Wednesday, February 28, 2007

KATAK DALAM TEMPURUNG

Bagai katak dalam tempurung, itulah sebuah ungkapan atau peribahasa untuk menggambarkan bagaimana kondisi seseorang yang terjebak dalam sebuah kondisi yang tidak memungkin dia untuk melihat dunia luar. Katak yang dalam tempurung hanya tahu tentang tempurungnya saja, tempat dimana dia tinggal, dia tidak tahu bahwa diluar sana dunia terbentang luas lagi ramai. Katak dalam tempurung merasa bahwa ia-lah yang “paling”, katak itu merasa paling pintar, paling tahu, paling berkuasa dan paling-paling lainnya.

Seorang teman pernah mengatakan “ Saya dipesantren 8 tahun, tapi setelah itu, saya seperti orang gagap menghadapi dunia dan kehidupan diluar pesantren, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan ilmu yang saya dapat dipesantren”.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya dikotomi dan kesalahan dalam pemahaman masalah “ilmu”, seolah-seolah ilmu yang harus dipelajari adalah ilmu syari’at saja, ilmu fiqh saja, atau bahasa arab saja, atau ilmu akhirat saja, sementara ilmu fisika, kimia, matematika, akuntansi dan cabang ilmu “duniawi” tidak diperlukan.

Ketika terjadi dikotomi semacam ini yang terjadi kemudian adalah adanya kesenjangan, dia pintar ngaji dan rajin shalat, sementara perutnya lapar, dapurnya tidak ngebul, sehingga pada titik tertentu akan terjadi sebuah ungkapan yang sungguh sangat-sangat salah “ Buat apa saya ngaji dan rajin shalat, toh saya tetap miskin?”

Bukan ngaji-nya yang salah, bukan shalatnya yang tidak benar, tapi ia yang tidak pandai memaknai ilmu, ia tidak pandai memaknai bahwa dunia adalah jembatan menuju akhirat, bahwa dunia adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan akhirat, bahwa kehidupan kita dikahirat kelak juga ditentukan kehidupan kita didunia sekarang, ia bagai katak dalam tempurung.

“Kalau kamu ingin akhirat, maka harus pakai ilmu, kalau kamu ingin dunia, harus pakai ilmu, kalau kamu ingin kedua-duanya, pakai ilmu.

Untuk mengejar negeri akhirat, tentu kita harus belajar ilmu tauhid, ilmu syari’at, ilmu fiqh dan ilmu agama lainnya.

Untuk mengejar dunia, kita tentu harus pandai berhitung dengan belajar matematika dan akuntansi, tentu kita harus pandai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mempelajari ilmunya.

Ketika ilmu agama kita punya, ilmu dunia kita mumpuni, maka itulah orang yang bahagia, didunia dan diakhirat kelak, insya Allah.

77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(al Qasash:77)

Kita, kata Allah, mempunyai bagian untuk menikmati dunia, jadi kenapa kita harus meninggalkanya?

Seorang ulama pernah berkata “ Pada saat kapan kamu beribadah”

“Pada saat saya hidup didunia” Jawab muridnya

“Pada saat hidup yang bagaimana kamu beribadah”

“Pada saat saya sehat” Jawab muridnya

“Bagaimana agar kamu sehat”

“Salah satunya dengan menjaga makanan yang bersih dan baik” Jawabnya lagi.

“Dengan apa kamu mendapatkan makanan yang baik”

“Dengan membelinya dengan uang” Jawabnya.

“Jadi kenapa kamu harus berhenti mencari uang, sementara dengan uang itu kamu bisa membeli makanan untuk menjaga kesehatanmu, dan dengan sehatmu kamu bisa beribadah dengan baik kepada Allah? Papar sang guru.

“Jadi kenapa kamu harus berhenti mencari ilmu dunia (Iptek), jika dengan ilmu itu kamu bisa menghasilkan uang? Tanya sang guru

Shalat, kita perlu pakaian yang layak lagi bersih, bahkan Allah menyuruh kita mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki saat kita ke masjid;


31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(Al A'raf:31)

Untuk bisa mengenakan pakaian yang indah setiap kemasjid, makan dan minum dengan layak dan memenuhi syarat kecukupan gizi, kita perlu ilmu untuk mendapatkan uang dan membeli keperluan hidup kita.

Zakat, juga memerlukan uang, sedekah juga merupakan aktivitas yang memerlukan uang, “Tangan diatas, lebih mulia dari pada tangan dibawah”

Pergi ketanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima, juga memerlukan uang yang tidak sedikit, sehingga secara simbolik Allah menggambarkan dalam surat Quraisy;

1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah Ini (Ka'bah).
4. Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Ada isyarat bahwa Berpergian pada musim dingin dan panas (Berdagang) dulu, kemudian Menyembah Tuhan (Beribadah).

Yang tidak boleh adalah menempatkan uang, harta dan dunia sebagai tujuan, karena tujuan kita adalah ridha Allah dan kampung akhirat kelak. Seperti artikel terdahulu “Dunia, kelereng didepan mata” itu yang tidak boleh, tempatkan dunia pada proporsi yang benar.

Ada banyak kasus orang yang mempunyai potensi ilmu agama yang sangat bagus, harus banting stir atau terjebak pada kubangan yang menenggelamkan mereka, karena urusan perut.

Pun sebaliknya, ada banyak sarjana yang secara intelektual sangat pandai, tapi ketika kepandaian dan kepintarannya itu tidak diimbnagi dengan pengetahuan dan pemahaman ilmu syari’at dan pengetahuan agama yang benar, mereka terjebak seperti robot yang hanya mentuhankan akal.

Berapa banyak orang pinter keblinger, berapa banyak orang jenius secara intelektual menjadi bangkai berjalan, karena tidak diimbangi dengan pengetahuan syari’at yang memadai.

Sudah banyak kasus dan contoh bagaimana orang-orang yang timpang ilmu pengetahuannya, hanya pinter iptek saja, menjadi monster-monster penghancur umat dan kehidupan itu sendiri.

Mereka menciptakan bom atom, nuklir dan senjata pemusnah massal dengan ilmunya, mereka lupa tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemakmur bumi, bukan malah menghancurkannya.

Berapa banyak orang pinter yang “minteri” orang lain, “minteri” hukum dan undang-undang hanya untuk kepentingannya sendiri.

Sebagai muslim, kita harus kuat secara syari’at dan juga harus tangguh dengan ilmu dan teknologi yang memadai.

Bahkan seorang guru kimia penulis pernah mengatakan bahwa semakin kita tahu ilmu kimia (keduniaan), semakin kita menyadari ada “sesuatu” yang maha, yang tak terjangkau oleh kemampuan akal dan otak kita, yaitu Allah (Ilmu Tauhid).

Pun demikian dengan ilmu komputer, semakin kita mengetahui bagaimana tulisan ini sampai dihadapan anda dengan cara yang “ghaib”, karena penulis tak pernah mengantar tulisan ini kemeja anda, tapi toh anda bisa baca persis seperti yang ada dihadapan penulis sekarang, juga seharusnya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa memang ada sesuatu yang tidak terlihat oleh mata lahiriah kita, tapi demikian nyata, senyata tulisan ini.

Mari kita bekali diri dan keluarga ita dengan Iptek dan Ilmu Syari’at, agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiin.

Wassalam

February 28, 2007

Tuesday, February 27, 2007

Jangan buat masalah jadi problem

Hidup adalah masalah, ya hidup adalah serangkaian permasalahan yang harus mampu dilalui oleh orang-orang yang mau hidup.

Setiap mahluk dikarunia Allah kemampuan untuk bertahan hidup ditengah lingkungannya, survival behaviour namanya. Beruang kutub dikarunia Allah kemampuan untuk hidup ditengah balutan rasa dingin yang sangat extrim, end toh mereka mampu bertahan hidup disana. Unta mampu hidup ditengah panas dan tandusnya gurun pasir, unta dikarunia Allah kemampuan untuk mencerna tanaman yang keras dan bahkan bebatuan sebagai alat untuk mempertahankan hidupnya.

Selain alat dan sarana yang memang disediakan Allah kepada setiap mahluk untuk bertahan hidup, seperti bulu yang tebal pada beruang kutub, kaki yang tahan panas pada unta dan lainnya, kemampuan bertahan hidup juga sangat dipengaruhi oleh perilaku mahluk-mahluk itu sendiri.

Manusia, sebagai makluk yang dikarunia Allah kemampuan untuk bertahan hidup dengan organ tubuh dan akal serta perilaku manusia itu sendiri. Manusia yang mampu mengubah masalah menjadi sesuatu yang bermanfaat saja yang mampu bertahan hidup, baik dalam arti hidup secara biologis seperti tumbuh, bergerak dan berkembang biak, maupun hidup dalam arti yang lain.

Sebaliknya, manusia yang mempuyai perilaku untuk selalu menjadikan masalah menjadi problem, menjadikan masalah sebagai sesuatu yang ditakuti, menyeramkan dan harus dihindari, akan cenderung untuk sulit dapat bertahan hidup.

Apa saja permasalahan hidup yang harus kita hadapi?

Pertama bagaimana memanfaatkan terbatasnya waktu (usia) – dibandingkan dengan umat Nabi Nuh as yang dikarunia Allah usia yang panjang, konon usia Nabi Nuh As mencapai 900 tahun, atau Nabi Ibrahim yang dikarunia Allah usia yang panjang, kita, umat Nabi Muhammad Saw dikarunia Allah usia yang relatif lebih pendek, yaitu sekitar 60~70 tahun. “Permasalahan” pendeknya usia atau masa hidup kita hendaknya tidak menjadikan kita “iri” kepada umat-umat sebelum kita, justru kita ditantang Allah untuk bagaimana memanfaatkan masa hidup kita yang relatif singkat ini, sehingga mampu menghasilkan tabungan amal yang setara dengan mereka yang dikaruniai Allah usia yang panjang.

Apa dan bagaimana kita mengatasi masalah pendek usia untuk menghasilkan bekal akhirat yang sebanyak-banyaknya?

Allah menyediakan fasilitas berupa waktu dan amaliah tertentu yang nilainya insya Allah menyamai pahala orang-orang yang dikarunia Allah umur panjang.
Kita dikarunia Allah Bulan Ramadhan,bulan suci dimana pahala amaliah dan ibadah kita dinilai dengan kadar tertentu, lebih dari amaliah dan ibadah yang dilakukan pada waktu atau bulan-bulan selain ramadhan.

Kita juga dikarunia Allah malam Qadr, atau lebih dikenal dengan Lailatul Qadr, malam kemulian yang nilai atau kadarnya sama dengan seribu bulan atau setara dengan 83 tahun. Kalau kita mampu memanfaatkan malam qadr dengan amaliah yang diridhai Allah selama sepuluh tahun saja dari masa hidup kita, maka nilainya hampir sama dengan amaliah yang dikerjakan oleh umat Nabi Nuh as yakni 830 tahun.

Orang yang pandai memanfaatkan “masalah” dan mampu mengubahnya menjadi sebuah keuntungan yang sangat banyak, dialah orang yang beruntung.

Sebaliknya orang yang menjadi masalah umur yang pendek menjadi problem hidupnya, dengan mengeluh, panjang angan dan banyak bermimpi konyol, akan terpinggir kepojok-pojok kehidupan yang gelap lagi menghinakan.

Kedua bagaimana memanfaatkan terbatasnya sumber daya, keterbatasan kemampuan, keterbatasan biologis, keterbatasan fisik dan lainnya – Kita, sekali lagi dikarunia Allah kemampuan yang serba terbatas. Kemampuan ilmu kita terbatas, kemampuan fisik kita juga tidak sebesar dan segagah umat-umat dahulu yang konon bisa mencapai ketinggian 90m. Tapi manusia bijak adalah manusia yang mampu mengelola kondisinya yang serba terbatas itu menjadi sesuatu yang “menantang” untuk dicarikan solusinya.

Mereka, orang-orang bijak, akan lebih banyak menggunakan akal dan pikirannya ketimbang kekuatan fisiknya. Mereka akan menggunakan akal dan pikirannya untuk mencari nafkah, mereka akan menggunakan akal dan fikirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan sekedar menggunakan kekuatan otot dan fisik semata, karena mereka, orang-orang bijak itu menyadari sepenuhnya masalah keterbatasan fisiknya, dan tidak menjadikan itu sebagai problem.

Sebaliknya, orang-orang yang kurang pandai, banyak menggunakan otot dan kekuatan fisiknya, petantang-petenteng jadi preman kampung, jadi jagoan neon, jadi centeng dan tukang pukul, itu semua bukan cara cerdas untuk mengatasi masalah, justru pada kondisi tertentu, jadi preman malah menjadikan masalah kedalam problem yang lebih dalam.

Selain masalah fisik, keterbatasan sumber daya alam juga merupakan sebuah masalah yang harus dituntaskan bagi mereka yang ingin hidup. Keterbatasam minyak bumi, keterbatasan logam dan keterbatasan lain, juga harus dicermati sehingga tidak menjadi problem dikemudian hari.

Kapal terbang, kapal laut, kereta api dan mobil adalah jawaban atas permasalahan-permasalahan atas jauhnya jarah dan wilayah. Orang-orang bijak, para penemu angkutan tersebut adalah orang yang mampu mengelola masalah menjadi sesuatu yang justru menjadikan mereka orang-orang yang mampu mengabadikan namanya dipanggung sejarah kehidupan.

Lalu bagaimana kita mengatasi masalah keterbatasan ilmu pengetahuan kita? Allah telah menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, saling bertukar ilmu pengetahuan, saling bertanya, saling memberi nasehat, saling berbagi, saling bergandeng tangan untuk secara bersama-sama mengatasi keterbatasan yang ada.

Keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah merupakan sebuah fitrah, yang dengan keterbatasan itu, seseorang menjadi membutuhkan orang lain. Tidak ada satu manusiapun yang memiliki kemampuan sempurna, pasti dia memerlukan orang lain, dan dengan interaksi itu kehidupan menjadi bergulir dan berjalan seperti sekarang.

Selalu ada masalah, baik itu keterbatasan waktu, ruang, uang, sumberdaya dan ilmu pengetahuan, masalah akan datang silih berganti sepanjang perjalanan dan usia dunia masih berjalan dan bergulir.

Kesimpulanya adalah bahwa orang bijak akan mengatasi masalahnya bukan dengan masalah, tapi dengan solusi dan orang yang akan bertahan hidup adalah orang yang mampu memecahkan masalah, bukan orang yang senantiasa lari dari masalah.

Wassalam

Februari 27, 2007

PESANTREN

Pesantren atau pe-santri-an, adalah tempat para santri menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. Peran dan fungsi pesantren dalam peri kehidupan kebangsaan dan keberagamaan di Indonesia sudah sangat dikenal luas dan diakui. Mulai dari peran merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, peran pesantren dalam membina dan melahirkan kader-kader politisi Islam, kader-kader pemerintahan serta masih banyak peran serta pesantren dan santrinya dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Santri, konon terambil dari asal kata inSan (manusia, dalam bahasa arab), dan Tri, yang berarti Tiga, yang secara bebas kemudian diterjemahkan bahwa pesantren adalah tempat mendidik manusia/insan atau santri untuk dapat berinteraksi dengan tiga hal; pertama berinteraksi dengan Allah (Habluminallah), hubungannya dengan sesama manusia (Habluminannas) serta hubungannya dengan Lingkungannya, sehingga pesantren secara umum berfungsi untuk mencetak manusia-manusia yang mampu ber-habluminnallah, ber-habluminnannas dan ber-hablu dengan lingkungannya.

Ditengah peng-diskreditan peran dan fungsi pesantren yang disponsori para kafir Barat, peran pesantren “agak sedikit melambat” belakangan ini. Bahkan dalam beberapa kondisi, pesantren seakan-akan menjadi sindrom, bahwa dipesantren-lah dididik para teroris untuk menebar kekacauan dan teror, sehingga yang muncul kepermukaan adalah sebuah bentuk “ketakutan” bagi sebagian orang terhadap pesantren, sehingga mereka beramai-ramai memproteksi diri dan anak-anaknya untuk tidak berhubungan dengan yang berbau-bau pesantren.

Sebuah ironi, sebuah keberhasilan tipu daya setan, sebuah propaganda jahat yang harus segera dicounter untuk mengembalikan citra pesantren sebagai lembaga atau wadah yang justru akan menghasilkan santri-santri yang akan menebarkan keharmonisan ditengah umat dan lingkungan.

Kita tak perlu terlalu merasa cemas ketika seorang lurah pensiun, karena pasti sudah banyak yang antri untuk menggantikannya. Kalau camat mengundurkan diri dari jabatannya, kitapun tak perlu ragu, karena dalam hitungan hari posisinya akan segera terisi. Kitapun tak perlu khawatir jika ada bupati, gubernur atau bahkan seorang presiden sekalipun yang berhenti dari jabatan publiknya, karena serentetan penggantinya siap menduduki posisi yang mereka tinggalkan.

Pun kita tak akan pernah kehabisan stock sarjana dalam berbagai disiplin ilmu. Setiap tahun ratusan bahkan mungkin ribuan sarjana baru diwisuda.

Tapi rasanya kita perlu khawatir jika ada seorang kyai atau ulama meninggal, atau berhenti berdakwah, karena belum tentu akan lahir kyai atau ulama dengan kualitas yang setara ilmunya dalam kurun waktu 10 tahun atau 20 tahun yang akan datang.

Kita rasanya perlu cemas, jika ada ulama dan kyai yang mengundurkan diri dari panggung dakwah, karena kita masih dan akan senantiasa membutuhkan mereka.

Lalu apakah kita akan membiarkan terjadi status quo, kekosongan teladan umat? Apakah kita akan membiarkan umat kebingungan tanpa ada ulama ditengah-tengah mereka? Apa yang akan terjadi? Kalau dengan ulama ditengah-tengah mereka saja, masih banyak umat yang merasa bingung, konon lagi jika mereka dibiarkan sendirian tanpa suluh dan ilmunya ulama.

Jika ditengah gencarnya propaganda barat yang mendiskreditkan pesantren dan aktivitasnya kita diam saja, jangan heran jika dalam 10 atau 20 tahun yang akan datang, pesantren hanya akan tinggal cerita dan kenangan, bahwa dulu disini, dipesantren ini Kyai A pernah menuntut ilmu, bahwa ustadz B pernah belajar, jangan, jangan sampai terjadi, Naudzubillah.

Lalu apa upaya kita untuk mengembalikan citra positif pesantren sebagai Kawah candradimuka ulama dan kyai yang akan menjadi teladan umat?

Kalau kita tidak bisa secara langsung terjun kedalam pesantren, minimal kita jangan ikut terprovokasi untuk ikut-ikutan menjauhi pesantren, atau jangan ikut-ikutan menyebarkan cerita seram tentang pesantren.

Justru sebaliknya, kita harus membantu membangun citra pesantren dengan segenap kemampuan kita. Berkaca pada definisi pesantren diatas, kita mungkin bisa membangun “pesantren” pada lingkungan keluarga kita. Bagaimana kita mendidik anak kita untuk bisa menjadi santri, manusia yang mampu berhubungan dengan Khaliqnya, anak yang mampu membangun hubungan horizontal dengan sesamanya, dan membina anak untuk mampu berinteraksi dengan lingkungannya dengan harmonis.

Umat masih sangat membutuhkan banyak kader ulama dan kyai yang mampu menjadi penerang jalan bagi orang-orang yang tengah dilanda kegelapan, umat masih membutuhkan banyak ustadz yang mampu memberi nasehat dan teladan ditengah-tengah kebingungan, umat masih memerlukan anda, memerlukan kita sebagai bagian dari umat itu sendiri untuk bersama-sama menjadi umat yang terbaik, umat yang diridhai Allah swt.

Tanggung jawab memberikan pengajaran, pendidikan, penerangan dan teladan kepada umat bukan hanya dipundak para kyai, para ulama dan para ustadz saja, tapi kita juga memikul tanggung jawab yang sama sesuai dengan kadar kemampuan kita untuk menjadikan umat ini kembali kepada jalur kemuliaanya.

Mari kita belajar menjadi Santri, menjadi manusia yang mampu berhabluminallah, berhabluminannass, dan berinteraksi dengan lingkungan secara harmonis. Kalau kita tidak punya waktu untuk belajar dipesantren-pesantren, kenapa kita tidak menjadikan tempat kerja dan kantor kita sebagai pesantren?

Bukankah dikantor juga kita bisa tetap berhubungan dengan Allah melalui dzikir, baik itu dzikir qalbu, dzikir lisan, dzikir fikri dan dzikir amal? Ada Pesantren Virtual, ada IslamdotNet, ada Pesantren Sidogiri Online dan masih banyak fasilitas yang bisa kita gunakan untuk belajar, tinggal kemauan kita saja yang harus senantiasa ditingkatkan.

Bukankah dikantor juga kita bisa berlatih untuk membina hubungan yang harmonis dengan teman, rekan atasan, bawahan dan relasi kita? Bukankah kita bisa berlatih untuk saling mengerti dan menghargai satu sama lain? Bukankah kita bisa melatih sikap sabar kita manakala ada perbedaan antara kita? Bukankah kita bisa saling menasehati dalam kesabaran dan kebenaran? Dan masih banyak lagi yang bisa kita pelajari untuk menjadi Santri yang mumpuni dari lingkungan disekitar kita.

Bukankan ditempat kerja kita juga bisa belajar untuk saling berbagi dengan lingkungan kita? Bagaimana kita menjaga kualitas udara kita untuk tidak tercemar, bagaimana kita menggunakan sumber daya air, energi dan sebagainya.

Jika setiap kita “Nyantri” tiap hari dilingkungan kita, insya Allah kita tidak akan kekurangan manusia berkualitas yang akan mampu membawa diri, keluarga dan lingkungannya tetap dalam trek yang benar untuk menjadi Khoiru-umat, Amiin.

Wassalam

Februari 27, 2007

Dari karibku, Pak Sugiyarto

Pagi ini, selasa tanggal 14 Nopember 2006, secara guyon saya nanya kepada seorang karib dikantor ini, beliau adalah seorang staff di HRD;

“Pak, boleh nggak saya masuknya satu minggu satu hari saja” tanya saya

Beliau balik bertanya “Memangnya kenapa?”

“Saya kan bisa mengerjakan pekerjaan saya dirumah pak” Jawab saya.

” Iya, tapi kan kehadiran itu wajib, lagi pula kan kita dibayar uang kehadiran dan uang makan setiap kali kita hadir dikantor”. Jawab sang teman dengan bijaksana.

Obrolan sederhana diatas membuka sebuah cakrawala baru bagi saya untuk hal-hal berikut;

- Kehadiran itu wajib
- Kita dapat imbalan untuk setiap kehadiran kita

Lalu bagaimana dengan shalat kita, mungkin benar kita bisa melaksanakan shalat dirumah sendiri karena kita fasih baca Fatehah, mungkin juga kita sudah merasa bisa melaksanakan shalat dengan benar dan lain sebagainya, tapi seperti yang dikatakan oleh karib saya, bahwa setiap kehadiran kita akan mendapat imbalan. Sebuah (hadits??) mengatakan bahwa langkah kita menuju kemasjid sudah dihitung sebagai ibadah, diam (i’tikaf) kita dimasjid juga merupakan ibadah yang insya allah mendapat balasan dari Allah, belum lagi nilai berjamaah kita dan lain sebagainya.

Bagaimana misalnya jika kita hanya ke masjid hanya untuk Shalat Jum’at yang satu minggu sekali? Apakah karyawan yang baik itu karyawan hanya sekali hadir meskipun ia dapat melakukan shalat dengan baik dirumah..akan halnya seorang abdi Allah yang hanya seminggu sekali ke masjid?.

Ada beberapa nilai yang mungkin dapat kita ambil dengan shalat berjamaah dimasjid;
a. Dengan ke masjid, insya allah kita telah menghargai dan mengagungkan yang memerintahkannya, yaitu Allah Swt
b. Masjid, juga diisyaratkan sebagai tujuan perjalanan kita, sebagaimana dalam kisah perjalanan isra’ mi’raj Nabi, dari Masjidil Haram ke Masjidl Aqsa, dari masjid ke masjid
c. Nilai-nilai silaturahim dan ukhuwah
d. Dalam shalat berjamaah terkandung nilai-nilai yang sangat luhur, diantaranya;
o Cara mengatur shaff/barisan, hal ini mencerminkan pentingnya persatuan dan kesatuan umat. Semua kita maklum, bahwa persatuan dan kesatuan umat adalah faktor penting dalam mencapai kejayaan agama dan beragaman

o Niat berjamaah adalah simbol keseiringan tujuan dan visi. Ketika kita shalat berjamaah kita harus niat berjamaah untuk shalat yang sama, yang artinya menyamakan tujuan dan visi, dan kesamaan visi ini lebih bernilai daripada sekedar mencari misi yang singkat atau malah kepanjangan.


o Iftitah, makna yang terkandung dalam doa iftitah adalah pennagkuan seorang hamba atas tuhannya

o Ruku adalah simbol keadilan dan meredam ego, yakni kerelaan kita (jamaah) untuk berada dipantat/dibelakang orang lain. Siapapun dia, presiden sekalipun, dia harus rela berada dibelakang orang lain (Imam)


o I’tidal – Rasa tanggung jawab, setelah kita disadarkan pada posisi kita (pada gerakan ruku), dimana kita harus melepaskan status sosial kita, kita dikembalikan pada posisi tegak yang mengandung makna kontinuitas, sebagaimana perintah shalat menggunakan “aqim” yang terambil dari kata “qama ya qumu” yang menyiratkan shalat harus dilakukan secara kontinue, dan kontinuitas sangat bergantung pada tanggung jawab.

o Sujud – Merakyat, sujud mengingatkan kita untuk rendah hati dan mengingat fitrah kehidupan kita yang berasal dari tanah, dengan begitu seseorang akan terhindar dari sifat sombong dan takabur.

Karburator yang banjir

Atas kebaikan seorang teman, pada tanggal 03 November 2006 yang lalu, saya menumpang mobilnya menuju kekantor. Perjalanan kami lalui dengan lancar, hingga tiba-tiba tepat dipersimpangan Daido, mobil kijang yang saya tumpangi mogok. Setelah beberapa kali distarter tidak bisa, mobil pun kami dorong ke pinggir agar tidak menggangu perjalanan pengguna jalan yang lain. Kami mencoba memeriksa penyebab mogoknya mobil tersebut, dan ternyata Karburator mobil tersebut banjir yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya pelampung karburator dan tekanan dari tabung bensin yang berlebih akibat ventilasinya yang tersumbat.

Ditengah terik matahari yang mulai meninggi, saya berfikir kenapa mobil tersebut harus mogok ketika bensin yang masuk kedalam karburator berlebih, bukankah bensin adalah kebutuhan pokok mobil agar bisa berjalan...logikanya dengan supply bensin yang lebih banyak mobil dapat bergerak dengan cepat dan bertambah kuat, tetapi tidak, mobil hanya bisa berjalan normal ketika semua komponen berfungsi baik da supply bensin yang “tepat”, bukan berlebih.

Saya kemudian menganalogikan bahwa mobil itu adalah kita, manusia, dan bensin itu adalah rezeki yang kita cari mati-matian. Kemudian ventilasi tabung bensin yang tersumbat itu adalah sifat kikir kita yang tidak mau mengeluarkan zakat/sedekah. Apa yang akan terjadi?.

Uang, rezeki atau apalah namanya yang kita cari siang malam, banting tulang, peras keringat adalah ibarat bensin bagi kehidupan kita. Kita bisa bergerak melakukan berbagai aktivitas dan kesenangan kita dengan uang tersebut. Tapi ketika uang kita berlimpah, sementara kita tidak mengeluarkannya dengan porsi yang benar, kita ibarat karburator yang kelebihan pasokan, yang pada akhirnya, uang kita yang berlimpah tersebut tidak memberikan manfaat kepada kita, malah sebaliknya akan menjadikan mobil kehidupan kita “mogok”, bahkan mungkin terbakar dan meledak.

Secara fitrah, jika ada masukan, maka harus ada yang keluar. Bayangkan jika kita makan kemudian tidak dikeluarkan secara benar dan berkala, renungkan jika vas bunga kita tidak mempunyai lubang dibawahnya untuk mengeluarkan air, tanaman diatasnya tidak menjadi subur karena air yang tidak mengalir, malah jadi busuk karenanya, pun dalam segala hal.

Zakat/sedekah adalah saluran ventilasi dari rezeki yang kita dapatkan. Disana ada bagian dari orang / golongan yang berhak menerimanya. Jika kita enggan mengeluarkan zakat/sedekah sesuai dengan apa yang disyariatkan, maka dengan cara apapun, pasti uang kita akan keluarkan, mungkin kita kecurian, ditipu, dan lain sebagainya. Bukankah lebih bijak jika kita mengeluarkan porsi yang seharusnya daripada kita “dipaksa” mengeluarkannya karena hal-hal yang kita inginkan. Persis seperti tabung bensin yang tersumbat hingga menekan bahan bakar ke karburator, sehingga over supply dan mobil menjadi mogok.....

Benarlah firman Allah dalam surar Ar-rum Ayat 30;

37. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.

Surat Az-zumar:52


52. Dan Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.

Dan Allah mempertegas tujuan dari dua pernyataan diatas dalam Surat As syura:27


27. Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat

Puasa dan Ketaqwaan

Ramadhan, terambil dari akar kata Ramadho yarmidhu, yang berarti terik, panas yang membakar.

Secara etimologi Ramadhan berarti bulan penghapusan dan peleburan dosa-dosa dengan cara berpuasa/shaum

Shaum atau shiam sendiri terambil akar kata al imsak, yang artinya menahan diri, yang secara syar’i didefinisikan bahwa shaum adalah menahan diri dengan niat dari hal-hal yang membatalkannya, seperti makan, minum dan jimak dengan istri dari mulai terbitnya matahari sampai terbenamnya.

Dari pengertian ini, seorang ulama yang bernama Rasyid Ridha, membagi nilai puasa kedalam dua kelompok;

1. Nilai puasa secara formal; yakni nilai puasa bagi orang yang melaksanakan shaum hanya dengan menahan diri dengan niat dari hal-hal yang membatalkannya dari terbit matahari sampai terbenamnya. Nilai ini menggugurkan kewajiban mukallaf terhadap perintah puasa secara syariat.

2. Nilai puasa secara fungsional. Salah satu fungsi puasa adalah membentuk pribadi-pribadi muttaqin, yakni dengan sebuah proses pendidikan;
- Tarbiyatul lil iradah – pelatihan terhadap keinginan, adalah benar bahwa keinginan merupakan salah satu fitrah manusia. Keinginan untuk maju dan berkembang, keinginan untuk memiliki pendidikan tinggi, jabatan dan hal-hal positif lainnya adalah merupakan fitrah manusia demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Tetapi ketika keinginan-keinginan itu disertai dengan kata berlebihan dan dilakukan dengan cara-cara yang justru melanggar fitrah kemanusian itu sendiri, maka puasa berfungsi untuk mengendalikan dan mengembalikan kesalahan tadi pada jalur yang sebenarnya. Lebih jauh Al imamul Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumdinya mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat:

i. Robbaniyah, yakni sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat sabar, kasih sayang, pemaaf dan lainnya

ii. Syaitoniyah, yakni sifat-sifat syetan, yakni sombong, angkuh dan takabur

iii. Bahimiyah, sifat-sifat kebuasan

iv. Sabaiyah, sifat-sifat kehewanan

Puasa secara fungsi bertujuan untuk menumbuhkembangkan sifat-sifat-sifat Robbaniyah dan sebaliknya mengekang dan mengendalikan ketiga sifat jahat yang ada dalam diri manusia, yakni dengan menahan rasa lapar dan haus serta menahan nafsu amarah dan nafsu kebinatangan

- Tarekatul lil malaikat –pelatihan sifat-sifat kapatuhan, sebagaimana layaknya kepatuhan malaikat
- Tarbiyatul lil ilahiyah, sama seperti halnya pelatihan sifat-sifat Robaniyah
- Syekhul islam Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa secara fungsi puasa juga berfungsi sebagai Tazkiyatun An Nafs, proses pembersihan diri

Lalu apa barometer keberhasilan puasa seseorang?

Secara umum, berhasil tidaknya puasa merubah seseorang menjadi mutaqqin adalah bahwa adanya peningkatan kualitas, baik itu kualitas pribadi maupun kualitas ibadah. Ciri lain dari orang mutaqqin adalah sebagaimana yang sebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:

1. Alif laam miin[10].
2. Kitab[11] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],
3. (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang ghaib[14], yang mendirikan shalat[15], dan menafkahkan sebahagian rezki[16] yang kami anugerahkan kepada mereka.
4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu[17], serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat[18].
5. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung[19].

Tanpa Judul

Hampir dua minggu terakhir ini, ruang informasi kita, baik disengaja atau tidak dipenuhi oleh berita dan informasi yang tidak layak kita konsumsi, yakni berita tentang ..........................................................

Tidak patut kita membicarakannya lebih lanjut, kita hanya akan mencoba mengambil hikmah dan pelajaran yang bisa kita kais dari kejadian diatas;

Seperti dalam tulisan terdahulu mengenai kereta api, bahwa ketika kita keluar dari rel syari’at, maka korban yang jatuh bukan hanya kita, melainkan juga istri, anak, keluarga istri, korp, partai, agama dan bahkan mungkin sebuah bangsa. Kejadian tersebut menjadi salah satu bukti bahwa ketika syari’at pernikahan yang sah lagi hal dilanggar, yang terjadi adalah seperti kejadian diatas tadi, yang memakan korban dan melibatkan banyak pihak yang juga ikut tercoreng.

Hikmah kedua adalah pembenaran terhadap firman Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 26;


26. Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Ali Imran;26)

Bahwa kita bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa (lihat tulisan:mudik), kekuasaan yang kita miliki, bukanlah kekuasaan mutlak, jika Allah menghendaki, karir yang telah dirintis dan dibangun selama puluhan tahun dengan jerih payah dan penuh pengorbanan, hancur hanya dalam hitungan detik, tidak ada yang tersisa, kecuali rasa malu dan nista.

Kemulian, yang selama ini dibanggakan dibalik jas dan jabatan yang diemban sebagai seorang yang terhormat, ketika Allah hendak menghinakan, maka tak ada yang kebanggaan yang tersis terhadap jas dan jabatan yang selama ini mereka agungkan.

Maha benar firman Allah, Dia akan memberikan kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki, pun Dia akan mencabutnya dari siapa yang dikendaki. Dia muliakan orang yang dikendaki, tapi Dia pula yang akan menghinakan siapa yang dikendaki.

Sebuah hikmah besar bagi kita, ketika kita menyadari bahwa apapun yang ada pada kita saat ini, baik itu harta yang berlimpah, kedudukan, jabatan, kehormatan ataupun derita dan air mata, semuanya hanyalah sebuah ujian bagi kita. Ketika kita mendapatkan “Kesenangan” maka itu sebuah ujian, apakah kita mampu bersyukur terhadap nikmat-Nya, sebaliknya, apabila kita ditimpa “kemalangan” maka itu ujian terhadap kesabaran kita.

Seorang teman bertanya, kenapa Allah menguji kita?

Kita mungkin bisa berkaca pada ayat-ayat berikut untuk menjawabnya;


16. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.


168. Dan kami bagi-bagi mereka di dunia Ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).

174. Dan Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).


156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.


Secara singkat mungkin bisa kita simpulkan, bahwa Allah itu Maha Suci dan ingin kita kembali padanya dalam keadaan suci pula, dan untuk itu Allah menguji kita untuk menyadarkan akan khilaf dan dosa kita, kemudian kita bertobat dan kembali kepada-Nya.

Mari kita jaga diri dan keluarga kita dari api neraka.

Monday, February 26, 2007

Dari Anak kecilpun kita bisa belajar

“Namanya juga anak-anak”, begitu kira-kira ungkapan yang sering kita dengar dalam keseharian kita, sebagai tanda maklum kita atas kelakuan yang kurang patut yang dilakukan seseorang yang belum mengerti hakekat kebenaran, yang sering kita sebut anak-anak.

Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari perilaku anak-anak disekitar kita untuk mengukur tingkat kedewasaan dan keberagamaan kita; yang terbagi dalam dua kategori posisti dan negatif

1. Positif
- Sifat ingin tahu anak-anak, jika disikapi secara benar, keingintahuan yang besar ini dapat kita arahkan untuk belajar ilmu yang bermanfaat bagi kita

- Jujur dan polos – sudah jelas


2. Sikap “Negatif”

- Suka pamer,

Lihat anak kita, ketika dia memiliki atau mengerjakan sesuatu, dia suka cerita/pamer kepada teman-temanya.

Pun demikian dengan kita, ketika kita shalat yang seharusnya lillahita’ala, kemudian kita merasa bahwa kekhusuan shalat kita karena ingin dilihat orang, itu suatu gambaran kekanak-kanakan kita dalam beribadah.

Ketika kita shaum, yang seharusnya hanya kita dengan Allah saja yang tahu, lantas kita “memamerkan” puasa kita dengan bermalas-malasan dengan alasan lapar dan haus, kita pun harus mempertanyakan kedewasaan kita dalam beribadah. Dalam hal zakat dan shodaqoh, ketika kita masih ingin dilihat dan dipuji orang lain, maka berhati-hatilah, jangan-jangan kita belum dewasa dalam beribadah.

- Harus disuruh, diiming-imigi sesuatu

Lihat anak kita, ketika sudah masuk waktunya untuk mandi, ia tidak segera beranjak untuk mandi, sebelum disuruh oleh orang tuanya atau dibujuk dengan sesuatu yang dia senangi, baru dia mau mandi.

Adakah gambaran ini tercermin dalam ibadah kita? Kita (baru) mau melaksanakan shalat tahajud, misalnya, ketika kita menginginkan sesuatu, harta atau jabatan, atau kalau tidak, kita mau tahajud ketika kita takut dipecat, takut digeser posisinya, takut miskin, dan ketakutan-ketakutan yang kadang tidak berasalan.

Seandainya kita sudah benar-benar dewasa dan menyadari bahwa shalat, zakat,puasa dan ibadah-ibadahnya bukan hanya sekedar kewajiban bagi kita, melainkan sebuah kebutuhan, maka kita akan melaksanakannya dengan senang hati. Shalat misalnya, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa shalat lima waktu adalah pembersih atas dosa-dosa kita, maka siapa orangnya yang menyadari pentingnya kebersihan diri dari dosa, dia akan dengan segera beranjak menuju tempat shalat tepat pada waktunya, bukan menunggu-nunggu hingga akhir waktu.
- Ceplas-ceplos,
Karena kepolosannya, seorang anak mengutarakan apa saja yang ia lihat dan ia rasakan, terlepas dari apakah apa yang diucapkan dan dilakukannya itu pantas atau tidak, menyinggung perasaan orang lain apa tidak.

Saling menasehati adalah sebuah kewajiban, tapi ketika itu disampaikan dengan cara-cara yang kurang bijak (ceplas-ceplos dan menyinggung perasaan), sangat boleh jadi tujuan mulia kita menjadi tersamar oleh kekurangan kita dalam mengemas makna dan tujuan kita. Perlu ketepatan waktu dan cara agar orang lain mau menerima apa yang kita sampaikan.

- Belum tahu malu,

Seorang anak kecil, sering kita lihat dengan tanpa merasa risih memperlihatkan bagian-bagian yang semestinya tertutup rapat. Pun dengan kita, dengan kedewasaan kita, semestinya kita bisa menutupi aurat, dalam pengertian sebenarnya, yaitu aurat yang terdapat dalam jasmani kita, atau dalam pengertian kiasan, untuk menutupi aib kita dan keluarga, sebagaimana Allah menutupi dan mengampuni sebagian besar aib dan dosa kita.

- Suka merengek,

Anak kecil, jika menginginkan sesuatu, suka merengek dan ngambek kalau tidak “dituruti”. Ini adalah “kesalahan” dari sebagian kita, bahwa seolah-olah setelah kita beribadah, kita berhak menuntut Allah dengan keinginan-keinginan kita.

Ibadah kita bukan lagi sebagai bentuk penghambaan, sebagaimana tujuan penciptaan kita, melainkan sebagai sarana “intimidasi” terhadap Allah. Benar Allah memerintahkan kita untuk memohon kepada-Nya, bukan untuk memaksakan kehendak kita terhadap-Nya. Dia-lah yang mempunyai sifat memaksa, bukan kita....

- Tingkat kepedulian yang rendah,

Perhatikan anak kecil yang sedang menikmati permennya, dia tidak akan peduli ketika ada teman atau orang disekitarnya juga ingin permen tersebut, dia tidak peduli dengan sekelilingnya.

Kedewasaan, seharusnya mengantarkan kita pada kesadaran bahwa pada apa yang kita miliki, juga ada hak orang lain yang harus dipenuhi, dengan zakat dan shodaqoh misalnya. Tingkat kepedulian kita terhadap orang lain dan lingkungan kita adalah cermin dari tingkat kedewasaan kita. Seorang ulama mengatakan, bahwa selain rukun Islam dan Rukun Iman yang wajib kita laksanakan dan kita imani, kita juga perlu, kalau tidak mau dikatakan wajib, untuk memiliki satu rukun lagi, yaitu rukun tetangga. Bukankan Nabi pernah berkata “tidak beriman dia, tidak beriman dia, tidak beriman dia” sampai tiga kali, hingga sahabat bertanya “siapa dia yang tidak beriman itu Ya Rosul?”. Nabi menjawab “Mereka orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan tanganya (dan lidahnya?). Demikian pentingnya kepedulian terhadap sesama sehingga tingkat kepedulian kita sangat mempengaruhi kualitas iman kita.

- Seenaknya sendiri,

Pantas atau tidak,benar atau salah, bukan urusan, yang penting “saya”. Itu sifat sebagian anak kecil.

Seseorang yang telah memiliki tingkat kematangan dan kedewasaan, akan selalu mengukur ucapan dan tindakannya dengan tiga barometer. Apakah apa yang akan saya katakan/lakukan sudah sesuai dengan “syariat”, apakah sudah dilakukan dengan “thareqat” yang benar dan apakah ucapan dan tindakan saya mampu mencapai “hakekat” sebagaimana adanya. Orang yang suka bicara dan berbuat seenaknya sendiri, harus kembali meninstropeksi tingkat kedewasaanya.

- Memaksakan kehendak.

”Pokoknya saya mau ini”, itulah ungkapan yang sering kita dengar ketika seorang anak menginginkan sesuatu. Tidak peduli apakah pilihannya tepat atau pantas bagi dirinya, tidak peduli dengan pendapat dan nasehat dari orang tuanya, yang mungkin lebih tahu kepatutan dan kebutuhannya. Itulah kita, yang terkadang memaksakan kehendak dan keinginan kita terhadap anak kita sekalipun...

- Belum tahu tanggung jawab;

Adalah maklum jika seorang anak yang belum dewasa belum memiliki tanggung jawab, baik secara pribadi maupun tanggung jawab kolektif. Tapi jika kita yang sudah memasuki usia hampir setengah abah masih belum memiliki tanggung jawab terhadap syahadat kita, maka kita harus kembali bercermin, benarkah kita sudah dewasa. Kalimat syahadat adalah kalimat yang sarat makna dan mengandung berbagai konsekuensi. Ketika kita berikrar bahwa “tiada ilah yang berhak diibadahi, artinya kita secara akidah dan moral harus bertanggung jawab untuk melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab dan meninggalkan ilah-ilah selainya. Ketika kita berikrar bahwa Muhamad adalah rosul-Nya yang, maka kita harus secara dewasa menjadikan beliau sebagai the only one teladan yang harus kita ikuti.

Itulah sekelumit gambaran dan hikmah yang dapat kita ambil untuk mengukur tingkat kedewassan kita melalui anak kita.

Bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi)

Sebuah cerita tentang bagaimana indahnya berdesakan dalam Bus yang mengantar penulis pulang-pergi kerja dari Cikampek – Cibitung. Setiap pagi, demi mengejar jam kerja yang rata-rata masuk pukul 8.00, orang-orang berlomba untuk saling mendahului menaiki bus kota, pun demikian dengan penulis dan beberapa teman lain. Kami senantiasa bersiaga penuh menunggu bus, begitu bus yang sesuai jurusan, kami berlari dan berlompatan kedalam bus untuk memperoleh tempat duduk. Karena kapasitas bus yang terbatas, sebagian kami terpaksa harus berdiri bergelantungan dan sebagian lain duduk bersandar dengan nyaman.

Dari sinilah cerita berawal, yaitu perilaku para penumpang bus yang duduk dan yang berdiri sungguh sedemikian kontras. Penulis melihat, hampir setiap orang yang berdiri berusaha memperoleh pegangan dengan kedua tangannya, kakinya berdiri memasang kuda-kuda untuk menahan goncangan bus yang berlari kencang, punggung pun sedapat mungkin disandarkan pada sandaran kursi, pokoknya sedapat mungkin mendapat pegangan dan sandaran agar tidak jatuh ketika bus ngerem mendadak atau bermanuver.

Sementara para penumpang yang memperoleh tempat duduk, mereka duduk santai, sama sekali tidak berpegangan dan bahkan kadang-kadang tertidur, sungguh sebuah pandangan yang kontras.

Bus dan perjalanan adalah gambaran hidup dan kehidupan kita, sementara penumpang adalah kita sendiri. Penumpang yang berdiri, kemudian berpegangan dan bersandar sedemikian rupa adalah gambaran kita pada saat kita berjuang mendapatkan sesuatu atau ketika kita ditimpa sesuatu yang tidak kita inginkan, katakanlah musibah. Ketika itu, kita, seperti penumpang bus yang berdiri tadi, berusaha memegang apapun yang mungkin, kita mencari orang-orang disekeliling kita untuk dimintai tolong, sanak-saudara dan juga pada saat itu kita menjadi sangat taat kepada Allah (seperti gambaran diatas, bahwa kita bukan hanya bersandar secara horizontal pada kursi, kita juga berpegangan secar vertikal pada pegangan bus).

Namun ketika semua masalah dan musibah berlalu, kita kembali lalai, silaturahim yang kita jalin selama ini, menjadi terbengkalai dengan alasan kesibukan, pun demikian ketaatan kita pada Allah Swt mulai memudar, kita lebih disibukan oleh impian-impian kita daripada beribadah kepada Allah, persis seperti penumpang yang dapat duduk tadi, tertidur pulas, tanpa peduli siapa disekelilingnya.

Allah menyindir manusia jenis ini dengan friman-Nya dalam surat Luqman:32

32. Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus[1186]. dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.

[1186] yang dimaksud dengan jalan yang lurus ialah: mengakui ke-esaan Allah.


Idealnya, kapanpun dan pada saat apapun, kita senantiasa harus berpegang teguh pada tali Allah secara istiqomah...dan tidak tertidur dan terlena karena sedikit nikmat yang ada pada kita.

Semoga Allah memberikan kepada kita sifat Istiqomah dalam meniti perjalanan hidup ini.

Wassalam

Desember 30, 2006

Mudik

Hampir dua bulan yang lalu, menjelang hari raya idul fitri, sebuah pemandangan, kalau tidak mau dikatakan fenomena mudik terpampang didepan kita. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang beramai-ramai pulang kampung dengan berbagai macam kendaraan dan berbagai bekal yang dibawanya untuk persiapan menempuk perjalanan yang panjang, sungguh mengasyikan menyaksikan pemandangan yang hanya terjadi setahun sekali tersebut.

Dalam berbagai artikel dan surat kabar, banyak dijumpai tip-tip bagi pemudik agar dapat sampai ketujuan dengan cepat dan selamat, berikut adalah beberapa tip mudik yang harus dipersiapkan;

- Pastikan kendaraan yang akan digunakan layak dan dalam keadaan yang sehat

- Pelajari rute yang akan ditempuh dan berbagai jalur alternatif yang mungkin diambil, jika terjadi kemacetan

- Bawa bekal secukupnya

- Pastikan kondisi badan sehat dan fit, dan lain-lain

Bekal yang cukup dan pastikan kita siap menghadapi perjalanan yang panjang dengan berbagai kemungkinan yang kita hadapi....sebuah tip yang sangat baik dan bermanfaat.

Lalu, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk “mudik abadi” kita kekampung akherat yang sewaktu-waktu datang?

Perjalanan nan panjang setelah kematian adalah sesuatu yang harus kita siapkan dari sekarang. Jika kita mudik ke Semarang, Surabaya atau kekota lainya, kita mempersiapkan segala sesuatu dengan demikian baik, seharusnya kita mempersiapkan bekal yang jauh lebih baik untuk menghadapi mudik abadi kita.

“Kampung Akherat” tempat kita kembali kelak, adalah sesuatu yang sangat asing bagi kita, kita tidak tahu berapa panjang perjalanan yang akan kita tempuh, kita tidak tahu berapa lama kita akan menunggu diterminal “kubur” kita hingga kita dibangkitkan, kita tidak tahu cuaca dan kondisi disana, kita tidak tahu apapun....tentang “kampung kita itu”

Hal yang mungkin dan paling bijaksana ketika akan menempuh sebuah perjalanan panjang dengan berbagai kondisi yang sama sekali kita tidak tahu adalah kita mempelajari “peta” tentang kehidupan dan kondisi disana, peta itu bernama “al qur’an”. Dari al qur’an lah kita bisa memndapatkan gambaran kehidupan syurga dan neraka dan siapa saja penghuninya, lalu syarat-syarat untuk menjadi penghuni syurga dan signal-signal yang tidak boleh dilanggar agar kita tidak terjerumus kedalam jurang neraka.

Kita harus memulainya, memulai mempelajari peta kehidupan kita dikampung akherat dari sekarang, bukan besok atau nanti, karena kita tidak tahu kapan kita akan dijemput. Bukalah al qur’an sekarang!

Lalu, kita juga harus mempersiapkan “bekal” sebanyak mungkin dan persiapan yang maksimal.

Apa bekal kita.....?

Dunia ini adalah ladang untuk bercocok tanam amal ibadah, yang buah amalnya akan kita bawa sebagai bekal kita menuju kampung akherat.

Layaknya bercocok tanam, amal ibadah kitapun harus terus dijaga dan dipupuk dengan ikhlas dan istiqomah, sehingga berbuah keridhoan dari Allah Swt. Amal ibadah yang dibiarkan terlantar tanpa ilmu dan ikhlas, maka ia tidak akan menghasilkan buah amal yang bisa kita bawa “kelak” atau mungkin hari ini atau besok.

Sudahkan kita mempelajari “peta al qur’an” mempersiapkan bekal “taqwa” untuk “mudik abadi” kita?

Desember 06, 2006

An Nahl, Anaml, Al Ankabut dan Al fiil

Al qur’an, sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad, merupakan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang mau mempelajarinya. Al qur’an ibarat lautan yang semakin diselami akan semakin banyak keindahan dan keunikan yang akan kita temukan. Semakin dalam kita menyelami al qur’an, maka makin banyak mutiara yang akan kita temukan didalamnya.

Salah satu keunikan al qur’an adalah ia (al qur’an) akan berbicara kepada pembacanya sesuai dengan kemampuan si pembaca itu sendiri. Dari Taman kanak-kanak sampai keperguruan tinggi atau bahkan seorang professor - pun membaca dan menggunakan al qur’an yang sama, tetapi pemahaman anak tk, anak sekolah dasar dan sekolah menengah dan seterusnya sampai tingkatan profesor, pasti akan berbeda ketika memaknai seuatu ayat atau sebuah surat dari al qur’an, tergantung pada kapasitas dan kemampuan sipembacanya.

Salah satu yang dapat kita tangkap dari al qur’an adalah keindahan perumpamaan yang digunakan al qur’an untuk menggambarkan sesuatu. Salah satu contoh kecil adalah pengabadian tiga nama hewan kecil dan satu mamalia besar sebagai nama surat dalam al qur’an, yaitu Surat An Nahl (Surat 16), Surat An Naml (27), Al ankabut (29) dan Al Fiil (105). Ada apa dibalik pengabadian nama-nama hewan tersebut diatas, misalnya bukan harimau,singa atau lainnya?

An Nahl (lebah) adalah sebuah tamsil bagi peribadi muslim yang paripurna. Keunikan lebah dapat kita golongkan sebagai berikut:

- Lebah hanya makan sari pati bunga, artinya adalah bahwa lebah merupakan hewan yang selektif dalam hal memilih makanan. Selapar apapun lebah, mereka tidak makan selain sari pati bunga. Bukankan ini sebuah ibrah bagi kita, bahwa seorang muslim adalah orang yang mampu memilah dan memilih makanan yang baik dan sehat. Bukan hanya dari kadar halal dan haram makanan tersebut, juga dari sumber mana makanan itu diperoleh. Itu pelajaran pertama yang dapat kita ambil dari hewan kecil yang bernama lebah.

- Sudah merupakan sunatullah bahwa masukan yang baik, akan menghasilkan keluara yang baik juga, pun demikian dengan lebah, sari pati yang mereka konsumsi, menghasilkan madu, yang kita tahu manis rasanya, banyak manfaatnya. Pribadi muslim yang paripurna adalah pribadi yang hanya makan yang baik sehingga ia hanya mengeluarkan kata-kata dan tingkah laku yang baik pula. Seorang muslim yang terjaga dari makanan dan minuman haram, akan terpelihara juga dari kata-kata dan perbuatan yang sia-sia, apalagi kata-kata dan perbuatan yang propokatif. Makanan adalah sumber energi untuk melakukan berbagai aktivitas, jika energi positif dari hasil makanan yang baik lagi halal, maka akan melahirkan gerak lisan dan perbuatan yang insya allah baik pula.

- Hal ketiga yang dapat kita ambil pelajaran dari lebah adalah dimanapun lebah hinggap, tidak ada putik bunga yang rusak, bahkan sebaliknya, ia berfungsi juga bagi perkawinan putik sari dan serbuk sari sebagai proses kelangsungan hidup bunga itu sendiri. Pun demikian halnya dengan pribadi muslim yang paripurna, dimanapun bumi diinjak, disitu langit dijunjung.

Seorang muslim bukanlan seorang pembuat onar yang suka menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatan dimana ia tinggal, sebaliknya, ia, seorang muslim yang ideal adalah motor bagi gerak maju masyarakat disekelilingnya, dan lebih dari itu, ia juga mampu menjadi pelopor dan motivator bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakatnya..

- Keempat, lihat sarang lebah, sarang itu berbentuk hexagonal (segi enam), yang dalam pengetahuan modern diketahui bahwa segi enam (hexagonal) mampu menampung volume yang lebih banyak, dibandingkan dengan kubus, segitiga atau lingkaran, dari jumlah material yang sama.

Artinya, lebah adalah jenis hewan yang selain selektif, juga cerdas, efektif dan efisien, mereka mampu membuat sarang dengan bahan yang sedikit tapi mampu menampung volume yang lebih besar.

Allah sangat benci kepada para pemboros, bahkan ia, para pemboros digolongkan sebagai “ihwannya syaitan”. Untuk itu pribadi muslim adalah pribadi yang mampu berlaku dan bertindak secara efektif dan efisien. Tidak kikir dan juga tidak berlebihan dalam menafkahkan harta dan waktunya.
- Lebah juga sekolompok hewan yang akan menyerang siapapun yang menggangu kenyamanan dan keamanan mereka. Mereka tidak pernah iseng mengganggu, tapi ketika saatnya tiba harus mempertahankan dirinya, mereka akan sontak serentak bangkit membela kehormatanya.

Seorang muslim adalah pribadi yang tidak akan pernah mencari gara-gara apalagi mencari musuh, tapi pribadi muslim yang benar adalah pribadi yang sanggup membela dan mempertahankan kehormatan diri, agama dan bangsanya.

An Naml (semut), sebagaimana kita tahu, hanyalah hewan kecil yang hampir tiap hari kita jumpai dengan mudah, dirumah, dikantor, dikebun dan hampir disemua tempat kita bisa jumpai hewan kecil ini. Satu hal yang umum kita kenal dari hewan semut adalah mereka senantiasa saling “menyapa” ketika mereka berpapasan, entah apa maksud dari aktivitas itu, namun yang jelas, sebagian orang memaknai aktivitas itu sebagai tanda solidaritas dari kalangan semut. Kisah tentang semut, ditemukan dalam al qur’an ketika al qur’an mengisahkan perjalanan pasukan nabi Sulaiman as, yang ketika melewati suatu tempat, nabi Sulaiman, yang konon dikaruniai Allah kemampuan untuk memahami bahasa binatang, mendengar percakapan sekelompk semut yang hampir terinjak oleh pasukannya.

Lepas dari karakter semut tersebut diatas dan bagaimana kisahnya dalam al qur’an, ada satu lagi karakter semut yang sangat jarang kita bicarakan. Coba perhatikan sekali lagi, bagaimana semut-semut yang hilir mudik membawa makanan kedalam sarangnya, bukan jenis makanannya yang penting, tapi jumlah makanan yang mereka bawa, sekali lagi perhatikan, mereka membawa makanan yang dua,tiga kali dan bahkan sampai 5 kali lebih besar dari ukuran tubuhnya. Kita bisa bayangkan, jika makanan itu mereka makan, pasti tidak akan habis untuk satu sampai dua kali mereka makan, bahkan mungkin sampai akhir masa hidupnya. Tapi tetap saja semut keluar dari sarangnya untuk mengumpulkan makanan yang tidak akan mereka nikmati. Adakah kita seperti semut? Pergi keluar rumah sejak matahari belum lagi sempurna menyinari bumi, dan pulang ketika matahari sudah kembali keperaduan atau bahkan larut malam, hanya untuk mencari sepiring, dua piring nasi yang kita makan. Kita, serakus apapun pasti tidak akan mampu menghabiskan lima piring nasi sekaligus, lalu mengapa kita sedemikian ngotot untuk mengumpulkan harta? Untuk warisan? Belum tentu juga harta yang kita kumpulkan akan menjadi manfaat bagi anak cucu kita, dan bahkan mungkin menjadi sumber malapetaka akibat perebutan warisan, jadi,,,,,masihkah kita akan menjadi semut?

Al Ankabut (laba-laba), jenis serangga yang unik dan sangat menarik kita perhatikan. Pertama bagaimana cara laba-laba mencari makan? Ia memasang perangkap dan jaring untuk menjerat mangsanya, kemudian membiarkan mangsanya menggelepar kehabisan nafas dalam jeratannya, lalu ia akan memakannya. Sungguh sebuah usaha yang sangat “kejam” dan bahkan, sang pejantan yang telah membuahinyapun tak lepas dari ancaman jerat dan kekejamannya. Adakah kita seperti laba-laba? Menjerat mangsa kita, melumpuhkannya lalu membantainya?

Al Fill (Gajah) adalah binatang mamalia terbesar yang hidup didarat, yang kekuatan dan berat tubuhnya mungkin setara dengan dua puluh kekuatan dan berat tubuh orang dewasa. Tapi sering kali kita lihat, gajah, binatang yang perkasa itu menjadi sedemikian patuh hanya oleh seorang pawang. Ia hanya menurut ketika disuruh ini dan itu, bahkan ketika kepala disakitipun,ia tidak berontak. Mengapa?

Karena gajah tidak pernah mendongak melihat langit, dia hanya tertunduk..maksudnya gajah adalah simbol dari siapapun yang mempunyai potensi, tapi ia sendiri tidak tahu potensi yang ada pada dirinya. Ia sudah terpola dan terbelenggu oleh kondisi yang sedemikian rupa diciptakan oleh sang pawang.

Ada beberapa belenggu yang kerap membelit potensi kita, tapi kita sendiri tidak menyadarinya,

- Belenggu masa lalu, Ketika kecil, biasanya gajah-gajah di ikat kakinya dan tidak diberi makan, sehingga ia lemas. Ketika gajah kecil itu mencoba melepaskan ikatan dikakinya, ia selalu gagal, sehingga perasaan gagal inilah yang terus terbawa sampai ia dewasa. Ketika kekuatannya telah bertambah besarpun, ia enggan mencoba melepaskan ikatan tali, karena ia trauma dengan percobaan yang gagal dimasa kecilnya.

Setiap orang mempunyai masa lalu, ada yang masa lalunya indah, dan ada pula yang kurang menyenangkan. Keindahan masa lalu tidak berarti apa-apa jika kita tidak menjadikannya sebagai modal kita, pun dengan masa lalu yang kurang baik, kita tidak bisa memenjarakan diri kita dengan masa lalu, karena sedetikpun masa lalu bisa kita ubah, maka hiduplah untuk hari ini, kemudian tataplah kedepan, kemana kita akan menuju dan apa yang ingin kita capai, bukan terus-menerus terkungkung oleh bayangan masa lalu.

- Belenggu usia, “Akh saya mah sudah tua” atau “Saya masih terlalu muda untuk melakukan hal itu”. Itu ungkapan-ungkapan pembunuh kreativitas yang hendaknya kita buang-jauh-jauh. Tidak ada batasan usia yang tepat untuk melakukan sesuatu yang besar. Ada banyak contoh bahwa usia bukanlah halangan seseorang untuk mencapai prestasi puncak. Ada orang justru mencapai prestasi gemilang ketika usianya sudah senja, pun ada pula orang yang mencapai keemasaan pada usia yang relatif masih muda. Usia bukanlah halangan bagi kita untuk berprestasi.

- Belenggu pikiran – Perbedaan nyata antara orang sukses dan orang gagal adalah terletak pada bagaimana cara ia berpikir dan memandang hidup. Ada orang yang memiliki “kepasrahan semu” sehingga belum apa-apa ia telah menyerah sebelum ia melakukan apapun. Ia terlalu sibuk berdalih untuk mencari kambing hitam bagi kegagalanya dalam memenej pola pikirnya.

Demikian sekelumit kisah dan hikmah dibalik pencantuman nama-nama hewan yang terdapat dalam al qur’an – dari berbagai sumber

Manchester United Vs Arsenal

Akhir pekan ini terjadi sebuah pertandingan yang sarat gengsi dan penuh prestise antara dua kekuatan dijagat sepakbola Inggris, yaitu big match antara Manchester United Versus Arsenal, dua penguasa singgasana primer league dalam beberapa tahun terakhir, kecuali dalam dua tahun terakhir dimana singgasana premier league dibawa pulang Chelsea ke Stamp Bridge.

Kenapa pertarungan kedua kesebelasan tersebut selalu saja menjanjikan sebuah pertarungan yang menarik dan layak ditonton bagi pecinta bola dibelahan dunia manapun?

Jawabannya adalah karena adanya Rivalitas yang sudah demikian kental antara kedua kesebelasan ini. Rivalitas inilah yang kemudian memunculkan semangat kompetisi dari setiap indivdu yang terlibat didalamnya. Para pemain menjadi terpacu untuk menunjukan kemampuan terbaiknya dan berusaha untuk memberikan kemenangan bagi kesebelasannya. Pelatih dari kedua kubu pun demikian terpacu adrenalinnya dan berusaha meracik sebuah strategi yang paling baik, lagi untuk memenangkan timnya.

Singkatnya, semangat kompetisi untuk menjadi yang terbaik telah memacu setiap individu untuk berlomba menjadi pemenang.

Al qur’an sering menggunakan kata-kata semacam ini, seperti “bersegeralah”, berlomba-lomba” dan lainya yang dimaknai sebagian ulama sebagai suatu “kompetisi” dalam upaya setiap individu muslim untuk menjadi pemenang dan menjadi yang terbaik disisi Allah Swt.


148. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala (2:148) sesuatu.

48..............., Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,(5:48)



114. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (3:114)


21. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar. (57:21)


90. Maka kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas[970]. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami.(21:90)

[970] Maksudnya: mengharap agar dikabulkan Allah doanya dan khawatir akan azabnya.


Perhatikan ayat-ayat diatas, Allah memerintahkan kita untuk berlomba – lomba dalam mengerjakan kebaikan, yang artinya dalam perlombaan mengerjakan kebaikan akan ada orang yang memperoleh kemenangan, berupa balasan pahala yang ridha Allah, ada pula orang yang menderita kekalahan karena mereka lalai dan terlambat dalam mengerjakan amal kebajikan.

Sekarang pilihan ada pada kita, apakah kita akan berusaha tampil sebaik mungkin untuk menjadi pemenang dalam perlombaan mengerjakan kebajikan, atau kita akan tampil ala kadarnya, sehingga kita akan menjadi pecundang yang hanya akan mendapatkan penyeselan diakhir perlombaan.

Demikian pun halnya dengan upaya kita untuk memperoleh ampunan dari Allah, kita harus berlomba dengan waktu yang terus melaju. Kita tidak bisa menunggu untuk memohon ampunan Allah, karena kita tidak tahu, sudah sampai mana rute yang sudah kita lalui dalam perjalan hidup ini, masih jauh dari garis finish atau sebaliknya, ditikungan sana garis finish dan akhir kehidupan kita menjelang.


“Aah nanti aja tobat mah gampang...”

“Kita kan masih muda, masih banyak waktu untuk tobat, sekarang sih foya-foya aja dulu, nanti kalau sudah tua, baru tobat”

Itu khan versi kita, seolah-olah kita tahu berapa lama lagi usia kita, iya kalau kita diberikan umur yang panjang dan memungkinkan kita untuk tobat, kalau tidak? Maka Allah membahasakan “berlomba-lombalah kamu untuk memperoleh ampunan Allah”, karena boleh jadi jika akan menyesal bila kita menunda-nunda saat tobat kita, sementara garis finish sudah didepan mata.

Bahkan dalam surat Al Anbiya diatas, Allah menggambarkan bagaimana Allah mengabulkan do’a Nabi Zakaria untuk memiliki seorang putra ditengah berbagai kondisi Nabi Zakaria yang sudah lanjut, salah satunya juga karena Nabi Zakaria orang yang senantiasa bersegera dalam mengerjakan kebaikan.

Pun demikian dalam keseharian kita, kita pun harus berlomba-lomba untuk meningkatkan taraf hidup kita, berlomba-lomba untuk meningkatkan pangkat dan jabatan kita, itu boleh-boleh saja sepanjang perlombaan dan kompetisi itu dilakukan dengan cara-cara elegan layaknya seorang kstaria, bukan dengan cara-cara pengecut yang menghalalkan segala cara untuk sekedar mencari muka dihadapan atasan misalnya, dengan meminta bantuan dukun, dengan menyebarkan isu yang tidak benar, fitnah, dan sebagainya. Seorang ksatria tidak pernah mau memenangkan perlombaan dan kompetisi dengan cara licik dan membokong musuh sekalipun, apa lagi kompetisi untuk menjadi yang terbaik dikantor dilakukan dengan teman seperjuangan, sungguh memalukan apabila masih ada orang yang berlaku lalim dengan membokong temannya untuk mendapatkan “kemenangan” semu.

Mari berlomba-lomba dalam kebaikan dan berlomba untuk memperoleh ampunan dan ridha Allah swt , mari tinggalkan kompetisi yang tidak sehat yang bukan saja akan menghancurkan teman, tapi insya Allah juga akan menghancurkan kita pada saatnya nanti.

Semalat berlomba, selamat menjadi pemenang pahala-pahala kebajikan, selamat menjadi pemenang ampunan dari Allah dan surga yang dijanjikan-Nya.

Wassalam

January. 18, 2007

SABAR TANPA BATAS

45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (Al Baqarah:45)


“Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat”, memang berat, sangat berat untuk menjadi seorang yang sabar, dan untuk itu pula Allah menempatkan orang yang sabar pada maqam tersendiri disisinya.

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqarah:153)

[99] ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.


“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”, itulah jaminan dari Allah, bahwa barang siapa yang mampu sabar, ia akan ditempatkan disisi-Nya, dan itu adalah sebuah kehormatan diatas kehormatan, itulah keindahan diatas keindahan, itulah kemulian diatas kemulian, manakala kita ditempatkan Allah disisi-Nya.

Lalu dalam hal apa saja kita harus “sabar”?

Sabar dalam mengabdi dan menjalankan perintah-Nya – sebuah pengabdian membutuhkan kesabaran yang sangat luar biasa, karena dalam pengabdian, kita dituntut untuk dapat menyerahkan secara total segala kepentingan dan privaci kita (kalau ada) untuk Allah Swt. Pengabdian memerlukan kontinuitas, pengabdian memerlukan kesungguhan, yang juga sangat bergantung pada tingkat kesabaran kita.

Ketika kita rajin tahajud, rajin shalat nafilah, rajin puasa sunnah, tapi itu kita lalukan ketika kita “ingin sesuatu”, ingin naik jabatan, ingin naik gaji, ingin lainnya, bukan pengabdian namanya, itu pamrih, dan biasanya setelah keinginan kita tercapai, ketaatan kita kemudian dengan segera menghilang entah kemana. Istiqomah dan tanpa pamrih, itu inti pengabdian, dan hanya orang-orang yang benar iman dan sabarnya saja yang mampu melakukannya.

Jangan pernah cemas jika kita serahkan semuanya, hidup mati kita, ibadah kita, urusan kita, masalah kita, keluh kesah kita kepada Allah, karena memang yang itu yang benar, itu tawakal namanya.

Lain kalau kemudian kita mengabdikan diri kepada selain Allah, bayangkan jika kita harus berkorban dan menyerahkan hampir seluruh yang kita miliki, waktu, tenaga dan pikiran kita untuk mengabdi pada setan, pada jin atau pada dukun-dukun, sungguh, apapun yang kita dapat dari pengabdian sejenis ini, pasti kita sesungguhnya telah menjadi seorang yang paling menderita.

Sabar dalam menjauhi larangannya – setan pandai sekali mengemas sesuatu yang bathil dengan kemasan kenikmatan. Setan mengemas kemusryikan dengan balutan kekayaan, setan mengemas harta haram dengan kemewahan, setan pandai sekali mengemas pangkat dan jabatan nan korup dengan balutan kemuliaan, dan jika kita tidak berhati-hati memilah dan memilih apa yang ditawarkan setan dengan kemasannya yang menggiurkan itu, niscaya kita akan tertipu oleh kelicikannya. Hanya dengan kesabaran kita mampu melihat dengan jelas, bahwa harta yang ditawarkan oleh setan untuk menghindarkan kita dari kemiskinan adalah sebuah kemusryrikan, hanya dengan kesabaran kita mampu memilah mana harta yang halal lagi barakah, dan mana yang samar lagi subhat, dan seterusnya, kesabaran, kesabaran dan kesabaran yang akan mampu menyelematkan kita dari tipu daya dan bujuk rayu sang durjana.

Sabar dalam menjalani ujian-Nya – kemiskinan, rasa takut, kelaparan, kekurangan adalah beberapa jenis ujian dari Allah yang akan diberikan kepada kita, tujuannya tak lain untuk mengukur kadar dan kualitas kesabaran kita, apakah kita mampu menjalaninya dengan penuh keimanan, atau sebaliknya, kita lari tunggang langgang dengan menjual keimanan dengan sesuatu yang tak berharga.


155. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

Sabar dalam mensyukuri nikmat-Nya – mensyukuri nikmat juga perlu kesabaran, mensyukuri nikmat tidak hanya ketika kita mendapatkan sesuatu, jauh lebih dari itu, dituntut kesadaran kita bahwa apa yang tidak lepas dari kita juga merupakan sebuah nikmat. Kita umumnya, akan bersyukur (itupun Alhamdulillah), ketika kita mendapatkan gaji atau apa yang kita cita-citakan, tapi kita kerap lupa bersyukur manakala kita sehat, manakala kita lapang, manakala tidak ada yang hilang dan keluar dari apa yang telah kita miliki. Kesabaran diperlukan untuk dapat tetap istiqomah dalam mensyukuri nikmat-nikma-Nya

Sabar dalam berjihad – jihad dalam pengertian luas diartikan sebuah kesungguhan upaya kita dalam melaksanakan sesuatu. Memerangi hawa nafsu, memerangi kebodohan, memerangi kemiskinan, memerangi kedhaliman dan jihad yang sangat besar nilainya disisi Allah, dan hanya orang-orang yang memiliki kadar dan kualitas kesabaran yang memadai saja yang mampu dengan sungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, hanya orang yang memiliki kadar kesabaran dengan kualitas tertentu saja yang akan mampu berjuang bersungguh-sungguh memerangi kemiskinan dan kebodohan yang membelenggu masyarakatnya. Tantangan, rintangan dan aral yang melintang hanya akan bisa dilewati dengan sikap sabar dan istiqomah.

Sabar dalam beramar makruf nahi munkar – saling memberi nasehat dalam hal kebajikan adalah sebuah cerminan dari orang-orang yang tidak merugi, dan orang yang sabar sajalah yang mampu melakukannya. Tidak mudah kita mengajak orang untuk berpikir dan berbuat benar sesuai dengan syari’at, pasti banyak resistensi ketika kita mengajak orang untuk meninggalkan sesuatu yang disenanginya, meskipun itu melanggar syari’at, dan sekali lagi hanya orang-orang yang sabar saja yang akan mampu melakukannya.

200. Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.


Sabar tanpa batas, Bersabarlah, kuatkan kesabaran dan tetaplah siaga (dalam kesabaran), supaya kamu beruntung.

Wassalam

February, 26, 2007

Friday, February 23, 2007

Pelangi dan Relativitas

“Kamu enak, banyak lemburan, saya sich nggak pernah bisa lembur”

“Kamu enak, bisa pulang on time terus, sementara saya harus lembur”

“Kamu enak, bisa keliling dan nambah wawasan, saya seharian dikantor terus”

“Kamu enak, dikantor terus, saya tiap hari harus keliling”

“Kamu enak kerja dikantor dapat gaji tetap tiap bulan, orang dagang mah tidak tentu penghasilannya, bahkan kadang rugi”

“Kamu enak jadi pedagang, bisa menentukan sendiri waktu kerjanya, sementara saya harus mengikuti jam kerja kantor, bosan”

“Kamu enak jadi pegawai negeri, dapat pensiunan, kerja swasta sich tidak ada pensiunan”

“Kamu enak kerja swasta, gajinya besar, sementara pegawai negeri mah gajinya kecil”

Dialog diatas, adalah dialog keseharian kita dan orang-orang disekitar kita. Semuanya bilang “enak” kepada orang lain, sementara posisinya sekarang seolah-olah “tidak menguntungkan”.

Demikianlaah memang definisi “enak” itu, seperti halnya Pelangi yang tak pernah diatas kita, dimanapun kita berada, selalu saja pelangi berada diatas orang lain. Karena “Enak”, “Kebahagiaan”, “Tidak Enak” atau “Penderitaan” adalah sesuatu yang relatif, artinya tergantung dari sudut pandang dan posisi mana kita akan melihat dan merasakannya.

Hanya orang-orang yang mempunyai sikap Qana’ah dan Orang Yang Pandai bersyukurlah yang mampu menikmati apa yang ia miliki sekarang dan senantiasa bergantung pada sandaran vertikal yang kuat dengan memaknai kalimat “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” dengan benar.

Kebahagiaan dan penderitaan tidak lebih dari perasaan hati dan pikiran kita, boleh jadi uang, kedudukan dan pangkat yang kita miliki menjadi sumber penderitaan bagi kita, manakala kita tidak mampu menyikapi bahwa semuanya datang dari Allah dan pasti akan kembali pada-Nya.

Ketika semua yang kita miliki diambil oleh Sang Pemilik sesungguhnya, kita menjadi hancur karenanya. Sementara kesederhanaan, kebersahajaan dan kedudukan yang biasa-biasa saja sekalipun, boleh sangat jadi menjadikan kita orang paling bahagia, ketika kita mampu mensyukurinya.

Sudahkah kita bersyukur hari ini?

JANGAN TANYAKAN ...

JANGAN TANYAKAN APA YANG TELAH ISLAM BERIKAN KEPADAMU,
TANYAKAN APA YANG TELAH KAU BERIKAN UNTUK ISLAM

18. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nahl:18)


Satu ayat diatas kiranya cukup untuk memberikan penjelasan kepada kita, bahwa kita tak perlu lagi bertanya apa yang telah Allah berikan kepada kita, karena Islam (dan Iman) adalah merupakan anugrah terbesar dan terindah yang Allah berikan kepada kita.

Dengan Islam kita dimuliakan didunia dan akhirat, dengan Islam kita dikeluarkan dari kegelapan ke dalam alam yang penuh cahaya yang terang benderang, dengan Islam kita terlepas dari kebodohon, dengan Islam kita diselamatkan dari jurang neraka, dengan Islam kita menjadi “manusia”, dengan Islam insya Allah kita akan kembali pada-Nya.

Lalu pertanyaan kedua, Apa yang telah kita berikan untuk Islam?

Perlu beberapa saat untuk memikirkannya, dan itupun masih perlu ditambah be beberapa waktu lagi, lagi, lagi, karena hampir tak ada yang telah kita berikan untuk Islam sebelum ini.

Ketika generasi Islam pertama harus berperang mempertahankan panji-panji Islam, berperang dengan kaum kafir jahiliyah, mempertaruhkan jiwa, raga dan harta, kita belum lahir, kita tidak ikut didalamnya.

Ketika generasi berikutnya, berjuang mempertahankan keutuhan Islam dari ancaman dan perpecahan akibat fitnah kaum munafik, kita juga tidak ikut didalamnya.

Ketika umat Islam dulu berusaha menyebarkan Islam keberbagai wilayah, kita juga tidak ikut didalamnya.

Ketika umat dan generasi terbaik umat ini menyusun mushaf al qur’an, kita juga tidak ada dan tidak ikut.

Ketika umat dan generasi terbaik umat ini mengumpulkan, menyaring dan meneliti ratusan ribu hadits, sebagai sumber hukum kedua setelah al qur’an, kita juga tidak terlibat.

Ketika umat dan generasi terbaik umat ini melahirkan karya-karya yang kemudian hari mampu merubah peradaban dunia, kita juga tidak hadir disana.

Ketika umat dan generasi terbaik umat ini berjuang mempertahankan aqidah dan wilayahnya, kita juga tidak ikut;

Jadi peran kita dimana? Dimana peran kita yang mengaku umat Islam?

Peperangan mempertahankan keutuhan aqidah, sebagaimana dialami umat-umat terdahulu sudah berlalu, mushaf al qur’an sudah dibukukan, Hadits sudah dibukukan, buku-buku karya ulama Islam sudah banyak tersebar, lalu peran apa yang dituntut dari kita sekarang adalah bagaimana menjaga apa yang telah dengan susah payah diperjuangkan dicapai umat-umat pendahulu kita akan tetap abadi dan lestari dan agar jerih payah dan perjuangan mereka memiliki makna dan tidak sia-sia, itu saja!

Caranya?

Menjaga Laa ilaha ilallah dalam diri dan keluarga kita dari serangan virus-virus kekufuran yang mungkin disebarkan oleh syetan dan antek-anteknya. Sekali mutiara ini tercabut dari hati kita, akan merupakan sebuah bencana yang maha dahsyat, bukan saja dikehidupan dunia, lebih dari itu bencana akhirat akan menunggu dan menjerat kita.

Tak berguna harta benda melimpah, ketika iman tak lagi berada didalam dada, tak guna lagi wajah tampan rupawan, ketika iman coreng moreng dan berantakan, tak guna tinggi pangkat jabatan ketika iman menjadi tergadai, tak guna hidup, jika hanya kan menjadi bahan bakar neraka kelak.

Berjihad untuk membebaskan diri kita dari perbudakan dan penjajahan hawa nafsu – perbudakan, apapun bentuknya, selalu melahirkan orang-orang yang diperbudak, menjadi kehilangan kemerdekaan dan jati dirinya. Orang yang diperbudak oleh nafsu hewaninya, akan kehilangan kemerdekaannya untuk menghambakan diri pada Allah swt semata, orang yang diperbudak nafsu hewani akan kehilangan identitas kemanusiaannya, sehingga dia lebih menyerupai mahluk lain selain manusia. Orang yang diperbudak nafsu hewaninya hanya akan menjadi budak-budak syetan durjana.

Berupaya meningkatkan ilmu agama dan ilmu lainnya – ilmu adalah satu syarat mutlak sahnya suatu amaliah ibadah. Kita tidak bisa terus menerus dan selamanya berlindung dibalik kata “tidak tahu” sehingga kesalahan-kesalahan kita dianggap wajar, selama kita diberi kesempatan yang sangat luas untuk menutupi defisit ilmu kita. Internet ada, buku banyak, ustadz dan ulama masih banyak disekitar kita, lalu apa lagi alasan kita untuk “tidak tahu” selain karena kemalasan dan kesombongan kita yang sudah merasa pintar dan merasa cukup dengan apa yang ada pada kita. Zama terus berubah, roda kehidupan terus berputar, kita hanya akan lebih banyak menjadi penonton daripada pelakon selama kita masih menggunakan paradigma lama yaitu malas dan sombong untuk belajar.

Berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan yang masih membelit sebagian umat – “Seandainya kemiskinan itu bisa dibunuh, niscaya aku yang pertama akan membunuhnya” demikian ungkapan salah seorang sahabat, yang menyadari sepenuhnya betapa bahaya laten yang tersembunyi dibalik kemiskinan dan kebodohan yang membelit seseorang. Bukankah maraknya orang yang menukar akidah dengan beberapa dus mie intant dan sejumlah uang, diakibatkan kemiskinan dan kebodohan yang masih menyelimuti mereka. Bukan hanya kemiskinan dan kebodohan lahiriah sematra, tapi juga kemiskinan akidah dan kebodohan spiritual sebagaian dari mereka, sehingga dengan relatif gampang mereka menukar mutiara akidahnya dengan barang dan uang yang akan habis hanya dalam itungan hari. Dan ini menjadi tanggung jawab kita sekarang untuk memeranginya.

Menghidupkan nilai-nilai Islam dalam perilaku sehari-hari – Islam besar karena umatnya mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang diajarkannya dalam perilaku dan kehidupan sehari-hari. Kebarat kata Islam, kesana kita menuju, ketimur Islam bilang, ketimur pula kita mengarah, bukan sebaliknya. Islam adalah Rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam, dan jika sampai saat ini Islam dan umatnya masih terpuruk dipinggir-pinggir panggung sejarah, itu lebih dikarenakan makin menipisnya nilai – nilai Islam ditengah- tengah kehidupan kita umatnya.

Tidak ada sesuatu yang besar, jika tidak dimulai dari yang kecil. Jaga akidah mulai dari diri dan keluarga kita dulu, bebaskan diri dan keluarga kita dari nafsu hewani dulu, tingkatkan ilmu agama dan pengetahuan dari lingkungan terkecil dulu, pun demikian dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil dan Mulai dari sekarang, saat ini juga.

Insya Allah jika setiap individu, sekecil apapun bersumbangsih terhadap Islam, maka Islam akan kembali menemukan jati dirinya sebagai agama dan cara hidup yang mampu menjamin umatnya sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

Tanpa dimintapun, Islam akan memberikan timbal balik jauh lebih besar dari pada apa yang telah kita tanam, dari itu, Mulai sekarang, Mulai dari yang kecil, dan Mulai dari diri kita, Nyoook kita berinvestasi untuk Islam.

Wassalam

February 23, 2007

EMPAT SEHAT, LIMA SEMPURNA

Prof Poerwo Soedarmo, seorang pakar gizi nasional, pada sekitar tahun 1950-an membuat sebuah slogan "Empat Sehat Lima Sempurna" berisikan lima jenis makanan pokok yang sehat yang harus dikonsumsi setiap orang untuk mencapai tingkat penemuhan akan kebutuhan gizi bagi perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, yaitu: (1) makanan pokok, (2) lauk-pauk, (3) sayur-sayuran, (4) buah-buahan, dan (5) susu.

Kelima kelompok makanan ini, idealnya, harus terpenuhi semuanya, karena kelima-limanya saling menunjang dan memiliki keterkaitan erat bagi tercapainya tingkat kesehatan seseorang.

Makanan pokok, seperti nasi, gandung, jagung dan jenis makanan pokok, baru memenuhi kebutuhan karbohidrat saja, sementara Lauk-pauk seperti daging, ikan, dan telor merupakan sumber protein dan energi. Sayur-mayur seperti wortel, tomat, bayam dan lainnya merupakan sumber vitamin, dan susu, kaya akan kandungan gizi dan vitamin, juga merupakan unsur penting yang diperlukan tubuh.

Orang yang mampu memenuhi standar “Empat sehat lima sempurna” ini, memiliki potensi pertumbuhan dan perkembangan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak dapat memenuhinya atau hanya sebagian saja yang terpenuhi.

Rukun Islam juga ada lima Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan menunaikan Ibadah Haji ke Baitullah. Kelima Rukun ibadah utama dalam Islam ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan antara satu dan lainnya.

Syahadat, merupakan unsur pokok bagi kokohnya tatanan ibadah sesudahnya. Tidak akan ada orang yang mampu melaksanakan shalat dengan benar sesuai dengan syari’at dan sesuai dengan fungsi dan tujuan shalat yang benar, kalau pondasi syahadatnya sedemikian rapuh.

Bagaimana mungkin seseorang yang tengah melaksanakan shalat mampu berdialog dengan Rabb-nya, sementara ia belum mampu menafi’kan ilah-ilah lain selain Allah, sehingga tidak heran kita masih sering mengalami hal-hal yang seharusnya tidak kita alami dalam shalat. Kita ingat pekerjaan, ingat masalah, ingat anak, ingat utang, ingat mobil yang lagi rusak, ingat tagihan kartu kredit dan masih banyak ingatan yang tiba-tiba datang menyergap kita ketika kita shalat, salah satu penyebabnya adalah “Laa ilaha illallah” kita belum mencapai tingkatan yang kokoh, dan benar, sehingga dengan gampang konsentarsi shalat kita menjadi terganggu karena hal-hal “sepele” tadi.

Shalat sebagai tiang agama, tidak mungkin membangun tiang tanpa pondasi yang kokoh sebagai penunjangnya, pondasi saja, tanpa ada tiang yang akan menyangga struktur ibadah lain, juga belum merupakan sebuah kesempurnaan. Shalat yang dibangun diatas pondasi yang benar, akan mampu menjadikan orang yang melaksanakannya terproteksi dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sebaliknya justru akan terdorong untuk melakukan berbagai aktivitas ibadah lain sebagaimana diajarkan dalam shalatnya.

Seorang yang mendirikan shalat dengan benar adalah orang yang mampu memaknai Iftitah sebagai sebuah pelajaran loyalitas kepada sang pencipta, yang pada gilirannya menjadi loyalitas kepada pekerjaan dan kepada sesama.

Seorang yang mendirikan shalat dengan benar adalah orang yang demikian menghargai waktunya, sebagaimana yang dituntut oleh shalat,

Orang yang mendirikan shalat dengan benar adalah orang yang mampu bekerja sama, orang yang mendirikan shalat adalah orang yang bertanggung jawab, tahu diri dan mampu menempatkan diri pada posisi dan porsi yang benar dimata Allah, ditengah manusia, dan ditengah-tengah lingkungannya.

Zakat dan sedekah, adalah ibadah yang senantiasa dikaitkan dengan kesempurnaan shalat seseorang. Belum benar shalatnya, kalau ia masih pelit dan kikir dalam membelanjakan harta dijalan Allah. Belum sempurna Shalatnya kalau kita masih tertawa dimeja makan, sementara tetangga kiri kanan kita menjerit kelaparan, belum sempurna shalatnya, kalau kita masih tak peduli dengan anak yatim, fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Puasa, secara fungsi merupakan ibadah untuk melatih menahan diri (nafsu) kita – Tarbiyatulil iradah, merupakan sarana pelatihan bagi ketaatan kita – Tarekatulil Malaikat, sebagai sarana Tarbiyatul lil ilahiyah – pendidikan dan penanaman sifat-sifat ketuhanan disamping sebagai sarana pembersihan diri – Tazkitunannafs, sehingga orang yang melakukan shaum dengan benar adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan nafsunya, orang yang senantiasa taat kepada tuhannya, orang yang sabar, pemaaf, berkasih sayang, toleran sebagai pengejawantahan sifat-sifat ketuhanan yang dilatih selama menjalankan puasa.

Ibadah haji adalah puncak dari rangkaian ibadah, ibarat orang kuliah, dari tingkat satu, dua, tiga, empat dan akhirnya diwisuda dengan penganugerahan gelar “haji” sebagai salah satu penghormatan Allah didunia, selain nanti Surga-Nya di Akhirat terhadap hamba-hamba-Nya yang telah menjalankan keempat rukun lainnya dengan baik dan benar.

Akan beda sarjana yang ijazahnya dapat ngemplang, dengan sarjana yang benar-benar menapaki semester demi semester, tingkatan demi tingkatan, pasti jauh bedanya.

Pun dengan haji, akan beda Haji yang telah memiliki pondasi syahadat yang benar, shalat yang benar, zakatnya juga benar dan lulus ujian ramadhan, dengan haji yang berangkat ketanah suci hanya untuk mendapatkan gelar semata.
Mungkin sama dimata manusia, bahwa ia pergi ketanah suci bersama rombongan lain, tapi pasti akan beda dimata Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar segala isi hati.

Jadi Kokohkan pondasi dasar yang empat – Syahadat – Shalat – Zakat – Puasa kemudian kita sempurnakan dengan yang kelima – Ibadah Haji – Empat Sehat, Lima Sempurna, Insya Allah amiin.

Wassalam

Februari, 23, 2007

Wednesday, February 21, 2007

MELIHAT “KEBESARAN ALLAH”

Sebuah fenomena menarik ketika awan yang berarak membentuk lafadz ’ seperti diatas (February 18 kemarin – Detik.com), ada “rasa” yang berbeda ketika kita menemukan sesuatu yang menurut kita “langka” dan merupakan sebuah keajaiban. Hal senada juga pernah terjadi pada tubuh ikan hias, pada pepohonan, pada batu, pada bola bowling dan masih banyak lagi tanda-tanda kebesaran Allah yang dapat kita temukan pada hal-hal disekitar kita, yang dapat kita lihat dengan mata lahiriah kita.

Akan ada lebih banyak tanda-tanda dan ayat Allah yang akan terlihat oleh kita, manakala kita melihatnya dengan “mata hati kita”, disetiap apa yang terlihat oleh mata lahiriah kita, pasti disitu ada “Kebesaran Allah”, ada ilmu-Nya, ada Qudrat-Nya, ada Iradah-Nya, ada “Kekuasaan-Nya”, ada “Innayah-Nya;

Mari sejenak kita lihat, apa saja yang “seharusnya” membuat kita tersungkur sujud, manakala kita menyadari bahwa selama ini kita hidup bersama ayat-ayat Allah yang jauh lebih mengagumkan dari fenomena yang disebutkan diatas;


49. Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu[1156]. dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang yang zalim. (Al Ankabut:49)


Tidakkah kita “melihat” bahwa Al Qur’an adalah sebuah “tanda atau ayat dari Allah?
Perhatikan huruf-hurufnya, perhatikan susunan kalimatnya, perhatikan kandungannya, perkatikan isi dan maknanya, Subhanallah, disana terpampang jelas adanya Ilmu Allah, adanya Kehendak Allah, adanya Kekuasaan Allah, ada....tak kuasa lagi tangan ini mengetik keyboard untuk melukiskan betapa “kebesaran Allah” tampak nyata disana, lebih nyata dari yang terlihat diawan yang melintas kemarin.

Tidakkah tergambar oleh benak kita, seandainya Al qur’an adalah karya tangan manusia, niscaya akan banyak ditemukan ketimpangan dan kontradiksi

Tidakkah terpikir oleh kita, bahwa hingga saat ini tak ada satu mahlukpun, baik itu manusia, jin maupun malaikat yang mampu membuat bacaan yang sejenis al qur’an

Tidakkah kita perhatikan firman Allah berikut;


31. Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran Itulah dia)[774]. Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka Tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Ar rad:31)

[774] dapat juga ayat Ini diartikan: Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan membacanya gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat bicara (namun mereka tidak juga akan beriman).

Seorang yang non muslim yang waraspun pasti mengakui bahwa al qur’an adalah sebuah “tanda” dari sedemikian banyak tanda yang Allah berikan kepada manusia untuk “mengenal” kebesaran-Nya.

Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman;


21. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (Ad Dzariyat:21)


Pada diri kita sendiri? Adakah tanda-tanda kebesarannya yang terdapat pada diri, pernah kita perhatikan?

Kalau kita mengagumi Candi Borobudur, Taj Mahal, Manara Pisa, Tembok China, Patung Liberty, Ka’bah sebagai keajaiban – keajaiban Dunia, tidakkah kita merasa bahwa Mata kita, Hidung kita, Telinga kita, Kulit kita, dan lidah kita merupakan lima buah Maha Keajaiban ciptaan yang Maha kuasa?

Pernahkah kita perhatikan bagaimana mata kita bekerja? Melihat dan membedakan berbagai jarak dan ukuran, melihat dan membedakan warna, berkedip, terpejam, terbelakak, mungkinkah semuanya terjadi dengan sendirinya? Mungkinkah struktur yang sedemikian rumit dan sempurna tercipta secara kebetulan? Kenapa mata kita didepan, kenapa ada kelopak mata, kenapa ada bulu mata, ada alis?

Dan masih banyak sekali kata “mungkinkah” dan “kenapa” yang sekali lagi “seharusnya” menuntun kita untuk menemukan “sesuatu” dibalik semua keajaiban itu, dan hanya satu jawabannya, disana ada “kebesaran Allah” yang Maha Menciptakan dan Maha Sempurna.

Pernahkah kita perhatikan bagaimana hidung kita bekerja? Bagaimana hidung membedakan wewangian dan bau yang tak sedap?

Pernahkah kita perhatikan, bagaimana Telinga kita bekerja? Mendengar harmoni yang menentramkan, mendengar dentum halilintar yang menggelegar, mendengar jerit tangis yang memilukan, mendengar tawa dan canda, mendendar rintih pilu, ratap tangis, dan lainnya.

Pernahkah kita perhatikan bagaimana kulit kita bekerja? Merasakan panas dan dinginnya cuaca?

Pernahkah kita perhatikan bagaimana lidah kita bekerja? Merasakan manisnya gula, asinya garam, asamnya asam, pedasnya cabe, panasnya air panas, dinginnya es, dan masih banyak lagi “rasa’ yang tak terdefinikan dengan untaian kata-kata.

Pernahkah? Ketika kita tidak lagi mampu menulis, menguraikan kata-kata dan bertutur kata tentang “bagaimana dan kenapa” panca indera kita bekerja, sungguh disana ada “kebesaran Allah” yang sangat nyata, sangat jelas, sangat gamblang, belum lagi apa yang dirasakan dan ditangkap oleh kelima indera kita terhubung dengan “rasa” lain, sehingga menimbulkan respon yang sangat sinkron, teratur, tertata, terkordinasi dan entah ter..apalagi, yang semuanya akan menggerakan hati dan mulut orang-orang yang mampu melihatnya untuk berucap ; ”Subhanaka maa khlaqta hadaa bathil – Maha Suci Allah yang menjadikan semuanya tidak dengan sia-sia”

Semakin banyak tanda-tanda kebesaran Allah yang dapat kisaksikan, semoga semakin kita tertunduk menyadari betapa kecilnya, dan menyadari betapa disana ada “Yang Maha Besar – Allahuakbar”

Wassalam;

Februari, 21, 2007

Tuesday, February 20, 2007

Pengalaman, sang Guru Kehidupan

Pengalaman adalah guru sejati, demikian sebagian orang berpendapat, karena memang pengalamanlah yang mengajarkan banyak hal bagi kita untuk bagaimana kita menyikapi suatu kondisi.

Ada pengalaman yang menyenangkan, tapi tak jarang pula pengalaman pahit yang harus kita rasakan, tinggal bagaimana kita menyikapi apa yang telah terjadi pada kita untuk dijadikan bekal menapaki kehidupan hari ini dan insya allah kehidupan kita esok.

Jauh diakhir tahun 1990-an, sebuah pengalaman yang "secara tidak sengaja" melintas dalam ruang kehidupan penulis, yakni ketika penulis bertemu orang tuan salah seorang teman sekelas, beliau adalah seorang yang cukup terpandang dilingkungannya, keluarga besarnya merupakan keluarga yang juga merupakan keluarga yang mendapat porsi tersendiri didesa itu, ia kaya, baik hati dan juga ramah. Kenalan beliau pun bukan hanya dari kalangan setempat, bahkan pernah suatu ketika anaknya bercerita, bahwa bapaknya adalah teman yang sangat dekat dengan salah seorang menteri dalam negeri yang pernah juga menjabat sebagai gubernur Dearah Istimewa Jakarta.

Singkatnya, tak ada yang kurang dalam kehidupan keluarga ini, kaya, terhormat dan memiliki lingkungan dan teman yang semuanya dari kalangan yang cukup terhormat.

Sebagai pembanding bagaimana kondisi perekonomian keluarga ini adalah jumlah uang jajan sang teman sekelas tadi yang jumlahnya 30 kali lipat dari uang jajan penulis, belum termasuk uang lain-lain, sungguh sangat kontras.

Pada suatu ketika, dalam kunjungan penulis kerumahnya, beliau menawarkan jasa baiknya kepada penulis untuk ikut berdagang dengan membawakan kain dan pakaian, yang selama ini digelutinya, beliau mengatakan kepada penulis untuk tidak usah meneruskan sekolah end toh pada akhirnya ijazah sekolah pun digunakan untuk mendapatkan pekerjaan dan uang, sementara dengan berdagang, berarti penulis sudah mendapat pekerjaan dan uang. Namun atas pertimbangan bahwa penulis sudah bersusah payah untuk mengikuti seleksi masuk sekolah yang lumayan ketat, akhirnya penulis memutuskan untuk menunda tawaran tersebut, dan memilih meneruskan sekolah dulu.

Waktu terus berjalan, menjelang penulis naik kekelas dua sekolah menengah atas, penulis sekali lagi berkesempatan untuk berkunjung kerumah teman tadi. Tapi kini kondisinya 180 derajat berubah. Tidak ada lagi tumpukan dagangan yang dulu menumpuk dikamar dan gudang yang pernah ditawarkan kepada penulis, mobil yang ketika pertama kali penulis kerumah ini, tidak kurang dari tiga buah, kini tak tersisa satupun, bahkan yang lebih tragis, hampir semua perabotan mewah yang dulu menghiasi rumah yang lumayan mewah ini juga habis entah kemana. Penulis tak berani bertanya apa yang terjadi dan kemana semua harta yang dulu sedemikian banyak, kini nyaris tak tersisa.

Keluarga ini sedemikian terpuruk, bukan hanya hartanya yang habis entah kemana, relasi, keluarga besar dan koleganya yang dulu banyak kini juga turut menghilang berbarengan dengan lenyapnya harta mereka. Sang menteri yang dulu jadi temannya pun, tak peduli lagi hingga bapak ini meninggal dunia, dalam keadaan yang sungguh memprihatinkan, ia menghembuskan nafas terakhirnya ketika anaknya, yang teman sekelas penulis, sedang berada di lembaga pemasyarakatan karena sebuah kasus perkelahian, istrinya tengah berada jauh ditimur tengah sana sebagai TKI, anak-anaknya yang lain tercerai berai entah berada dimana hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Sungguh sebuah drama kehidupan yang demikian memilukan, tapi ini kenyataan, yang benar-benar terjadi dalam lembar perjalanan penulis.

Pada kali lain penulis juga dipertemukan Allah dengan seorang mantan direktur sebuah CV, yang ketika masa jayanya dulu merupakan orang paling kaya didesanya, tapi saat penulis bertemu dengannya, ia hanya tinggal disebuah gubuk yang lebih mirip kandang ayam dari pada sebuah rumah tinggal,......ia tinggal seorang diri tanpa istri dan anak, tanpa uang yang berkecukupan dalam kondisi tubuh yang sudah renta. Tiap hari ia harus mengayuh sepeda bututnya untuk menjual penghapus pensil dan mainan anak-anak disekolah-sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Hampir setengah harian ia berkeliling dari sekolah-sekolah dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan hari itu. Entah apa yang terjadi sehingga seorang direktur yang tiap hari turun naik mobil dan berkecukupan, kini harus tertatih-tatih untuk sekedar menyambung hidupnya.

Aaaah, lagi sebuah ironi kehidupan yang terpampang dengan jelas, bahwa harta hanyalah sebuah amanah, sebuah titipan yang pada saatnya akan diambil lagi oleh pemiliknya.

Adakah kita bisa belajar dari apa yang penulis paparkan diatas?

Bahwa apa yang ada pada kita saat ini adalah sebuah amanah, sebuah titipan yang kapanpun, ketika pemiliknya hendak mengambilnya, kita tak punya suatu daya upayapun untuk mencegahnya, karena memang Dia-lah pemilik mutlak hakiki dari apa yang kita sebut milik kita.

Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menakut-nakuti dan menjadikan kita semakin possesif dan over protektif terhadap apa yang kita miliki, bukan itu, tapi justru penulis ingin mengingatkan diri penulis pribadi khususnya, bahwa kita harus senantiasa bersiap diri dengan segala ketentuan yang telah digariskan untuk kita. Kita tidak boleh menjadi kalap dan kemudian tenggelam kedalam jurang kedukaan yang dalam tak berujung, ketika saat harta dan apa yang kita miliki diambil lagi oleh pemiliknya, kemudian kita menjadi seperti orang kalap yang menyalahkan Tuhan, menyalahkan takdir, mencari kambing hitam dan menempuh segala cara untuk mempertahankan atau mengembalikan semua harta kita. Dukun menjadi tumpuan, berhala menjadi sandaran, dan berbagai kemusyrikan yang tak berdasar lainnya, hanya karena sesuatu yang memang bukan milik kita secara mutlak. Percayalah, jika saat itu tiba tak ada sesuatupun yang akan menghalanginya.......kita hanya perlu meyakinkan diri kita bahwa apa yang terjadi adalah sebuah skenaria besar, yang juga pasti mengandung hikmah yang besar pula bagi orang-orang yang mampu memaknainya secara bijak.

Dilain sisi, sebuah pelajaran juga dapat kita ambil dari sebuah kisah nyata seorang mantan sopir (Maaf), yang sekarang menjadi juragan yang memiliki tidak kurang dari 15 buah Elf, 10 truk, tiga sedan dan tiga buah Fuso, sebuah kondisi yang juga sangat kontras dari keadaan beliau sebelumnya.

Ada juga kisah seorang teman yang tadinya bukan “siapa-siapa’, kini menjelma menjadi seorang yang sangat sukses dengan bisnisnya, karena memang demikianlah kehidupan, selalu berganti dan berputar.

Matahari harus bergantian dengan bulan, siang harus berganti malam, gelombang pasang pun suatu ketika pasti surut, itu adalah sunatullah, tak ada yang salah, kecuali orang yang kemudian berpaling dari kebenaran dan keyakinan yang benar.