Wednesday, January 12, 2011

ARTI KEKAYAAN

Maula tengah duduk dibale bambu, didepan pondokan gurunya, ketika sang guru datang dan mengucapakn salam, hingga membuyarkan lamunannya,

“Assalamu’alaikum…, Maaf Nak Mas, Aki tadi sedang tadarus…..” Kata Ki Bijak sambil menjelaskan kenapa ia agak lama menemui Maula.

“Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh….., Aki……, tidak apa-apa ki, lagi pula ana belum lama datang…..” Jawab Maula sambil bergegas bangun menyalami gurunya.

Setelah kedua orang guru dan murid itu sama-sama duduk dibale bambu, mereka terlibat percakapan yang nampak mengasyikan;

“Nak Mas…, Nak Mas sepertinya ingin menyampaikan sesuatu…?” Tanya Ki Bijak, demi melihat Maula yang tampak sedang memperhatikan sesuatu.

“Eeghh…, iya Ki…..”Kata Maula agak ragu.

“Mengenai apa Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak dengan suara lembut.

“Ki…., bale bambu ini, berada ditempati ini, sejak ana pertama kali bertemu Aki, atau bahkan mungkin jauh sebelum ana datang kepondok Aki ini……” Kata Maula berhati-hati.

“Ya Nak Mas…..” Ki Bijak masih menunggu penuturan selanjutnya dari Maula.

“Lalu meja ini pun, masih seperti dulu, rak buku ini, alas dan juga yang lainnya sama sekali belum ganti…, Aki tidak ingin menggantinya Ki…..?” Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula; “Nak Mas, Aki sudah sangat senang memiliki bale bambu, meja dan perabotan seperti sekarang ini Nak Mas, lagi pula bale bambu dan perabotan ini adalah kenang-kenangan dan saksi setiap kali Aki dan Nak Mas berdiskusi dan berbagi dalam berbagai hal, jadi Aki tidak punya alas an untuk menggantinya…..” Kata Ki Bijak.

“Ki…, mohon maaf sebelumnya, bagaimana kalau ana yang mengganti perabotan ini dengan yang baru….?” Tanya Maula, masih dengan nada penuh kehati-hatian.

Ki Bijak kembali tersenyum mendengar tawaran Maula, “Aki mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan keinginan Nak Mas untuk memperbaharui perabotan Aki ini, tapi Aki tidak mau merepotkan Nak Mas…., Nak Mas masih memiliki banyak keperluan dan kebutuhan yang harus Nak Mas penuhi…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Ki…., ana datang ketempat Aki ini, sejak ana belum bekerja, belum mempunyai penghasilan, dan sekarang, Alhamdulillah, ana sudah kerja, ana sudah memiliki penghasilan yang lumayan, dan ana fikir ana bisa membelikan Aki perabotan yang baru ki…..” Kata Maula.

Lagi-lagi Ki Bijak tersenyum, “Belum saatnya Nak Mas…, belum saatnya Nak Mas membantu Aki secara materi, Aki sudah merasa cukup dengan yang ada sekarang, lagi pula, Aki jauh ‘lebih kaya’ dari Nak Mas….” Kata Ki Bijak sedikit bergurau dengan mengatakan bahwa dirinya lebih kaya dari Maula, muridnya.

“Ki….,mohon maaf sebelumnya…, ana sekarang sudah punya motor, punya rumah, punya penghasilan, dan memiliki tabungan yang lumayan, meski pun tidak bisa dibilang kaya, tapi ana fikir secara materi ana ‘sedikit’ lebih baik dari Aki….” Kata Maula, menanggapi ketidak mengertiannya, bagaimana mungkin gurunya bisa mengatakan bahwa Ki Bijak ‘lebih kaya’ darinya.

Dengan nada penuh kebijaksanaan, sang guru menjawab dengan arif; “Nak Mas…, benar materi dan penghasilnan Nak Mas sekarang lebih banyak dari Aki, tapi orang ‘kaya’ bukanlah orang yang miliki materi dan penghasilan lebih banyak Nak Mas, orang kaya adalah orang yang kebutuhannya lebih sedikit dari penghasilannya…….., itulah kenapa Aki mengatakan Aki lebih kaya dari Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.

Maula terdiam sejenak mendengar pitutur gurunya; “orang ‘kaya’ bukanlah orang yang miliki materi dan penghasilan lebih banyak Nak Mas, orang kaya adalah orang yang kebutuhannya lebih sedikit dari penghasilannya ki…..?” Tanya Maula beberapa saat kemudian.

Ki Bijak mengangguk, “Nak Mas, Aki sangat senang dan bersyukur Nak Mas memiliki penghasilan yang lumayan, tapi kebutuhan Nak Mas sekarang ini masih sangat banyak, Nak Mas harus membiayai sekolah putra-putri Nak Mas, Nak Mas harus membantu adik-adik Nak Mas, Nak Mas juga masih memiliki banyak cita-cita dan keinginan yang belum Nak Mas capai, seperti kemarin Nak Mas katakan pada Aki, Nak Mas ingin memiliki mobil, Nak Mas ingin melanjutkan kuliah, Nak Mas ingin pergi ketanah suci, dan masih banyak lagi kebutuhan yang harus Nak Mas penuhi, sehingga penghasilan Nak Mas yang ‘lumayan’ itu belum cukup untuk menutupi semua kebutuhan Nak Mas, karena kebutuhan Nak Mas lebih banyak dari penghasilan yang Nak Mas perolah sekarang ini…..”

“Sementara Aki…., Aki tidak mempunyai penghasilan tetap, dan kalaupun dapat, pendapatan Aki pasti jauh lebih kecil dari yang Nak Mas dapat…., tapi dengan pendapatan seperti itu, Aki sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, Aki tidak punya keinginan untuk beli mobil, Aki tidak ingin mengganti perabotan ini, Aki juga tidak ingin pergi tamasya, Aki juga sudah sangat bersyukur bisa makan dengan lauk pauk yang Aki dapat dari kebun dan kolam Aki….., sehingga pendapatan Aki yang ‘kecil’, cukup untuk menutupi semua kebutuhan Aki, karenanya Aki katakan tadi, Aki ‘lebih kaya’ dari Nak Mas, karena kebutuhan Aki lebih kecil dari pendapatan Aki…., Nak Mas mengerti maksud Aki….?” Kata Ki Bijak lagi.

Maula terdiam merenungi setiap untai kata gurunya; ia membenarkan apa yang baru saja dikatakan Ki Bijak, bahwa meskipun penghasilannya saat ini tergolong lumayan, tapi kebutuhannya juga masih sedemikian banyak, ingin punya mobil, ingin bisa tamasya, ingin makan enak, ingin pakaian bagus, ingin kuliah lagi, ingin punya rumah lagi, ingin menyekolahkan anaknya, dan masih banyak keinginan yang ia miliki saat ini…..

“Jadi ana masih ‘miskin’ ya ki…..?” Katanya kemudian.

“Nak Mas akan segera menjadi orang ‘kaya’, begitu Nak Mas bisa menata keinginan-keinginan Nak Mas itu agar sesuai dengan penghasilan Nak Mas sekarang, insya Allah, jika keinginan-keinginan Nak Mas ditata, disesuaikan dan tidak didasari oleh nafsu dan ambisi yang berlebih, Nak Mas akan menjadi orang yang jauh lebih kaya dari Aki……” kata Ki Bijak menghibur.

“Menata keinginan ya ki…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, misalnya kalau Nak Mas ingin pergi ke tanah suci, ya itu saja dulu yang Nak Mas utamakan, sementara keinginan untuk membeli mobil, punya rumah baru dan lainnya, Nak Mas tempatkan para urutan berikutnya, insya Allah Nak Mas akan jauh lebih kaya dan lebih bahagia dari sekarang….” Kata Ki Bijak lagi.

Maula menghela nafas panjang, ia membenarkan apa yang barusan diutarakan gurunya,bahwa sekarang ini ia agak ‘terbebani’ dengan banyaknya keinginan yang ingin ia capai sekaligus……., ”Terima kasih Ki….., sekarang ana menjadi lebih ‘nyaman’ dengan apa yang Aki nasehatkan tadi, memang benar, ana kadang terlalu ambius dalam mengejar keinginan ana……..” Katanya kemudian.

“Keinginan juga sebenarnya bagus Nak Mas, selama kita bisa me-manage-nya dengan baik, keinginan bisa menjadi penggerak dan penambah semangat kita dalam bekerja, hanya Aki ingatkan sekali lagi bahwa jangan sampai keinginan-keinginan itu membelenggu kita untuk bisa hidup bahagia dan menjadi orang yang merdeka dari perbudakan oleh keinginan-keinginan kita yang tidak terkendali……” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki… , terima kasih…..” Kata Maula, sambil kembali mempehatikan bale bambu dna meja yang ternyata merupaka ‘kekayaan dan harta’ gurunya yang tidak ternilai harganya, sebuah bale bambu yang menjadi symbol rasa syukur dan kebijaksanaan gurunya dalam memaknai hakekat kekayaan…………., bahwa orang kaya bukanlah orang yang memiliki materi lebih banyak, bahwa orang kaya adalah orang yang mampu mensyukuri setiap nikmat yang ia terima, bahwa orang kaya adalah orang yang kebutuhannya lebih kecil dari pendapatannya……..

Wassalam

January 12,2011

Tuesday, January 11, 2011

DARI CERITA SI KANCIL DAN RAJA RIMBA

“Kenapa Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak melihat Maula tersenyum-senyum sendiri.

“Oooh ini ki…, ana teringat cerita kancil dan singa yang ana bacakan untuk Ade semalam…..” Kata Maula.

“Memangnya kenapa dengan cerita kancil dan singa tersebut Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Iya ki, dalam cerita itu dikisahkan seekor singa yang tertipu oleh kancil…., kancil memperdaya singa dengan mengatakan bahwa ada lawan yang sepadan yang menantangnya untuk bertarung.., sang singa, yang merasa bahwa dirinyalah yang paling hebat dan paling berkuasa diseantero rimba, langsung marah dan menanyakan dimana sang penantang tersebut…., si kancil mengatakan bahwa sang penantang berada disebuah sungai bening dipinggiran hutan…., dan tanpa berfikir panjang, segera saja singa berlari menuju sungai dimaksud, sang singa menyebrangi sebuah jembatan kayu dan mencari-cari sang penantang didalam sungai seperti yang dikatakan sikancil….;

“Dan ketika singa melihat kedalam air, ia melihat bayangan yang menyerupi dirinya, singa itu mengaum keras, menunjukan bahwa ia tidak takut dengan bayangan tersebut.., tapi alangkah terkejutnya singa, ketika bayangan itupun membuka mulutnya dan menampakan taringnya yang tajam…, singa yang merasa ditantang sedemikian rupa, segera menyerang bayangan tersebut, singa itu terjun kesungai……, byuuur, sang singa basah kuyup terkena air sungai, sementara bayangan yang menantangnya menghilang entah kemana, tinggallah kini singa yang kedinginan dan bingung kemana perginya sang penantang tadi…….” Kata Maula menceritakan dongeng anak-anak yang biasa ia ceritakan untuk menidurkan anaknya.

“Waah…, Nak Mas pandai sekali membawakan ceritanya…, isinya pun menurut Aki sangat bagus, selain menghibur, juga mengandung nilai-nilai edukasi yang juga bagus, tidak saja bagi Ade dan anak-anak, tapi juga bagi kita orang tua, bisa memetik pelajaran dari cerita-cerita seperti ini….” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, Ade seneng banget kalau dibacain cerita seperti ini…, Ki…, tadi Aki bilang cerita kancil dan singa ini juga mengandung nilai edukasi bagi orang dewasa ki…?” Tanya Maula penasaran.

Ki Bijak mengangguk, “ Benar Nak Mas, cerita ini sangat bagus dan inspiratif, Aki salut kepada penulisnya…, coba sekarang Nak Mas fikir, kenapa singa itu sampai tercebur kesungai setelah melihat bayangan didalam air…..?” Tanya Ki Bijak.

Maula yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu menjawab dengan agak gagap, “Mungkin..karena singa tidak pernah bercermin Ki, sehingga dia tidak tahu bayangan sendiri dan bahkan menganggapnya sebagai musuh yang harus diperanginya…..” Kata Maula sedapatnya.

Namun tanpa diduga, Ki Bijak justru membenarkan jawaban Maula; “Benar Nak Mas, singa harus basah kuyup dan kedinginan karena dia tidak pernah ‘bercermin’, singa tidak pernah mengenal siapa dirinya……” Kata Ki Bijak.

Maula menunggu kelanjutan pitutur Ki Bijak, karena sekali lagi ia tidak menyangka bahwa jawabannya yang asal-asalan tadi, justru dibenarkan gurunya;

“Singa itu tidak pernah bercermin, sehingga ia tidak tahu seperti apa rupanya, singa itu tidak pernah tahu, siapa dirinya, singa itu tidak pernah tahu sekuat apa ia, singa pun tidak pernah tahu dimana kelemahannya, dan karena ketidaktahuannya ini, singa dengan sangat mudah diperdaya sikancil, karena ketidak tahuannya inilah kemudian singa harus basah kuyup, harus kedinginan dan harus menahan lapar karena gagal memangsa kancil yang memperdayanya…., dan inti dari muatan cerita ini dalam hemat Aki adalah betapa pentingnya kita mengenal diri kita sendiri, dengan cara ‘bercermin’ salah satunya Nak Mas…..” Kata Ki Bijak lagi.

Maula baru mengerti kearah mana penuturan Ki Bijak mengarah, yakni pentingnya mengenal diri dengan baik.

Setelah hening beberapa saat, Ki Bijak melanjutkan pituturnya, “Nak Mas, bukan hanya singa didalam cerita tadi yang tidak pernah bercermin dan tidak mengenal dirinya dengan baik yang berakibat pada kerugian baginya, tapi juga kita…, masih banyak diantara kita yang tidak ‘tahu diri’, tidak mengenal dirinya dengan baik….,

“Orang sombong…, adalah salah satu ciri orang yang tidak mengenal dirinya, seandainya dia tahu dari apa diciptakan, seandainya dia tahu betapa manusia adalah mahluk yang lemah, seandainya dia tahu bahwa dia tidak akan bisa hidup tanpa orang lain, seandainya dia tahu bahwa hidupnya singkat, bahwa dia akan mati, bahwa dia akan menjadi sesosok bangkai, bahwa ia akan menjadi santapan cacing tanah, maka siapapun dia, tidak mungkin dia akan berani menyombongkan dirinya…., sayangnya sekali lagi sedikit sekali orang yang mau mentafakuri siapa dirinya, sehingga ia menjadi sombong karena hartanya, ia menjadi sombong karena kecantikan dan ketampanannya, ia menjadi sombong karena kedudukan dan jabatannya, pada semua itu hanya sementara, persis seperti singa yang merasa paling hebat dan paling berkuasa yang akhirnya tertipu oelh sikancil……..” Kata Ki Bijak mencontohkan.

Maula menghela nafas panjang mendengar percontohan yang diutarakan Ki Bijak;

“Benar Ki….., banyak orang menyombongkan kelebihan yang dimilikinya, padahal semuanya itu hanyanya titipan yang pada akhirnya akan diambil kembali oleh pemiliknya yang hakiki…..” Kata Maula.

“Dan Nak Mas tahu akibat kesombongan..? seperti singa tadi, karena kesombongannya, ia tidak bisa berfikir jernih, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tidak bisa menerima kebenaran, mudah marah, mudah tersinggung, mudah sakit hati, mudah ngambek, mudah menyalahkan orang lain, suka cara kambing hitam untuk menutupi kebodohannya……, pun dengan kita, sekali kita dihinggapi kesombongan karena ketidak tahuan kita pada diri sendiri, maka kecelakaanlah yang menanti kita, seperti singa yang basah kuyup tercebur sungai karena mengira bayangannya adalah musuhnya…., seperti kita yang sering ‘salah’ dalam menilai seseorang, orang yang berniat baik pada kita dimusuhi, sementara orang yang berniat tidak baik malah dijadikan teman……” Kata Ki Bijak lagi.

“Benar ki…., seperti orang islam yang takut pada orang islam lainnya, karena yang satu berjenggot lebat, pakai gamis dan kopiah, sementara orang kafir, yang jelas-jelas memiliki misi untuk golongan mereka, dijadikan teman……” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, seperti itu…..” Kata Ki Bijak.

“Lalu bagaimana caranya kita mengenali diri kita dengan baik ki…..?” Tanya Maula.

“Seperti Nak Mas tadi katakan, kita harus ‘bercermin’ agar kita bisa tahu seperti apa rupa kita, dan kita memiliki dua cermin sebagai sarana kita untuk mengenal diri dengan baik, cermin yang pertama, disini, dan cermin yang kedua ada disekitar kita….; Kata Ki Bijak sambil menunjuk dadanya.

“Cermin kita disini dan disekitar kita Ki…?” Tanya Maula sambil menirukan gerakan telunjuk Ki Bijak menunjuk dadanya.

“Benar Nak Mas, hati kita adalah cermin kita, hati kita adalah tempat kita bertanya mana yang baik dan mana yang buruk, hati kita adalah tempat kita berkaca manusia jenis apa kita ini….., adakah kita orang sombong, adakah kita orang rakus…., atau adakah kita orang yang patuh dan taat terhadap perintah Allah…?, teruslah berkaca dan bercermin pada hati kita, tanyakan pada hati kita, darimana kita berasal, dimana kita sekarang berada, dan akan kemana kita kembali kelak……, insya Allah ketika kita tahu bahwa kita adalah mahluk Allah yang diciptakan untuk semata mengabdi kepadaNya dengan sepenuh keikhlasan, niscaya kita tidak akan terjebak pada ‘kebodohan-kebodohan’ yang tidak perlu seperti singa dalam cerita yang Nak Mas katakan tadi….” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti Ki…, lalu apa cermin yang ada disekitar kita Ki….?” Tanya Maula lagi.

“Kita bisa bercermin pada orang-orang disekitar kita Nak Mas….., bisa istri, bisa anak, bisa teman, bisa atasan, bisa bawahan…., bagaimana sikap mereka terhadap kita adalah ‘pantulan’ dari bagaimana kita sikap kita pada mereka…..” Kata Ki Bijak.

“Ana masih belum paham Ki….” Kata Maula.

“Begini Nak Mas, kalau kita berlaku santun pada orang-orang disekitar kita, insya Allah merekapun akan memantulkan kesantunan yang sama pada kita….”

“Kalau kita menyayangi orang-orang sekitar kita, insya Allah merekapun akan menampilkan kasih sayang yang sama pada kita…,

“Kalau kita lemah lembut, kalau kita penyabar, kalau kita suka membantu, kalau kita ramah, insya Allah itu pulalah yang akan mereka tampilkan pada kita…,

“Sebaliknya, kalau kita mudah marah, cepat tersinggung, tidak respek pada orang lain, acuh tak acuh, sombong, angkuh, suka iri dan dengki, itu pulalah yang akan orang lain tampilkan pada kita…., singkatnya apa yang kita lakukan, itu pulalah yang akan terlihat dari sikap orang pada kita…., bagaimana sikap kita pada orang lain, seperti iu pulalah sikap orang pada kita…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Jadi intinya pengenalan dan penguasaan diri itu sangat penting Nak Mas, karena dengan mengenal diri, kita akan memiliki control internal yang baik, yang insya Allah akan menyelamatkan kita dari kerugian yang tidak perlu….”Tambah Ki Bijak.

“Iya ki….., ana tidak menyangka bahwa cerita untuk Ade ternyata juga merupakan sebuah pelajaran bagi ana Ki……” Kata Maula.

“Ya Nak Mas…., sekali lagi kita bisa belajar dari mana pun, kapanpun dan dari siapapun, hanya diperlukan kepekaan kita untuk menangkap pesan yang kadang tidak tersurat secara jelas, melainkan tersirat dari rangkaian kata atau kejadian yang kita temukan….” Kata Ki Bijak.

“Iya ki……” Jawab Maula mengakhiri perbincangan.

Wassalam

January 10,2011

Monday, January 10, 2011

ANTARA ADZAN DAN WAKTU SHALAT

“Hidup kita didunia ini singkat Nak Mas, bahkan sangat singkat Nak Mas, hidup kita didunia ini tidak lebih dari ‘waktu adzan hingga menunggu waktu shalat tiba’…..” Kata Ki Bijak dalam suatu kesempatan.

“Waktu hidup kita didunia tidak lebih dari waktu adzan hingga menunggu waktu shalat tiba ki…?” Tanya Maula belum paham.

“Ya Nak Mas…, orang-orang tua kita dulu, dengan sangat cerdik menggambarkan singkatnya perjalanan seorang anak manusia didunia ini, dengan sebuah symbol, yaitu dengan mengadzani bayi ketika baru lahir…….” Kata Ki Bijak menghentikan penjelasannya sehingga membuat Maula penasaran.

“Lalu ki….?” Tanya Maula tidak sabar.

“Lalu ketika seseorang meninggal, maka ia akan dishalatkan, shalat jenazah namanya, Nak Mas perhatikan, ketika kita lahir, kita diadzani, kemudian ketika kita meninggal, kita dishalati, bukankah ini sebuah ‘nasehat’ yang sangat bagus untuk menggambarkan betapa singkatnya hidup ini, kehidupan kita didunia ini berkisar antara saat adzan dan waktu shalat tiba…….” Kata Ki Bijak melanjutkan.

“Subhanallah…., benar ki…., betapa singkatnya hidup ini…, waktu antara adzan dan waktu shalat itu tidak pernah lebih dari setengah jam ki…., paling-paling lima hingga sepuluh menitan…..” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, waktu antara adzan hingga waktu shalat tiba hanya sekitar lima sampai sepuluh menitan, waktu yang sangat singkat……., pernah Nak Mas perhatikan apa yang dilakukan kebanyakan orang yang sedang menunggu datangnya waktu shalat setelah adzan berkumandang…?” Tanya Ki Bijak.

“Macam-macam ki…, ada yang melaksanakan shalat qobliyah, ada yang dzikir, tapi banyak pula yang bercanda, bersenda gurau, ledek-ledekan, bahkan ada yang tertawa-tawa dan ngobrol seperti dipasar……” Kata Maula.

“Apapun aktivitasnya, baik itu dia melaksanakan shalat sunnah, baik itu dia dzikir, baik itu dia bercanda, bersenda gurau,ledek-ledekan atau bahkan tertawa dan ngobrol, tapi saat shalat tiba, dia harus mengakhirinya setelah imam bertakbir….., Nak Mas tahu yang Aki maksud….?” Tanya Ki Bijak.

Maula diam sejenak, mencoba mencerna apa yang dimaksud gurunya, “Mungkin itu gambaran dalam kehidupan kita ya ki…., sejak kita dilahirkan, menjadi sesosok bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan kemudian menjadi tua, setiap orang melakukan berbagai aktivitas berbeda-beda dalam mengisi waktu hidupnya…,

“Ada yang menggunakan waktunya untuk mengabdi kepada Allah, beribadah, menunaikan rukun islam dengan baik dan benar, beramal shaleh dan lainnya….,

“Disisi lain, ada orang yang menggunakan masa hidupnya untuk berfoya-foya, bersenda gurau, bahkan tidak jarang yang menghabiskan waktu hidupnya untuk bermaksiat, baik itu bermaksiat kepada Allah, pun juga banyak orang yang menghabiskan masa hidupnya untuk bermaksiat kepada sesama manusia……., Bukan begitu ki…” Kata Maula.

Ki Bijak mengangguk, “Lalu Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak kemudian.

“Lalu, terlepas dari apapun yang dilakukan oleh masing-masing manusia dalam mengisi kehidupannya, suatu saat nanti, saat dishalatkan itu akan tiba, saat kematian itu pasti datang kepada siapapun, dan ketika saat kematian itu datang, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri atau menyesal, karena itu sudah terlambat…” Kata Maula.

“Tepat Nak Mas…., saat kita dishalatkan itu pasti datang, terlepas dari bagaimana kita ‘menunggu’ dan menghabiskan waktu kita dari kita diadzani hingga waktu kita dishalatkan itu tiba….., maka merugilah mereka yang menghabiskan waktu antara adzan dan waktu dishalatkan itu dengan bercanda, dengan bersenda gurau, dengan main-main, karena waktu tidak akan menunggu, sekali ia datang, maka tidak akan ada sesuatu pun yang akan menghalanginya….”

“Sebaliknya, ‘beruntunglah’ mereka yang menunggu saat-saat waktu dishalatkan itu tiba dengan ibadah, dengan berdzikir, dengan beramal shaleh, dan berbuat kebajikan, insya Allah kelompok ini termasuk golongan orang-orang yang akan berbahagia setelah waktu dishalatkannya, karena mereka akan mendapatkan kelapangan dialam kuburnya, dan insya Allah diakhirat pun mereka akan beroleh kebahagiaan, sebagai balasan atas kebajikan yang mereka lakukan semenjak adzan dikumandangkan hingga waktu dishalatkan tiba…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Adzan hingga waktu shalat………, waktu yang sangat sekali….” Kata Maula setengah berguman.

“Ya Nak Mas…., nanum diantara singkatnya waktu tersebut, sesungguhnya waktu antara adzan dan iqomah dan kemudian shalat, itu adalah waktu mustajab untuk kita bermunajat kepada Allah, sebagaimana hadits dari Anas Bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda,” Do’a tidak akan ditolak antara adzan dan iqomat” ( Sunan Abu Daud kitab sholat 1/144 No. 521, Sunan At Tirmizi bab Jamiud Da’awat 13/87, Sunan Al Baih kitab Sholat 1/410 )……”Kata Ki Bijak lagi.

“Artinya apa ki…?” Tanya Maula.

“Aki tidak bermaksud mentafsirkan hadits ini kalau Aki mengatakan bahwa ini juga sebuah tamsil bahwa kehidupan dunia yang singkat ini dapat menjadi sesuatu yang sangat berharga bila kita pandai memanfaatkannya, dunia ini tempat kita berladang dan bercocok tanam ‘kebajikan’, yang jika kita pandai menjaga dan merawatnya, maka hasil panen kebajikan ini adalah sebuah bekal yang sangat berharga untuk kita hidup dialam keabadian nanti……,

“Mungkin masa hidup umat baginda Rasul ini tidak sepanjang umat-umat terdahulu, hanya berkisar antara 60 sampai 70 tahun saja, sangat singkat jika dibanding dengan umat Nabi Nuh yang mencapai 900 tahunan, tapi justru inilah yang membuat ‘perbedaan’ antara umat baginda Rasul dengan umat sebelumnya, bahwa dengan usia yang sangat singkat ini, umat Rasul diberi ‘fasilitas’ untuk memasuki surganya Allah terlebih dahulu…, dengan catatan itu tadi, fasilitas itu akan diberikan kepada mereka yang bisa menggunanakan waktu hidupnya dengan penuh kehati-hatian, penuh pengabdian kepada Allah swt dengan menjalankan semua perintahNya semampu yang kita bisa, dan meninggalkan laranganya dengan sungguh-sungguh dengan segenap kemampuan kita….., mulai dari kita diadzani, hingga kita dishalatkan…, insya Allah hidup yang singkat ini akan menjadi berharga bagi kehidupan kita sekarang, didunia, pun dan kehidupan kita diakhirta kelak…….” Kata Ki Bijak lagi.

Maula terdiam, merenungi singkatnya waktu antara adzan dan shalat, merenungi sudah berapa lama waktu yang ia habiskan semenjak ia lahir dan dikumandangkan adzan ditelinga kanannya……, sekarang entah berapa lama lagi waktu yang tersisa hingga waktu dishalatkan itu kan tiba….”

“Yaa Rabb……, berilah hamba kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat umur yang Engkau berikan ini, dengan semata mengabdi kepadaMu, dan ampuni jika ada waktu-waktu yang Engkau berikan, terbuang sia-sia karena kedhaian hamba…..” Maula bermunajat kepada Allah swt.

“Amiiin…….” Sambut Ki Bijak, membiarkan Maula tenggelam dalam dzikirnya.

Wassalam

January 09,2010

Tuesday, January 4, 2011

KISAH SEDIH DARI JEPARA

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un………….” Kata Ki Bijak dan Maula hampir berbarengan demi membaca berita yang sangat memilukan:

KOMPAS.com – Enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, meninggal dunia diduga akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon.

Orangtua korban, Jamhamid (45), di Jepara, Senin (3/1/2011), membenarkan, keenam korban meninggal yang diduga akibat mengonsumsi tiwul tersebut merupakan anaknya dari tujuh orang bersaudara.

"Awalnya, yang meninggal dua orang, yakni Lutfiana (22) dan Abdul Amin (3) di Rumah Sakit Umum Daerah Kartini Jepara, masing-masing meninggal pada Sabtu (1/1/2011) pagi dan Sabtu malam," ujarnya.

Korban Lutfiana yang merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara dimakamkan Sabtu siang, sedangkan jenazah Abdul Amin dimakamkan Minggu (2/1/2011). Pemakaman pada hari yang sama juga dilakukan untuk korban Ahmad Kusrianto (5) anak nomor enam dan Ahmad Hisyam Ali (13) anak nomor empat.

Sedangkan anak nomor lima dan tiga, yakni Saidatul Kusniah (8) dan Faridatul Solihah (15) yang meninggal Senin dini hari dimakamkan pada hari ini sekitar pukul 11.00 WIB. Dia mengakui, keluarganya mulai mengonsumsi tiwul sebagai makanan alternatif sejak dua pekan terakhir, mengingat penghasilannya sebagai penjahit di Semarang kurang mencukupi kebutuhan keluarga.

Suasana hening untuk beberapa lama, kedua orang guru dan murid itu masing-masing larut dengan perasaan yang berkecamuk didalam dada dan fikiran mereka, ‘betapa sebuah ironi terjadi, didalam sebuah negeri yang subur makmur, kekayaan alamnya yang berlimpah, bahkan sebagaian warganya adalah orang-orang yang kelebihan uang, sehingga mereka tidak segan-segan menghamburkan uang jutaan bahkan puluhan juta hanya untuk berpestafora merayakan tahun, justru ada masyarakat lain yang harus makan tiwul (singkong/ubi jalar yang dikeringkan), dan akhirnya meninggal karena keracunan tiwul yang dikonsumsinya….?”


“Ki……,belum lama berselang kan Negara kita setidaknya dilanda tiga bencana besar, tanggal 4 Oktober 2010, banjir bandang melanda wasior ditanah Papua, yang menewaskan tidak kurang dari 158 warga disana, da menelan kerugian material tidak kurang 278 milyar rupiah..”

“Kemudian tanggal 25 Oktober 2010, gempa bumi dna tsunami menyapu kepulauan mentawai, 500 orang tewas, 100 orang lebih dinyatakan hilang, ditambah dengan korban luka yang entah berapa jumlahnya…..”

“Disusul kemudian erupsi gunung merapi pada tanggal 28 Oktober 2010, korbannya diperkirakan 600 orang, dengan 270 ribu jiwa harus mengungsi dengan keadaan yang serba kekurangan…..”

“Dan sekarang, ada 6 orang dari satu keluarga meninggal karena ‘makanan tidak layak’ yang dikonsumsinya, persis dihari pertama tahun baru, yang pada malamnya, sebagian orang bersorak sorak, berpestafora, menghabiskan uang untuk sesuatu yang mubazir, bagaimana mungkin ini terjadi ditengah masyarakat agamis, masyarakat pancasilais, masyarakat yang katanya punya tenggang rasa, tepo seliro, masyarakat…entah masyarakat apalagi sebutanya, tapi menurut ana ini sebuah ironi yang tidak lucu ki….” Kata Maula.

Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar penuturan Maula; karena ia pun merasakan hal yang sama, keprihatinan, “Aki juga tidak habis fikir kemana perginya rasa empati, rasa peduli dan rasa kebersamaan masyarakat kita yang selama ini dibanggakan banyak orang Nak Mas…, semuanya seperti menguap begitu saja, tidak ada lagi empati, tidak ada lagi kepedulian, tidak ada lagi kebersamaan, yang nampak sekarang ini adalah sifat individualis, acuh tak acuh, sikap masa bodoh dan ‘kesombongan’……” Kata Ki Bijak sejurus kemudian.

“Iya ki, untuk merayakan tahun baru dengan pesta kembang api seperti kemarin itu, dijakarta saja, ana fikir tidak kurang dari 200 juta rupiah habis ki, padahal uang sebanyak itu, jika dibelikan sembako, kemudian dibagi-bagikan kepada para korban bencana atau mereka yang kelaparan, berapa banyak orang yang akan tertolong dari rasa lapar, atau kalau dibelikan paket sekolah untuk anak yatim dan fakir miskin, berapa banyak anak yatim dan fakir miskin yang akan terbantu…., sementara uang sebanyak itu hanya menjadi mubajir dan dibuang percuma hanya untuk bakar petasan dan kembang api…..” Kata Maula lagi.

Kedua orang guru dan murid itu kembali sejenak terdiam, masing-masing larut dalam keprihatinan yang mendalam dengan perilaku umat yang belakangan ini cenderung meninggalkan akar budaya dan syari’at agamanya.

“Ki…., apa yang menyebabkan umat kita sekarang ini bersikap seperti itu ki…..?” Tanya Maula setelah beberapa lama.

Lagi-lagi Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar pertanyaan Maula; “Perlu kajian yang mendalam untuk mengetahui secara detail apa yang tengah terjadi dimasyarakat kita sekarang ini Nak Mas, namun dari sudut pandang Aki yang dangkal ini, Aki melihat ada kemunduran, ada dekadensi moral dan akidah yang terjadi ditengah masyarakat kita…..” kata Ki Bijak beberapa saa kemudian.

“Dekadensi moral dan akidah ki…?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, ajaran moral yang luhur, dari agama manapun, dari ras apapun, dari kultur apapun, pasti mengajarkan kepedulian kepada sesama, pasti mengajarkan bahwa berbuat baik kepada sesama adalah sebuah kebajikan yang memiliki nilai luhur dalam pandangan manusia dan tuhan…., namun sekarang yang terjadi didepan kita, keluhuran ajaran moral itu, sedikit terkikis oleh sebuah gaya hidup baru yang cenderung individulis, yang cenderung masa bodoh, yang cenderung acuh tak acuh, yang cenderung yang kuat yang berkuasa, yang lemah biarkan saja….., yang lapar itu karena kesalahan mereka sendiri, yang miskin itu karena kebodohan mereka sendiri, dan seterusnya…., mungkin Aki agak berlebihan, tapi itulah kenyataan yang terjadi Nak Mas,bahwa nilai-nilai moral yang luhur itu telah terkikis adanya……” Kata Ki Bijak.

Maula menghela nafas dalam-dalam, ia teringat dengan pelajaran pancasila disekolah didulu yang selalu menggembar-gemborkan keluhuran budi, ketinggian moral, tepa selira, tenggang rasa, empati, kebersamaan, tapi sekarang…., yang ia temukan,jauh panggang daripada api, apakah bangsa moralis ini sudah bergeser menjadi bangsa yang tidak beradab….., “Astaghfirullah….., ya Rabb, semoga fikiran ini salah, semoga bangsa Indonesia tetaplah bangsa yang berketuhanan yang maha esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang memiliki persatuan Indonesia, yang memiliki kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan bangsa yang berkeadilan sosial…..” Kata Maula, tidak mau terlalu jauh membayangkan hal-hal negative yang sedang menggerogoti bangsa ini.

“Belum lagi kalau kita tinjau dari segi akidah kita Nak Mas, dengan jelas, Al Qur’an menyatakan siapa para pendusta agama, para pendusta agama adalah mereka yang mneghardik anak yatim, mereka yang tidak menganjurkan makan bagi para fakir miskin, mereka yang tidak mau membantu saudaranya dengan barang-barang yang berguna, selain juga mereka yang lalai dalam shalatnya……” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat al qur’an;

1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya[1603],
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna[1604].

[1603] riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
[1604] sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.

“Adakah kita sudah siap disebut pendusta agama, sehingga kita lebih mementingkan berpesta, menghamburkan uang, berfoya-foya, sementara ada tetangga kita miskin, ada tetangga kita kelaparan, ada tetangga kita bahwa harus meninggal karena memakan-makanan yang tidak layak karena ketidak pedulian kita pada mereka…?” Tanya Ki Bijak.

“Astaghfirullah…., Naudzubillah ki, kalau sampai kita digolongkan para pendusta agama…..” Kata Maula kaget.

“Dan tiada lain yang akan didapatkan oleh para pendusta agama itu kecuali kebencian Allah padanya……” Tambah Ki Bijak lagi.

“Dan kalau sudah dibenci Allah…, berarti kehidupan yang sempit baginya didunia, dan kecelakaan yang besar baginya diakhirat ya ki….” Kata Maula.

Ki Bijak mengangguk, “Mari kita berlindung dari sifat-sifat pendusta agama Nak Mas, agar kita selamat fidunya wal akhirat…” Kata Ki Bijak.

“Yang salah satunya menganjurkan dan member makan kepada fakir miskin ya ki, sehingga tidak ada lagi kejadian seperti dijepara itu, dimana ada saudara kita yang mengkonsumsi makanan yang tidak layak, sehingga menyebabkan kematiannya…..” Kata Maula.

“Benar Nak Mas…., semoga tidak ada lagi kisah pilu seperti ini….” Kata Ki Bijak mengakhiri perbincangan.

Wassalam

Januari 03,2011

Saturday, January 1, 2011

DARI ANAK PUN KITA BISA BELAJAR

“Assalamu’alalikum…………..” Terdengar uluk salam dari Ki Bijak yang sore itu melintas dan kemudian singgah dikediaman Maula.

Mendengar suara yang sudah sedemikian dikenalnya, Maula bergegas menuju kedepan rumahnya untuk menyambut sang guru, “Alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh….., Aki, silahkan masuk ki….” Jawab Maula sambil menyalami gurunya dan mempersilahkannya masuk.

Setelah beberapa saat duduk, kedua orang murid dan guru itu berbincang santai, “Nak Mas sedang tidak sibuk..? maaf kalau kedatangan Aki mengganggu Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.

“Sama sekali tidak Ki, tadi ana baru selesai mandiin Ade, biasa ki, susah bener kalau disuruh mandi, sama uminya tidak mau, maunya sama ana, jadilah basah seperti ini…..” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, “Namanya juga anak kecil Nak Mas, memang selalu begitu., tapi ngomong-ngomong pernah Nak Mas tanya Ade kenapa kalau disuruh mandi susah….?” Tanya Ki Bijak kemudian.

“Iya ki.., ada saja alasannya, nonton kartun dulu lah, mau main dulu lah, dan banyak sekali alas an yang diutarakan Ade kalau disuruh mandi….” Kata Maula.

Ki Bijak lagi-lagi tersenyum mendengar penjelasan Maula mengenai alas an anaknya yang suka susah kalau disuruh mandi;

“Bukankah kita, para orang tua juga masih suka seperti itu Nak Mas…? Pancing Ki Bijak.

“Kita masih seperti anak-anak ki…?” Tanya Maula heran.

Ki Bijak mengangguk, “Coba Nak Mas perhatikan, kitapun hampir selalu punya alas an menunda untuk melaksanakan perintah Allah…, “

“Ketika kumandang adzan berkumandang memanggil kita untuk segera berangkat kemasjid, sebagian kita biasanya punya seribu satu alas an untuk tidak shalat berjamaah dimasjid, kita kadang beralasan masih capek karena baru datang dari kantor, sehingga kita tidak kemasjid, kita juga kadang alas an hujan, kita bisa beralasan panasnya sangat terik, kita pun kadang beralasan kekenyangan karena baru saja makan, dan masih banyak lagi alas an yang dengan mudah kita lontarkan sebagai dalih untuk tidak melaksanakan perintah Allah, bukankah ini sama seperti alas an Ade yang enggan mandi Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

Muka Maula sedikit memerah, karena ia pun masih suka berdalih seperti itu, “Iya ki…..” jawabnya pendek.

“Bahkan ketika kemarin ada pertandingan bola, masjid sepi, yang shalat jamaah maghrib dan isya hanya beberapa orang saja, hampir semua mata dan perhatian tertuju pada pertandingan bola, alasannya demi nasionalisme, alasannya demi kecintaan pada timnas, alasannya shalat dirumah juga sama saja, belum lagi yang nonton langsung kestadion, entah bagaimana mereka melaksanakan shalat Ashar, Magrib dan Isya_nya, semua alas an itu sama persis dengan alas an Ade, alas an anak kecil, hanya bahasa yang digunakannya saja yang berbeda Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

Maula terdiam, tiba-tiba ia merasa bersalah karena suka memarahi anaknya yang suka susah disuruh mandi, sementara ia sendiri masih sering ‘susah’ kalau disuruh Allah untuk beribadah;

“Iya ki…, ternyata orang dewasa pun masih memiliki sifat kekanak-kanakan ya ki……”Kata Maula.

“Ya Nak Mas, kadang dengan bangga kita mengklaim bahwa diri kita ini orang tua, diri kita ini orang dewasa, tapi pada kenyataannya, masih banyak sifat-sifat kita yang menyerupai anak kecil…”

“Seperti ketika kita diperintah mengeluarkan sedekah, kita itung-itungan dulu untung ruginya, apa imbalannya bagi kita, persis seperti anak kecil yang ketika disuruh ibunya, menanyakan dulu apakah ada permen yang akan ia dapat kalau ia melaksanakan perintah ibunya….”

“Kalau kita diperintah tahajud, kalaupun kita melaksanakannya, setelah kita membaca berbagai fadilah yang ditawarkannya, bukan semata ikhlas lillahi’atala, bukankah inipun sama seperti anak kecil yang selalu diiming-imingi hadiah agar mau belajar atau membantu ibunya….”

“Atau kalaupun kita melaksanakan perintah Allah, lebih banyak permintaan kita daripada ibadahnya, shalat dhuhanya hanya dua rakaat, itupun dengan terburu-buru dan tidak istiqomah, tapi permintaan yang kita mohonkan kepada Allah, hampir selembar halaman kertas folio, bukankah inipun seperti anak kecil yang suka merengek-rengek untuk diberi hadiah sebelum ia melaksakan perintah…..”

“Dan masih banyak lagi sifat kita orang dewasa yang masih seperti anak kecil, mau kemasjid, mau sedekah, mau tahajud, mau shaum sunnah, mau shalat dhuha, mau membaca qur’an, mau berkunjung ke ustadz, mau kepengajian karena ia ingin sesuatu atau karena ia takut sesuatu……, bukan ikhlas karena Allah swt……” Kata Ki Bijak panjang lebar.

Maula masih diam, dia merenungi apa yang dikatakan gurunya, seolah-olah kata-kata sang guru ditujukan khusus untuk dirinya, meski perkataan Ki Bijak adalah contoh-contoh umum yang lazim terjadi sekarang ini.

“Kenapa orang dewasa masih bersifat seperti itu ya ki, kenapa orang dewasa selalu punya alas an untuk menunda atau bahkan meninggalkan perintah Allah…..?” Tanya Maula.

“Menurut Nak Mas, apa alas an Ade yang membuat Ade tidak mau mandi..?” Ki Bijak bertanya balik.

Maula diam sejenak mendengar pertanyaan gurunya, “Mungkin karena Ade tidak tahu bahwa mandi itu adalah kebutuhannya agar ia bersih dan sehat ki…, Ade masih merasa bahwa mandi itu dingin dan menjadi beban…..” Kata Maula.

“Dan jawaban pertanyaan Nak Mas tadi juga sama Nak Mas, mungkin sebagian orang yang mengaku sudah tua dan dewasa itu tidak tahu bahwa shalat itu adalah kebutuhannya, bahwa shalat itu adalah sarana untuk membersihkan dirinya dari dosa, bahwa shalat itu adalah sarana komunikasi kita dengan Allah yang paling efektif….”

“Mungkin juga orang yang mengaku tua dan dewasa itu juga tidak tahu bahwa zakat itu akan membersihkan harta dan dirinya, bahwa zakat itu akan menjadi ‘tameng’ bagi dirinya dari mara bahaya…”

“Mungkin juga orang yang mengaku tua dan dewasa itu tidak tahu kalau shaum, kalau pergi haji, kalau menyantuni anak yatim & fakir miskin, membaca dan belajar al qur’an , berjihad dijalan Allah itu adalah ‘kebutuhan hidupnya’ sehingga sebagian kita masih enggan dan berat untuk melaksanakannya…, persis seperti anak kecil yang belum tahu fungsi mandi sebagai kebutuhannya untuk hidup bersih dan sehat…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Jadi diperlukan ‘kedewasaan hati’ untuk dapat memahami perintah Allah sebagai sebuah kebutuhan kita ya ki, sehingga kita tidak lagi menganggapnya sebagai beban yang memberatkan kita….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, pun dengan Ade, setelah besar nanti, insya Allah cucu Aki yang pinter ini, tidak perlu lagi disuruh atau ditakut-takuti untuk mandi dan melaksanakan perintanh agamanya, karena Ade akan tahu bahwa mandi dan syari’at agama adalah kebutuhan yang harus dipenuhinya…..”Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki……, De…, sini, ada Aki nih pengen kangen sama Dede….” Kata Maula, memanggil putranya yang baru selesai berpakaian.

Segera saja anak yang lucu itu datang dan langsung sungkem menyalami Ki Bijak;

“Ngger…, jadi anak shaleh ya Ngger….., jangan lupa ngajinya, jangan lupa shalatnya, ingatkan lagu yang Abi ajarkan pada Dede….?” Tanya Ki Bijak sambil membelai kepala cucu kesayangannya itu.

“Iya ki, Ade bisa nyanyi lagu yang Abi ajarkan pada Dede…..’ Katanya dengan logat yang masih cadel.
“Coba Aki pengen dengar lagunya…..” Bujuk Ki Bijak.

Bocah kecil yang polos itu menyanyikan lagu gubahan ayahnya, yang biasa dinyanyikan untuk meninabobokannya setiap malam;

Ade…., ade tayang,
Ade tayang jangan nakal
Cepat…, cepat besal,
cepat besal jadi pintal…

Jadilah anak yang taat
dan banyak beramal…
Jangan lupa zakat
dan jangan tinggal sembahyang…

Agar kelak Ade jadi anak yang belguna
Bagi papa mama dan juga bagi agama
Agal kelak Ade jadi anak yang belguna
Bagi nusa bangsa dan juga bagi negala….

“Waah…, bagus sekali Ade sudah pintar menyanyi….” Kata Ki Bijak sambil bertepuk tangan.

Maula hanya tersenyum melihat tingkah polah putranya yang lucu;

“Nak Mas, sebentar lagi maghrib, Aki permisi dulu, nanti sekalian bawa Ade kemasjid, untuk melatihnya agar kelak dia menjadi ahli masjid seperti Nak Mas….” Kata Ki Bijak sambil pamitan.

Maula menyalami gurunya dan kemudian mengantarkan sampai gerbang;

“Assalamu’alaikum……” Kata Ki Bijak.

“Alaikumusalam……”Jawab Maula.

Wassalam

Desember 31,2010.