“Kok jadi semakin banyak ya ki..............” Kata Maula, setengah bertanya setelah beberapa waktu sebelumnya ia melihat berita di media massa.
“Apa yang semakin banyak Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.
“Ini Ki, berita tentang para calon legislative yang kalah dan kemudian stress dan bertingkah aneh-aneh, ada caleg yang menarik kembali pemberian karpet ke majelis taklim, karena ia kalah, ada juga yang menarik TV yang sudah didonasikannya kepada para tukang ojek, ada yang berteriak-teriak memaki petinggi partainya, bahkan ada yang gantung diri segala ki, dan tadi pagi, disebuah daerah, penghuni rumah sakit jiwa diberitakan meningkat hingga 300% pasca pemilu kemarin ki.............” Kata Maula.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.......” Guman Ki Bijak pendek.
“Ada fenomena apa ya ki, sehingga mereka yang beberapa waktu sebelumnya, dengan bangga mempromosikan dirinya melalui berbagai poster disepanjang jalan dan diberbagai tempat, sebagai orang ‘hebat’, dengan serentetan gelar yang disandangnya, sehingga ia merasa layak dipilih untuk mewakili rakyat, ternyata sebagian mereka hanya sosok yang rapuh, yang tidak siap menerima kekalahan dengan bijak, yang tidak mampu menguasai dirinya, ana tidak bisa membayangkan bagaimana figur-figur rapuh seperti ini kalau mereka benar-benar menjadi wakil rakyat ya ki........” Kata Maula lagi.
“Wallahu’alam Nak Mas, Aki tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan orang-orang itu, mereka gagah, mereka memiliki harta yang cukup, terbukti mereka mampu membiayai dana kampanye yang menurut Aki cukup banyak jumlahnya, mereka juga berpendidikan, bahkan kalau melihat dari poster yang bertebaran disepanjang jalan kemarin, mayoritas mereka adalah produk perguruan tinggi, jadi kalau ditengah berbagai kelebihan mereka atas masyarakat kebanyakan itu mereka menyimpan kerapuhan, Aki juga sangat heran Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.
“Ki, adakah ‘kerapuhan’ ini berpangkal pada kerapuhan bathiniah sebagian mereka ki....?” Tanya Maula lagi.
“Penjelasan untuk hal itupun memerlukan analisa dan ilmu yang mendalam Nak Mas, hanya dari sudut pandang Aki yang sangat terbatas ini, kecenderungan kearah itu memang benar adanya, lemah atau kuatnya sandaran vertikal seseorang kepada Allah akan sangat berpengaruh pada seberapa kuat bathin atau jiwa seseorang dalam menghadapi ujian, termasuk salah satunya ujian untuk dapat menerima kekalahan, setelah mengeluarkan dana dan tenaga yang cukup besar dalam pemilu kemarin............” Kata Ki Bijak lagi.
“Lemah atau kuatnya sandaran vertikal seseorang akan berpengaruh pada kualitas jiwa seseorang ki...?” Tanya Maula lagi.
“Benar Nak Mas, keimanan yang kokoh, aqidah yang kuat, merupakan sandaran vertikal yang sangat kuat untuk menopang kekuatan jiwa seseorang, semakin keimanan dan akidah seseorang itu baik, maka insya Allah akan semakin kuat pula jiwanya, sebaliknya, ketika akidah dan keimanan seseorang itu kurang baik, maka kekuatan jiwanya tidak akan setangguh mereka yang memiliki akidah dan keimanan yang baik.......” Kata Ki Bijak.
Maula terdiam sejenak, “Ana masih belum mengerti ki..........” Katanya sejurus kemudian.
“Begini Nak Mas, ketika seseorang memiliki keimanan dan keyakinan bahwa harta yang ada padanya hanya merupakan titipan dari Allah, ketika seseorang memiliki keimanan bahwa pangkat, kedudukan dan jabatan adalah juga merupakan amanah dari Allah, dan kemudian harta, jabatan dan kedudukan yang mereka ingini itu belum Allah percayakan kepadanya, apa yang perlu mereka sesalkan kalau kemudian hal itu luput dari mereka, kalau Allah menghendaki seseorang untuk berada pada posisi tertentu, maka tidak ada satupun kekuatan yang akan menghalanginya,sebaliknya ketika amanah itu belum Allah berikan kepada kita, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat memberikannya kepada kita...., Nah kesadaran dan keyakinan seperti ini sangat penting untuk meredam gejolak bathiah yang berlebihan, seperti stres, merasa tertekan dan lainnya.....” Kata Ki Bijak.
“Ana sependapat ki, jadi kekuatan bathiniah seseorang tidak semata dipengaruhi oleh gelar dan pendidikan yang tinggi saja ya ki, tapi justru sangat dipengaruhi oleh keimanan dan keyakinan seseorang ya ki......” Kata Maula.
“Pendidikan yang tinggi itu juga perlu Nak Mas, hanya ketika pendidikan yang tinggi yang kurang diimbagi dengan ketinggian keimanan, maka efek positifnya tidak akan berfungsi maksimal terhadap kekuatan bathiniah seseorang.......” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki...........” Kata Maula, sambil mengangguk tanda mengerti.
“Lalu kalau boleh Aki berpendapat, sekarang ini ada kecenderungan persepsi yang sedikit ‘keliru’ dari sebagian orang mengenai pangkat dan jabatan, sebagian orang berpendapat bahwa kedudukan, pangkat dan jabatan berbanding lurus dengan kehormatan dan kemuliaan seseorang, sehingga mereka berlomba-lomba untuk meraihnya dengan berbagai cara, bahkan sebagian mereka ‘lupa’ untuk berhitung tentang ‘kekuatan’ dirinya, mereka ingin meraihnya secara instan, ikut partai, mencalonkan diri dan kemudian menjadi anggota dewan, mereka lupa dengan sunatullah bahwa sebelum menuai kita harus terlebih menanam......., mereka juga lupa bahwa jabatan, pangkat dan kedudukan adalah amanah yang sangat berat, yang akan dimintakan pertanggung jawaban dimahkamah robbul izzati kelak.......” Kata Ki Bijak.
Maula manggut-manggut, “Budaya instant...., menarik sekali ki, ingin serba cepat tanpa perlu menunggu lama, tanpa berhitung untuk ruginya.....ya mungkin seperti itu ya ki.....” Kata Maula.
“Kalau kita bisa mendapatkan sesuatu yang instan, itu tidak menutup kemungkinan Nak Mas, tapi tidak bisa kemudian kita mengeneralisasi bahwa semuanya bisa kita dapat dengan instan, Nak Mas lihat pak tani yang tengah menuai padi itu..............” Kata Ki Bijak sambil menunjuk kearah sawah yang tengah dipanen.
“Iya ki...........” Kata Maula sambil menoleh kearah yang ditunjukan gurunya.
“Sebelum hari ini, sebelum pak tani itu menuai padinya, pak tani terlebih dahulu harus menggemburkan lahan yang akan ditanami, menyemai benih padi, kemudian pak tani menanamnya, menyianginya dari rerumputan, memupuknya agar tumbuh subur dan menjaganya dari hama yang mungkin akan merusaknya, perlu waktu, perlu tenaga, perlu perhatian, perlu kesungguhan, perlu dedikasi, perlu pengorbanan, perlu kesabaran, sebelum kemudian tiba waktunya padi itu dapat dituai......” Kata Ki Bijak.
“Iya ki......” Kata Maula pendek.
“Pun demikian dengan kita Nak Mas, adalah bijak ketika kita ingin menuai hasil yang maksimal, seperti ingin menjadi anggota dewan, jauh-jauh hari kita harus ‘menanam’ benih-benihnya, kita harus pandai bersosialisasi dengan lingkungan sekitar kita, kita harus berperilaku dan berahklaq baik, suka menolong, ringan tangan untuk membantu sesama, berpengetahuan, berilmu dan kemudian istiqomah menjaga benih-benih kebaikan yang kita tanam kita hingga masa panen tiba, Aki yakin ketika dalam keseharian kita bisa berperilaku baik seperti itu, tanpa iklan, tanpa poster dan tanpa harus menyuap dengan uang, dengan pura-pura memberi karpet, dengan berpura-pura memperbaiki jalan, dengan berpura-pura suka menolong, dengan sendirinya Allah akan menuntun orang-orang yang merasakan budi baik dan jasa kita, untuk memilih kita untuk menjadi wakilnya......” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, kalau kita menyemai bibit padi, insya Allah padi pula yang akan kita tuai, seperti pak tani itu.........” Kata Maula sambil terus memandangi pak tani yang tengah menuai padi dengan riang gembira.
“Benar Nak Mas, apa yang kita tanam, itu yang akan kita tuai, adalah mimpi ketika kita ingin menuai padi tanpa kita bersusah payah menyemai bibitnya terlebih dahulu......” Kata Ki Bijak.
“Dan sepertinya kondisi inilah yang terjadi sekarang ya ki, banyak orang bermimpi, tanpa mau menerima kenyataan ketika mereka terbangun ......” Kata Maula
“Ya Nak Mas, banyak memang dijaman kita ini orang bermimpi terlalu jauh, sehingga kadang ia lupa harus tetap berpijak dibumi, padahal menurut hemat Aki, senikmat-nikmatnya makan roti dalam mimpi, jauh lebih nikmat makan singkong dalam realita.....” Kata Ki Bijak
Maula tersenyum mendengar permisalan gurunya, “Iya ya ki, mau makan pizza, mau makan kentucky, tapi kalau hanya mimpi, untuk apa, tapi meski makan tahu tempe dan lalapan dan sambel dadakan, tapi dalam kenyataan, pasti akan lebih terasa kenyang dan pedasnya ya ki....” Kata Maula.
“Iya Nak Mas, berfikir, bersikap dan bertindak realistis, jauh lebih bijak dari pada kita hidup dalam dunia khayal yang semu, karena salah-salah, khayalan dan mimpi yang terlalu muluk akan menjerumuskan kita pada jurang kehancuran......” Kata Ki Bijak.
“Seperti orang yang terus-menerus mendongak keatas ya ki, hingga ia tidak melihat ada lubang atau jurang didepannya.....” Tambah Maula.
Ki Bijak tersenyum, ia bersyukur dititipi murid yang cerdas seperti Maula, ia banyak berharap bahwa muridnya ini bukan hanya pandai menyerap apa yang ia wejangkan padanya, tapi juga bisa menerapkannya dalam kesehariannya, dan kelak bisa melanjutkan cita-citanya untuk terus berdedikasi pada umat dan agamanya.
Wassalam
April 23,2009
“Apa yang semakin banyak Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.
“Ini Ki, berita tentang para calon legislative yang kalah dan kemudian stress dan bertingkah aneh-aneh, ada caleg yang menarik kembali pemberian karpet ke majelis taklim, karena ia kalah, ada juga yang menarik TV yang sudah didonasikannya kepada para tukang ojek, ada yang berteriak-teriak memaki petinggi partainya, bahkan ada yang gantung diri segala ki, dan tadi pagi, disebuah daerah, penghuni rumah sakit jiwa diberitakan meningkat hingga 300% pasca pemilu kemarin ki.............” Kata Maula.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.......” Guman Ki Bijak pendek.
“Ada fenomena apa ya ki, sehingga mereka yang beberapa waktu sebelumnya, dengan bangga mempromosikan dirinya melalui berbagai poster disepanjang jalan dan diberbagai tempat, sebagai orang ‘hebat’, dengan serentetan gelar yang disandangnya, sehingga ia merasa layak dipilih untuk mewakili rakyat, ternyata sebagian mereka hanya sosok yang rapuh, yang tidak siap menerima kekalahan dengan bijak, yang tidak mampu menguasai dirinya, ana tidak bisa membayangkan bagaimana figur-figur rapuh seperti ini kalau mereka benar-benar menjadi wakil rakyat ya ki........” Kata Maula lagi.
“Wallahu’alam Nak Mas, Aki tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan orang-orang itu, mereka gagah, mereka memiliki harta yang cukup, terbukti mereka mampu membiayai dana kampanye yang menurut Aki cukup banyak jumlahnya, mereka juga berpendidikan, bahkan kalau melihat dari poster yang bertebaran disepanjang jalan kemarin, mayoritas mereka adalah produk perguruan tinggi, jadi kalau ditengah berbagai kelebihan mereka atas masyarakat kebanyakan itu mereka menyimpan kerapuhan, Aki juga sangat heran Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.
“Ki, adakah ‘kerapuhan’ ini berpangkal pada kerapuhan bathiniah sebagian mereka ki....?” Tanya Maula lagi.
“Penjelasan untuk hal itupun memerlukan analisa dan ilmu yang mendalam Nak Mas, hanya dari sudut pandang Aki yang sangat terbatas ini, kecenderungan kearah itu memang benar adanya, lemah atau kuatnya sandaran vertikal seseorang kepada Allah akan sangat berpengaruh pada seberapa kuat bathin atau jiwa seseorang dalam menghadapi ujian, termasuk salah satunya ujian untuk dapat menerima kekalahan, setelah mengeluarkan dana dan tenaga yang cukup besar dalam pemilu kemarin............” Kata Ki Bijak lagi.
“Lemah atau kuatnya sandaran vertikal seseorang akan berpengaruh pada kualitas jiwa seseorang ki...?” Tanya Maula lagi.
“Benar Nak Mas, keimanan yang kokoh, aqidah yang kuat, merupakan sandaran vertikal yang sangat kuat untuk menopang kekuatan jiwa seseorang, semakin keimanan dan akidah seseorang itu baik, maka insya Allah akan semakin kuat pula jiwanya, sebaliknya, ketika akidah dan keimanan seseorang itu kurang baik, maka kekuatan jiwanya tidak akan setangguh mereka yang memiliki akidah dan keimanan yang baik.......” Kata Ki Bijak.
Maula terdiam sejenak, “Ana masih belum mengerti ki..........” Katanya sejurus kemudian.
“Begini Nak Mas, ketika seseorang memiliki keimanan dan keyakinan bahwa harta yang ada padanya hanya merupakan titipan dari Allah, ketika seseorang memiliki keimanan bahwa pangkat, kedudukan dan jabatan adalah juga merupakan amanah dari Allah, dan kemudian harta, jabatan dan kedudukan yang mereka ingini itu belum Allah percayakan kepadanya, apa yang perlu mereka sesalkan kalau kemudian hal itu luput dari mereka, kalau Allah menghendaki seseorang untuk berada pada posisi tertentu, maka tidak ada satupun kekuatan yang akan menghalanginya,sebaliknya ketika amanah itu belum Allah berikan kepada kita, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat memberikannya kepada kita...., Nah kesadaran dan keyakinan seperti ini sangat penting untuk meredam gejolak bathiah yang berlebihan, seperti stres, merasa tertekan dan lainnya.....” Kata Ki Bijak.
“Ana sependapat ki, jadi kekuatan bathiniah seseorang tidak semata dipengaruhi oleh gelar dan pendidikan yang tinggi saja ya ki, tapi justru sangat dipengaruhi oleh keimanan dan keyakinan seseorang ya ki......” Kata Maula.
“Pendidikan yang tinggi itu juga perlu Nak Mas, hanya ketika pendidikan yang tinggi yang kurang diimbagi dengan ketinggian keimanan, maka efek positifnya tidak akan berfungsi maksimal terhadap kekuatan bathiniah seseorang.......” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki...........” Kata Maula, sambil mengangguk tanda mengerti.
“Lalu kalau boleh Aki berpendapat, sekarang ini ada kecenderungan persepsi yang sedikit ‘keliru’ dari sebagian orang mengenai pangkat dan jabatan, sebagian orang berpendapat bahwa kedudukan, pangkat dan jabatan berbanding lurus dengan kehormatan dan kemuliaan seseorang, sehingga mereka berlomba-lomba untuk meraihnya dengan berbagai cara, bahkan sebagian mereka ‘lupa’ untuk berhitung tentang ‘kekuatan’ dirinya, mereka ingin meraihnya secara instan, ikut partai, mencalonkan diri dan kemudian menjadi anggota dewan, mereka lupa dengan sunatullah bahwa sebelum menuai kita harus terlebih menanam......., mereka juga lupa bahwa jabatan, pangkat dan kedudukan adalah amanah yang sangat berat, yang akan dimintakan pertanggung jawaban dimahkamah robbul izzati kelak.......” Kata Ki Bijak.
Maula manggut-manggut, “Budaya instant...., menarik sekali ki, ingin serba cepat tanpa perlu menunggu lama, tanpa berhitung untuk ruginya.....ya mungkin seperti itu ya ki.....” Kata Maula.
“Kalau kita bisa mendapatkan sesuatu yang instan, itu tidak menutup kemungkinan Nak Mas, tapi tidak bisa kemudian kita mengeneralisasi bahwa semuanya bisa kita dapat dengan instan, Nak Mas lihat pak tani yang tengah menuai padi itu..............” Kata Ki Bijak sambil menunjuk kearah sawah yang tengah dipanen.
“Iya ki...........” Kata Maula sambil menoleh kearah yang ditunjukan gurunya.
“Sebelum hari ini, sebelum pak tani itu menuai padinya, pak tani terlebih dahulu harus menggemburkan lahan yang akan ditanami, menyemai benih padi, kemudian pak tani menanamnya, menyianginya dari rerumputan, memupuknya agar tumbuh subur dan menjaganya dari hama yang mungkin akan merusaknya, perlu waktu, perlu tenaga, perlu perhatian, perlu kesungguhan, perlu dedikasi, perlu pengorbanan, perlu kesabaran, sebelum kemudian tiba waktunya padi itu dapat dituai......” Kata Ki Bijak.
“Iya ki......” Kata Maula pendek.
“Pun demikian dengan kita Nak Mas, adalah bijak ketika kita ingin menuai hasil yang maksimal, seperti ingin menjadi anggota dewan, jauh-jauh hari kita harus ‘menanam’ benih-benihnya, kita harus pandai bersosialisasi dengan lingkungan sekitar kita, kita harus berperilaku dan berahklaq baik, suka menolong, ringan tangan untuk membantu sesama, berpengetahuan, berilmu dan kemudian istiqomah menjaga benih-benih kebaikan yang kita tanam kita hingga masa panen tiba, Aki yakin ketika dalam keseharian kita bisa berperilaku baik seperti itu, tanpa iklan, tanpa poster dan tanpa harus menyuap dengan uang, dengan pura-pura memberi karpet, dengan berpura-pura memperbaiki jalan, dengan berpura-pura suka menolong, dengan sendirinya Allah akan menuntun orang-orang yang merasakan budi baik dan jasa kita, untuk memilih kita untuk menjadi wakilnya......” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, kalau kita menyemai bibit padi, insya Allah padi pula yang akan kita tuai, seperti pak tani itu.........” Kata Maula sambil terus memandangi pak tani yang tengah menuai padi dengan riang gembira.
“Benar Nak Mas, apa yang kita tanam, itu yang akan kita tuai, adalah mimpi ketika kita ingin menuai padi tanpa kita bersusah payah menyemai bibitnya terlebih dahulu......” Kata Ki Bijak.
“Dan sepertinya kondisi inilah yang terjadi sekarang ya ki, banyak orang bermimpi, tanpa mau menerima kenyataan ketika mereka terbangun ......” Kata Maula
“Ya Nak Mas, banyak memang dijaman kita ini orang bermimpi terlalu jauh, sehingga kadang ia lupa harus tetap berpijak dibumi, padahal menurut hemat Aki, senikmat-nikmatnya makan roti dalam mimpi, jauh lebih nikmat makan singkong dalam realita.....” Kata Ki Bijak
Maula tersenyum mendengar permisalan gurunya, “Iya ya ki, mau makan pizza, mau makan kentucky, tapi kalau hanya mimpi, untuk apa, tapi meski makan tahu tempe dan lalapan dan sambel dadakan, tapi dalam kenyataan, pasti akan lebih terasa kenyang dan pedasnya ya ki....” Kata Maula.
“Iya Nak Mas, berfikir, bersikap dan bertindak realistis, jauh lebih bijak dari pada kita hidup dalam dunia khayal yang semu, karena salah-salah, khayalan dan mimpi yang terlalu muluk akan menjerumuskan kita pada jurang kehancuran......” Kata Ki Bijak.
“Seperti orang yang terus-menerus mendongak keatas ya ki, hingga ia tidak melihat ada lubang atau jurang didepannya.....” Tambah Maula.
Ki Bijak tersenyum, ia bersyukur dititipi murid yang cerdas seperti Maula, ia banyak berharap bahwa muridnya ini bukan hanya pandai menyerap apa yang ia wejangkan padanya, tapi juga bisa menerapkannya dalam kesehariannya, dan kelak bisa melanjutkan cita-citanya untuk terus berdedikasi pada umat dan agamanya.
Wassalam
April 23,2009