinya kita sama sekali tidak boleh mengacuhkan dan membiarkan debu-debu ini begitu saja….” Kata Ki Bijak.

Maula diam, menunggu kelanjutan penuturan gurunya…”Dikeseharian kita, ada banyak ‘dosa-dosa kecil’ yang sudah kita anggap biasa,seperti contohnya saling mencela antar teman, kelihatannya sekarang ini sudah dianggap biasa, dan bukan merupakan sebuah dosa..”

“Kemudian mencela kondisi fisik seseorang, ini juga sepertinya sudah sebuah kelaziman dikeseharian kita, belum lagi ghibah, belum lagi berprasangka buruk, belum lagi mengumpat, belum lagi menunda waktu shalat, belum lagi menyia-nyiakan waktu luang, belum lagi janji palsu, belum lagi berkata dusta, belum lagi khianat, dan masih banyak lagi aktivitas keseharian kita yang mengandung ‘debu-debu dosa’…..” Kata Ki Bijak.

“Kalau debu merapi dapat mengotori dan merusak banyak hal, maka debu-debu dosa ini akan mengotori kejernihan mata hati kita….., kalau tadi setitik debu saja yang menempel dikacamata Nak Mas menjadikan pandangan Nak Mas terganggu, konon lagi kalau banyak dosa-dosa yang menempel dan menutup hati kita, niscaya hati kita akan gelap gulita, jauh dari cahaya ilahi…….” Kata Ki Bijak lagi.

Degh….., Maula membayangkan hujan abu merapi yang demikian pekat, sehingga menggangu dan mengurangi jarak pandang, menyebabkan penyakit, dan menyebabkan kerusakan dalam berbagai hal, lalu bagaimana jika hati, yang merupakan pelita, yang merupakan sumber cahaya, yang merupakan cermin, yang merupakan sarana berlabuhnya petunjuk ilahi ini tertutup oleh tebalnya debu-debu dosa…?.

“Hanya sayangnya, kalau debu dhahir seperti yang menempel pada kacamata Nak Mas tadi dengan mudah kita ketahui, tapi debu dosa yang menempel pada hati kita, jarang sekali orang yang mengetahuinya, ataupun kalau ia mengetahuinya, ia lebih cenderung untuk tak acuh dan mengabaikannya…..” kata Ki Bijak lagi.

“Ki……, apa akibatnya kalau kita membiarkan hati kita terus-menerus kena debu dosa..?” Tanya Maula.

“Apa yang Nak Mas rasakan kalau banyak debu yang menempel dikacamata Nak Mas…?” Ki Bijak balik bertanya.

“Pandangan ana buram ki, selain juga kacamata akan tergores dan rusak….” Jawab Maula.

“Pun dengan hati kita Nak Mas, manakala terus menerus terkena dosa, dosa sekecil apapun itu, akan mempengaruhi kualitas kejernihannya, pandangan mata hati kita jadi buram, hati kita jadi tidak peka, dan pada stadium lanjut, hati kita akan keras membatu, bahkan lebih keras dari batu, sehingga akan sulit menerima kebenaran, cenderung congkak dan sombong, dan pada gilirannya, hati kita akan buta dan mati…..!” Kata Ki Bijak lagi.

“Naudzubillah….., bagaimana ciri-ciri orang yang mati hatinya ki…?” Tanya Maula.
“Nak Mas pernah mengantar jenazah….?” Tanya Ki Bijak.

“Pernah ki…..” Jawab Maula.

“Apakah jenazah merespon ketika ada orang menangis…?” Tanya Ki Bijak.

“Tidak ki…..” Jawab Maula.

“Apakah jenazah menyahut ketika adzan dan iqomah dikumandangkan…?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Tidak ki….” Jawab Maula lagi.

“Apakah jenazah tahu ada yang sedih, ada yang berduka,ada orang yang menangis, ada orang yang lapar atau orang yang sakit..? Tanya Ki Bijak lagi.

“Tidak ki, jenazah tidak merespon atau berbuat apapun ki….” Jawab Maula lagi.

“Begitulah kira-kira keadaan orang yang hatinya mati Nak Mas, ia tidak peduli pada tetangganya yang lapar….”,

“Orang yang hatinya mati, ia tidak berbuat apapun ketika ada anak yatim yang kelaparan..”,
“Orang yang hatinya mati, ia tidak berbuat apapun ketika ada saudaranya tengah dilanda musibah….”

“Orang yang hatinya mati, tidak akan tergerak ketika terdengar panggilan adzan, orang yang hatinya mati, tidak akan merespon jika ada anjuran bersedekah, berzakat atau berderma lainnya….”

“Orang yang hatinya mati, ia bahkan tidak dapat menerima kebenaran atau nasehat dari siapapun, persis seperti jenazah, ia laksana bangkai berjalan……” papar Ki Bijak lagi.

Maula diam, menyimak penuturan gurunya yang demikian gamblang, Orang yang Hatinya mati, sama dengan mayit, yang tidak bisa melakukan apapun baik untuk dirinya, apalagi bagi orang lain…!!!

“Ki…., adakah cara untuk membersihkan dan menghidupkan hati ki….?” Tanya beberapa saat kemudian.

“Kita harus banyak-banyak beristighfar Nak Mas…..” Kata Ki Bijak

“Dengan memperbanyak istighfar ki…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, istighfar adalah deterjen pemberish debu-debu dosa, dengan istighfar mudah-mudahan Allah membersihkan noda-noda yang menempel dihati kita, yang membuat hati kita hitam pekat, yang membuat hati kita kotor, yang membuat hati kita menjadi sakit dan mati…..”

“Sebagaimana Nabi Adam beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena telah ‘melanggar’ peringatan Allah untuk menjauhi pohon khuldi;

“Sebagaimana Nabi Nuh beristighfar, memohon ampun dan perlindungan dari berbagai hal yang ia tidak ketahui hakekatnya”,

“Sebagaimana Nabi Musa beistighfar, memohon ampun kepada Allah, karena telah menganiaya diri sendiri..”,

“Sebagaimana Nabi Sulaiman beristighfar, memohon ampun kepada Allah ketika beliau diuji dengan sakit yang luar biasa…”,

“Sebagaimana Nabi Yunus, beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena kemarahannya dan kemudian ditelan ikan paus…”,

“Maka selayaknyalah kita yang pasti banyak dilumuri debu-debu dosa ini, memperbanyak istighfar, memohon ampunan dari Allah, semoga dengan beristighfar, dengan memohon ampun, dengan senantiasa membersihkan diri dan hati dari debu-debu dosa, hati kita akan senantiasa jernih, hati kita akan senantiasa lembut, hati kita senantiasa sehat, hati kita senantiasa hidup, sehingga mampu menangkap cahaya kebenaran ilahi, sehingga kita peka terhadap keadaan diri dan lingkungan kita, sehingga kita tidak hanya seonggok daging pembungkus tulang yang berjalan tanpa hati, sehingga kita benar-benar menjadi manusia, mahluk yang Allah ciptakan dengan berbagai kelebihan, salah satunya adalah Allah menanugerahkan kepada manusia sebentuk hati, yang dengannya manusia diuji untuk bagaimana menggunakan hati untuk mengenal siapa penciptanya……” Kata Ki Bijak panjang lebar.

Maula manggut-manggut, meresapi setiap untai kata yang keluar dari tutur bijak gurunya.
“Bahkan baginda Rasul, manusia paling agung dan mendapat predikat maksum, pun senantiasa beristighfar kepada Allah swt…..” Sambung Ki Bijak sambil membacakan sayyidul istighfar sebagaimana diajarkan Baginada Rasul;

“(Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada ilaha selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu dan aku selalu berusaha menepati ikrar dan janjiku kepadaMu dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui betapa besar nikmat-nikmatMu yang tercurah kepadaku; dan aku tahu dan sadar betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Karenanya, ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”

Maula mencoba mengulang-ngulang bacaan sayyidul istighfar yang dibacakan gurunya;

Allahumma anta rabbi laa ilaha illa anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’udzubika min syarri ma shona’tu abu-u laka bini’matika ‘alaiyya wa abu-u bidzanbi faghfirli fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta

Tanpa terasa, air matanya menetes dipipinya, meresapi keindahan lafadz istighfar yang dicontohkan baginda Rasul, sambil menyelami maknanya yang demikian menyentuh dan menggetarkan hati…., Maula terus mengulang dan mengulang bacaan istighfar sambil menikmati indahnya istighfar.

Ki Bijak membiarkan Maula terus larut dalam kenikmatan dzikir, ia sendiri kemudian turut serta berdzikir dengan membaca istighfar………………….”

Wassalam

November 2010.