Tuesday, July 31, 2007

BURUNG KECIL

“Ciiit..ciiit cuit...ciiit...ciit cuit.........” Riuh suara anak burung berhamburan meningalkan sarang.

“Waah....lihat ki, anak-anak burung itu mulai belajar terbang......” Kata Maula sambil menunjuk kearah anak-anak burung yang beterbangan.

Ki Bijak hanya tersenyum melihat tingkah polah Maula yang nampak bersemangat memperhatikan perilaku burung-burung diladang itu.

“Ki, lihat ada yang jatuh..............” Kata Maula sambil berlari menghampiri seekor anak burung yang jatuh dan tertinggal dan kawanannya.

“Lihat Ki, anak burung ini lucu sekali.......” Kata Maula sambil memperlihatkan anak burung yang baru didapatnya.

Kedua orang murid dan guru itu kemudian membawa anak burung itu menuju kesebuah tempat istirahat, sebuah pohon rindang dipinggiran ladang.

“Nak Mas masih tertarik untuk berbicara tentang burung..........?” Tanya Ki Bijak.

“Selain pelajaran yang Aki berikan kemarin, bahwa burung memberi kita ibrah untuk senantiasa meyakini kebenaran janji Allah, bahwa burung mengajarkan kepada kita untuk menyempurnakan ihktiar kita, memperkaya diri dengan sifat qana’ah dan senantiasa bersyukur, memang ada pelajaran apa lagi ki..................” Tanya Maula.

“Masih banyak yang bisa kita pelajari Nak Mas............” Kata Ki Bijak.

“Misalnya ki.........?” Tanya Maula

“Misalnya kenapa ditengah kondisi yang serta terbatas itu, keluarga burung tidak pernah bertengkar, sementara kita yang dilingkupi kondisi berkecukupan, justru hampir setiap hari kehidupan rumah tangga kita dibumbui dengan pertengkaran .......” Kata Ki Bijak

“Pernah Nak Mas berpikir, kenapa ditengah rumah kondisi kita yang permanen, bahkan tingkat dua, tabungan kita yang berjuta jumlahnya, mobil kita punya, perhiasan pun tak kurang banyaknya, tapi justru harta yang banyak itu menjadi biang terjadinya pertengkaran, istrinya pengen mobil ini, suaminya pengen mobil itu, akibatnya terjadi pertengakaran, kemudian suaminya ingin berlibur ke Bali misalnya, istrinya ingin ketempat lain, terjadi lagi pertengkaran, masalah sekolah anak, masalah keuangan atau apapun bisa jadi bahan pertengkaran kita, sementara keluarga burung itu kelihatan begitu harmonis dan serasi......” Kata Ki Bijak

“Burung selalu seiring sejalan dalan menjalani kehidupan, keutara betina terbang, kesana sang jantan menuju, keselatan sang jantan mengarah, kesana pula betina berlabuh, ini yang membuat mereka selalu tentram dan damai menjalani kehidupannya......” Kata Ki Bijak lagi.

Maula tercenung mendengar penjelasan gurunya, dalam hatinya berguman, “iya ya, kenapa burung itu malah bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik dari manusia yang berakal..?.

“Lalu, ketika kita belum dikaruniai anak, kita memohon kepada Allah untuk diberikan keturunan, naum kemudian keberadaan anak kita, sering kali membuat kita stress bukan kepalang, bagaimana kita menyekolahkan anak kita, bagaimana kita mengajari anak kita agar kelihatan pintar dimata orang lain, bagaimana kita berusaha mencukupi kebutuhan anak kita, dan masih banyak hal lain tentang anak kita, yang karena besarnya perhatian kita padanya, tak jarang melalaikan kita bahwa hanya Allah sajalah yang mampu memenuhi kebutuhan kita dan anak kita, bahwa bukan kita yang mampu mendidik anak kita, tapi Allah, bahwa kita tidak akan mampu mencukupi kebutuhan anak kita, kecuali Allah yang memenuhinya...........” Kata Ki Bijak.

“Induk dan jantan burung itu tidak sekolah, mereka tidak tahu bagaimana cara mengajar anaknya terbang, mereka pun tidak tahu bagaimana mengajari anak-anaknya untuk mencari makan, mereka pun tidak mampu memberikan jaminan makanan pada anak-anaknya bahkan untuk esok hari sekalipun, tapi lihat, kepasrahan dan keyakinannya bahwa Allah-lah yang mengajari semua mahluk dengan ilmu-Nya, bahwa Allah-lah yang memenuhi hajat hidup semua mahluknya, burung-burung itu bisa dengan riang terbang kian kemari................” Kata Ki Bijak.

Lagi Maula tercenung mendengar uraian gurunya, karena baru beberapa waktu lalu ia dan istrinya mengalami kebingungan luar biasa karena anak sulungnya harus masuk kesekolah dasar, sementara asuransi pendidikan yang diikutinya tak mencukupi biaya pendaftaran sekolah yang mahal, ia kembali harus menarik nafas dalam-dalam, ia merasakan seolah ki Bijak tahu apa yang sedang dan telah dialaminya, padahal ia tidak pernah menceritakan hal itu kepada ki Bijak.

“Misalnya lagi, burung-burung itu tidak pernah mendapatkan pendidikan akhlaq, tidak pernah mengikuti seminar kepribadian, tidak pernah kursus bermasyarakat, tapi lihat, bagaimana burung-burung itu bisa hidup ditengah masyarakat burung dengan penuh harmoni, tidak ada burung yang saling caci maki, tidak ada burung yang saling membenci, tidak ada fitnah apalagi saling mencelakakan.............” Kata Ki Bijak.

“Sementara kita yang mendapatkan pendidikan moral dari sejak taman kanak-kanak, mendapatkan pengajaran akhlaq hingga kita dibangku kuliah, dimasyarakat pun kita dipagari oleh norma, nilai dan syari’at, tapi coba lihat disekeliling kita, masih banyak diantara kita yang sering terjebak pada kondisi saling membenci, sering kita terjebak pada fitnah-fitnah keji, bahkan kerap sebagian orang saling membunuh demi sesuap nasi, tidakkah kita harusnya malu kepada burung-burung itu...............” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas......!” Tegur Ki Bijak melihat Maula yang tengah termenung.

“Iya Ki....” Kata Maula gagap.

“Nak Mas mau memelihara anak burung ini...?” Tanya Ki Bijak.

“Tidak Ki, ana ingin mengembalikan anak burung ini kesarangnya, kasihan ki, kalau induknya kehilangan, menurut Aki bagaimana....?”Tanya Maula.

“Menurut Aki juga lebih baik begitu, sebaik apapun perlakuan kita terhadap burung itu, pasti tidak akan bisa menyamai kasih sayang induk burung itu pada anaknya.................” Kata Ki Bijak.

Maula kemudian bangun, ia bergegas memanjat pohon tempat sarang burung itu berada dan meletakan anak burung itu kembali disarangnya..

Sekembalinya Maula dari pohon itu, ia bertanya kepada gurunya;.

“Ki, lewat pitutur aki, Allah telah mengajari ana dengan berbagai tamsil dan permisalan bagi kehidupan ana, mulai dari semut yang serakah, gajah yang tak pernah melihat langit, hingga kawanan lebah dan sarangnya, lalu apa maksud Allah dengan semuanya itu ki........? Tanya Maula.

“Karena Allah ingin dikenal Nak Mas......” Kata Ki Bijak.

“Ingin dikenal ki...?” Tanya Maula.

“Ya, Allah adalah Dzat yang sangat ingin dikenal oleh mahluknya, dengan perumpamaan-perumpamaan itu Allah ingin kita berpikir bahwa tidak akan ada rambatan semut yang kecil, tidak akan ada geliat gajah yang besar, tidak akan ada kawanan lebah yang bersarang, kecuali disana ada ilmu dan qudrat-Nya............., semuanya itu, seharusnya menuntun kita untuk meyakini keberadaan Allah sebagai satu-satunya ilah yang Mencipta dan Tuhan yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu..................” Kata Ki Bijak.

“Dengan semua itu Allah ingin kita tidak hanya mengenal-Nya sebatas nama, karena kalau kita mengenal Allah hanya sebatas itu, sangat mungkin kita akan tertipu oleh tuhan-tuhan lain selain Allah, mungkin kita terjebak untuk mempertuhankan harta, mempertuhankan pangkat dan jabatan, atau mempertuhankan mahluk lainnya..”

“Tapi ketika kita mengenal Allah dengan baik dan benar, bahwa Allah sajalah yang menghidupkan dan mematikan, bahwa Allah sajalah yang menjamin rezeki kita, bahwa Allah sajalah yang wajib kita ibadahi, insya Allah kita tidak akan tersesat lagi, sehingga dengan sadar kita mengucapkan dan mengakui bahwa Laa maujuda ilallah,bahwa tidak ada yang maujud dialam ini kecuali disana ‘terlihat’ kebesaran Allah.........”Kata Ki Bijak.

“Ya ki, ana mengerti sekarang.............” Kata Muala pelan, sambil beranjak dari bawah pohon itu, matanya kembali menoleh kearah burung kecil, sambil hatinya berguman, “ terima kasih burung kecil, kau telah mengajariku banyak hal hari ini....”

Wassalam

July 31, 2007

DARI BURUNG, KITA BELAJAR

“Waaah, disini masih banyak burung ya ki...........” Kata Mauala, yang tengah duduk beristirahat digubuk ditengah ladang.

“Ya Nak, sengaja aki membiarkan pepohonan itu, agar populasi hewan disini, terutama burung-burung itu, tetap lestari.........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ditempat-tempat lain, sekarang sudah jarang dijumpai burung-burung bebas beterbangan seperti disini..........” Kata Maula.

“Kadang Aki malu pada burung-burung itu Nak Mas...................” Kata Ki Bijak.

“Malu pada burung ki.....?” Tanya Maula keheranan.

“Iya Nak, coba Nak Mas pikirkan, burung-burung itu sama sekali tidak punya cadangan makanan disarangnya, kemudian burung-burung itu juga tidak punya pekerjaan tetap, burung-burung itu tidak punya kantor, tidak punya saham apalagi memiliki perusahaaan...........” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki.................?” Tanya Maula penasaran.

“Dengan kondisi yang serba tidak punya itu, burung-burung tidak pernah merasa khawatir bagaimana mereka makan, bagaimana mereka bisa menghidupi anak-anaknya, tidak pernah resah esok makan apa, mereka menjalani kehidupannya dengan penuh keyakinan bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki kepada setiap mahluk-Nya..........” Kata Ki Bijak.

“Burung tidak pernah resah hingga tidak bisa tidur misalnya, burung tidak pernah panik karena tak punya tabungan misalnya, mereka, dengan berbekal keyakinan kepada Allah, terbang dari sarangnya setiap pagi untuk mengais rezeki yang telah dipersiapkan Allah untuk mereka, dan seperti Nak Mas lihat, burung-burung itu, mereka sehat dan tidak kekurangan apapun..............” Kata Ki Bijak.

Maula mulai tertarik untuk mengamati burung-burung yang datang dan pergi, hinggap dipucuk pepohonan, mereka nampak cantik dan anggun, bertengger sambil berkicau riang......

“Coba Nak Mas bandingkan dengan kehidupan kita, kita punya pekerjaan tetap, kita mempunyai penghasilan tetap, dirumahpun kita memiliki persediaan makanan minimal untuk satu minggu kedepan, tabungan pun kita masih memilikinya, bahkan banyak diantara kita yang memiliki saham dan perusahaan sendiri, tapi tengok kehidupan kita, hampir setiap hari kita dihinggapi perasaan tidak puas dengan pekerjaan dan penghasilan kita, hampir setiap hari kita dijangkiti rasa khawatir kalau persediaan kita habis, hampir setiap hari kita selalu dipusingkan dengan keinginan untuk menambah penghasilan, sehingga ketika pulang sore hari hingga menjelang tidur, mata kita sulit terpejam, sehingga ketika pagi tiba, tubuh dan pikiran kita pun lelah tak karuan, uring-uringan dan lain sebagainya, apa yang kurang pada kita...............?” Kata Ki Bijak.

Maula tertegun, menyadari kebenaran ucapan gurunya, karena ia pun kerap merasakan hal yang sama seperti yang diucapkan gurunya, ia kerap merasa bingung meskipun baru sehari yang lalu gajian, ia pun kerap merasa resah meskipun persediaan makanan masih berkecukupan, ia pun kerap merasa khawatir dengan hari esok yang belum pasti dan masih dalam khayalan...........;

“Iya ya ki, Apa yang kurang dari kita .........?” Kata Maula setengah bertanya.

“Yang kurang dari kita adalah keimanan dan keyakinan kita terhadap kebenaran janji Allah, bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki seluruh mahluk-mahluk-Nya...........” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas perhatikan firman Allah berikut” Kata ki Bijak menguti firman Allah dalam surat Huud:6

6. Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).

[709] yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.
[710] menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim.

“Semut yang berada didalam tanah paling bawah, ikan yang berada didasar laut yang paling dalam, beruang yang berada dikutub utara dan selatan, kuman yang terkecil sekalipun, gajah dilebatnya hutan sekalipun, dan apalagi kita manusia, tidak ada satupun yang luput dari Allah, dan pasti mereka mendapatkan jatah rezeki dari Allah........”Kata Ki Bijak.

“Apa yang harus kita lakukan agar kita bisa seperti burung-burung yang senantiasa riang, tanpa terlalu dipusingkan oleh urusan dunia yang berlebihan, ki...........’Tanya Maula.

“Berlakulah seperti burung-burung itu Nak Mas, yang pertama yang harus kita miliki adalah pondasi keimanan yang benar, bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki kita, bukan atasan, bukan pula perusahaan, untuk itu jika kita berkerja, bekerja-lah untuk Allah saja, bukan semata demi gaji, bukan semata karena ingin dipuji, lillahita’ala, insya Allah,kita akan lebih rileks dan ringan menjalani kehidupan kita..........” Kata Ki Bijak

“Yang kedua,”terbanglah” setiap hari untuk menjemput rezeki kita, jangan malas, jangan bermimpi bahwa rezeki datang dari langit, sementara kita hanya berpangku tangan, karena kita masih berada dialam ihtiar, maka sempurnakan ihtiar kita, kemudian serahkan hasil ihtiar kita sepenuhnya kepada Allah .....”Kata Ki Bijak

“Yang ketiga, perkayalah diri kita dengan sikap qana’ah, rasa kecukupan, terlepas dari berapa pun yang kita dapatkan dari ihtiar kita, insya Allah, kita tidak lagi akan menanggung beban yang terlalu berat akibat keinginan kita untuk mendapatkan hasil yang berlebihan..........” Kata Ki Bijak lagi.

“dan jangan lupa, pandai-pandailah bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita, jangan menggerutu, jangan mengeluh, karena sesungguhnya Allah telah memberi kita jauh lebih banyak dari apa yang kita minta........” Kata Ki Bijak.

“Lebih banyak ki.....?” Tanya Maula.

“Ya, pemberian Allah kepada kita jauh melebihi apa yang kita minta, kesehatan yang hampir tak pernah kita minta, Allah telah memberinya, kelengkapan jasmani kita, tangan kita, mata kita, kaki kita dan lainnya, adalah pemberian Allah yang kita tidak pernah memintanya, tapi Allah telah memberikan semua itu sebagai modal kita untuk mengabdi kepada-Nya.......”Kata Ki Bijak.

“Allah-pun telah memuliakan kita melebihi kemulian yang diberikan Allah kepada mahluk-Nya yang lain, akal kita, iman dan islam kita, yang Allah telah karuniakan kepada kita, jauh lebih banyak dan lebih besar dari sekedar permintaan kita untuk naik gaji, naik pangkat, minta jabatan dan lainnya........”Kata Ki Bijak.

Tak terasa, air bening mengalir kepipi Maula, matanya memerah, nafasnya sedikit tersengal, Ki Bijak membiarkan muridnya untuk menumpahkan segenap rasa yang bergejolak didada Maula.

“Astaghfirullaaah..., astaghfirullah........” rintih pelan terdengar dari mulut Maula.

Ki Bijak maklum dengan perasaan muridnya yang memang sensitif ketika mendengarkan wejangan-wejangannya,

“Masih ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri jika selama ini kita masih banyak mengeluh, jika selama ini kita selalu saja menggerutu dan khawatir dan tidak yakin dengan janji Allah, bersegerlah bertobat, mumpung kita masih diberi waktu..........” Kata Ki Bijak.

Tak terdengar jawaban apapun dari Maula, hanya isaknya terdengar lebih menyesakan, air matanya berlinang, bersyukur bahwa Allah mengingatkannya melalui lisan Ki Bijak, Gurunya.

Wassalam

Juli 26, 2007

Tuesday, July 24, 2007

NILAI SEBUAH KEPATUHAN

“Assalamu’alaikum warahmatullahiwabarakathu....” sapa Maula pada gurunya yang masih duduk bersila selepas shalat isya.

“Walaikumusaalam.....” Balas Ki Bijak sambil tersenyum menyambut uluran tangan muridnya.

“Ki, seberapa pentingkah kita shalat berjamaah shalat dimasjid.....? Tanya Maula

“Kenapa Nak Mas......?” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, ana hari minggu kemarin shalat ashar dimasjid Rw sebelah, dan beberapa hari lalu juga ana shalat isya dimasjid kampung itu, ada hal yang sangat menyenttuh hati ana disana ki...........” Kata Maula

“Apa itu Nak Mas....?” Tanya Maula

“Alhamdulillah, masjidnya sekarang besar dan megah, tapi itu ki, jamaahnya kurang dari satu shaf..........” Kata Maula

Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar penjelasan muridnya;

“Ya, itulah masalah kita sekarang ini Nak Mas, kita begitu bersemangat ketika membangun masjid, semua daya dan upaya kita kerahkan, tapi kita belum pandai untuk memakmurkannya................” Kata Ki Bijak.

“Sebelum aki menjawab seberap pentingkah kita shalat berjamaah dimasjid, Aki ingin bertanya dulu pada Nak Mas, seberapa pentingkah Nak Mas pergi ke kantor...? Tanya Ki Bijak.

“Ya penting sekali ki, karena kekantor adalah aturan perusahaan yang wajib ditaati oleh setiap karyawan ki..........? Kata Maula.

“Meskipun misalnya Nak Mas bisa menyelesaikan pekerjaan kantor Nak Mas dirumah...? Tanya Ki Bijak lagi.

“Ya Ki, meskipun ana bisa mengerjakan pekerjaan ana dirumah dengan lebih baik sekalipun, ana tetap diwajibkan kekantor.....” Kata Maula.

“Selain peraturan perusahaan, ada alasan lain yang mengharuskan kita pergi kekantor tiap hari Nak Mas...?” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, katanya kehadiran adalah sebuah bukti komitmen, loyalitas dan kedisplinan kita sebagai seorang karyawan.....” Kata Maula.

“Itulah jawaban dari pertanyaan Nak Mas, bahwa kita diwajibkan kemasjid menurut sebagian ulama, adalah karena dengan shalat berjamaah dimasjid, berarti kita telah mengagungkan yang memerintahkan shalat, yaitu Allah, selain juga disana ada nilai komitmen, disana ada nilai loyalitas, disana ada nilai kedisiplinan, disana ada nilai kepatuhan, disana ada nilai ketaatan, dan masih banyak lagi nilai yang akan kita dapat dengan shalat berjamaah dimasjid, meskipun kita sudah paham bacaan dan gerakan shalat dengan baik sekalipun........, karena sekali lagi, sangat mungkin nilai loyalitas dan ketaatan kita jauh lebih dihargai oleh Allah meskipun shalat kita belum sempurna, dari pada shalat yang sudah baik, tapi tidak disertai ketundukan dan ketaatan dalam melaksanakannya......” Kata Ki Bijak.

Maula mengangguk demi mendengar penjelasan gurunya.

“Lalu kalau aki tidak salah ingat, Nak Mas juga pernah bercerita kepada Aki bahwa ketika kuliah dulu, Nak Mas diwajibkan menghadiri perkuliahan oleh dosen Nak Mas, meskipun dikantor Nak Mas mendapat pelajaran yang mungkin jauh lebih maju daripada pelajaran yang didapat dikuliah......?” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki, pak dosen tidak mau menerima alasan ana, kalau dikantor ana ada konsultan yang bisa memberikan tambahan pengetahuan yang applicable kepada ana.....” Kata Maula.

“Menurut aki, alasan dosen Nak Mas itu bukan semata karena pelajaran dikuliahan lebih baik dari konsultan yang dikantor Nak Mas, tapi lebih pada kepatuhan dan kedisiplinan Nak Mas dalam mengikuti aturan yang telah ditetapkan Universitas.........” Kata Ki Bijak.

“Dalam hal shalat pun demikian Nak Mas, nilai ketaatan dan ketundukan pada perintah Allah dan Rasul-Nya, jauh lebih berharga daripada apapun......” Kata Ki Bijak.

“Masih ada banyak contoh lain yang bisa kita temukan untuk menggambarkan bagaimana kepatuhan terhadap sebuah ‘perintah’, jauh lebih dihargai daripada hal yang kita ada-adakan sendiri......” Kata Ki Bijak.

“Misalnya apa lagi ki.......?” Tanya Maula.

“Misalnya Nak Mas menjahit sebuah baju pada seorang tukang jahit, Nak Mas menghendaki baju lengan pendek, tapi kemudian begitu jadi, ternyata baju pesanan Nak Mas dibuatkan lengan panjang oleh situkang jahit, dengan alasan bahwa baju lengan panjang lebih bagus menurut situkang jahit, apakah Nak Mas akan menerima baju yang tidak sesuai dengan pesanan Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.

Maula menggeleng, tanpa tak setuju kalau baju lengan pendek yang dipesannya diganti dengan lengan panjang oleh situkang jahit.

“Kenapa...? Tanya Ki Bijak.

“Karena ana pesannya lengan pendek ki....” Kata Maula.

“Meskipun baju lengan panjang itu lebih baik...? Tanya Ki Bijak.

“Lebih bagus kan menurut tukang jahit itu ki, tapi kan yang mau pakai baju itu ana ki, bukan tukang jahit itu.......” Kata Maula.

“Yang memerintahkan shalat kemasjid itu Allah dan Rasul-Nya, kalau kemudian kita merasa bahwa shalat dirumah itu lebih baik, bagaimana menurut pendapat Nak Mas...? Tanya Ki Bijak.

“Ya mungkin shalat kita tidak akan diterima ki, seperti ana yang tidak suka baju lengan panjang yang tidak sesuai dengan pesan ana tadi.......” Kata Maula.

“Nak Mas benar, mungkin,(sekali lagi mungkin, karena hanya Allah saja yang berhak menentukan) shalat kita tidak diterima, karena tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya............., untuk itu, sedapat mungkin datang kemasjid untuk shalat berjamaah Ya Nak Mas, minimal pahalashalat kita akan dilipat gandakan daripada kita shalat sendiri dirumah.” Kata Ki Bijak.

“Kita ini kadang suka ‘ngeyel’ dan sok tahu, sehingga buat aturan menurut versi kita, padahal ilmu kita sangat-sangat terbatas, kita tidak tahu rahasia apa yang tersembunyi dibalik keagungan perintah shalat itu, yang pasti Allah tidak akan memerintahkan kita kemasjid, jika tidak ada kebaikan bagi kita dengan perintah itu........” Kata Ki Bijak.

“Ya ki, semoga masjid kita ini tetap makmur seperti ini ya ki...........” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Insya Allah Nak Mas......................”


Wassalam

Juli 24, 2007

Monday, July 23, 2007

JAMU ITU PAHIT

“Ki, bagaimana seharusnya kita bersikap, manakala pendapat atau pikiran kita berbeda dengan orang lain, kemudian kita mendapat kritikan dari orang yang berbeda pendapat dengan kita.....?” Tanya Maula.

“Perbedaan adalah fitrah Nak Mas, dan kritik tidak selamanya berarti ungkapan ketidak sukaan orang terhadap kita..........” Tanya Ki Bijak.

“Nak Mas bayangkan, jika semua pendapat Nak Mas diikuti oleh orang lain, apa yang kira-kira akan terjadi dengan Nak Mas.....? Tanya Ki Bijak.

“Mungkin ana jadi kehilangan gairah untuk memberikan pendapat atau buah pikir kita lagi, Ki......?” Kata Maula setengah bertanya pada dirinya.

“Selain itu, selain Nak Mas akan kehilangan motivasi, kita juga mungkin akan terjebak pada sebuah kondisi yang membuat kita merasa ‘nih gue dong’ kita sangat mungkin terjebak pada kesombongan yang mungkin tidak kita sadari.....” Kata Ki Bijak.

“Perbedaan pendapat, perbedaan dalam memahami suatu masalah, sangahan, kritik, atau sejenisnya, bukanlah sesuatu yang harus membuat ‘orang besar’, terjebak atau bahkan tenggelam dalam lautan debat tanpa batas untuk membela diri misalnya, orang besar harus menyikapi perbedaan itu sebagai sebuah sarana dari Allah untuk lebih banyak lagi belajar dan untuk lebih keras menempa diri untuk mencapai sesuatu yang lebih baik...........” Kata Ki Bijak.

“Tapi Ki, kadang mereka memberikan kritik yang membabi buta dan cenderung menjatuhkan........” Kata Maula.

“Sekali lagi bahwa kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memberikan pujian pada kita atau memberikan kritik yang sesuai dengan keinginan kita, yang harus kita perbuat manakala kita mendapti situasi semacam itu adalah kita harus bisa memaksa diri kita sendiri untuk berjiwa besar, Nak Mas lihat ilalang dan rerumputan disana itu...................” Kata Ki Bijak sambil menunjuk padang ilalang ditengah ladang.

“Kemarin ilalang-ilalang itu dibakar oleh pemilik ladang, sehingga hangus tak tersisa, tapi coba tengok sekarang, setelah dibakar, ilalang dan rerumputan itu justru menumbuhkan tunas baru yang lebih hijau dan segar......” Kata Ki Bijak.

“Begitupun seharusnya dengan kita, ketika pikiran dan pendapat kita berbeda dan dikritik orang lain, kita seharusnya mampu berbuat seperti ilalang dan rerumputan itu, kita harus melahirkan lebih banyak ‘tunas-tunas’ pendapat dan pikiran yang bisa kita sumbangkan bagi kepentingan diri kita dan syukur jika pendapat dan pikiran kita bermanfaat bagi orang lain............” Kata Ki Bijak.

Maula merenung sejenak, sambil memandangi padang ilalang yang mulai tumbuh menghijau, menyeruak diantara hitamnya debu yang kemarin membakar ilalang dan rerumputan disana.

Sementara Ki Bijak memandangi wajah muridnya dengan penuh harapan, bahwa muridnya kelak mampu menjadi sesosok orang yang tegar dalam menghadapi tantangan, baik dalam kehidupan pribadinya, maupun dalam rangka menjalankan amanah agamanya untuk menjadi seorang pengabdi umat.

“Nak Mas pernah minum jamu......?” Tanya Ki Bijak setelah sekian lama.

“Ya Ki, ana beberapa kali meminum jamu untuk menghilangkan rasa capai sehabis olahraga....” Kata Ki Bijak.

“Secara umum, rasa jamu itu pahit, tapi dibalik rasa pahitnya, jamu mengandung berbagai khasiat yang sangat berguna bagi tubuh kita, seperti Nak Mas bilang tadi, jamu pegal linu yang Nak Mas minum tentu pahit rasanya, hingga kadang kita harus menutup hidung karenanya, tapi esoknya, insya allah Nak Mas merasakan kesegaran, rasa lelah dan pegal yang Nak Mas rasakan menjadi hilang....” Kata Ki Bijak.

“Begitupun dengan kritik dan sanggahan yang mungkin suatu saat kita peroleh, mungkin kita tidak suka,mungkin kita menjadi tidak enak karenanya, mungkin kita merasa ingin membela diri, bahkan mungkin kita ingin marah...., tapi itu semua tidak perlu Nak Mas, seperti pahitnya jamu tadi, semua kritik dan sanggahan yang kita rasakan ‘tidak enak’tadi, insya allah akan menjadikan kita semakin ‘kuat’ dan ‘sehat’ dalam memberikan pendapat dan pola pikir kita bagi kemaslahatan umat......” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat bagaimana sambutan masyarakat thaif ketika pertama kali Rasulullah datang ketempat itu.......” Kata Ki Bijak.

“Ya Ki, Rasulullah mendapatkan perlakuan yang sangat buruk, bahkan konon Rasul dilempari hingga berdarah-darah..........” Kata Ki Bijak.

“Itu Rasul Nak Mas, manusia agung yang sudah mendapat jaminan ampunan dan dimaksum Allah-pun, masih mengalami yang bukan saja kritikan, tapi lebih dari itu, beliau menerima perlakuan yang sangat buruk bukan saja terhadap pendapat, pikiran atau ajarannya, tapi juga terhadap keselamatan fisiknya......”Kata Ki Bijak.

“Benar ki............” Kata Maula.

“Lalu Nak Mas juga harus belajar bahwa tidak semua kritik atau sanggahan itu berarti sebuah kebencian, tapi justru kadang sebaliknya.........” Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki......?” Tanya Maula.

“Kadang saking sayangnya orang kepada kita, maka mereka merasa perlu mengingatkan kita, merasa perlu untuk menegur kita, merasa perlu mengkritik kita, sebagai ungkapan kasih sayangnya kepada kita.....” Kata Ki Bijak.

“Ketika kita kecil dulu, kita sering ditegur atau dilarang untuk melakukan sesuatu yang kita sukai oleh orang tua kita, apakah orang tua kita tidak sayang kepada kita....? Tanya Ki Bijak.

“Tidak Ki, orang tua kita menegur kita karena mereka sangat menyayangi kita.......” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum; “Nak Mas, tidak ada ‘orang yang menjadi besar’ hanya karena pujian yang diterimanya, tapi justru mereka yang kerap dikritik itulah yang dikemudian hari menjadi sosok yang kokoh dan kuat, menjadi orang yang berhasil...........”.

“Pujian tidak lebih dari sekedar sirup manis yang kita reguk, manisnya tidak lantas kemudian menjadikan kita sehat seperti halnya kita minum jamu yang pahit, bahkan tak jarang manisnya pujian justru menjadikan kita ‘sakit’....”, Kata Ki Bijak.

“Nak Mas bisa menemukan dengan mudah contoh mereka yang ‘mabuk’ pujian, sehingga potensi dan anugrah yang dimilikinya, ditelan oleh kebanggaan yang berlebihan, sehingga kemudian layu tak berkembang.....” Kata Ki Bijak

“Yang terpenting yang harus kita lakukan adalah memurnikan niat kita untuk mendapat ridha Allah semata, lain tidak............., sampaikan buah pikir dan pendapat kita semata demi ridha Allah, sampaikan ajakan kita, demi ridha Allah, sampai apapun yang kita miliki demi ridha Allah ..............” Kata Bijak.

Muala tersenyum mendengar penjelasan gurunya, tekadnya semakin mantap untuk terus berbagi sesuatu yang mungkin berguna bagi orang lain.

Wassalam

Juli 23, 2007

Friday, July 20, 2007

BELAJAR SHALAT KHUSYU’

“Assalamu’alaikum........” Sapa Maula

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” balas Ki Bijak

“Ki, dari mana kita bisa memulai belajar untuk shalat dengan khusyu....? Tanya Maula.

“Shalat khusyu, Nak Mas...? Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, ana masih sering merasa bahwa shalat ana belum bisa khusyu, kadang pada saat shalat, ana justru masih teringat dengan pekerjaan, atau tiba-tiba teringat dengan sesuatu yang hilang atau teringat dengan sesuatu yang tadinya lupa, pokoknya banyak deh ki.............” Kata Maula.

“Khusyu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan, karena khusyu adalah masalah hati, jika kita melihat orang yang gerakan shalatnya bagus, bacaannya fasih, belum tentu dengan hatinya, tapi setidaknya gerakan yang sempurna dan bacaan yang fasih membantu kita untuk mengurangi hal-hal lain diluar shalat.....”Kata Ki Bijak.

“Nak Mas, untuk belajar untuk bisa shalat khusyu, mungkin kita bisa memulainya dengan hal kecil dulu, yaitu shalat tepat waktu..........” Kata Ki Bijak.

“Shalat tepat waktu ki.....?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, usahakan selalu lima atau sepuluh menit sebelum waktu shalat tiba, kita sudah bersiap, mengambil air wudhu, shalat sunnah tahiyatul masjid dan duduk i’tikaf menunggu waktu shalat tiba, sambil berusaha mengumpulkan segenap konsentrasi dan kesadaran kita bahwa kita sebentar lagi akan berhadapan dengan Dzat yang Maha Sempurna, cobalah usahakan untuk melupakan sejenak berbagai hal yang tidak berkaitan dengan shalat, lupakan pekerjaan, lupakan masalah, lupakan keinginan selain keinginan dan kerinduan terhadap Allah, kemudian shalat qabliyah dua rakaat sebagai releksasi sebelum kita masuk ke shalat wajibnya.........” Kata Ki Bijak.

“Kenapa kita harus demikian ki.....? Tanya Maula.

“Akan sangat sulit bagi kita untuk bisa shalat dengan khusyu’ manakala kita datangnya terlambat, kita terburu-buru, nafas kita masih tersenggal, konsentrasi kita belum penuh,kemudian kita langsung takbir untuk mengejar ketinggalan waktu shalat kita.......” Kata Maula.

“Tapi dengan kita sudah berada dimasjid lima menit lebih awal misalnya, insya Allah kita akan terkondisi dengan suasana masjid dan konsentrasi kita pun bisa lebih tenang, dan diharapkan dari ketenagan hati dan pikiran itulah akan lahir kekhusuan dalam shalat kita............” Kata Ki Bijak.

“Yang masih banyak terjadi sekarang justru sebaliknya, kita seolah sudah terbiasa atau membiasakan diri untuk shalat diakhir waktu, padahal jam penunjuk waktu banyak terdapat dikiri kanan kita, kita masih sering pura-pura tidak tahu atau tidak melihat kearah jam itu, kita justru lebih asyik browsing, baca bacaan yang sama sekali tidak bermanfaat, lihat gambar yang tidak senonoh,dan berbagai hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebaikan kita.....” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas harus ingat, bahwa otak kita merekam setiap apa yang dilihat, didengar atau dirasa oleh indera kita, semakin banyak bacaan vulgar yang kita baca, maka semakin banyak memori vulgar yang tersimpan diotak kita, semakin sering gambar cabul yang kita lihat, semakin sesak otak kita dipenuhi oleh pikiran kotor, semakin sering ,semakin banyak pula space dalam otak kita yang terpakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.....” Kata

“Dalam kondisi tertentu, memori tentang hal yang jelek yang sedemikian banyak, akan mengalahkan memori kita tentang hal yang baik, semakin sering kita mendengar perkataan dusta dan sia-sia, semakin sering kita membaca bacaan yang tidak berguna, maka kecenderungan kita terhadap hal-hal kita pasti akan lebih besar............”

“Nak Mas bisa merasakan sendiri, manakala Nak Mas habis nonton bola misalnya, mau-tidak mau, bayangan pertandingan bola itu akan terekan oleh otak kita dan sangat mungkin terbawa hingga waktu shalat kita......” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki, ana sering mengalami hal itu....” Kata Maula.

“Untuk itu, biasakan kita punya sedikit waktu lebih sebelum kita shalat, tujuannya ya itu tadi, untuk memulihkan konsentarsi kita dan memusatkan pikiran kita terhadap Allah semata.......” Kata Ki Bijak.

“Lalu hal “kecil” lain yang mungkin bisa membantu kita shalat khusyu adalah kita mengerti apa yang kita baca, surat Al Fatihah misalnya, jika kita memahami bahwa ketika kita membaca fatihah, Allah mendengar dan menjawab setiap apa yang kita baca.....”

“Nak Mas masih ingat sebuah hadist qudsi yang diriwayatkan dalam shahih Muslim, bahwa Abu Hurairah berkata;

Bacalah surah al-Fatihah itu secara sirran (sekurang-kurang didengar oleh diri sendiri), sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Ta‘ala berfirman: “Aku bagikan sembahyang (al-fatihah) antara Aku dan hambaKu separuh-separuh, dan bagi hambaKu meminta apa saja.

Apabila seorang hamba berkata: (segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam)”,

Allah Ta‘ala berfirman: (hambaKu bersyukur dan memujiKu)”;

Apabila berkata: (yang amat pemurah lagi amat mengasihani)”,

Allah Ta‘ala berfirman: (hambaKu memujiKu)”;

Apabila berkata: (yang menguasai pemerintahan hari pembalasan (hari akhirat)”,

Allah Ta‘ala berfirman: (hambaKu mengagungkan Aku) dan sesekali (Allah) berfirman: “ (hambaKu pasrah padaKu)”;

Apabila berkata: (engkau sajalah (ya Allah) yang kami sembah, dan kepada engkaulah saja kami memohon pertolongan)”,

Allah Ta‘ala berfirman: (Ini antaraKu dengan hambaKu dan bagi hambaKu meminta apa sahaja)”;

Apabila berkata: (Tunjukilah kami jalan yang lurus, iaitu jalan orang-orang yang engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang yang engkau telah murkai, dan bukan pula (jalan) orang-orang yang sesat)”,

Allah Ta‘ala berfirman: “ (Ini bagi hambaKu dan bagi hambaKu meminta apa sahaja.”

“Iya Ki, ana sering merinding bila mendengar hadits itu....” Kata Maula.

“Kenapa Nak Mas...? Tanya Ki Bijak.

“Iya, Ki, ketika kita menyadari bahwa saat kita membaca Al fatihah, Allah swt menjawab secara langsung pujian dan permohonan kita, sungguh sesuatu yang sangat luar biasa ki...., hanya itu tadi kesadaran itu belum setiap saat bisa datang kala ana shalat ki......” Kata Maula.

“Coba Nak Mas ingat-ingat lagi, saat kapan saja kesadaran tentang kehadiran Allah pada ssat shalat kita itu datang, kemudian Nak Mas latih terus menerus kondisi tersebut, sehingga Nak Mas bisa setiap saat menyadari kehadiran Allah dan kesadaran bahwa saat kita shalat, saat itulah kita tengah berdiri dihadapan Dzat yang bisa melakukan apapun terhadap kita sesuai dengan yang dikehendaki-Nya......” Kata Ki Bijak.

“Aki benar ki, kesadaran itu lebih sering datang ketika ana mempersiapkannya, ana bersiap-siap untuk shalat, saat shalat ana bukan hanya sekedar sisa tenaga sehabis ana kerja, sisa konsentrasi setelah ana berangan-angan, jadi kuncinya persiapan dan kesiapan kita untuk masuk shalat ya ki.....” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, persiapan yang baik adalah 80% dari shalat itu sendiri, mulai dari wudlu yang sempurna, kehadiran hati kita, sempurnanya konsentrasi kita dan kesiapan fisik dan bathiniah lainnya yang baik, akan menuntun kita untuk bisa shalat dengan khusyu.....” Kata Ki Bijak.

Maula menggangguk, ia berjanji didalam hati, bahwa ia akan senantiasa berusaha untuk mempersiapkan diri menjelang waktu shalat tiba...

Wassalam

July 20, 2007

Wednesday, July 18, 2007

BELAJAR DARI SEPAKBOLA

“Nak Mas, mau kemana buru-buru.....?!” Tanya Ki Bijak manakala mendapati muridnya berjalan tergesa-gesa.

“Aki...., mau nonton bola Ki, .....” Jawab Maula sedikit terkejut.

“Bukankah Copa America sudah usai Nak Mas....?” Kata Ki Bijak menebak-nebak.

“Iya Ki, sekarang Piala Asia, Ki, Indonesia lawan Korea.....” Kata Maula.

“Indonesia lawan Korea?, bukankah Nak Mas tidak terlalu suka dengan sepakbola Indonesia? Kok tumben sekarang semangat banget......?” Kata Ki Bijak.

“Benar Ki, dulu ana tidak terlalu suka, tapi sekarang lain, Ki.....” Kata Maula.

“Lain apanya Nak Mas....? Tanya Ki Bijak lagi.

“Kata orang-orang, tim Indonesia sekarang lain ki, tim merah putih sekarang memiliki sesuatu yang berbeda yang selama ini tidak nampak, seperti semangat juang yang pantang menyerah, mental yang kokoh, serta memiliki motivasi dan keinginan yang kuat untuk menang.....” Kata Maula.

“Boleh Aki temani nontong bolanya Nak Mas.....? Tanya Ki Bijak mulai tertarik dengna cerita yang sangat antusias dari muridnya.

“Aki suka bola juga...? Tanya Maula.

“Tidak terlalu Nak Mas, hanya mungkin Aki bisa belajar dari semangat, mental dan motivasi serta keinginan untuk menang dari tim Indonesia seperti yang Nak Mas katakan barusan............” Kata Ki Bijak.

Tak lama kemudian, guru dan murid itu nontong bola bareng, sambil bercakap-cakap, selang berapa lama kemudian mereka terlibat diskusi mengenai pertandingan sepakbola dilayar kaca;

“Seru kan Ki....., tuh Ki, pemain Indonesia, meskipun tubuhnya kecil, tapi dia memiliki keberanian untuk bertarung merebut bola.....” Kata Maula menunjuk seorang gelandang mungil Indonesia yang berjibaku merebut bola dari kaki pemain lawan.

Ki Bijak hanya tersenyum mendengar penjelasan muridnya; mata Ki Bijak pun tak luput memperhatikan riuhnya penonton yang memadati stadion untuk memberi dukungan pada para pemain Indonesia.

“Iya Nak, sekarang penontonnya juga banyak sekali, seberapa besar perubahan yang nampak pada tim sekarang Nak Mas..? Tanya Ki Bijak.

“Yang jelas, mereka sekarang tidak down duluan menghadapi lawan yang memiliki nama besar, dan itu lho ki, semangat juang mereka heroik sekali.....” Kata Maula.

“Kita pun bisa meniru sikap mereka yang tidak mudah menyerah, memiliki semangat juang yang tinggi serta berkarakter......” Kata Ki Bijak.

“Ki, bagaimana agar kita bisa memiliki sikap positif dalam kehidupan seperti yang ditunjukan oleh tim kita itu Ki.......” Tanya Maula.

“Sama seperti mereka Nak Mas, kita perlu latihan........” Kata Ki Bijak.

“Latihan yang mereka jalani selama ini, baik itu latihan fisik atau teknik, telah membentuk keyakinan pada mereka bahwa ‘saya pun bisa’, dan seperti kita maklum, bahwa kepercayaan diri yang baik, adalah salah satu faktor terpenting bagi mereka yang ingin meraih kemenangan.....” Kata Ki Bijak.

“Yang kedua, untuk memiliki sikap positif, kita perlu mengubah cara pandang atau perspektif kita terhadap suatu objek, seperti para pemain itu, ketika mereka mampu mengubah pandangan mereka bahwa Korea yang semifinalis Piala Dunia, bahwa Arab Saudi yang pernah tiga kali menjuarai Piala Asia, bukanlah sebuah tim yang tidak mungkin untuk dikalahkan,dan ketika perspektif pemain kita sudah benar, maka mereka, para pemain kita tidak lagi merasa imperior untuk berhadapan dengan tim manapun......” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas pernah memperhatikan Gunung Ciremai......” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki, Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat....” Kata Maula.

“Gunung Ciremai tinggi itu kata kita yang melihat gunung ciremai dari kejauhan, sementara orang yang tinggal di sekitar gunung itu tidak akan pernah mengatakan bahwa gunung ciremai itu tinggi, tinggi tidaknya gunung ciremai adalah sebuah perspektif yang berbeda diantara mereka yang tinggal disana dan orang yang berada jauh dari ciremai.....”

“Itulah kenapa kita perlu melihat apapun dengan cara pandang yang benar, setinggi apapun gunung tersebut, sebut saja gunung himalaya, masih mungkin untuk ditaklukan, dan jika sikap itu sudah terbentuk, itu akan merupakan sebuah modal yang sangat berharga bagi kita untuk meraih kemenangan......”

“Lalu sejauh mana pengaruh dukungan penonton terhadap penampilan pemain, Ki....?” Tanya Maula.

“Pada kondisi tertentu, memang pemain memerlukan sebuah “motor” untuk membangkitkan semangat dan rasa percaya dirinya, dan dukungan penonton yang memberikan yel-yel penyemangat sangat berarti bagi pemain yang belum memiliki stabilitas mental yang baik...... sementara untuk pemain dengan kualitas mental juara yang memadai, dukungan penonton tidak akan berpengaruh banyak bagi para pemain tersebut.................” Kata Ki Bijak.

“Pun demikian halnya kita dalam beribadah, ketika kita masih dalam tahap belajar untuk menjadi orang yang benar ibadahnya, kita memerlukan dukungan banyak pihak agar kita bisa tetap semangat dan istiqomah atau untuk mengingatkan kita ketika kita lupa misalnya....., untuk itu Nak Mas harus sering-sering berbicara dengan para ustadz atau orang alim, agar semangat Nak Mas tetap membara dalam hal beribadah...” Kata Ki Bijak.

“Waah, aki bisa juga nih jadi pengamat bola.....” Kata Maula.

Ki Bijak hanya tersenyum mendengar perkataan muridnya.

“Sepakbola adalah sebuah miniatur kehidupan kita Nak Mas...., disepakbola ada aturan yang harus ditaati, ada waktu yang tidak boleh dilampaui, ada wasit mutlak keputusannya, ada lawan yang siap menjegal, ada target dan tujuan serta gol yang harus dicapai, ada lapangan permainan, ada pola yang harus diterapkan, ada kekompakan, ada kebersamaan, ada semangat dan berbagai perpaduan lainnya, sebelum sebuah tim menggapai kemenangan....” Kata Ki Bijak.

“Kehidupan kita pun demikian, ada tata aturan dan nilai yang harus ditaati, ada syari’at yang harus dipenuhi, ada batasan waktu dan usia yang harus kita manfaatkan untuk menuai sebanyak mungkin pahala sebagai bekal kita kelak, ada Allah yang bertindak sebagai pengadil atas tingkah polah kita, ada setan yang siap menggelincirkan kita, ada akhirat sebagai tujuan kita, ada wilayah atau bidang dimana kita bisa bermain dalam kehidupan dunia, kita pun memerlukan kebersamaan dan persatuan dalam mencapai tujuan dan cita-cita kita, dan masih banyak lagi persamaan yang dapat kita ambil dari sepakbola sebagai tamsil kehidupan kita.....” Kata Ki Bijak.

“Lalu, kenapa harus ada yang kalah dan harus ada yang menang Ki.....? Kata Maula.

“Itu sunnatullah Nak Mas, kemenangan dan kekalahan dipergilirkan kepada setiap kita, untuk menguji sejauh mana kekuatan kita dalam menerima kekalahan atau kesiapan kita untuk tidak mabuk ketika kita memperoleh kemenangan......, sikapi secara wajar manakala kita kalah, pun bersikap sebagaimana layaknya ketika kita dihampiri kemenangan.....” Kata Ki Bijak lagi.

Akhirnya menjelang pertandingan memasuki setengah babak, Ki Bijak pamitan kepada Maula;

“Nak Mas, Aki pulang dulu, Nak Mas teruskan saja nontonnya, tapi jangan lupa “ini”nya jalan terus....” Kata Ki Bijak sambil menunjuk dada Maula, agar hati muridnya tidak melalaikan dzikir kepada Allah meski tengah asyik menonton bola sekalipun.

“Insya Allah, Ki.......” Kata Maula sambil mengantar gurunya kedepan pintu.

Wassalam

July 18, 2007

KEINDAHAN DUNIA

“Assalamu’alaikum........” Sapa Maula

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” balas Ki Bijak

“Alhamdullilah, kita sudah memasuki bulan Rajab, Nak Mas....” Kata Ki Bijak.

“Ya, Ki, tidak terasa kita sudah menjelang Ramadhan lagi, Ki, kenapa ya waktu terasa begitu cepat berlalu, sepertinya baru kemarin kita meninggalkan ramadhan, sekarang insya Allah kita akan dipertemukan lagi dengan bulan yang dimuliakan itu.....? Tanya Maula.

“Karena kita sangat kerasan / betah tinggal didunia ini Nak Mas......” Kata Ki Bijak.

“Betah, Ki........? Tanya Maula

“Ya, orang yang betah tinggal disuatu tempat, misalnya ditempat wisata, ditempat yang mereka senangi, atau tempat bulan madu, pasti merasakan waktu seakan bergulir lebih cepat, dibanding mereka yang tinggal ditempat-tempat yang tidak mereka senangi....., seorang Narapidana misalnya, pasti merasakan pergantian waktu seakan melambat, karena siapapun tidak suka penjara........” Kata Ki Bijak.

“Begitupun dengan kita, kita merasakan waktu demikian cepat berputar karena kita sangat senang tinggal dudunia ini, kita sangat mencintai dunia ini, sehingga kita sering terpesona oleh keindahannya, itulah yang menyebabkan waktu terasa begitu cepat berlalu...........” Kata Ki Bijak.

“Ki, kenapa orang cenderung mencintai dunia ini, Ki..........? Tanya Maula.

“Karena memang Allah menjadikan dunia ini indah Nak Mas...., coba Nak Mas perhatikan ayat ini”;

14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

[186] yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
“Dan karena keindahannya itulah, banyak manusia terpesona oleh keindahan dunia, sehingga sebagian dari kita lupa bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan,tempat mampir, yang mau tidak mau harus kita tinggalkan kelak...” Kata Ki Bijak.

“Ki, apakah kita boleh menikmati karunia Allah berupa keindahan dunia ini Ki...? Tanya Maula.

“Boleh Nak Mas, tapi dengan syarat............” Kata Ki Bijak.

“Apa syaratnya Ki......?” Tanya Maula

“Keinginan dan kecintaan kita pada wanita (istri kita), kasih sayang kita pada anak-anak kita, hasrat kita terhadap harta, tidak boleh melebihi kecintaan kita pada Allah dan Rasul-Nya......” Kata Ki Bijak.

“Kadang kita ini berlebihan dalam mencintai dunia dan urusannya, kita demikian cinta pada istri dan anak kita, sehingga kadang kita gelap mata, apapun yang mereka minta, kita turuti, terlepas dengan cara apa kita memenuhinya, sehingga tak jarang orang yang korupsi, menipu atau berbuat kejahatan lainnya, hanya untuk memenuhi kecintaanya pada anak istri.....”

“Benar, anak – istri adalah amanat yang harus kita jaga dan kitapun berkewajiban untuk membahagiakan, tapi juga benar bahwa anak-istri adalah sebuah ujian bagi kita, apakah kecintaan kita terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak tergeser oleh kecintaan kita kepada anak istri kita, kita harus benar-benar bijak dalam menyikapi hal ini........”

“Kadang pula kita demikian mencintai harta kita, sehingga kita lebih mementingkan mobil atau motor kita untuk dibersihkan, dari pada panggilan adzan yang berkumandang, ini yang tidak boleh Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Kadang hari-hari dan pikiran kita dipenuhi dengan urusan dunia, mulai mencari duit, pikiran kita dipenuhi ide-ide untuk menambah penghasilan, hati kitapun turut serta mempertimbangkan untung rugi usaha yang akan kita jalani, anak istri pun dilibatkan, waktu kitapun dihabiskan untuk berkubang pada pekerjaan, ikut seminar, pelatihan, trainning yang semuanya bermuara pada uang , sehingga Allah dan Rasul-Nya menjadi nomor sekian.......” Kata Ki Bijak lagi

“Bagaimana cara kita untuk menyikapinya Ki...? Tanya Maula.

“Tempatkan dunia pada porsi yang benar, Nak Mas....” Kata Ki Bijak.

“Ketika kita salah dalam menempatkan dunia, ibarat kita menempatkan kelereng persis didepan mata kita, sehingga bola mata kita tidak bisa melihat benda lain yang lebih besar dari kelereng itu, karena semua bagian mata kita tertutup oleh kelereng yang kecil....”

“Ketika kita menempatkan dunia didalam seluruh aspek kehidupan kita, maka kita tidak lagi dapat melihat akhirat yang luasnya seluas bumi dan langit, dunia ini sangat kecil jika dibandingkan kehidupan diakhirat kelak..........” Kata Ki Bijak.

“Jika kita punya mobil, tempatkan mobil kita digarasi, bukan dihati, karena hati kita hanya untuk Allah”

“Ketika kita punya emas, perak atau tabungan, tempatkan dibank, jangan dihati, karena hati kita hanya untuk Allah”

“ketika kita punya rumah mewah, tempatkan pada posisi yang benar, bukan dihati, karena hati kita hanya untuk Allah”

“Ketika kita punya istri cantik dan anak yang lucu, sayangi dan cintai mereka dengan semestinya, hati kita tetap untuk Allah”

“Sehingga ketika mobil kita rusak atau hilang, hati kita tetap terpaut pada Allah, ketika harta, emas dan perak kita habis, iman kita tidak berkurang pada Allah, ketika rumah kita rusak, kita tidak lantas menyalahkan Allah, atau ketika saatnya tiba kita harus berpisah dengan anak istri kita, kita tetap bersama Allah...” Kata Ki Bijak.

“Ada sebuah kiasan yang indah untuk menggambarkan mereka yang lalai didunia ini, hingga akhirnya mereka menyesal........” Kata Ki Bijak yang melihat muridnya masih betah mendengarkan petuahnya.

“Bagaimana itu, Ki....?” Kata Maula penasaran.

“Ada seorang yang diuji oleh Rajanya dengan cara menempatkan orang tersebut disebuah hutan lebat yang belum pernah terjamah manusia untuk menemukan sebuah mahkota bertahta berlian. Pada mulanya orang tersebut sangat takut dan bingung dengan kondisi hutan yang asing baginya, ia kemudian berjalan kesana-kemari tanpa arah, hingga kemudian ia menemukan sarang lebah yang berisi madu. Setelah mencicipi rasa madu yang baru ditemukannya, orang itu semakin asyik menikmati manisnya madu, ia terus saja menikmati madu, tanpa peduli lagi pada titah raja untuk menemukan mahkota, bahkan ia pun sampai lupa waktu, detik demi detik, menit demi menit ia gunakan semua waktunya untuk menikmati madu, hingga tanpa sadar, malam sudah menjelang...., ia pun kebingungan ditengah kegelapan........”

“Orang tersebut bisa mewakili kita Nak Mas, sementara hutan adalah dunia ini. Ketika kita dilahirkan kedunia yang semula asing bagi kita, kita ditugaskan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya, dan ditengah perjalanan kehidupan kita, kita dipertemukan dengan manisnya “madu dunia”, yaitu berupa harta serta keindahan lainnya. Dan seperti orang dalam tamsil tersebut, kita terbuai dengan manisnya madu kehidupan dunia, sehingga ketika kita sadar, ajal sudah menjelang, dan kita tidak sempat lagi menunaikan tugas pengabdian kita kepada Allah swt........”

“Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak seperti orang itu, Ki...” Tanya Maula.

“Nikmatilah madu itu, sekedarnya saja, dan jangan lupakan tugas pokok kita untuk mengabdi kepada Allah, untuk membawa sebuah mahkota “Laa ilaha ila llah” untuk kita persembahkan kepada Allah sepulangnya kita keakhirat kelak....” Kata Ki Bijak.

Maula mengganguk, kemudian ia berpamitan kepada gurunya untuk berangkat kerja.

Wassalam

July 18, 2007

Tuesday, July 17, 2007

ADIL TIDAK BERARTI SAMA

“Assalamu’alaikum........” Sapa Maula

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” balas Ki Bijak

“Ki, apakah adil itu berarti “sama”...? Tanya Maula.

“Maksud Nak Mas....? Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, apakah agar kita bisa berbuat adil, kita harus memberikan sesuatu yang sama kepada setiap orang....? Tanya Maula lagi

Ki Bijak tersenyum mendengar pertanyaan muridnya, guru yang santun dan bijak ini kemudian menuturkan;

“Nak Mas lihat keseliling kita, mulai dari tatanan masyarakat disekitar kita, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang pintar, ada yang bodoh, ada yang pendek, atau yang tinggi, setiap orang memiliki karakteristik dan kondisi yang berbeda-beda...., menurut Nak Mas apakah Allah tidak adil dengan memberikan sedemikian banyak perbedaan seperti diatas.....? Kata Ki Bijak.

“Allah kan Maha Adil, Ki, dan mustahil Allah tidak adil kepada mahluk-Nya.......” Kata Maula.

“Nak Mas benar, Allah Maha Adil, dan mustahil Allah berbuat tidak adil, dan itu merupakan jawaban atas pertanyaan Nak Mas tadi, bahwa adil tidak berarti harus sama, adil adalah proporsional atau tepat, baik itu waktu dan kegunaanya......” Kata Ki Bijak.

“Ki, adakah perumpamaan untuk memperjelasnya Ki.....” Tanya Maula.

“Misalnya begini Nak, putra Nak Mas dua orang, yang satu berumur 6 tahun dan satu lagi berumur 9 bulan, apakah menurut Nak Mas adil jika Nak Mas memberi porsi makan yang sama pada kedua putra Nak Mas tersebut.....?” Tanya Ki Bijak

“Ya tidak Ki......” Kata Maula

“Kenapa....?”Tanya Ki Bijak lagi

“Karena anak yang besar tentu memerlukan porsi makanan yang lebih besar, sementara yang kecil, kalau diberi porsi yang sama, pasti perutnya tidak bisa menampungnya Ki.....” Kata Maula.

“Nak Mas benar, adil artinya kita memberikan sesuatu kepada orang yang tepat dan dengan kadar atau takaran yang tepat pula, jadi sekali lagi adil tidak berarti harus sama......” Kata Ki Bijak.

“Lalu satu pertanyaan lagi, yang menentukan kadar pas atau tidaknya makanan kepada dua orang putra Nak Mas tadi, Nak Mas atau si anak...? Tanya Ki Bijak.

“Ya tentu saya ki....” Kata Maula

“Kenapa..?” Tanya Ki Bijak

“Karena kami selaku orang tua lebih tahu kebutuhan sianak, kalau kami memberikan porsi yang tidak sesuai, mungkin justru akan menyebabkan anak kami sakit ki, berarti pula, kami tidak mencintai mereka......” Kata Maula.

“Begitupun dengan Allah Nak Mas, Allah Maha Tahu dengan kebutuhan kita, Allah Maha teliti perhitungannya, kalau Allah memberikan porsi rezeki kita berbeda dengan orang lain yang lebih banyak misalnya, bukan berarti Allah tidak mendengar do’a kita yang setiap saat meminta rezeki yang banyak, bukan berarti pula Allah tidak sayang kepada kita, tapi justru disini dituntut kebijaksanaan kita dalam menyikapi karunia Allah dengan rasa syukur...........”

“Seperti Nak Mas bilang tadi, kalau anak yang lebih kecil diberi porsi yang sama dengan kakaknya, mungkin sikecil akan sakit, pun demikian halnya dengan rezeki kita, ketika kita “belum dewasa” dalam menyikapi karunia Allah, rezeki yang berlimpah sangat mungkin justru akan membuat kita “sakit”....”

“Sudah banyak contoh orang yang tiba-tiba menjadi “sakit” karena diberi limpahan rezeki yang belum sebanding dengan rasa syukurnya, mereka kemudian terjangkit penyakit kikir, wabah pelit serta terkontaminasi dengan sifat sombong dan membanggakan diri, karena kelebihan rezeki yang diterimanya........” Kata Ki Bijak.

“Ki, lalu bagaimana agar kita mendapat porsi rezeki yang lebih besar...?” Tanya Maula.

“Jadilah orang yang pandai bersyukur Nak Mas....!! Kata Ki Bijak.

“Maksudnya, Ki.........? Tanya Maula.

“Dengan menjadi orang yang bersyukur, artinya kita telah menyiapkan wadah yang lebih besar untuk menerima karunia Allah, semakin bagus syukur kita, Insya Allah, akan semakin banyak karunia yang akan kita terima, seperti janji Allah dalam surat Ibrahim ayat tujuh, Nak Mas ingat ayat tersebut..?” Kata Ki Bijak.

Kemudian Maula mengucapkan ayat yang dimaksud;

7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

“Ya, itu ayatnya, dan selaku orang yang mengaku beriman, tidak ada alasan sama sekali bagi kita untuk mengikari atau meragukan janji Allah tersebut....” Kata Ki Bijak.

“Terima kasih Ki....., semoga ana bisa menjadi hamba yang pandai bersyukur.....” Kata Maula sambil berpamitan dengan gurunya.

Ki Bijak tersenyum sambil menyambut uluran tangan muridnya.

Wassalam

July 17, 2007

Monday, July 16, 2007

TIPU DAYA SETAN ITU LEMAH

“Assalamu’alaikum........” Sapa Maula

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” balas Ki Bijak.

“Ki, seberapa hebat sih setan itu? Tanya Maula

“Kenapa Nak Mas?” Tanya Ki Bijak

“Iya Ki, seakan-akan setan itu memiliki kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa atas manusia, sehingga ia dengan leluasa mengobrak-abrik “kebenaran” yang seharusnya ditegakan oleh bangsa manusia...” Kata Maula

“Ana sering dengar ada orang yang jahat, itu karena pengaruh setan, ada orang membunuh orang lain, karena dirasuki setan, ada lagi yang bicaranya tak karuan, juga katanya pengaruh setan, banyak orang tergelincir dalam jurang kemaksiatan, juga setan biang keladinya, seolah setan tak tertandingi oleh fitrah kebenaran yang diberikan Allah kepada kita, selaku manusia......” Kata Maula lagi.

“Setan itu lemah, Nak Mas.......” Kata Ki Bijak.

“Lemah, Ki.....?” Tanya Maula heran.

“Ya, setan itu lemah, hanya dia memang ditakdirkan Allah memiliki kepintaran atau lebih tepatnya kelicikan, yang dengan kelicikannya itu ia menunggangi nafsu kita, hingga ketika keduanya, setan dan nafsu itu bersatu, akan melahirkan kekuatan yang sangat dahsyat untuk menyesatkan manusia....” Kata Ki Bijak.

“Memang kenapa Ki, kalau setan berhasil menguasai nafsu kita?” Tanya Maula.

“Konon ketika Allah menciptakan nafsu, kemudian Allah bertanya kepada nafsu “Siapa Aku (kata Allah), dan siapa Engkau (nafsu)?”

“Aku adalah aku, engkau adalah Engkau”, kata nafsu, nafsu tidak mengakui Allah sebagai Rabb-nya. Kemudian Allah memasukan nafsu kedalam neraka yang menyala selama ratusan tahun, dan setelah diangkat dari jurang neraka, Allah mengulangi pertanyaan-Nya, dan jawaban nafsu sama pula seperti jawaban pertama, hingga kemudian nafsu dimasukan lagi kedalam neraka, hingga tiga kali.

Akhirnya, setelah nafsu tidak mempan dibakar api neraka, maka Allah kemudian tidak memberi makan kepada nafsu (puasa), dan setelah kelaparan, nafsu baru mengakui bahwa Allah adalah Rabb-nya”.


“Kekuatan nafsu, seperti tergambar dengan pembangkangannya terhadap Allah, cukup memberi gambaran bagi kita bahwa Nafsu kita itu sangat kuat Nak Mas, tapi nafsu tidak memiliki kecerdikan sebagaimana setan, ia hanya kuat, tapi bodoh...., dan ketika kelicikan setan yang dipadukan dengan kekuatan nafsu yang bodoh, jadilah kekuatan yang luar biasa kuat........” Kata Ki Bijak lagi.

“Apakah ada yang mampu mengalahkan perpaduan setan yang licik dan nafsu yang kuat ki?” Tanya Maula.

“Ada Nak Mas, Allah swt Maha Tahu dengan ciptaan-Nya, Allah menciptakan Akal sehat dan agama sebagai pembendung kekuatan nafsu dan setan......” Kata Ki Bijak.

“Kenapa Agama dan Akal sehat, Ki....? Tanya Maula.

“Agama adalah merupakan tali kekang yang sangat efektif untuk mengendalikan keliaran nafsu kita, agama membatasi ruang gerak nafsu yang dikendarai setan, sehingga nafsu kita dapat terkendali sesuai dengan kehendak akal sehat, bukan menuruti pikiran jahat........” Kata Ki Bijak.

“Aturan agama, yang biasa kita sebut dengan syari’at, merupakan norma, aturan dan tata nilai yang membatasi kebebasan nafsu yang memiliki cenderungan untuk menyimpang, dan dengan tata aturan yang benar dan disertai akal sehat, maka kita bisa mengendalikan nafsu kita sesuai dengan fitrahnya, kita yang menguasi nafsu, bukan nafsu yang menguasai kita, dan dengan menjalankan syari’at agama yang benar, kita dapat memisahkan nafsu dengan setan, dan itu berarti kemenangan agama dan akal sehat, dan kekalahan nafsu yang berkoalisi dengan setan........” Kata Ki Bijak.

“Agama yang disertai Akal sehat akan menntun manusia pada pemahaman dan keyakinan akan adanya pertemuan kita dengan Allah kelak, agama pula yang memberikan keyakinan pada kita akan adanya hari pembalasan, yang kemudian menuntun akal sehat untuk berpikir dan bertindak dengan ikhlas, lillahita’ala......, dan setan sama sekali tidak memiliki kekuatan apapun dihadapan mereka yang mengabdi kepada Allah dengan ikhlas..........”, Kata Ki Bijak

Setan dan nafsu hanya akan mendekati mereka yang tidak mau mengabdi kepada Allah dengan iklas, setan dan nafsu selalu menghampiri mereka yang shalatnya karena ria, sedekahnya karena pamrih, hajinya karena ingin pamer, dan mereka yang suka mengembel-embeli ibadahnya dengan berbagai keinginan dan kepetingan lainnya selain Allah....” Kata Ki Bijak lagi.

“Ki, apakah kita harus menghilangkan nafsu.....” Tanya Maula.

“Bukan menghilangkan Nak Mas, tapi mengendalikan, karena nafsu adalah salah satu fitrah kita, sehingga tidak mungkin dihilangkan, selain nafsu juga merupakan unsur yang dapat menambah nilai ibadah kita dimata Allah......” Kata Ki Bijak.

“Kita memerlukan nafsu untuk memberikan dorongan kepada kita dalam berusaha,misalnya, keinginan kita untuk memiliki harta adalah dorongan nafsu, keinginan kita untuk mencapai hasil yang lebih baik adalah nafsu, dan kita butuh itu...”

“Yang harus kita lakukan adalah bagaimana keinginan kita untuk berharta tidak ditunggangi oleh kepentingan setan, sehingga keinginan kita menjadi rusak, kita menjadi membabi buta dalam mengumpulkan harta, segala cara halal dan lain sebagainya...”

“Kita juga harus mensterilkan keinginan kita untuk maju dari pengaruh setan, agar keinginan tersebut tidak menjadi sarana setan untuk menjadikan kita orang yang rakus, tamak bin serakah.......”

“Lalu, kenapa Allah melipat gandakan nilai pahala kita dan nilai ibadah kita dianggap jauh lebih hebat dari ketaatan para malaikat sekalipun, salah satunya adalah karena kita harus berhasil memenangkan pertarungan dengan nafsu dan setan terlebih dahulu sebelum kita beribadah, sementara malaikat tidak.....” Kata Ki Bijak.

“Maka dari itu, kenalilah hatimu, yang disana juga tersimpan nafsu, selain sifat rabbaniyah kita,sehingga kita tahu kata hati yang mana yang menyuruh kita melakukan suatu tindakan, insya Allah kita akan selamat dari tipu daya setan yang mendompleng pada nafsu.........” Kata Ki Bijak.

“Waspada ya Nak Mas.......” Kata Ki Bijak.

“Laa haula walaa quata ilabillah......, Insya Allah, Ki.......” kata Maula.

Wassalam.

July 12, 2007

KITA BUTUH “UJIAN”

“Assalamu’alaikum........” Sapa Maula

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” balas Ki Bijak.

“Ki, ana sering sekali mendengar orang yang mengeluh, ‘saya khan sudah beriman kepada Allah, sudah shalat, sudah baca al qur’an, tapi kehidupan saya seperti ini terus, sementara mereka yang shalatnya kadang-kadang atau bahkan tidak shalat sama sekali kok malah murah rezeki’, sehingga kemudian mereka seakan ragu dengan kebenaran janji Allah.......” Kata Maula.

“Nak Mas pernah merasakan hal seperti itu..?” Tanya Ki Bijak.

“Jujur, ana juga beberapa kali mengalami perasaan seperti itu, ketika ana sudah merasa bahwa ana sudah berbuat baik kepada seseorang, tapi justru ana mendapatkan hal sebaliknya dari orang tersebut.....” Kata Maula.

“Maksudnya Nak Mas...?” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, ana pernah dimintai tolong oleh seorang teman yang istrinya tengah dirawat, dan alhamdulillah, ana ketika itu punya sedikit tabungan, tapi ketika ana butuh uang, sulit sekali nagihya, bahkan kadang menjadikan hubungan kami jadi tidak baik....” Kata Maula.

“Pun beberapa kali ana justru “dikecewakan”, setelah ana merasa telah berbuat baik.....” Kata Maula.

“Nak Mas tahu kenapa hal demikian terjadi pada kita....?” Tanya Ki Bijak.

Maula menggelengkan kepalanya tanda belum mengerti.

“Pertama, Nak Mas harus berhati-hati dengan perkataan “merasa”, merasa telah berbuat baik, merasa telah menolong orang lain, merasa shalatnya sudah benar, merasa sudah taat, karena boleh jadi perasaan itu, perasaan kita telah berbuat baik, dimanfaatkan setan untuk menggelincirkan kita pada rasa tidak ikhlas, sehingga apa telah kita perbuat tidak lagi semata-mata karena Allah......” Kata Ki Bijak.

“Pertolongan yang kita berikan yang seharusnya dilandasi dengan keikhlasan, bergeser menjadi pertolongan yang dipenuhi dengan pamrih, kita ingin dipuji sebagai orang baik, kita ingin dihormati teman yang kita tolong, kita ingin disebut sebagai pahlawan, mesti semuanya tidak kita ucapkan, tapi ketika rasa itu muncul, maka boleh jadi keikhlasan kita tercemari....” Kata Ki Bijak.

“Shalat yang kita lakukan, zakat yang kita tunaikan, juga kadang diselipi oleh pamrih duniawi kita, kita shalat dengan harapan kita mendapatkan “sesuatu”selain ridha-Nya, demikin juga dengan zakat kita, benar kita dianjurkan untuk memiliki rasa “harap dan cemas” ketika kita memohon kepada Allah, tapi harap dan cemas itu adalah perasaan takut kita kalau ibadah kita tidak diterima Allah, bukan harapan dan kecemasan lainnya.....” Kata Ki Bijak.

“Ketika kita menolong orang lain karena pamrih, bersiap-siaplah kita untuk kecewa, seperti yang pernah Nak Mas alami itu.....” Kata Ki Bijak.

“Ketika shalat dan zakat kita bukan semata karena Allah, bersiaplah kita akan mengalami kejenuhan dalam beribadah kepada Allah, dan itu sangat berbahaya........” Kata Ki Bijak.

“Perasaan seperti itu juga sebentuk ujian dan kita harus menyikapinya dengan sikap terbaik kita agar kita tidak merugi nantinya.....” Kata Ki Bijak.

“Lalu kenapa ketika kita sudah beriman kepada Allah, menjalankan ajaran agama dengan benar, tapi kita masih senantiasa diuji oleh Allah dengan berbagai penderitaan, kekurangan, ketakutan seperti yang dikeluhkan oleh banyak orang, karena memang keimanan seseorang perlu diuji sebagai pembuktian Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya, Ki....?” Tanya Maula.

“Kita boleh mengaku telah beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya, kitapun boleh merasa ibadah kita sudah baik dan benar, tapi itu kan masih sebatas pengakuan kita, dan Allah ingin menguji kebenaran pengakuan itu, yaitu dengan cara menguji kita dengan berbagai penderitaan, kekurangan, ketakutan dan lainnya......” Kata Ki Bijak.

“Dan yang Nak Mas harus ingat bahwa bukan hanya kita yang diuji demikian...., Nak Mas ingat ketika dizaman Rasul dulu, umat Islam yang ketika itu masih berjumlah sedikit, diisolasi, sehingga umat Islam ketika itu tidak bisa berhubungna dengan dunia luar, bahkan banyak diantara sahabat yang harus terpisah dengan sanak saudaranya...” Kata Ki Bijak.

“Tak kurang dari sahabat yang kita kenal keteguhan dan kekokohannya, “mengeluh dan mengadu” kepada Rasul, kenapa justru mereka mengalami hal seperti itu justru ketika mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.............”

“Nabi ketika itu tidak bisa langsung menjawab, karena betapapun beliau merasakan beban yang harus dipikul dan ditanggung oleh para sahabat demi mempertahankan keimanannya....., Nabi diam, hingga Allah kemudian mengutus Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu yang merupakan jawaban atas pengaduan para sahabat........” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat dimaksud;

1. Alif laam miim[1144]
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
3. Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.

“Itulah jawaban Allah, dan Nak Mas perhatikan, emas harus ditempa dan disepuh terlebih dahulu sebelum benar-benar menjadi perhiasan yang mahal, pun demikian halnya dengan keimanan kita, harus diuji dulu, agar terlihat siapa yang benar imanya, dan siapa diantara kita yang berdusta......” Kata Ki Bijak.

“Ki, apa ujian yang diberikan Allah itu berbeda-beda kadarnya....” Tanya Maula.

“Benar, berbeda, tergantung sebesar apa keimanan mereka, semakin tinggi kadar iman seseorang, makin semakin berat ujian yang diberikan Allah padanya.......” Kata Ki Bijak.

“Lihat pucuk cemara itu, Nak Mas..........” Kata Ki Bijak sambil menunjuk pucuk cemara yang oleng kekiri dan kekanan karena hembusan angin yang kencang.

Maula menoleh kearah yang ditunjuk oleh gurunya.

“Semakin tinggi pohon,maka semakin kencang ia akan diterpa angin, tapi selama pohon itu memiliki akan yang kokoh, maka ia akan mampu bertahan dari kencangnya terpaan angin, pun dengan kita, kalau iman kita benar, maka cobaan apapun tak akan merobohkan keyakinan kita akan janji Allah..............., dan satu lagi, Allah tidak akan membebani seseorang melebihi kapasitas yang dimiliki orang tersebut, Allah Maha tahu lagi Maha Adil...........” Kata Ki Bijak.

“Jadi sekali lagi, ikhlaskan ibadah dan pengabdian kita kepada Allah dan jadikan sabar dan shalat sebagai penolong kita dalam menjalani ujian dari Allah swt....” Kata Ki Bijak.

Maula mengangguk tanda mengerti, ia sekarang paham kenapa Allah menguji manusia, bukan karena Allah dhalim, tapi justru Allah ingin menaikan derajat keimanan kita kejenjang yang lebih tinggi.

“Subhanalllah, Ki, ana paham sekarang......” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum sambil menyambut uluran tangan muridnya yang pamitan pulang.

Wassalam

July 16, 2007.

Tuesday, July 10, 2007

HATIKU, RUMAHKU

“Assalamu’alaikum........” Ki Bijak uluk salam dari luar pagar rumah muridnya, Maula, Beliau memang senantiasa mengunjungi rumah muridnya tersebut, kalau beberapa hari saja Maula tidak ke pondoknya.

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” Jawab Maula, ia segera bergegas menuju arah suara.

“Ki, masuk ki...” Kata Muala sambil menjabat tangan gurunya.

Setelah duduk sebentar, kedua orang guru dan muridnya itu terlibat diskusi hangat.

“Nak Mas, kemana lemari yang satunya....? Tanya Ki Bijak, karena memang lemari buku yang dulu terletak diruang tamu, sekarang tidak nampak lagi diruangan tersebut.

“Iya Ki, kemarin dijual.....” Kata Maula

“Kenapa Nak Mas...? Tanya Ki Bijak.

“Selain ruangannya sempit, ana juga perlu uang ketika itu Ki.....” Kata Maula

“Ki, boleh tidak kalau ana mempuyai keinginan untuk mendapatkan penghasilan lebih dan membangun rumah agar lebih luas ki......” Tanya Maula sedikit ragu.

Ki Bijak tersenyum, “Boleh, Nak Mas...., kalau memang itu memungkinkan, tapi ada beberapa hal yang perlu Nak Mas ingat selalu bahwa kekayaan yang hakiki adalah sifat Qanaah dan sebaik-baik rumah adalah hati yang senantiasa berhias dzikirullah......” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat dengan sebuah hadits "Seandainya anak Adam itu diberi dua lembah dari emas, pasti ia akan meminta lembah yang ketiga. Tidak ada yang bisa menutup ketamakan manusia kecuali tanah (mati dikubur tanah)’, banyak sudah contoh orang yang diperbudak hawa nafsunya untuk mengumpulkan harta, sehingga kerap mereka mengorbankan waktunya untuk Allah untuk memenuhi ambisi, padahal itu sebuah kesalahan besar…..", Kata Ki Bijak.

“Nak Mas juga masih ingat dengan sebuah haduts dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Sesungguhnya Allah SWT berfirman : "Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-KU, niscaya AKU penuhi hatimu dengan Kekayaan dan AKU penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya AKU penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak AKU penuhi kebutuhanmu. ", Kata Ki Bijak

“Berhati-hatilah jika keinginan kita untuk mendapatkan tambahan penghasilan, justru melalaikan ibadah kita kepada Allah, dan seperti hadits qudsi diatas, barang siapa yang lalai atau tidak beribadah sepenuhnya kepada Allah, maka bukan pendapatan tambahan yang akan kita dapatkan, tapi justru tangan kita akan dibebani dengan kesibukan, sementara kebutuhan kita malah tidak terpenuhi, betapa ruginya kalau kita berbuat demikian……….” Kata Ki Bijak.

“Sebaliknya, jika kita memiliki sifat Qanaah, senantiasa merasa cukup dengan pemberian Allah, dan meluangkan waktu kita sebanyak dan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah, niscaya hati kita akan dipenuhi dengan kekayaan dan kebutuhan kitapun dijamin oleh Allah swt, Nak Mas mau seperti itu.......” Tanya Ki Bijak.

“Iya Ki, semoga ana bisa senantiasa menjaga keistiqomahan dalam beribadah seperti yang selalu aki ajarakan kepada ana...............” Kata Maula.

“Semoga ya Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Lalu keinginan Nak Mas untuk memperluas rumah ini, juga bukan merupakan sebuah kesalahan, aki akan senang jika Nak Mas bisa hidup layak dirumah yang nyaman dan asri serta luas, tapi sekali lagi ada yang jauh lebih penting dan harus Nak Mas prioritaskan......” Kata Ki Bijak.

“Apa itu Ki.....? Tanya Maula.

“Selama Nak Mas menabung uang untuk memperbaiki rumah ini, jangan lupa Nak Mas memperbaiki “rumah hakiki” Nak Mas, yaitu Hati......” Kata Ki Bijak.

“Hati kita ini adalah tempat tersimpannya iman, cinta, syukur, rasa kehambaan dan keyakinan, seluas apapun rumah kita, semewah apapun tempat tinggal kita, jika hati kita jauh dari nilai-nilai ilahiyah, jauh dari sifat qana’ah, niscaya kita akan tetap merasa sesak ditengah rumah yang lapang.............”

“Sebaliknya, hati yang senantiasa berdzikir, hati yang dipenuhi rasa syukur, hati yang selalu menghamba kepada Allah dan berhiaskan iman yang kokoh, jangankan tinggal dirumah mewah dan megah, dipondok bambu sekalipun, ia akan tetap merasa senang dan lapang...........” Kata Ki Bijak.

“Maka dari itu, perluas hati Nak Mas dengan rasa syukur, pagari dengan keimanan, dan percantik dengan amal shaleh dan dzikir......” Kata Ki Bijak lagi.

“Kapan Nak Mas berencana membangun rumah ini.......” Tanya Ki Bijak.

“Belum tahu ki, insya allah beberapa tahun kedepan......” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, aki juga selalu berdo’a semoga Nak Mas dikarunia rezeki yang banyak dan berkah, agar Nak Mas bisa berbagi dengan orang-orang yang memang membutuhkan uluran tangan kita......” Kata Ki Bijak.

“Amiiiin........” Maula mengamini do’a gurunya.

Wassalam

July 10, 2007

Monday, July 9, 2007

SUDAHKAH KITA BERSEDEKAH HARI INI?

“Assalamu’alaikum........” Sapa Maula

“Walaikumusalam warahmatullahiwabarakatuhu..........” balas Ki Bijak.

“Ki, sehebat apakah fadilah sedekah itu ki.....? Tanya Maula kepada gurunya yang tengah membaca kitab.

“Fadilah sedekah Nak Mas..? Tanya Gurunya

“Iya, Ki, kemarin seorang ikhwan bercerita ketika suatu hari ia diminta tolong oleh tetangganya untuk memetik petai disebelah rumahnya, kemudia ikhwan ana tadi menaiki pohon petai yang cukup tinggi, dan ketika sudah hampir mencapai puncak pohon itu, tiba-tiba seluruh tubuhnya mengalami kejang dan kram, sehingga ia tidak bisa bergerak, ia hampir jatuh, sementara dibawahnya ada dahan-dahan tanaman teh yang tajam dan runcing, ketika itu, kata ikhawan tersebut, ia sudah pasrah manakala melihat ujung dahan tanaman teh yang runcing dibawahnya, ia jika ia jatuh, mungkin tubuhnya akan tertancap ditanaman teh tersebut.....” Kata Muala, diwajahnya terlihat sedikit rasa ngeri membayangkan kembali apa yang mungkin akan terjadi dengan ikhwannya jika dia jatuh.

“Lalu.....?” Tanya Ki Bijak.

“Tapi kemudian ada sesuatu yang “aneh” ki, setelah hampir seluruh tubuhnya kejang dan tidak bisa berpegangan lagi pada batang pohon tersebut, justru tangan kirinya yang mengait pada batang pohon, seperti terikat erat pada batang pohon tersebut, sehingga kaitannya itu menahan seluruh badannya untuk tidak jatuh..., dan dengan sisa-sisa tenaganya, ia meminta tolong kepada tetangga yang ada dibawahnya, dan alhamdulillah, ia berhasil diturunkan dengan selamat..........” Kata Maula.

“Nak Mas heran dengan kejadian tersebut..? Tanya Ki Bijak.

“Heran dan juga takjud Ki, bagaimana mungkin tangan yang seharusnya kram itu bisa terkait dan menahannya jatuh dari pohon...?” Kata Maula.

Itulah Allah Nak Mas, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, jika Allah menghendaki, pasti semuanya mungkin, tapi coba Nak Mas ingat-ingat lagi, apa yang dilakukan ikhwan Nak Mas tadi sebelum ia naik pohon itu......, yang mungkin menjadi asbab keselamatannya, hingga ia tidak jatuh dari pohon......” Kata Ki Bijak.

“Oh iya ki, beliau bercerita bahwa pagi harinya, sebelum ia berangkat, beliau bertemu dengan seorang anak terlantar, yang tinggal bersama neneknya yang sudah sepuh.......” Kata Maula.

“Lalu......?” Tanya Ki Bijak.

“Beliau sangat kasihan kepada anak tersebut, dan kemudian berpesan kepada istrinya untuk memberikan uang jajan kepada anak itu, dan pagi itu istrinya memberikan uang seribu rupiah kepada anak itu......., setelah kejadian yang hampir merengut nyawanya itu, beliau teringat apa yang pernah diajarkan gurunya bahwa sedekah bisa merupakan salah satu fasilitas dari Allah untuk melindungi kita dari mara bahaya, tentu dengan izinnya....., beliau kemudian bersujud syukur bahwa hari itu Allah mempertemukannya dengan seorang anak terlantar dan memberikan sedikit uang kepadanya, dan dengan wasilah itulah ia terhindar dari kecelakaan..............” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “ikhwan antum benar, mungkin sedekah itulah yang dijadikan wasilah Allah untuk menyelamatkannya, dan masih banyak kejadian yang pernah aki dengar atau bahkan aki rasakan sendiri, betapa sedekah adalah sesuatu yang luar biasa, karena selain mendapat pahala diakhirat kelak, kita juga banyak mendapat “sesuatu” yang kadang diluar pikiran dan kemampuan kita....”

“Antum ingat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad?” Tanya Ki Bijak

“Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptakan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut”.

Kemudian mereka bertanya? "Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada gunung?" Allah menjawab, "Ada, yaitu besi"

Para malaikat pun kembali bertanya, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada besi?" Allah yang Mahasuci menjawab, "Ada, yaitu api"

Bertanya kembali para malaikat, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada api?" Allah yang Mahaagung menjawab, "Ada, yaitu air"

"Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?" Kembali bertanya para malaikat. Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, "Ada, yaitu angin"

Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?" Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, "Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya." Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain “ Kata Ki Bijak mengutif hadits yang biasa digunakan oleh para ustadz ketika menyampaikan ceramah yang berkaitan dengan sedekah.

“Aki juga pernah dipertemukan oleh Allah dengan seseorang pengusaha kaya, yang ketika pertama kali aki mengenalnya, mungkin perusahaanya lebih dari sepuluh buah perusahaan, tapi kemudian hanya dalam beberapa tahun saja, satu demi satu perusahaanya bangkrut atau dijual, seorang anak buahnya mengatakan kepada Aki bahwa jika bukan karena sedekahnya kepada fakir miskin dan yatim piatu, mungkin pengusaha itu sudah bangkrut total, tapi dengan izin Allah, sedekahnya selama ini menjadi asbab bagi pengusaha itu untuk tetap bisa mempertahankan perusahaanya yang tersisa……” Kata Ki Bijak lagi.

“Aki juga memiliki seorang ikhwan yang sangat gemar bersedekah, usianya masih muda, rumahnya pun relatif sama dengan rumah aki, tapi ia dengan penuh keikhlasan membantu pembangunan masjid dikampungnya, dan Nak Mas tahu apa yang terjadi dengan ikhwan aki tersebut…? Tanya Ki Bijak

“Meskipun ia dermakan ratusan juta untuk pembangunan masjid dan lainnya, kekayaannya sama sekali tidak berkurang dengan sedekahnya itu, bahkan usahanya makin lancar dan rezekinya seakan mengalir…”Kata Ki Bijak

“Subhanallah……” Kata Maula spontan.

“Ki, jika demikian banyak fadilah sedekah, lalu kenapa banyak orang yang enggan melakukannya…?” Tanya Maula.

“Pertama, karena ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang keutamaan sedekah, kedua, ia tidak yakin dengan janji Allah bahwa sedekahnya akan dibalas 10 kali atau bahkan lebih sesuai dengan kehendak Allah, ketiga, masih ada sifat munafik dalam hatinya, keempat, ia mungkin termasuk orang kikir….” Kata Ki Bijak.

Seandainya semua kita tahu dan paham tentang keutamaan sedekah, pasti mereka akan berlomba-lomba untuk melakukannya, meski dengan se-sen uang yang ia miliki, seandainya ia paham bahwa sunatullah mengajarkan bahwa segala sesuatu harus mengalir atau dialirkan agar tidak menjadi penyakit dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, pasti kita akan dengan senang hati bersedekah …..” Kata Ki Bijak lagi.

“Nak Mas perhatikan, air yang tidak mengalir, akan menjadi sarang penyakit, makanan yang kita makan, kemudian tidak kita keluarkan, akan membusuk didalam perut dan menjadi penyakit, air yang kita siramkan pada vas bunga juga harus dialirkan, agar akar bunga tersebut tidak membusuk, semuanya mengajarkan kepada kita agar kita “mengalirkan” rezeki dan nikmat yang kita terima, bukan untuk orang lain sebenarnya, justru dengan bersedekah dan mengalirkan uang kita dijalan Allah, maka kita harta kita akan menjadi “bersih & sehat”, dan tidak menjadi “sarang penyakit” nifaq pada diri kita……”
Kata Ki Bijak.

“Kadang ketika kita hendak bersedekah, kita mesti berhitung sekian kali, berapa yang akan kita terima sebagai balasan dari Allah, padahal janji Allah pasti benar adanya, dan hanya orang yang kurang imannya saja yang meragukannya…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Sifat Kikir juga merupakan “penyakit”, yang harus dilawan, karena kikir sama sekali tidak akan menjadikan kita kaya, bahkan kikir akan menjadi sumber penyakit pada harta dan jiwa kita……” Kata Ki Bijak.

“Ki, bagaimana agar kita terlatih untuk bersedekah…? Tanya Maula

Nak Mas, untuk melatih kita agar menjadi orang yang istiqomah dalam bersedekah, niatkan dengan ikhlas kita bersedekah meski lima ratus atau seribu rupiah tiap hari sebelum kita berangkat kerja misalnya, masak iya sih kita bisa beli rokok 234 sebungkus, tapi nggak bisa menyisihkan seribu rupiah untuk sedekah….? Kata Ki Bijak

“Insya Allah, jika kita telah terbiasa menyisihkan sebagian rezeki kita, kita akan terpelihara dari sifat kikir dan munafik yang sangat dibenci Allah….” Kata Ki Bijak.

“Semoga Nak Mas bisa menjadi teladan untuk menjadi ahli sedekah, Ya Nak….” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah, amiiiin……” Kata Maula.

Wassalam

July 09, 2007.

Friday, July 6, 2007

NILAI SEBUAH PRINSIP

Assalamu’alaikum…….”, Sapa Maula

“Walaikumusallam…….Nak Maula, masuk Nak Aki dibelakang…….” Kata Ki Bijak.

Maula beranjak masuk dan langsung kebelakang pondok Ki Bijak, disana ia menemukan sosok gurunya sedang asyik membersihkan ikan-ikan yang lumayan besar.

“Maaf Nak tangan aki kotor….” Kata Ki Bijak ketika Maula mengulurkan tangannya untuk sungkem.

“Ikan dari mana Ki…., banyak sekali…? Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, kemarin Ki Sobar datang kemari dan mengantarkan ikan-ikan ini, katanya dia habis memancing, dan hasilnya lumayan banyak, jadi ia bagikan untuk Aki disini……”Kata Ki Bijak.

“Ki Sobar?, siapa beliau Ki……? Tanya Maula.

“Oh ya Aki lupa menceritakan mengenai saudara-saudara aki kepada Nak Mas, Ki Sobar adalah saudara Aki yang paling dekat Nak Mas….? Kata Ki Bijak.

“Saudara kandung, Ki…? Kata Muala

“Bukan, Nak Mas, tapi persaudaraan kami jauh lebih erat dan lebih hangat bahkan dalam beberapa hal melebihi persaudaraan yang didasarkan ikatan darah……” Kata Ki Bijak.

“Persaudaraan antara kami terjalin karena kesamaan akidah, visi, pola pikir dan tujuan yang sama, sehingga kami saling mengashi, saling mencintai dan saling menghornati semata karena Allah, bukan berdasar harta atau kepentingan lainnya…” Kata Ki Bijak

“Memangnya Aki punya berapa saudara, Ki……? Tanya Maula penasaran

Ki Bijak menghela nafas panjang, kemudian ia mulai bertutur tentang kehidupannya dulu bersama-sama saudaranya.

“Sebenarnya Aki memiliki tiga saudara Nak Mas, kami berempat, Aki sendiri, Ki Sobar, Ki Alim dan yang tertua Ki Murka, dulu tinggal bersama Ki Ageng Luhur Budi dan Nyi Ageng Kasih, dipondokan sederhana, yang dikenal orang dengan pondok At Taqwa……” Ki Bijak sambil menerawang kemasa lalunya.

“Lalu Ki……” Maula tidak sabar menanti kelanjutan cerita gurunya.

“Kami berempat tumbuh besar dan belajar bersama, Aki, Ki Sobar, Ki Alim dan Ki Murka mendapat perlakuan yang sama dari Ki Ageng Luhur Budi dan Nyi Ageng Kasih, kami begitu diperhatikan dan disayang oleh kedua orang tua yang baik hati itu…..”

“Tiap pagi kami diajari berbagai ilmu dan kebajikan, kami dilatih untuk menjadi orang-orang yang menegakan perintah agama, kami dididik untuk menjadi orang-orang yang menjunjung tinggi nilai dan menghormati sesama manusia, hingga kami menjelang dewasa, kemudian setelah dibekali dengan berbagai bekal dipondok itu, kami berempat merantau untuk menambah pengalaman kami…………..”

“Suka dan duka kami lalui bersama, Aki selalu bertanya dan bermusyawarah dengan Ki Sobar dan Ki Alim mengenai berbagai hal yang kami temukan sepanjang perjalanan kami, kadang Aki meminta pendapat dan saran pada Ki Sobar dan Ki Alim mengenai apa yang aki alami atau ketika aki tidak mengerti tentang sesuatu hal, pun sebaliknya, Ki Sobar dan Ki Alim-pun sering meminta pendapat Aki mengenai banyak hal, kami bertiga seiring sejalan, menembus halangan, menghadapi rintangan, dan kebersamaan itu hingga kini masih terpelihara dengan baik, seperti Ki Sobar tadi, ia selalu saja menyempatkan mampir ke pondok Aki kalau ia berkesempatan lewat kemari…….” Kata Ki Bijak.

“Lalu bagaimana dengan Ki Murka, Ki….., tadi Aki tidak menyembut-nyebut Ki Murka dalam perjalanan Aki…..? Tanya Maula.

Kembali Ki Bijak menghela nafas, matanya menerawang……………….

“Yaa, itulah Nak Mas, aki sangat sedih kalau aki mengingat bagaimana akhirnya kami harus berpisah dengan Ki Murka……” Kata Ki Bijak.

“Kenapa Ki……?.” Tanya Maula.

“Kami tidak sejalan lagi dengan pemikiran dan pemahaman Ki Murka, yang selalu saja merasa lebih tua, selalu saja merasa lebih pintar, selalu saja malas ketika kami ajak berdiskusi, sehingga kami akhirnya memutuskan berpisah, kami tidak lagi sejalan dengan Ki Murka yang selalu mengedepankan amarah dan emosi, selalu berkata takabur, selalu membanggakan diri dan selalu merasa bahwa ia yang terbaik, , sementara orang lain tidak ada apa-apanya, serta keinginan dan nafsunya terhadap duniawi yang menurut kami sudah melewati batas , perbedaan prinsip inilah yang kemudian memisahkan kami, Nak Mas…….” Kata Ki Bijak.

“Ki, apakah kita boleh memutuskan pertemanan, Ki……………?” Tanya Ki Bijak.

“Berat sekali memang untuk memutuskan berpisah dengan Ki Murka ketika itu, tapi ada yang jauh lebih penting dari sekedar persaudaraan Nak Mas, yaitu nilai-nilai ketaatan kepada Allah, keluhuraan budi dan sifat tawadlu yang selama ini kami junjung tinggi, kami harus rela berkorban demi sebuah kebenaran dan kemurnian akidah kami…….” Kata Ki Bijak.

Maula mengangguk tanda mengerti, “Ki, ikannya sudah bersih semua, mau dibakar atau dimasak, Ki……?” Tanya Maula.

“Dibakar saja ya Nak,biar tidak terlalu repot…..” Kata Ki Bijak.

Maula kemudian mengumpulkan kayu bakar untuk memanggang ikan-ikan tersebut, sambil terus berbincang dengan gurunya.

“Ki, kenapa ikan laut tidak asin ya Ki, padahal air laut kan Asin, Ki…………..?” Tanya Maula, sambil membolak-balik ikan bakarnya agar tidak gosong.

“Karena ikan-ikan itu “hidup” Nak Mas…..” Jawab Ki Bijak.

“Maksudnya Ki……?” Tanya Maula.

“Ikan dilaut akan menjadi asin, manakala ikan itu sudah mati, tapi selama ikan itu hidup, ikan tersebut tidak akan terpengaruh oleh air laut yang asin sekalipun…..” Kata Ki Bijak.

“Pun dengan kita Nak Mas, kadang kita tidak bisa memilih tempat yang sesuai dengan keinginan kita, kadang kita terpaksa atau dipaksa untuk berada ditengah-tengah lingkungan yang “asin’ yang kita tidak suka, dan itulah hidup, seperti ikan laut tadi, kita tidak harus larut dalam kehidupan yang “asin” meskipun kita hidup dilingkungan tersebut……”

Ki Bijak memandang wajah muridnya, kemudian ia meneruskan pituturnya;

“Selama kita memiliki landasan akidah yang benar, pemahaman syari’at yang memadai, kemudian kita juga memiliki prinsip yang kokoh, insya Allah kita tidak akan terpengaruh oleh “keasinan” lingkungan kita…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang gemar meninggalkan shalat, jangan terpengaruh, Nak Mas harus tetap memegang prinsip bahwa shalat adalah kebutuhan selain juga kewajiban yang disyari’atkan…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang lalai menunaikan zakat, maka Nak Mas tetap harus menunaikan kewajiban itu, meski mungkin Nak Mas menjadi satu-satunya orang yang melakukannya…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang dengan senang hati meninggalkan shaum ramadhan, maka Nak Mas harus tetap menjalankannya, meski perih, haus dan dahaga melilit perut dan tenggorokan kita…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang gemar berkata dusta, berkata vulgar atau bercakap yang tidak manfaat, biasakan Nak Mas untuk tetap melafadzkan dzikir dan sedapat mungkin untuk tidak terlalu banyak mendengar ucapan orang-orang pandir seperti itu……, insya Allah, selama kita berpegang pada prinsip yang benar, akidah yang kokoh, syari’at yang memadai, kita tidak akan menjadi “asin” karena pengaruh lingkungan kita…….” Kata Ki Bijak.

“Kurang bijaksana rasanya kalau dikit-dikit kita menyalahkan lingkungan, menyalahkan orang lain, karena lingkungannya tidak benarlah, karena temannya jahatlah, untuk mencari pembenaran dan kambing hitam atas kesalahan kita…………”

“Sebaik-baik kita adalah mereka yang mampu merubah kondisi lingkungan dan orang disekitar kita dengan keluhuran budi dan akidah yang benar, bukan sebaliknya, justru malah kita yang menjadi korban lingkungan dan pergaulan kita………………” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana sekarang mengerti Ki, kenapa ikan laut tidak asin, Ki, bolehkan suatu saat ana berguru pada Ki Sobar atau Ki Alim, Ki….? Kata Maula penuh harap.

“Belajarlah pada mereka Nak Mas, Ki Sobar akan membantu mengajarimu bagaimana kita menyikapi cobaan yang pasti Allah berikan kepada kita, sementara Ki Alim akan semakin menambah wawasan dan pengetahuanmu, semoga engkau kelak akan menjadi seorang Maula yang bijak, penuh kesabaran dan beilmu pengetahuan……” Kata Ki Bijak.

“Terima kasih, Ki……..” Kata Maula sambil menyodorkan sebungkus nasi dan sepotong ikan bakar yang sudah matang, kedua orang guru dan murid itu kemudian menyantap makan siangnya dengan nikmat dan dipenuhi rasa syukur kepada Allah swt sang pemilik ikan dan berterima kasih kepada Ki Sobar yang mengantarkannya.

Wassalam.

July 6, 2007

Thursday, July 5, 2007

JEMBATAN KEHIDUPAN


“Hati-hati Nak Mas, pematang itu licin......!!” Seru Ki Bijak kepada Maula yang hampir terpeleset dipematang sawah yang memang licin yang berlumpur.

“Masya Allah.........!!” Maula berusaha menahan tubuhnya yang oleng karena terpeleset dipematang, agar tidak terjerembab kedalam lumpur sawah.

“Syukurlah Nak Mas, Nak Mas tidak jatuh.......” Kata Ki Bijak

“Alhamdulillah Ki......” Kata Maula sambil menghela nafas.

Kedua orang guru dan murid itu kemudian meneruskan menyusui pematang sawah sambil melihat pemandangan padi yang mulai menguning, sambil terus bercakap-cakap.

“Nak Mas, adakah pelajaran yang bisa Nak Mas ambil dari kejadian barusan?” Tanya Ki Bijak.

“Apa ya, Ki?” Kata Maula sambil mengernyitkan keningnya.

“Nak Mas masih ingat ketika dulu Nak Mas sering mendengar jembatan shirathal mustaqiem?” Tanya Ki Bijak

“ Ya, Ki, Biasanya shirothal mustaqiem digambarkan sebagai sebuah jembatan yang membentang antara surga dan neraka, yang sangat tajam dan tipis, dan setiap orang harus melewati jembatan itu. Mereka yang banyak amal shalehnya ketika didunia, maka ia akan selamat menyeberangi jembatan itu, sebaliknya, mereka yang jahat ketika didunia, ia akan tercebur ke neraka......” Kata Maula

“Apa yang Nak Mas pikirkan ketika Nak Mas mendengar gambaran shirathal mustaqiem seperti itu...?” Tanya Ki Bijak

“Iya Ki, ana kadang suka merinding membayangkan bagaimana ana kelak melewati jembatan itu.....” Kata Maula.

“Tidak perlu takut, Nak Mas, seperti Nak Mas bilang tadi, “Mereka yang banyak amal shalehnya ketika didunia, maka ia akan selamat menyeberangi jembatan itu, sebaliknya, mereka yang jahat ketika didunia, ia akan tercebur ke neraka......”, disitulah kuncinya, selamat tidaknya kita meniti shirathal Mustaqiem kelak, tergantung pada amal ibadah yang kita tanam didunia ini.....”

“Perjalanan hidup kita dari mulai kita akil baligh sampai saat sakaratul maut kita kelak, adalah miniatur jembatan shirathal mustaqiem yang insya Allah akan kita lewati diakhirat kelak.......”

“Detik demi detik yang kita lalui, menit demi menit yang kita lintasi, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan windu yang kita retasi selama kita hidup didunia ini adalah “jembatan yang sangat licin”, karena selama itu, dikiri kanan kita selalu berada diantara baik dan buruk, salah dan benar, jahat dan baik, sangat licin dan berbahaya, seperti pematang yang sangat licin itu, yang akan menggelincirkan kita kedalam kubangan lumpur yang berada dikiri kanan kita, seperti yang baru saja kita lalui tadi....”


“jangan pernah membayangkan atau berpikiran bahwa kita bisa berleha-leha didunia ini, meninggalkan shalat, mengabaikan zakat, lalai berpuasa, berlaku dan bertindak seenaknya, mengacuhkan aturan dan syari’at dan tidak mengindahkan larangan yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, kemudian tiba-tiba kita bisa selamat meniti jembatan shirathal mustaqiem dikahirat kelak, itu salah besar!!”

“Apa yang akan kita alami nanti akan sangat bergantung bagaimana kita menjalani kehidupan didunia ini......”

“Kalau Nak Mas pernah mendengar cerita tentang seorang pembunuh sadis yang telah menghabisi nyawa seratus orang, kemudian dalam perjalanan menuju tempat tobatnya orang itu meninggal, sehingga konon menimbulkan perselisihan antara Malaikat yang akan memasukannya kesurga karena niat tobatnya tersebut, dengan malaikat lain yang akan membawa orang tersebut kedalam neraka karena dosa-dosa yang telah diperbuatnya, yang diakhir kisah orang tersebut dimasukan kesurga karena jarak tempat tobatnya lebih dekat dari tempat maksiat yang ia tinggalkan, tidak lantas membuat kita bisa seenaknya berpikir, ‘aah, tobat dan berbuat baik mah nanti saja’, itu adalah pikiran yang sangat-sangat keliru, karena tidak ada jaminan dari Allah bahwa kita akan mati dalam keadaan khusnul khotimah seperti cerita diatas..................”

“Yang paling bijak adalah kita mulai dari sekarang meniti jembatan kehidupan kita dengan langkah yang sangat berhati-hati, jangan sampai kita terpeleset,

“kita harus berhati-hati sekali ketika kita sudah merasa taat, karena boleh sangat jadi akan menjadikan kita ujub”,

“kita harus sangat berhati-hati ketika merasa kita sudah shalat dengan khusyu, karena sangat boleh jadi kita menjadi takabur karenanya”,

“kita harus berhati-hati ketika kita sudah menunaikan zakat dan sedekah, jangan sampai pemberian kita menyinggung perasaan orang yang menerimanya”,

“kita harus berhati-hati ketika kita sudah haji, jangan sampai kita merasa kitalah yang paling benar, kita harus berhati-hati ketika kita sudah merasa mengenal Allah, jangan sampai kita tertipu oleh syetan yang mengatasnamakan kebenaran.....”

“ketika kita sudah beriman kepada Allah, kepada Malaikat-nya, kepada Kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada hari Akhir dan takdir-nya, kita harus berhati-hati agar mutiara keimanan itu tetap terpelihara hingga kita tutup mata kelak.....”

“Ingat Nak Mas, jembatan dan pematang sepanjang perjalanan hidup kita ini, yang harus kita lalui sangat licin dan sangat berbahaya.............”

“Barang siapa yang dikaruniai Allah keselamatan dan meniti jembatan kehidupan didunia ini, insya Allah mereka juga akan selamat ketika melintasi jembatan shirathal mustaqiem diakhirat kelak..........”

“Nak Mas ingat dengan pepatah ‘panas setahun, hilang oleh hujan sehari?” Tanya Ki Bijak.

“Ya, Ki, kebaikan yang kita tanam sekian lama, mungkin akan hilang hanya karena perbuatan jelek yang kita lakukan sekali saja, begitukah Ki?” Kata Maula

“Ya, kira-kira seperti itu, dan untuk itulah kita harus selalu berhati-hati, jangan lengah, jangan pernah sudah merasa aman, jangan pernah lalai, karena itu tadi, ketika kita salah langkah, terjebak kedalam kemusryikan misalnya, amal ibadah yang selama ini kita lakukan hangus tak berbekas disisi Allah, dan kita menjadi orang yang paling merugi karenannya.....”
Kata Ki Bijak lagi

“Naudzubillah, Ki............” Kata Maula.

“Alhamdulillah Nak Mas, kita sudah berada diujung pematang, tengok kesana, betapa panjang dan licinnya pematang yang kita lalui tadi, semoga kita juga bisa meniti shirathal mustaqiem seperti kita selamat meniti pematang tadi ya Nak.....” Kata Ki Bijak.

“Amiin.....”

Wassalam

July 05, 2007