Friday, June 29, 2007

PRESIDEN REPUBLIK MERAPI


“Assalamu’laikum warahmatullahi wabaratukatuhu.....Ki....” Maula menyapa Ki Bijak yang tengah beristirahat di saung bambunya selepas mencangkul kebon dibelakang pondok.

“Walaikumusalam, Nak Maula, mari sini Nak.....” Balas Ki Bijak ramah.

Selepas bersalaman dan saling menanyakan kondisi masing-masing, kedua orang guru dan murid itu terlibat percakapan yang lumayan serius.

“Ki, tadi pagi, dalam perjalanan menuju ketempat kerja, ana melihat dibelakang sebuah mobil colt pengangkut sayuran sebuah tulisan yang sangat menarik Ki, “Presiden Republik Merapi”, lengkap dengan gambar Mbah Maridjan disebelahnya”, Kata Maula menceritakan pengalaman yang ia dapat pagi tadi.

Mbah Maridjan? Siapa dia Nak Mas?” Tanya Ki Bijak, belum tahu benar siapa itu Mbah Maridjan,karena memang beliau tidak terlalu tertarik dengan layar televisi.

“Itu lho, Ki, kuncen Gunung Merapi yang beberapa bulan kemarin tiba-tiba menjadi sangat populer karena penolakannya untuk turun gunung, ketika gunung merapi dinyatakan siaga satu, bahkan ketika dibujuk oleh Sri Sultan sekalipun, ia tetap enggan meninggalkan pondokannya dilereng merapi.....”,
Kata Maula.

“Oh itu, maklum Nak, Aki jarang sekali nonton TV, ada apa dengan beliau Nak? Tanya Ki Bijak.

“Iya, menurut Aki, apa yang menyebabkan Mbah Maridjan demikian yakin bahwa keadaan gunung yang menurut banyak orang berbahaya itu, tidak akan mencelakakanya, sehingga ia berani mengambil resiko dan bersikukuh untuk tetap tinggal dilereng gunung itu, ya Ki?” Tanya Maula.

“Aki tidak tahu persis kenapa si Mbah itu bisa sedemikian yakin dengan pendiriannya, tapi menurut hemat Aki, salah satu alasan kenapa si Mbah itu demikian yakin adalah karena si Mbah benar-benar mengenal kondisi gunung merapi itu.......”Kata Ki Bijak.

“Setelah sekian lama menetap disana, si Mbah pastinya sudah paham betul karakteristik dan seluk beluk gunung tersebut, bahkan mungkin si Mbah juga punya banyak pengalaman mengenai gejala-gejala yang berkaitan dengan aktivitas gunung tersebut, yang sangat mungkin tidak diketahui oleh orang lain, bahkan tidak dapat terdeteksi oleh alat canggih sekalipun.........”
Kata Ki Bijak lagi.

“Aki jadi kepikiran begini Nak Mas, seandainya pengetahuan dan pemahaman si Mbah tentang kondisi sekitarnya yang demikian baik itu, kemudian menimbulkan keyakinan yang sedemikian besar itu, dapat dimiliki oleh kita yang mengaku muslim,mungkin kondisi umat ini akan jauh lebih baik dari sekarang ya Nak......?” Kata Ki Bijak setengah berfilsafat.

“Maksud Aki?” Tanya Maula belum paham dengan arah pembicaraan Ki Bijak.

“Begini Nak Mas, seandainya kita, umat Islam ini tahu seluk beluk Islam dengan benar, insya Allah umat ini tidak akan mudah terpecah belah dan diadu domba oleh orang lain, seandainya kita, umat Islam ini mengetahui dengan benar dan pasti kebesaran Allah, tuhannya, niscaya kita tidak akan menjadi penghamba dunia dan nafsu, seandainya kita, uma Islam ini mengetahui dengan benar akhlaq dan keluhuran budi Nabinya, insya Allah tidak akan ada umat ini yang salah dalam mengambil figur untuk dicontoh dan diteladani........”Kata Ki Bijak.

“Terpecah belahnya umat islam kedalam kelompok-kelompok, golongan, sekte atau jamaah-jamaah tertentu, sangat mungkin dilandasi oleh kurangnya pemahaman sebagian mereka tentang islam secara utuh, sehingga sebagian mereka dengan mudah terbawa arus, kata teman aki, ada orang yang bahkan harus bergonta-ganti masuk dan keluar dari satu golongan kegolongan lain, entah apa alasannya, yang jelas menurut Aki, hal ini dimungkinkan si orang tadi hanya mengenal sebagian kecil islam saja, sehingga keyakinan dan pendiriannya tidak seperti si Mbah tadi, ia mudah goyah, bahkan oleh sekedar isu sekalipun.....”, kata Ki Bijak.

“Ketika ia baru mendapat sedikit tambahan pengetahuan, ia dengan mudah mengkalim bahwa aliran atau ajaran itu salah, pendapat dan alirannya yang benar, mohon maaf ya Nak mas, ini sekedar pandangan Aki yang kurang gaul ini....”, Kata Ki Bijak.

“Lalu kemudian, seandainya kita, umat Islam ini benar-benar mengenal Allah, mengetahui kebesaran Allah, mengetahui bahwa Allah yang menjamin rezeki dan kehidupannya, mengetahui bahwa tidak akan dzat lain yang mampu memberikan manfaat atau mudharat selain-Nya, maka insya Allah menurut Aki, kehidupan umat ini akan jauh lebih tenang dan tentram....” Kata Ki Bijak.

“Adanya sebagian orang (islam) yang korupsi, yang makan uang donasi untuk korban bencana, ada orang yang rakus akan kekuasaan, sikut kiri, sikut kanan, injak bawah, main curang, manipulasi, salah satu faktornya adalah sebagian kita tidak mengenal Allah dengan baik dan benar....., seandainya mereka seperti si Mbah presiden republik merapi tadi, Aki pikir, orang tidak akan takut lagi dengan kemiskinan yang mendorongnya untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, tidak akan ada lagi orang yang haus kekuasaan, karena mereka tahu betul kemana akhir kehidupannya kelak, yaitu liang kubur....!! Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu bagaimana kondisi umat yang tidak mengenal nabi Muhammad Saw dengan Baik Ki....” Tanya Maula.

“Nak Mas bisa temukan dengan mudah mereka yang salah dalam mengambil figur, ada banyak diantara umat kita yang mengambil figur artis-artis barat, berpakaian ala kadarnya, ketiaknya terlihat dari sana-sini, auratnya menebar birahi, kemudian Nak Mas juga bisa menemukan mereka yang selalu mengatasnamakan budaya, seni atau hak azasi manusia untuk menghalalkan cara-cara setan yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan syari’at......”, Kata Ki Bijak.

“Nak Mas juga bisa melihat betapa politisi kita semakin cenderung berkiblat kebarat, dikit-dikit amerika, dikit-dikit menurut kehidupan barat, padahal yang mereka anut kadang jauh bertentangan dengan nilai-nilai yang kita anut sebagai umat islam dan sebagai bangsa yang berbudaya......”,
Kata Bijak.

“Teladan dan contoh apa yang kurang dalam diri Rasul?”
Kata Ki Bijak setengah bertanya.

“Rasul adalah saudagar yang berhasil, dengan cara berdagang yang benar....”
“Rasul adalah seorang ayah yang penuh kasih sayang......”
“Rasul adalah seorang politisi handal yang tetap memegang teguh etika dan moral..”
“Rasul adalah seorang penguasa yang senantiasa bijak dan memimpin dengan azan keadilan dan kasih sayang...”
“Rasul adalah figur komplit untuk dijadikan teladan bagi siapapun, tapi ya itu tadi, sayangnya sebagian umat ini tidak mengenal beliau sebagaimana mestinya, sehingga masih banyak diantara kita yang terjebak dengan budaya hidup yang salah.....”
Kata Aki lagi.

“Iya ya, ki, seorang Mbah Maridja-pun bisa memberikan banyak pelajaran bagi kita, jika kita mau sedikit saja berpikir......”, Kata Maula, ia sangat mengagumi gurunya yang bijak itu.

“Belajarlah Nak Mas, tidaklah Allah memberikan sesuatu melainkan disana ada banyak hikmah yang bisa kita petik....”, Nasehat Ki Bijak.

“Meski mungkin apa yang baru aki uraikan diatas akan terasa terlalu dipaksakan oleh sebagian orang, biarkan saja, selama niat kita untuk belajar, insya Allah kita tidak akan rugi, Nak......” kata Ki Bijak.

“Iya Ki.......”
kata Maula.

Matahari sudah makin meninggi, guru dan murid itu kemudian membersihkan diri dipancuran untuk kemudian menyantap hidangan yang dibawa si Mbok dari pondokan.

Wassalam

June 29, 2007

Thursday, June 28, 2007

MENABUNG NIAT


“Assalamu’alaikum, Ki.......”,Salam Maula pada gurunya yang sedang duduk tafakur selepas shalat shubuh.

“Walaikumusalam, Nak Maula, silahkan Nak.......”Balas Ki Bijak.

“Ki, pagi ini ana sedang bahagia sekaligus sedih, ki.......”, Maula memulai pembicaraan.

“Kenapa Nak, sedang bahagia tapi sedih..?”Tanya Ki Bijak sedikit heran.

“Ana bahagia Ki, karena pagi tadi ana mengantar salah seorang rekan jamaah yang hendak melaksanakan umrah bersama kedua orang tua dan mertuanya, ana senang sekali menyaksikan seorang anak bisa berbhakti dan membalas budi orang tuanya dengan cara itu Ki.....”, Kata Maula

“Lalu apa yang membuat Nak Maula sedih....? Tanya Ki Bijak.

“Ana sedih karena impian ana untuk bisa berhaji beserta istri dan kedua orang tua, sekarang ini seakan makin jauh, Ki......., itu yang membuat ana sedih..”, Kata Maula.

“Nak Maula ingin pergi haji beserta keluarga seperti rekan Nak Maula itu?” Tanya Ki Bijak.

“Iya, Ki, ingin sekali......”Kata Maula.

“Menabunglah dari sekarang Nak, insya Allah suatu saat cita-cita mulia Nak Mas akan tercapai dengan izin Allah......” Kata Ki Bijak.

“Ki, saat ini penghasilan ana masih pas-pasan untuk keperluan hidup kami sehari-hari, Ki, jadi ana belum bisa menabung, Ki......”, Kata Maula

Ki Bijak tersenyum “Tetap menabung, Nak Mas.....”, Kata Ki Bijak.

“Jika saat sekarang Nak Mas belum bisa menabung uang sekarang, maka Nak Mas mulai dari sekarang menabung Niat, itu yang pertama.....”, Kata Ki Bijak.

“Ya, Nak Mas, mulai sekarang tabung dan pupuk terus keinginan luhur Nak Mas untuk bisa menunaikan ibadah haji beserta keluarga, jangan pernah bosan, jangan pernah jemu apalagi putus asa, meski Nak Mas tidak tahu kapan tabungan niat Nak Mas itu akan terlaksana, ingat, seorang yang mengaku beriman, tidak boleh berputus asa.....” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas, menabung niat tak kalah pentingnya dengan menabung uang untuk berangkat haji, Nak Mas bisa melihat betapa banyak mereka yang memiliki tabungan uang jutaan rupiah, deposito yang banyak, rumahnya bertingkat, sawahnya luas, bahkan memiliki perusahaan segala, tapi tidak atau belum berangkat haji hingga sekarang, Kenapa? Itu karena sebagian mereka lupa menabung dan menata niat, mereka hanya mengumpulkan uang saja, tapi lupa menabung niat......”, Kata Ki Bijak.

“Nah, kondisi Nak Mas sekang terbalik, Nak Mas tidak punya uang untuk ditabung, maka yang mungkin Nak Mas tabung adalah Niat yang suci, lilahita’alla, Insya Allah, entah bagaimana caranya, ketika Allah menghendaki Innama amruhuu idza arrada kulla sai’un kun fayakun.., niat Nak Mas akan terlaksana......” Kata Ki Bijak lagi.

Semoga ya Ki.........”, Kata Maula pendek.

“Tabungan kedua yang harus Nak Mas lakukan dari sekarang adalah menabung Ilmu, ya, menabung ilmu apa itu haji, tata caranya, hal mana yang wajib dan sunnahnya, serta yang terpenting, Nak Mas bisa belajar dari sekarang hakekat haji itu sendiri.......”, Kata Ki Bijak lagi.

“Maksud hakekat haji itu apa ya ki....? Tanya Maula

“Nak Mas tahu, betapa banyak negeri ini memiliki orang yang bergelar haji, bahkan ada yang dua,tiga kali mereka berangkat ketanah suci, tapi kadang perilaku mereka masih jauh dari apa yang dituju dari ibadah haji itu sendiri............” Kata Ki Bijak.

“Mereka belum tahu kenapa mereka harus berthawaf, sebagian mereka juga belum mengerti kenapa harus lempar jumrah, dan banyak dari jamaah haji yang bahkan samasekali tidak mengerti rukun dan syaratnya, mereka berangkat hanya karena kelebihan uang, karena gengsi, takut dibilangin orang kaya kok tak berangkat haji, atau karena dapat undian naik haji, atau karena dapat jatah dari kantor, sehingga ketika mereka pulang haji, yang dibawa bukan sifat tawadlu, bukan sifat rendah hati, bukan sifat berserah diri, melainkan sebagian mereka justru terjebak dalam sifat sombong, Nih gue dong sudah haji, serta sedikit oleh-oleh air jam-jam, sajadah atau batu cincin, tidak lebih...............”, Kata Ki Bijak.

“Nak Mas harus ingat, sah tidaknya sebuah aktivitas ibadah adalah tergantung ilmunya, jangan sampai nanti nak Mas insya Allah pergi kesana, sudah menghabiskan banyak uang, tenaga dan pikiran, sementara nilai pahala hajinya Nak Mas tidak dapat, jangan sampai ya Nak......” Kata Ki Bijak.

“Ya, Ki, Insya Allah.....”Kata Maula.

“Hal ketiga yang harus Nak Mas tabung dari sekarang adalah amal shaleh, mungkin Nak Mas belum haji, tapi adalah sangat mungkin Nak Mas berperilaku seperti seorang haji, daripada sudah ketanah suci, kelakuan tetap seperti preman......”,
Kata Ki Bijak.

“Belajarlah mulai sekarang untuk menjadi seorang yang arif, bijak dan santun, menghormati sesama, menjauhi angkara nafsu serta amaliah lain yang diridhai Allah, sehingga ketika kelak Nak Mas pergi kesana, istilahnya kesana Nak Mas tinggal diwisuda saja, sementara kuliahnya disini, yaitu dengan menjalankan syari’at yang benar dan istiqomah......”, Kata Ki Bijak.

“Adalah lebih afdhal apabila seorang yang akan berangkat haji sudah benar benar melaksanakan shalat dengan benar dan istiqomah, berzakat, berpuasa dan memiliki tingkat keimanan yang benar, sehingga disana, ditanah suci kelak, kita layak untuk dianugerahi gelar Haji didepan nama kita sepulang kita dari sana....”Kata Ki Bijak.

Ini untuk kita saja ya Nak Mas, kalau ada yang baru belajar shalat ketika hendak haji, baru rajin zakat ketika hendak haji, bahkan ada yang baru belajar mengaji, ketika pulang dari sana, ia seakan mendapatkan gelar dengan cara menyogok, ya seperti sarjana karbitan gitu lah, kuliahnya tidak pernah, ujiannya pun di-her terus, tapi tetap dapat ijazah.....akibatnya nilai-nilai yang tertera dalam selembar ijazahnya itu sama sekali tidak teraplikasi dalam kehidupannya, begitupun haji yang karbitan......ia hanya berhak menyandang gelar saja, tapi belum tentu memiliki nilai haji yang benar......”Kata Ki Bijak

“Kita tak perlu usil kalau ada haji karbitan seperti itu, biarkan saja, dan alhamdulillah mereka berangkat haji, tapi Aki sangat berharap kalau kelak Nak Mas mendapat karunia untuk berangkat kesana, ingat pesan Aki, jadilah Haji jadi, bukan sekedar jadi haji...........”Kata Ki Bijak lagi.

“Alhamdulillah Ki, sekarang ana bisa tenang, do’akan ana bisa menabung niat yang benar, menabung ilmu yang bermanfaat serta menabung amal shaleh yang diridhai Allah, dan semoga pula ana mulai sekarang bisa pula menabung uang untuk bekal ya Ki...”Kata Maula.

“Amiin......” Kata Ki Bijak.

“Ki, ana pamit untuk berangkat kerja sekarang......”Kata Maula.

“Berangkatlah Nak, ingat selalu pesan Aki untuk menabung amal shaleh ya Nak......”Pesan Ki Bijak.

Maula mengangguk kemudian meraih tangan gurunya untuk salaman, kemudian ia berangkat menuju tempat kerjanya.

Wassalam

June 28, 2007

Wednesday, June 27, 2007

JAGALAH HATI

Assalamu’alaikum.....” terdengar suara uluk salam dari luar pintu gerbang.

“Walaikumusalam....................” Maula bergegas menuju arah suara diluar pagar rumahnya.

“Ki Bijak.....,masuk Ki......” Kata Maula manakala menemukan sosok guru yang sangat dihormatinya.

“Bagaimana keaadaanmu, Nak Mas?” Tanya Ki Bijak ramah.

“Alhamdulillah, Ki, Ana baik dan insya allah tetap dalam keimanan...,Aki juga sehat Ki? Jawab Maula, sekaligus menanyakan keadaan gurunya.

“Seperti yang Nak Mas lihat, Alhamdulillah, Aki sehat......”, Jawab Ki Bijak.

“Nak Mas, sekarang jarang pakai mobil lagi, ya.....” Tanya Ki Bijak memulai percakapan.

“Iya, Ki, mobilnya mogok, karena sudah lama tidak dipanasin, accu-nya jadi rusak, Ki......”Jawab Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Itu sebuah sunnatullah, Nak Mas, bukan hanya mobil, tubuh kita, tangan kita, kaki kita, pikiran kita, hati kita, ketika tidak difungsikan secara benar dan rutin, juga akan mengalami kerusakan, minimal mengalami gangguan fungsinya, sehingga tidak bisa bekerja secara maksimal lagi.......”Kata Ki Bijak.

“Lalu bagaimana akibat yang mungkin ditimbulkannya, Ki? Tanya Maula.

“Tadi antum katakan bahwa mobil itu awalnya hanya accu-nya saja yang rusak, tapi coba lihat sekarang, mungkin hampir semuanya mengalami kerusakan, kemacetan atau korosi, begitukan? Tanya Ki Bijak.

“Iya, Ki, sekarang mungkin sudah parah rusaknya....”Jawab Maula.

“Pun dengan kita Nak Mas, ketika hati kita tidak pernah dipakai untuk berdzikir kepada Allah, untuk mengingat nikmat dan kebesaran-Nya, dalam waktu tertentu hati kita akan rusak atau berkarat........”Kata Ki Bijak.

“Nak Mas tahu apa akibatnya jika hati kita sudah rusak?” Tanya Ki Bijak.

Maula menggelengkan kepala tanda belum tahu.

“Nak Mas masih ingat dengan hadits berikut, “Ingatlah, bahwa dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Akan tetapi, bila ia rusak, akan rusak pula tubuh itu seluruhnya. Segumpal daging itu bernama hati!”(Hr. Bukhari-Muslim)”, Kata Ki Bijak mengutip sebuah hadits.

“lebih jauh Imam Al Ghazali menggolongkan hati ke dalam tiga golongan, yakni yang sehat (qolbun shahih), hati yang sakit (qolbun maridh), dan hati yang mati (qolbun mayyit).”

“Hati yang sehat, layaknya tubuh yang sehat, ia mampu berfungsi sebagai filter untuk menyaring mana yang baik dan mana yang jelek, ia mampu memilah dan memilih tindakan yang benar dan mana yang salah, ia juga akan mampu menangkap sinyal-sinyal ilahiyah, sehingga ia mampu mensyukuri setiap nikmat yang tercurah kepadanya dan dilain saat ia mampu bersikap sabar atas musibah yang diujikan kepadanya, itulah hati yang sehat, laksana cermin putih bersih, terbebas dari debu dan noda, sehingga ia mampu memantulkan keindahan ilahiyah dalam kehidupannya” Kata Ki Bijak.

“Sementara hati yang sakit adalah kebalikan dari hati yang sehat, ia tak mampu lagi untuk menyaring apakah ini benar atau salah, ia tidak mampu lagi memilah atau memilih mana yang baik dan buruk, ia juga tidak akan mampu menangkap sinyal-sinyal ilahiyah, sehingga ketika ia dilimpahi keleluasaan rezeki, waktu luang, harta dan pangkat dan jabatan, yang timbul adalah kesombongannya, sementara ketika ia diuji dengan sedikit ujian oleh Allah, ia menjadi orang yang mudah putus asa, ia laksana cermin kusam, sehingga tidak mampu menampilkan gambar dengan jernih, dan cenderung menyesatkan…..”Kata Ki Bijak lagi.

“Jika hati kita yang sakit ini kita biarkan, maka ia akan mati, akan merusak fungsi-fungsi yang lain, telinganya menjadi tidak lagi mampu mendengar kebenaran, bahkan ketika kumandang suara adzan bersahutan disekelilingnya pun, ia tak mendengarnya sama sekali, matanya tak mampu lagi melihat kebenaran, bahkan ketika dikiri kanannya fakir miskin dan anak terlantar menjerit kelaparan, ia tetap berlalu layaknya bangkai berjalan, kakinya seolah lumpuh tak mampu digerakan menuju majelis ilmu, tangannya tak bisa lagi terulur untuk memberi sedekah dan berderma, bahkan lidahnya pun kelu, tak mampu menyampaikan kebenaran, ia benar-benar sudah mati, meskipun jasadnya masih bisa berjalan, ia sudah mati sebelum mati itu tiba…..” Kata Ki Bijak.

Ki Bijak kemudian mengutip beberapa ayat yang berkaitan dengan hati;

46. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.(al Hajj:46)

9. Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.(As Sajdah:9)

23. Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.(Al Mulk:23)

“Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menjaga agar hati kita tetap hidup dan sehat, Ki? Tanya Maula.

“Hidupkan hatimu dengan berdzikir, Nak!!” Kata Ki Bijak.

“Basahi lisanmu dengan kalamullah, tujukan pandanganmu pada kebesaran Allah, getarkan hatimu dengan senantiasa menyebut asma-Nya, dan penuhi hari-harimu dengan kesibukan untuk mensyukuri nikmat-Nya, Insya Allah hatimu akan sehat lestari…..”, Sambung Ki Bijak

“Nak Mas mau shalat isya dimasjid depan? Tanya Ki Bijak ketika kumandang adzan isya menyelingi percakapan mereka.

“Iya, Ki, kita kemasjid sama-sama…” Kata Maula.

Mereka,guru dan murid itu kemudian beranjak kemasjid untuk menunaikan shalat isya.

Wassalam
June 27, 2007

Tuesday, June 26, 2007

CIRI UMAT NABI MUHAMMAD

159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran:159)

[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.


Suatu hari, Abu Bakr Shidiq, yang ketika itu menjadi Khalifah pertama sepeninggal Rasul, memanggil putrinya, Siti Aisah, yang adalah istri Rasulullah, untuk menanyakan hal apa saja yang telah dilakukan Rasul selama memimpin umat dan belum diperbuatnya selama empat bulan masa pemerintahannya.

“Benar, Ayah, ada hal yang selalu Rasul kerjakan dan ayah belum mengerjakannya....”
Kata Aisah.

“Apa itu Nak...?” Tanya Abu Bakr dengan mimik cemas.

“Setiap Ba’da shubuh Rasul selalu pergi kepasar untuk membeli roti yang paling enak, untuk kemudian diberikan kepada seorang Yahudi buta dipinggir jalan dipasar itu....” Kata Aisah.

Menurut riwayat, Rasul melakukan hal itu lama sekali, setiap hari beliau pergi kepasar dan menyuapi Yahudi yang buta itu dengan roti yang dibelinya. Dan selama itu pula, Yahudi tadi mengatakan kepada orang yang menyuapinya, yang tak lain adalah Baginda Rasul, dengan hal-hal yang menjelek-jelekan Rasul.

Namun dengan keluhuran budinya, Rasul tidak pernah merasa sakit hati dan terus melakukan hal yang sama hingga menjelang wafatnya. Dan ini yang kata Siti Aisah belum dilakukan oleh ayahnya, Abu Bakr Shidiq ra.

Mendengar hal itu, keesokan harinya, Abu Bakr Shidiq ra melakukan hal yang sama dengan Rasul teladannya, ia pergi kepasar untuk membeli roti, dan seperti halnya Rasul, ia memberikan roti yang dibelinya kepada Yahudi yang selama ini diberi roti oleh Rasul.

“Terima kasih.....wahai tuan, Muhamad telah wafat, tapi engkau harus tetap berhati-hati dengan ajarannya.............”, Kata Yahudi itu kepada Abu Bakr yang hendak menyuapinya.

Selang beberapa waktu, yahudi itu merasakan adanya perbedaan rasa roti yang sekarang dengan roti yang biasa ia terima selama ini, hingga akhirnya ia menanyakan hal itu kepada Abu Bakr;

“Tuan, roti ini tidak seperti biasanya, rasanya beda dengan selama ini saya terima,dan biasanya roti ini dihaluskan terlebih dahulu sebelum saya makan, apakah tuan orang yang berbeda dengan orang yang selama ini memberi roti dan menyuapi saya?” Tanya Yahudi itu.

Mendengar hal itu, Abu Bakr tidak kuasa menahan tangisnya, demi mendengar apa yang dilakukannya masih jauh dari apa yang telah dilakukan Rasul semasa hidupnya;

“Benar, Pak, Saya Abu Bakr, sementara yang dulu memberi roti dan menyuapi bapak itu adalah Nabi Muhammad, tapi beliau kini telah wafat.............” Abu Bakr tak kuasa lagi meneruskan ucapannya.

Betapa terkejut Yahudi tua yang buta tadi, mendengar bahwa yang dulu selalu memberi roti dan menyuapinya dengan menghaluskannya terlebih dahulu adalah Nabi Muhamad yang selama ini ia hina dengan cacian dan kata-kata yang tidak patut.

“Muhammad?” Iakah orang yang selama ini menyuapiku dengan telaten, namun selama itu pula aku menghinanya?” Kata Yahudi itu.

“Benar, pak !” Sahut Abu Bakr.

“Ya Abu Bakr, betapa luhur budi Nabimu itu, dan aku telah salah dengan memfitnahnya dengan tuduhan keji, maka wahai Abu Bakr, saksikanlah hari ini Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Aku bersaki bahwa Muhammad utusan Allah............”, Kata Yahudi berikrar shahadat karena kemuliaan dan keluhuran budi Rasulullah.

“Ki, bagaimana menurut pendapat Aki mengenai riwayat diatas?” Tanya Maula kepada gurunya.

“Ya, itulah baginda Rasul, manusia agung yang mungkin tidak akan pernah terlahir lagi manusia dengan keluhuran budi seperti beliau....” Kata Ki Bijak, matanya menerawang jauh, seakan membayangkan wajah dan perilaku Rasul agung itu.

“Bagaimana kalau kita kaitkan dengan kondisi sekarang, Ki? Tanya simurid lagi.

“Maksud Nak Mas?” Tanya Ki Bijak.

“Ya, Ki, riwayat diatas memberikan pesan kepada kita bahwa Nabi Muhammad senantiasa mengedepankan teladan, pengabdian dan kasih sayang kepada seluruh umat, pun ketika beliau menyebarkan risalahnya, sementara sekarang, setiap orang,setiap golongan, setiap kelompok saling mengklaim bahwa dialah orang atau golongan yang paling mendekati cara dakwah dan pengikut sunnahnya, sementara disisi lain, kadang yang mereka lakukan justru bertolak belakang dengan cara nabi berdakwah seperti riwayat diatas......”Tanya Maula.

“Aaah, itulah kondisi kita saat ini Nak Mas, kita masih sekedar bangga mengaku dan menyebut diri sebagai pengikut nabi, tapi kita kerap melupakan syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang agar diakui sebagai umat nabi Muhammad..”Jawab Ki Bijak.

“Apa saja syarat-syaratnya, Ki? Tanya Maula penasaran.

“Selain sifat kasih sayang seperti tercermin dalam riwayat diatas, seseorang yang mengaku umat nabi Muhammad harus memiliki keteguhan akidah, gemar rukuk dan sujud, sehingga tampak tanda-tanda bekas sujudnya, bahkan sampai di Yaumil akhir kelak, disamping ada beberapa ciri lain yang Aki agak khilaf, insya Allah, Aki akan buka bukunya lagi....”Kata Ki Bijak, yang tanpa sungkan untuk mengakui kealpaanya dengan dua ciri umat nabi yang lain.

“Yang jelas, umat Rasul memiliki akidah yang mumpuni, keyakinan yang kuat, keimanan yang benar, ia memiliki keimanan yang benar terhadap Allah sebagai satu-satunya ilah yang wajib diibadahi dan tidak ada tuhan lain selain-Nya, kemudian kita juga wajib mengimani malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasulnya, mengimani hari akhir serta mengimani qada dan qadr-Nya....”

“Kemudian, umat Rasul adalah umat teladan yang senantiasa menebarkan kedamaian dan kasih sayang atas sesamanya dan bukan umat yang ekstrim, seperti yang selama ini disematkan kepada umat islam, khususnya dinegeri kita ini..”

Dan yang tak kalah penting bahwa salah satu ciri utama umat Rasul adalah mereka yang taat dan istiqomah untuk ruku’ dan sujud kepada Allah swt, ini ciri umat rasul yang paling mudah dilihat secara kasat mata, yakni mereka mendirikan shalat......”

“Kalau ada orang yang mengaku umat rasulullah, sementara dia tidak shalat, maka berusahalah sekuat tenaga untuk menghindarinya......”Kata Ki Bijak.

“Kenapa, Ki? Tanya Maula

“Orang yang mengaku atau mengatakan ia pengikut nabi muhammad atau orang Islam, sementara ia tidak melaksanakan shalat, sebenarnya ia tengah memproklamirkan dirinya sebagai seorang munafik, antum masih ingat betapa bahayanya orang munafik? Kata Ki Bijak.

“Ya, Ki..” kata Maula

“Ya, itulah orang munafik, jika ia berani berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, bagaimana kita bisa memegang janjinya kepada kita? Kata Ki Bijak lagi.

“Satu hal lagi yang antum harus ingat; bahwa barang siapa berada didalam sebuah golongan, maka ia cenderung kepada golongan itu, akan sangat rugi bagi kita untuk tertulari sifat nifaq hanya karena kita salah pilih teman dan lingkungan....”Kata Ki Bijak lagi.

“Ya, Ki, ana mengerti sekarang, mohon izin Ki, ana ada keperluan lain sebentar, insya Allah ana kembali lagi untuk mendapatkan dua ciri lain dari umat nabi yang aki lupa tadi.....” Kata Maula

Ki Bijak tersenyum, “Insya Allah Nak Mas, aki akan carikan, dan jangan sungkan untuk datang kesini ya Nak, kapan saja Nak Mas mau, pintu pondok ini selalu terbuka untuk nak Mas......”Kata Ki Bijak.

“Insya Allah Ki, Assalamu’alaikum.....”Kata Maula pamit kepada gurunya.

“Walaikumusalaam.............” Balas Ki Bijak mengakhiri percakapan hari itu.

Wassalam

June 26, 2007

Monday, June 25, 2007

KEBAIKAN (JUGA) SEBUAH UJIAN

35. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.


“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu, Ki.....” Sapa Maula, kepada gurunya, Ki Bijak yang tengah membaca tafsir dimihrabnya.

“Walaikumusalam, Mari masuk, Nak Maula.....” Balas Ki Bijak dengan ramah.

Sang murid kemudian masuk kemihrab dan sebelum duduk, sang murid bersalaman sambil mencium tangan sang guru, sebagai rasa hormatnya.

“Dari mana Nak..?” tanya Ki Bijak.

“Sengaja kemari, Ki..., kangen, lama ana tak berkunjung ketempat ini....” jawab sang murid.

“Alhamdulillah....semoga niat antum dicatat Allah sebagai amal ibadah dan dibalasi dengan nilai silaturahim.....” Kata ki Bijak

“Amiiin...” guman Maula pendek.

Setelah ki Bijak memanggil Mbok yang membantunya dipondok itu untuk membawakan singkong rebus hasil dari kebun dibelakang pondok, Ki Bijak dan muridnya terlibat perbincangan yang lumayan serius.

“Ki, bagaimana cara Allah menguji seorang hamba-Nya?” Tanya simurid.

Allah mempunyai seribu satu (tak terhingga) macam cara untuk memberikan ujian kepada seorang hamba-Nya, bisa berupa keburukan atau bisa juga berupa kebaikan, tapi yang jelas, Allah tidak pernah memberikan suatu ujian kepada seseorang, melainkan Dia hendak memberikan “sesuatu” kepada orang itu.......”Jawab Ki Bijak.

“Ki, ana sering mendengar orang yang sedang sakit, itu tengah diuji oleh Allah, ada orang yang sedang tidak memiliki pekerjaan, ia juga tengah diuji oleh Allah, atau ada orang miskin, itu juga merupakan ujian Allah, kelaparan, rasa takut atau kehilangan orang yang dicintai, itu merupakan ujian dari Allah, tapi tadi Aki bilang, ada ujian dari Allah berupa kebaikan, maksudnya bagaimana Ki?” Tanya sang murid lagi.

“Antum benar, secara umum, kita akan merasa tengah menghadapi ujian Allah manakala kita sedang sakit, ketika kita miskin, saat kita kelaparan atau ditimpa bencana, tapi mari kita perhatikan sekali lagi, apakah mereka yang tengah sehat, sedang dalam keadaan kaya dengan harta berlimpah, dengan menjabat sebuah jabatan penting, apakah itu berarti mereka lepas dari ujian Allah..?” Kata Ki Bijak.

“Misalnya antum seorang manager, manager apalah, apakah manager keuangan, manager produksi, manager pemasaran, atau manager apapun dengan penghasilan yang besar, diberi fasilitas mobil,antum kemudian dipercaya oleh atasan, itu pun sebenarnya merupakan ujian dari Allah.....” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana masih belum jelas Ki.....” Kata sang murid polos.

Seorang manager yang handal dalam mengelola anak buahnya, cakap dalam mengelola pekerjaannya, diuji oleh Allah dengan sebuah ujian Apakah ia juga cakap dalam memanage pengabdiaanya kepada Allah, apakah ia cakap dalam mengalokasikan waktunya untuk Allah, apakah ia bisa membelanjakan penghasilannya dijalan Allah, apakah ia mampu menggunakan fasilitas mobil yang didapatnya untuk berjuang dijalan Allah, apakah ia bisa menjaga amanat Allah sebagaimana ia mampu menjaga kepercayaan atasannya......” , terang Ki Bijak.

“Berat juga ya, Ki......”,Kata simurid.

“Namanya ujian Nak, pasti tidak ada yang mudah....ada banyak contoh disekeliling kita orang-orang yang ketika diuji Allah dengan sakit, dengan kemiskinan, dengan kelaparan bisa lulus dari ujian itu, tapi justru mereka gagal ketika diuji Allah dengan ujian yang terbalut dalam bentuk kebaikan, seperti contoh antum sebagai manager diatas.....”, Kata ki Bijak.

“Analoginya begini, ketika Nak Maula mendaki sebuah gunung misalnya, tentu antum akan sangat berhati-hati mendaki undakan terjal disepanjang pendakian itu, antum mungkin akan membawa bekal yang cukup, antum mungkin akan membawa temali untuk membantu antum, konsentrasi antum juga terjaga demi terhindar dari lubang atau jurang didepan antum, benar begitu.......” , Tanya Ki Bijak.

“Benar Ki, bukan hanya ana, setiap orang mungkin akan melakukan hal yang sama ketika mereka melakukan pendakian.....”, Jawab simurid.

“Sebaliknya, ketika kita hendak menuruni gunung, kita kerap lalai, karena kita menganggap bahwa menuruni gunung tidak akan sesulit pendakiannya, hingga banyak para pendaki yang justru mengalami kecelakaan ketika mereka turun gunung, bukan pada saat mendakinya......”, Kata Ki Bijak lagi.

“Kehidupan kita pun demikian, ketika kita dalam kesusahan, kita demikian taat kepada Allah, rajin kemasjid, rajin tahajud, pokoknya kita berusaha sebaik mungkin untuk bisa lepas dari ujian Allah yang berupa keburukan tadi, tapi justru kita banyak lalai ketika ujian berupa kebaikan menghampiri kita, kita jadi jarang kemasjid, kita jadi malas berdoa, kita jadi enggan tahajud, karena kita merasa tengah menapaki jalan yang landai dan menurun, padahal dibalik turun dan landainya jalan yang kita lalui itu, juga memiliki resiko dan jurang yang sama manakala kita tidak berhati-hati melaluinya.........”, Kata Ki Bijak lagi.

Si murid manggut-manggut tanda mengerti, lalu ia bertanya lagi kepada gurunya;

“Lalu kenapa banyak orang yang tidak tahu atau tidak mengerti bahwa keburukan dan kebaikan itu dua-duanya merupakan ujian dari Allah, Ki.....?”

“Tingkat keimanan dan muslihat setan, itulah yang menjadikan seseorang mengerti atau tidak terhadap hakikat ujian dari Allah......”, Jawab Ki Bijak.

“Maksudnya, Ki?” Tanya Simurid.

“Orang yang memiliki tingkat keimanan yang benar, akan mengetahui bahwa keburukan yang ada padanya adalah dari Allah, sehingga ia akan mengembalikan semua urusannya kepada Allah, karena keyakinanya mengatakan bahwa Allah sajalah yang mampu mengeluarkannya dari kesulitan, lain tidak”

“Sebaliknya, ketika ia mendapatkan kebaikan, berupa harta, tahta atau wanita, ia pun menyadari bahwa semuanya juga berasal dari Allah, sehingga iapun akan mengembalikan semua yang dimilikinya kepada Allah, dengan jalan menggunakan hartanya dijalan Allah, dengan menjadikan kedudukan dan pangkatnya untuk menegakan agama Allah, sehingga ia terpelihara dari sifat ujub, takabur atau sombong dengan kebaikan yang ada padanya....”

“Tidak demikian halnya dengan orang yang tidak beriman dan terperdaya oleh syetan, ketika ia mendapatkan ujian dari Allah berupa keburukan, kemiskinan, sakit atau lainnya, ia akan berontak dengan cara-cara yang tidak benar, ia menuduh orang lain yang telah mendukuninya-lah, ada orang yang menguna-gunanya-lah, kemudian ia berusaha melepaskan kesulitannya dengan mendatangi dukun, peramal,tukang tenung, atau paranormal, dan ini sangat jauh menyimpang bahkan sudah musyrik.....!!”

Pun ketika ia diberikan ujian berupa kebaikan, kelancaran usaha, penghasilan yang besar, kedudukan atau pangkat dan jabatan, orang yang tidak memiliki stabilitas keimanan yang baik, akan mudah terperdaya oleh muslihat syetan, bahwa apa yang ada padanya adalah semata karena kepintaran dan ilmunya, yang akhirnya ia tergelincir pada sifat sombong dan angkuh, sangat jauh berbeda dengan mereka yang memiliki stabilitas temperatur iman yang benar........”, Jelas Ki Bijak panjang lebar.

Maula mengangguk tanda mengerti; “Lalu bagaimana agar kita bisa selamat menjalani kedua ujian tersebut, Ki.....? Tanyanya lagi.

“Yang pertama dan utama, jaga dan terus perbaiki kualitas keimanan kita, karena keimanan yang mantap merupakan tongkat yang kokoh manakala kita mendaki “gunung ujian – berupa keburukan” yang terjal, dan juga merupakan “temali yang kuat” yang akan memelihara kita untuk tidak terperosok kedalam jurang yang curam manakala kita menuruni “lereng gunung ujian – berupa kebaikan”, keimanan, Insya Allah akan menyelamatkan kita dari kedua ujian tersebut.....” Kata Ki Bijak lagi.

Tanpa terasa dialog kedua orang guru dan murid itu hingga terdengar kumandang adzan dhuhur;

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاََّ إِلَهَ إِلاَّ الله
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ
لاَاِلَـهَ إِلاَّ اللهُ



Sudah masuk dhuhur Nak, Insya Allah kita lanjutkan ba’da dhuhur nanti....”, Kata Ki bijak.

“Iya, Ki, terima kasih, Ki...., semoga ana bisa melawti berbagai ujian dari Allah, do’akan ya Ki.....” Kata Maula sambil beranjak untuk mengabil wudhu dan menunaikan shalat dhuhur dimasjid yang terletak tak jauh dari pondok itu.

Ki Bijak tersenyum, “Insya Allah, amiin.......”, Kemudian beliupun melangkah kemasjid untuk mengimami shalat duhur berjaaah.


Wassalam

Juni 25, 2007

Friday, June 22, 2007

JANGAN BIARKAN MASJIDMU KESEPIAN

17. Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.

18. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud."

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata.
Karena itu Al-Quran sural Al-Jin (72): 18, misalnya,menegaskan bahwa, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun”.
(Wawasan Al Qur’an*)
Sebuah pertanyaan mendasar ketika kita membaca uraian diatas adalah “ketika kita mengaku orang yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, ketika kita mengaku seorang hamba yang patuh, taat serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim, sudahkah kita memperlakukan masjid dengan benar?”
Puji syukur kehadlirat Allah swt yang telah memudahkan dan melapangkan umat islam untuk mendirikan masjid, sehingga dengan mudah kita menemukan masjid – masjid yang indah dan megah yang dibangun dengan dana puluhan atau bahkan ratusan juta, dibangun dengan gotong royong secara beramai-ramai oleh seluruh warga, lalu setelah masjid berdiri megah, apa yang harus kita perbuat dengan masjid itu?
Dalam banyak contoh, banyak sekali masjid yang dibangun dengan ramai-ramai dan gotong royong penuh semangat, justru menangis dan merana, karena mereka yang dulu telah membangunnya dengan susah payah, justru sekarang beramai-ramai pula meninggalkannya dan berpaling darinya.
Hingga masjid itu merana dan seakan masjid itu berkata;
Kalian yang mendirikan aku beramai-ramai, kalian pula yang meruntuhkanku dengan beramai-ramai kalian membiarkan aku kedinginan tanpa ada yang membaca al qur’an didalamnya,
kalian membiarkan aku kesunyian karena kalian telah enggan untuk menyebut nama Allah didalamnya, kalian sekarang lebih senang duduk didepan televisi untuk menyaksikan kebohongan, dari pada mengunjungiku untuk mendapatkan kebenaran,
kalian telah menjadikan aku laksana kuburan, sunyi senyap tak bertuan, kalian telah menjadikan aku hanya sebagai pajangan dan kebanggaan, tapi enggan memakmurkanku dengan pengajian, kalian telah pula mendustakan kebenaran firman Allah dalam al qur’an,
kalian lupa bahwa “memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian” Apakah masih layak bagi kalian yang meninggalkanku sendirian mengaku sebagai orang beriman?

Lalu kapan kita kemasjid?

Shalat shubuh kita masih ngantuk, sehingga shubuhnya berbarengan dengan waktu dhuha

Shalat dhuhur kita lagi sibuk pekerjaan, sehingga dhuhurnya menjelang ashar tiba

Shalat Ashar kita lagi tanggung dengan hobi kita, hingga Asharnya menjelang matahari terbenam

Shalat Maghrib tiba, kita masih dalam perjalanan,

Shalat Isya kita lelah dan ketiduran,

Lalu? Kapan donk kita masjidnya?

Alhamdulillah, ada yang masih kemasjid untuk shalat tahunan – idul fitri dan idul adha
Alhamdulillah ada yang masih kemasjid untuk shalat mingguan – Jum’atan saja..., Orang Islam kok kemasjidnya mingguan doang sih? Bukankah yang ketempat ibadahnya mingguan itu orang...........? Duh tak tega menyebutnya.

Lalu “kita sekarang lebih senang duduk didepan televisi untuk menyaksikan kebohongan”, Sinetron kita kan bohong boss!! masak ada orang yang sudah mati , kemudian hidup lagi, masak ada kuntilanak yang pake rok mini? Masak ada setan yang cengengesan, masak ada dukun yang bisa memberikan kekayaan, lha wong dukunnya aja masih miskin kok, masak ada orang hamil diluar nikah malah jadi tontonan, masak ada tuyul yang diiklankan, masak ada wanita yang demi uang rela berbotak ria kepalanya, masak ada ustadz yang kerjanya nangkepin jin dan setan, masak ada kejelekan orang dijadikan“jualan”, masak ada kyai yang melaksanakan sunnah malah jadi gunjingan, dan masih seabgreg lagi kebohongan dan kesesatan yang disajikan televisi ketika kita tidak bijak memilih dan memilahnya, dan celakanya kita lebih cenderung untuk menonton tv ketika adzan memanggil dari kiri kanan masjid kita.

Masih ingat dengan do’a “Allahuma anta salam, wa minka salam wa ilaika ya udhu salam, fahayi’na rabbaana bisalam, wa adhilna zannata darrusalam……”, ketika kita memohon kepada Allah “masukan kami kedalam surga darrusalam” sementara kita jarang atau bahkan tidak pernah kemasjid, sepertinya kita harus kembali menghayati sebuah hadits berikut ini;

"Siapa yang segera berangkat ke masjid dan kemudian (setelah shalat) keluar darinya, niscaya akan Allah sediakan baginya suatu tempat di syurga setiap kali dia berangkat dan keluar dari masjid." (HR Bukhari)

Subhanallah, ternyata tanpa terucap dari bibir kita sekalipun, Allah telah menyiapkan satu tempat disurga bagi mereka yang berangkat kemasjid, apalagi kalau kita baca do’a diatas, insya Allah akan diijabah oleh Allah, amiin.

Kata Pak Ustadz, kelak masjid-masjid yang kita masuki untuk menyebut asma-Nya dan mendirikan shalat didalamnya, bertafakur dan membaca al qur;an ditengah keteduhannya, mereka, masjid-masjid itu akan menjadi saksi dihadapan Rabbul izzati bahwa kita termasuk orang-orang mendirikan dan memakmurkan masjid, dan kita perlu itu, saat mana mulut kita tidak bisa berkata untuk memberikan kesaksian, dengan kebesaran Allah, kaki yang kita langkahkan kemasjid, akan menjadi saksi bagi kita, tangan kita yang terangkat untuk takbir mengagungkan asma-Nya, akan menjadi saksi dan pembenar apa yang kita perbuat selama didunia ini.

Semakin rajin kita langkahkan kaki kemasjid, semakin kuat pembelaan kaki ini untuk kita, semakin giat kita kemasjid, semakin berarti pembelaan tangan ini bagi kita, semakin kita memakmurkan masjid, semakin lapang tempat kita dialam keabadian nanti.

Dari itu, marilah kita bersama-sama memakmurkan masjid kita, agar ia tak menangis lagi....

Wassalam

June 08, 2007

Thursday, June 21, 2007

BAGAIMANA KHABARMU HARI INI?


“Bagaimana khabar kalian hari ini?” Tanya Baginda Rasul, pada sekumpulan sahabat yang tengah duduk-duduk dimasjid.

“Baik Ya Rasul” Jawab para sahabat.

“Bagaimana khabar kalian hari ini?” Baginda Rasul mengulangi pertanyaanya.

“Baik Ya Rasul”
Jawab para sahabat lagi.

“Bagaimana khabar kalian hari ini?” Baginda Rasul mengulangi pertanyaanya untuk kali ketiga.

“Alhamdulillah, kami hari ini dalam keadaan beriman ya Rasul”
Jawab salah seorang sahabat.

Rasul tersenyum, “Bagaimana kalian mengatakan kalian dalam keadaan beriman? Tanya Rasul lagi.

“Kami beriman dengan senantiasa mensyukuri nikmat Allah, senantiasa sabar atas ujian-Nya dan selalu ridha atas takdir-Nya” Jawab salah seorang sahabat.

Apa yang menarik dari uraina diatas?

Jawaban terakhir dari salah seorang sahabat ketika ditanya Bagaimana keadanmu hari ini, dan kemudian dijawab “Kami beriman dengan senantiasa mensyukuri nikmat Allah, senantiasa sabar atas ujian-Nya dan selalu ridha atas takdir-Nya” inilah yang menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi kita

Biasanya, kebanyakan kita akan merasa dalam keadaan baik, apabila hari ini kita memiliki banyak uang, memiliki persediaan makanan yang cukup dan memiliki kecukupan dalam hal-hal yang bersifat materi, dan sebaliknya, kita akan merasa tidak baik apabila unsur material kita sedikit, meskipun kita sehat, meskipun kita memiliki berbagai nikmat dari Allah swt yang tak terhitung jumlahnta.

Selama ini kita mengaku sebagai seorang mukmin, sebagai seorang yang beriman, dan mari kita berkaca pada jawaban sahabat diatas, bahwa orang yang beriman adalah orang yang senantiasa mensyukuri nikmat Allah, bersabar atas ujian-Nya dan Ridha atas takdir-Nya, sudahkah itu ada pada kita hari ini?

Dalam sebuah hadits qudsi Allah menyatakan “barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat-Ku, tidak sabar atas ujian-Ku dan tidak ridha atas takdir-Ku, maka silahkan cari tuhan selain Aku dan pergi dari kolong langit-Ku”.

Kemana kita akan mencari tuhan selain Allah? Sementara kita tahu dan yakin bahwa tidak ada ilah lain selain Allah yang telah menciptakan kita, menciptkan bumi dan langit, menciptakan matahari dan rembulan, mempergiliran malam dan siang, mengganti kemarau dan penghujan, memberi kita rezeki, Dia yang menghidupkan dan mematikan kita untuk kemudian mematikan dan menghidupkan kita lagi, jadi kepada siapa kita harus bertuhan, selain kepada Allah?
.
Kemana kita akan pergi dari kolong langit Allah? Keutara kita menuju, disana juga bumi Allah, keselatan kita mengarah, disana juga bumi Allah, kebarat kita beranjak disana juga bumi Allah, ketimur kita melangkah, disana juga bumi Allah, jadi kemana kita akan pergi?

Jika kita menghitung nikmat Allah, niscaya kita tidak akan mampu;

18. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An Nahl:18)


Apalagi kita harus membayarnya, dengan apa kita bisa membayar nikmat Allah tersebut?

Nikmat mata kita berkejap, nikmat kantuk kita, nikmat udara yang kita hirup sebagai nafas kita, tidak akan terbayar dengan apapun, bahkan seandainya kita memiliki seluruh dunia dan isinyapun, niscaya kita tidak akan mampu membayar nikmat Allah yang tidak terhingga tersebut.

Lalu apa yang Allah kehendaki dari kita atas nikmat-nikmat-Nya?

Bersyukur, itu saja...........syukur yang sebenar-benarnya, bukan sekedar mengucap hamdalah, tapi dibuktikan dengan amal perbuatan.

Syukur kita atas nikmat sehat yang Allah berikan, selian berucap Alhamdulillah, kitapun harus menggunakan sehat kita untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh sang pemberi nikmat sehat itu.

Syukur kita atas nikmat rupiah yang kita dapat, selain berucap Alhamdulillah, kitapun harus menafkahkan sebagian rezeki kita dijalan yang dikehendaki Allah, sekali lagi “sebagian kecil saja” bahkan, zakat hanya 2,5%, infaqpun seikhlasnya, lalu apa yang membertakan kita?

Syukur kita atas ilmu yang diamanahkan kepada kita, tentu dengan Alhamdulillah, disamping kewajiban kita untuk mengamalkan ilmu yang Allah karuniakan kepada kita untuk kemudian kita teruskan pada orang lain.,

Syukur kita atas pangkat dan jabatan yang kita sandang, Alhamdulillah, selain juga kita berkewajiban untuk menggunakan pangkat, jabatan dan wewenang yang kita miliki sesuai dengan kehendak-Nya.

Syukur kita atas kesempurnaan jasmani kita, Alhamdulillah, tentu dengan memanfaatkannya untuk hal-hal yang dikehendaki-Nya.

Lalu bagaimana dengan sabar kita atas ujian-Nya?

155. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(al Baqarah:155)

Adalah sebuah sunnatullah bahwa setiap kita akan “diuji” oleh Allah sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan dengan rahmat-Nya yang demikian luas, Allah memberikan jawaban atas ujian yang tengah kita hadapi yaitu dengan mengembalikan semuanya kepada Allah;

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].(Al Baqarah;156)

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

Serta dengan menggunakan fasilitas shalat dan sabar sebagai sarana kita memohon pertolongan kepada Allah;


45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',(Al Baqarah:45)

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Al Baqarah:153)

[99] ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.

Dua kali bahkan Allah mengingatkan kita untuk sabar,sabar dan sabar................
200. Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.(Ali Imran:200)

Akan halnya dengan tawakal dan ridha kita terhadap takdir Allah?

3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(At Thalaq:3)

Tentu dengan konsep tawakal yang benar, berusaha dulu, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah swt, insya Allah, dengan itu kita beroleh pahala sekaligus segala keperluan kita akan dipenuhi oleh Allah swt, amiin.

Kadar Syukur kita atas nikmat Allah, kualitas sabar kita atas ujian Allah dan tingkat tawakal kita atas takdir Allah adalah barometer atas seberapa tinggi tingkat keimanan kita.

Jadi, mulailah belajar bersyukur hari ini
Jadi, mulailah perbaikai kesabaran kita mulai hari ini
Jadi, mulaialah upgrade keridhaan kita mulai hari ini,
Sehingga ketika ada yang bertanya kepada kita “bagaimana khabarmu hari ini?”
“Insya Allah, saya dalam keadaan beriman”, itu jawaban yang terucap dari bibir kita.

Wassalam

June 19, 2007

ITU HANYA “BUNGA KEHIDUPAN DUNIA”

ITU HANYA “BUNGA KEHIDUPAN DUNIA”

131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang Telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.(Thaha:131)


“Ki, Adil tidak ya Ki, kalau ada orang yang dikarunia wajah yang tampan, pintar, kaya, sementara dia tidak shalat, tidak zakat, bahkan sering melakukan perbuatan maksiat?” Tanya seorang lelaki muda pada gurunya, Ki Bijak.

Sang guru tersenyum, “Kenapa?” Antum mau seperti itu?’ Tanya ki Bijak.

“Ana tidak tahu Ki, tapi ya itu tadi, dikampung Ana dulu, ada orang yang secara lahiriah nampak bahagia sekali dengan harta yang ia miliki dan berbagai kelebihan yang ia punyai, padahal ia nyaris tidak pernah melakukan perintah agamanya” , Kata si murid.

“Ada gitu orang yang seperti itu? Pancing ki Bijak.

“Ada Ki, Ana kenal orangnya bahkan” Jawab sang murid.

Ki Bijak tersenyum lagi, manakala mendapati muridnya masih terlihat ingin seperti orang yang diceritakannya itu.

“Antum masih ingat tentang kisah Qarun?” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki, Qarun dikarunia harta yang sangat banyak dan ia mengatakan apa yang didapatnya itu adalah karena ilmu dan kepintarannya, begitu kan Ki?”, Jelas si Murid.

“Antum tahu bagaimana akhir cerita Qarun? Tanya Ki Bijak lagi.

“Qarun akhirnya dibenamkan kedalam bumi bersama harta yang ia banggakan itu Ki?" Kata si murid.

“Antum mau seperti Qarun itu?”, Tanya Ki Bijak.

“Naudzubillah, Ki!!” Si Murid kaget demi mendengar pertanyaan Ki Bijak.

“Orang kaya yang antum ceritakan itu tak perlu membuat antum iri, karena sangat mungkin Allah tengah mengingatkan antum terhadap kisah Qarun tadi...”, Papar Ki Bijak.

“Kemudian antum tadi juga bilang, bahwa orang yang antum ceritakan tadi memiliki pengaruh dan kekuasaan, yang membuat antum ingin sepertinya?” Tanya Ki Bijak.

“Ya Ki...”, Jawab si murid pendek.

“Antum masih ingat tentang apa yang Aki jelaskan mengenai sepak terjang Fir’aun?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Ya Ki, Fir’aun adalah raja yang memiliki kekuasaan sangat luas dan bahkan ia mengklaim dirinya sebagai tuhan serta menolak seruan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah yang berhak diibadahi...”
Tutur si murid.

“Lalu...? Tanya Ki Bijak lagi.

“Fir’aun memperbudak Bani Israil hingga Nabi Musa kemudian diperintah Allah untuk membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun, yang akhirnya berujung pada pengejaran Fir’aun kepada Nabi Musa dan kaumnya, hingga kemudian tatkala Nabi Musa terpojok, Allah memerintahkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya pada air laut yang berada dihadapannya, dan dengan izin Allah, laut kemudian terbelah dan Bani Israil selamat dari kejaran Fir’aun dan tentaranya dengan menyeberangi laut yang terbelah tadi....” Fasih si murid menuturkan perjalan Nabi Musa dengan kaumnya.

“Lalu?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Fir’aun dan tentaranya kemudian mengejar Nabi Musa dan kaumnya dengan menyeberangi laut yang sama, tapi mereka, Fir’aun dan tentaranya ditenggelamkan Allah ketika mereka tengah melintasi laut tadi.....” Lanjut si murid.

“Antum mau seperti Fir’aun, tidak perlu menyembah Allah, kemudian diberi kekuasan yang hebat, tapi kemudian antum ditenggelamkan Allah dilautan?", Tanya Ki Bijak.

Si murid menggelengkan kepalanya, tanda tidak mau seperti Fir’aun.

“Orang yang antum ceritakan tadi merupakan pelajaran dari Allah untuk mengingatkan antum, bahwa antum tidak perlu iri dengan orang yang tidak shalat, tidak zakat, suka maksiat tapi memiliki kekuasaan yang hebat, karena boleh jadi ia menjadi simbol dari fir’aun dizaman Nabi Musa dulu.....”, Papar Ki Bijak.

“Lalu, apa? Antum tadi bilang orang itu tampan? Tanya Ki Bijak lagi.

“Ya Ki, ia memiliki wajah rupawan, sehingga dengan itu ia bisa menaklukan perempuan yang tak beriman untuk dijadikan selingkuhannya....”, Kata si murid.

Ki Bijak tersenyum lagi, “Antum ingat dengan ayat ini;

13. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al Hujurat:13)


“Allah tidak akan memandang rupa seseorang, tapi ketaqwaan orang itu, antum bisa temukan banyak contoh disekitar antum, betapa ketampanan hanya akan menjadi seseorang terjerumus kedalam kenistaan, salah satunya orang yang antum ceritakan tadi, dengan kemudahan yang ia miliki untuk bergonta ganti pasangan, maka ia memiliki resiko yang jauh lebih besar untuk terkena AIDS misalnya, dibanding dengan orang setia pada pasangannya......” Kata Ki Bijak

“Antum pilih mana?” Tanya Ki Bijak.

“Astagfirullaah, Ana telah khilaf Ki.....” Si murid menyadari kekhilafannya, matanya menerawang, air matanya tanpa terasa meleleh dipipinya.

“Ki, adakah Allah mau memaafkan kekhilafan Ana?” Tampak memelas simurid.

Ki Bijak kemudian membaca ayat ini;

53. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa[1314] semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Az-zumar:53)

[1314] dalam hubungan Ini lihat surat An Nisa ayat 48.

“Tangis antum semoga menjadi awal kehidupan antum yang baru, dan semoga antum bisa memetik pelajaran dari apa yang baru kita diskusikan tadi, sekali lagi antum tak perlu iri dengan orang kaya yang tidak shalat, orang yang berkuasa tidak shalat, orang yang tampan tifdak shalat, itu hanya cara Allah untuk mengingatkan kita pada Fir’aun, pada Qarun atau pada mereka yang diazab Allah karena ingkar atas nikmat-Nya.....” tutur Ki Bijak mengakhiri percakapan

Kemudian Ki Bijak membaca ayat pembuka diatas “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang Telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”.

Wassalam

June 21, 2007

Friday, June 15, 2007

VAKSIN ANTI MAKSIAT

Ketika kita memulai sebuah kalimat dengan kata “maksiat”, maka dengan mudah dan dengan segera kita akan dapat menggandengkan kata tersebut dengan kata lainnya, maksiat kepada Allah, maksiat kepada manusia, maksiat kepada orang tua, maksiat kepada lingkungan, atau bahkan bermaksiat kepada diri sendiri.

Maksiat, secara umum merupakan suatu perbuatan munkar (jahat) karena akan merugikan diri pelakunya, orang lain dan tentu akan mendapat murka dari Allah swt.

Untuk menggambarkan betapa perbuatan maksiat akan merugikan diri sendiri dan orang lain, ada sebuah tamsil indah untuk menggambarkan betapa bahayanya maksiat sehingga kita dibebani kewajiban untuk menghindarkan diri kita dari perbuatan maksiat dan bahkan memeranginya.

Ibarat penumpang sebuah kapal laut, dimana setiap orang telah memiliki tiket dan tempat duduk masing-masing, tapi ketika ada seorang saja yang berusaha merusak dan melubangi kapal, maka bukan hanya satu dua orang yang harus mengingatkan dan mencegah penumpang yang merusak kapal itu, melainkan seluruh penumpang, karena jika satu orang yang merusak itu berhasil melubangi dan membocorkan kapal, maka seluruh kapal dna penumpangnya akan tenggelam,bukan hanya orang yang melubangi kapal tersebut.

Dan konteks kehidupan nyata, jika disekitar ada tempat prostitusi, jika disebelah kita ada ajang judi, jika disekitar kita ada kemunkaran, maka semua kita wajib mengingatkan dan mencegah perbuatan keji dan munkar itu, bukan hanya berdiam diri dengan berbagai dalih bahwa untuk mengingatkan dan menasehati orang itu adalah tugas ustadz saja, bahwa yang berdakwah itu kewajiban kyai saja, itu pandangan yang dangkal bahkan mungkin keliru. Sekali lagi, ketika kapal telah berlubang, maka semua akan tenggelam, ketika kemaksiatan kita biarkan, maka azab Allah tidak akan memilah dan memilih siapa yang akan dihantam tsunami, misalnya.

Nah, sebelum kita terlibat jauh dalam upaya kita memerangi kemaksiatan disekitar kita, sebaiknya kita memastikan terlebih dahulu bahwa “virus maksiat” itu tidak ada dalam diri dan hati kita.

Dialog seorang ulama salaf, Ibrahim bin Adham dengan seorang lelaki yang bertanya kepada beliau bagaimana caranya agar kita dapat menghindarkan diri kita dari kemaksiatan, mungkin dapat kita jadikan salah satu referensi kita, dialog itu kira-kira begini;

Beliau, Ibrahim bin Adham ditanya oleh seorang lelaki yang mengatakan bahwa ia sangat sulit menghindarkan diri dari maksit kepada Allah; maka Ibrahim bin Adham mengatakan;

“Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, maka engkau jangan memakan rezeki yang dikaruniakan Allah”

Silelaki menjawab “ Bagaimana mungkin itu terjadi, sedangkan apa yang ada dilangit dan dibumi semuana adalah milik Allah?

Ibrahim bin Adham berkata “Jika engkau masih memakan rezeki-Nya, apakah patut engkau bermaksiat kepada-Nya?.

Silelaki menjawab “Engkau benar, yang kedua?

“Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, maka engkau jangan tinggal dibumi-Nya”

Silelaki menjawab “Ya Ibrahim, apakah ada bumi selain bumi Allah? Kemana saya harus pergi jika bukan dibumi Allah ini?

Ibrahim bin Adham berkata “Jika engkau masih tinggal dibumi Allah, maka pantaskan engkau bermaksiat kepada-Nya?

Jawb silelaki “Engkau benar, yang ketiga?

“Jika engkau masih memakan rezeki dari Allah, kemudian engkau juga masih tinggal dibumi-Nya, tapi tetap saja engkau ingin bermaksiat kepada-Nya, maka carilah tempat maksiat yang tidak terlihat oleh Allah”

Silelaki menjawab “Ya Ibrahim, bukankah Allah Maha mengetahui segala sesuatu, mana mungkin aku menemukan tempat yang bisa terbebas dari penglihatan-Nya?”

Ibrahim bin Adham berkata “Jika engkau tahu bahwa tidak ada tempat yang luput dari pengawasan-Nya, masihkah engkau berani berbuat maksiat kepada-Nya?”

Silelaki berkata “Engkau benar, yang keempat?”

“Jika engkau makan rezeki-Nya,tinggal dibumi-Nya dan engkau tahu bahwa Allah Maha melihat, tapi engkau tetap ingin berbuat maksiat, maka tolaklah malaikat maut ketika ia datang menjemputmu”

Silelaki berkata “Tidak ada satu orang pun yang mampu meolak kedatang malaikat maut, Ya Ibrahim”

Ibrahim bin Adham berkata “Jika engkau tahu bahwa engkau tidak mampu menolak kedatangan malaikat maut, masihkah engkau mau berbuat maksiat?”

Silelaki berkata “Engkau benar, yang kelima?

“Jika engkau tahu bahwa engkau bakal mati, tapi engkau masih ingin berbuat maksiat, maka tolaklah kedatangan malaikat Zabaniyah yang akan menyeret setiap pendosa kedalam neraka”

Silelaki menjawab “Itu tidak mungkin, hai Ibrahim”

Ibrahim bin Adham berkata “Jika engkau tahu bahwa engkau tidak mampu memcari rezeki selain rezeki dari Allah, kalau engkau tahu bahwa engkau tidak mungkin tinggal dibumi lain selain bumi Allah, jika engkau tahu bahwa tidak ada satupun tempat yang luput dari Allah, jika engkau tahu bahwa engkau tidak bisa menolak kedatangan malaikat maut, jika engkau tahu bahwa engkau tidak mungkin menahan malaikat zabaniyah, masihkah engkau mau bermaksiat kepada Allah?

Diakhir cerita lelaki tahu kemudian benar-benar bertobat dari perbuatan-perbuatan munkarnya (Ensiklopedi cerita kaum salaf?).

Bagaimana dengan kita?

Adakah salah seorang diantara kita yang bisa membuat barang sebutir gandum saja untuk rezeki dan makan kita?

Adakah diantara kita yang sanggup menemukan barang sejengkal saja bumi tempat kita berpijak selain
bumi Allah?

Adakah diantara kita yang mampu bersembunyi dari penglihatan Allah?

Adakah diantara kita yang mampu menolak kedatangan malaikat maut?

Adakah diantara kita yang mampu menghindar dari malaikat zabaniyah yang akan menyeret kaum pendosa ke neraka?

Jika jawaban semua kita, “tidak ada” dan pasti tidak akan ada, mengapa tidak sekarang saja kita bertobat? Mengapa tidak sekarang saja kita menanggalkan kemaksiatan-kemaksiatan yang mungkin masih melekat dalam diri dan hati kita?

Just think it deeply.

Wassalam

June 15, 2007

Thursday, June 14, 2007

MULUTMU, HARIMAUMU

Sebagaimana telah disinggung dalam artikel terdahulu, bahwa salah satu hikmah penciptaan mulut kita yang satu, sementara telinga dan mata kita masing-masing sepasang, adalah bahwa kita harus lebih banyak melihat, harus lebih banyak mendengar daripada bicara, karena memang lidah tak bertulang, kata orang, sangat rentan terhadap kesalahan, baik salah ucap, salah kata, atau salah tempat kala kita berbicara.

Dalam tataran normatif, pembicaraan kita, kata-kata yang akan keluar dari mulut kita, seharusnya setelah apa yang akan kita sampaikan itu telah melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang, sehingga apa yang terucap oleh bibir kita, tidak menyinggung perasaan orang lain atau bahkan menyakiti orang lain, sebaliknya, justru apa yang kita sampaikan dapat merupakan obat atau penawar bagi berbagai masalah atau setidaknya merupakan sesuatu yang informatif dan berguna bagi orang lain.

Tapi ya itu tadi, karena lidah kita tak bertulang, semakin sering kita berbicara, maka potensi kita untuk membuat kesalahan dalam pembicaraan kita semakin besar, kadang kita lupa dengan siapa yang sedang kita ajak bicara, kadang kita lupa dalam kondisi apa kita berbicara atau kadang kita terlalu cepat dalam berbicara sehingga menimbulkan salah interpretasi dari lawan bicara kita.

Lidah, suatu ketika bisa lebih tajam dari pedang sekalipun! Luka tergores atau tertusuk pedang mungkin sakit, tapi “luka hati” akibat ketajaman lidah kita, jauh lebih sakit dan membekas lebih dalam, hingga kadang ada orang yang tidak bisa melupakan rasa sakit hatinya yang diakibatkan oleh ucapan seseorang.

Untuk itu kita dituntut untuk berlaku bijak dalam menggunakan lidah kita, jangan sampai apa yang kita ucapkan akan menimbulkan suatu kemudharatan bagi orang lain atau bahkan terhadap diri kita sendiri.

Ada banyak orang yang justru celaka dengan ucapannya sendiri, meski kadang ketika ia mengucapkan kata-kata itu mungkin tidak sepenuhnya menyadari akibat apa yang akan ditimbulkannya, jadi sekali lagi, jauh lebih bijak jika kita mampu mengendalikan lidah kita, daripada kita menyesal dikemudian hari akibat kesalahan kita dalam mengolah lidah kita.

Kemampuan berbicara, tidak selamanya berkonotasi negatif sebagaimana uraian diatas, tentu dengan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Ada banyak contoh bagaimana seseorang mampu memaksimalkan potensi berbahasanya sebagai alat atau senjata dalam berbagai aktivitas kehidupannya.

Ibnu Abbas, adalah salah seorang sahabat yang dikarunia Allah ketajaman lidah yang sangat fasih, sehingga dalam sebuah riwayat, beliau, dengan izin Allah berhasil “mengembalikan” 20,000 dari 24,000 orang yang menentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam beberapa hal; riwayat lengkapnya seperti berikut;

Ketika sebagian sahabat memencilkan dan menghina Khalifah Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali, "Ya, Amirul Mukminin, izinkanlah saya mendatangi mereka dan berbicara kepadanya."

Kata Ali, "Saya khawatir risiko yang mungkin engkau terima dari mereka."

Jawab Ibnu Abbas, "Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa."

Ibnu Abbas masuk ke dalam majlis mereka. Dilihatnya mereka orang-orang yang sangat rajin beribadah. Mereka berkata, "Selamat datang, hai Ibnu Abbas. Apa maksud kedatangan Anda kemari?"

Jawab Ibnu Abbas, "Saya datang untuk berbicara dengan tuan-tuan."

Sebagian yang lain berkata, "Katakanlah, kami akan mendengarkan bicara Anda."

Ibnu Abbas berkata, "Coba tuan-tuan katakan kepada saya, apa sebabnya tuan-tuan membenci anak paman Rasulullah yang sekaligus suami anak perempuan beliau (mantu Rasulullah), dan orang yang pertama-tama iman dengan beliau?"

Jawab mereka, "Kami membencinya karena tiga perkara."

Tanya Ibnu Abbas, "Apa itu?"

Mereka menjawab, "Pertama, dia bertahkim (mengangkat hakim) kepada manusia tentang urusan agama Allah. Kedua, dia memerangi Aisyah dan Muawiyah, tetapi dia tidak mengambil harta rampasan dan tawanan. Ketiga, dia menanggalkan gelar Amirul Mukminin dari dirinya, padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya.

Kata Ibnu Abbas, "Sudikah tuan-tuan mendengar Alquran dan hadis Rasulullah yang saya bacakan? Tuan-tuan tentu tidak akan membantah keduanya. Apakah tuan-tuan bersedia mengubah pendirian tuan-tuan sesuai dengan maksud ayat dan hadis tersebut?"

Jawab mereka, "Tentu!"

Kata Ibnu Abbas, "Masalah pertama, bertahkim kepada manusia dalam urusan agama Allah. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, siapa saja di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (Al-Maidah: 95), Saya bersumpah dengan tuan-tuan menyebut nama Allah. Apakah putusan seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan perdamaian antara kaum muslimin yang lebih penting ataukah seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?"

Jawab mereka, "Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian di antara mereka yang lebih penting."

Kata Ibnu Abbas, "Marilah kita keluar dari persoalan ini."

Kata Ibnu Abbas, "Masalah kedua, Ali berperang tetapi dia tidak menawan para wanita seperti yang terjadi pada masa Rasulullah. Mengenai masalah ini, sudikah tuan-tuan mencaci Aisyah, lantas tuan-tuan halalkan dia seperti wanita-wanita tawanan yang lain-lain. Jika tuan-tuan mengatakan "Ya," tuan-tuan kafir. Dan, jika tuan-tuan menjawab, dia bukan ibu kami, tuan-tuan kafir juga. Allah SWT berfirman: "Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka." (Al-Ahzab: 6)."Nah, pilihlah mana yang tuan-tuan suka. Mengakui ibu atau tidak”.

Kata Ibnu Abbas, "Ali menanggalkan gelar 'Amirul Mukminin' dari dirinya. Sesungguhnya ketika Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, mula-mula Rasulullah menyuruh untuk ditulis, inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah. Lalu kata kaum musyrikin, "Seandainya kami mengakui engkau Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Karena itu, tuliskan nama engkau saja, "Muhammad bin Abdullah."Rasulullah memenuhi permintaan mereka seraya berkata, "Demi Allah, aku adalah Rasulullah, sekalipun kalian tidak mempercayaiku.

"Bagaimana?" tanya Ibnu Abbas, "Tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar 'Amirul Mukminin' itu kita tanggalkan saja?

Jawab mereka, "Ya Allah, kami setuju.", hingga diakhir riwayat, hanya 4,000 orang saja yang masih membangkang pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Kenapa “lidah” Ibnu Abbas lebih tajam dari kelebatan pedang pasukan sayyida Ali yang berkali-kali memerangi kaum pembangkang namun belum jug berhasil, sementara “hanya” dengan senjata lidah yang fasih, Ibnu Abbas berhasil mengembalikan mereka kedalam barisan kaum muslimin dibawah pimpinan Ali bin Abi Thalib?.

Mari kita perhatikan jawaban-jawaban dan argumen Ibnu Abbas dalam memecahkan masalah; "Sudikah tuan-tuan mendengar Alquran dan hadis Rasulullah yang saya bacakan?”

Jadi salah satu factor terpenting dari keberhasilan diplomasi Ibnu Abbas adalah karena beliau menggunakan landasan yang paling benar, yaitu Al qur’an dan hadits; disamping tentu saja pemahaman dan ilmu beliau yang sangat-sangat mumpuni.

Perkataan, argument atau dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits adalah senjata yang paling ampuh, yang tidak akan mungkin mampu didebat oleh siapapun, dan itu yang dilakukan Ibnu Abbas, beliau memberikan penjelasan dan argumennya hanya berdasarkan Al qur’an dan hadits, jauh dari perkataan yang hanya mengandalkan pikiran dan logika, apalagi dengan dalih yang dibuat-buat.

Jadi, agar lidah kita terjaga dari hal-hal yang merugikan kita dan orang lain, sedapat mungkin kita menyandarkan ucapan kita berdasarkan al qur’an dan hadits.

Pun dalam pembicaraan dan perkataan kita sehari-hari, biasakan berbicara dengan al qur’an dan hadits, ketika ada hal-hal yang diperselisihkan, kembalikan dan cari jawabannya dengan merujuk pada keduanya, bukan dengan mengedepankan ego dan dalil yang cenderung membenarkan asumsi dan pemikiran masing-masing.

Kita bisa merubah “mulutmu, harimaumu” menjadi “mulutlku, singaku”, kita bisa menjadi singa podium yang ahli dan handal dalam berdakwah, kita bisa menjadi singa podium yang ahli dalam memompa semangat perjuangan seperti halnya Bung Tomo dulu, kita bisa menjadi singa podium dalam memaparkan gagasan kita seperti halnya Bung Karno dulu, dengan demikian, bukan saja kita bisa memberdayakan potensi lisan kita, insya Allah kita juga bisa mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dari lisan dan lidah kita.

Setuju? Mari kita tinggalkan kebiasan berkata-kata yang tidak perlu dari sekarang, mari kita tinggalkan pembicaraan yang tidak patut dari sekarang, mari kita mulai berkata-kata yang santun, ilmiah, bermanfaat dan qur’ani.

Wassalam

June 14, 2007.

Wednesday, June 13, 2007

HIDUPLAH 1000 TAHUN LAGI


“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading”, demikian bunyi sebuah peribahasa untuk menggambarkan apa yang ditinggalkan oleh mereka setelah jasad mereka mati dan terkubur didalam tanah.

Lalu kalau manusia mati, kalau jasad kita dikubur didalam tanah, apa yang akan kita tinggalkan?

Kalau berkaca pada Rasulullah Saw, beliau meninggal pada usia 63 tahun, atau dewasa ini harapan hidup kita mungkin berkisar antara 65 ~ 70 tahun, lalu setelah itu, apa yang tersisa dari perjalanan hidup kita selama mampir dan mengarungi kehidupan didunia ini?

Harta kitakah?

Harta yang kita kumpulkan siang malam, sambil banting tulang, peras keringat, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tak akan berumur lebih dari lima tahun sepeninggal kita, bahkan mungkin hari ini jasad kita dikubur, esok atau lusa harta kita sudah habis diwarisi oleh anak cucu kita, jadi harta sama sekali tidak mampu menjadikan kita “hidup lebih lama” sepeninggal jasad kita.

Istri / suami kitakah?

Istri / suami yang sangat kita cintai semasa hidup kita, yang jadi belahan jiwa kita, sangat boleh jadi akan menjadi istri/suami orang lain selepas mereka mengantar jasad kita keliang lahat, sehabis masa iddah, mereka, istri/suami kita ternyata tidak juga menjadikan “hidup kita lebih lama” sepeninggal jasad kita. Kalau kemarin dibelakang nama istri/suami kita masih tercantum nama kita, setelah kita mati, mereka akan berganti nama dengan nama istri/suami mereka yang baru.

Anak-anak kitakah?

Anak-anak yang kita pelihara semenjak kanak-kanak, dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan, ternyata juga tidak mampu menjadikan “hidup kita lebih lama” sepeninggal jasad kita. Terutama anak-anak perempuan kita yang ketika belum menikah mereka mengenakan binti nama kita dibelakang namanya, akan dengan segera berganti dengan nama suaminya setelah mereka menikah.

Jabatan kitakah?

Hari ini mungkin kita masih memiliki jabatan sebagai karyawan perusahan A, atau sebagai manager keuangan, atau sebagai direktur teknik atau bahkan mungkin kita hari ini masih memangku jabatan sebagai menteri atau presiden, tapi setelah kita meninggal? Hari ini kita meninggal misalnya, hari ini kita dikubur umpamnya, tak akan lebih dari sebulan, jabatan yang dulu kita emban akan diganti dan diduduki oleh orang lain. Ternyata pangkat dan jabatan juga tidak mampu menjadikan hidup kita lebih lama sepeninggal jasad kita?

Lalu apa yang mampu menjadikan kita bisa “hidup seribu tahun lagi” sepeninggal jasad kita?

Pertama – Amal shaleh

Amal shaleh yang kita lakukan sepanjang perjalanan kehidupan kita didunia fana ini akan menjadi buah pitutur yang baik bagi generasi sesudah kita.

Rajin kita masjid untuk shalat berjamaah, akan menjadikan kita diingat orang sebagai ahli masjid, yang buah tuturnya akan bertahan lama pun ketika jasad kita sudah terkubur sekian lama.

Contoh nyata yang dapat kita ambil dari catatan sejarah, bagaimana para ambiya dan nama orang-orang alim mampu bertahan sekian lama sepeninggal jasadnya karena keutamaan-keutaman yang mereka miliki.

Nabi Muhammad Saw tetap “hidup” hingga sekarang karena Al amin-nya
Abu Bakr shidiq tetap “hidup” hingga sekarang karena kejujurannya
Umar ibnu Khattab tetap “hidup” hingga sekarang karena ketegasannya
Ustman ibnu Affan tetap “hidup” hingga sekarang karena kedermawanannya
Ali bin Abi Thalib tetap “hidup” karena ke”fathonahan-nya

Pun masih banyak tokoh-tokoh lain yang jasadnya sudah berkalang tanah,namun namanya tetap harum dan hidup hingga saat ini.

Dinegeri kita, kita bisa menjumpai mereka yang masih tetap “hidup” beratus tahun berselang setelah penguburan jasadnya;

Mahapatih Gajahmada dengan sumpah palapanya

R.A Kartini dengan gagasan emansipasinya

Ki Hajar Dewantoro dengan konsep pendidikannya


Kedua – karya nyata – sebuah maha karya yang fenomenal adalah ruh kedua bagi kehidupan kita setelah jasad kita terkubur berkalang tanah. Sebuah karya yang berguna bagi peradaban dan manusia akan menjadikan nama kita “abadi” selepas nyawa kita berpisah dari jasad kita.

Al Bukhari – hingga saat ini seolah masih “hidup” ditengah-tengah kita dengan shahihnya yang mashur itu.

Imam Muslim – hingga saat inipun masih menyertai kita dengan shahih muslim-nya

Ibn Haitham yang digelari bapak Optik modern, yang menjelaskann tentang pembiasan cahaya di mana cahaya yang bergerak lurus akan terbias apabila melalui halangan di atmosfera sebagaimana manusia melihat objek terpesong daripada kedudukan sebenar di dalam air kerana cahaya dari objek yang sampai ke mata telah dibiaskan oleh air, sumber inspirasinya dari Al qur’a surat An – nuur, yang karena penemuannya itulah, beliau hingga kini “masih hidup”, beratus tahun setelah jasadnya dikebumikan.

Al Khawarizmi – sang penemu Al Jabar dan Arimetika, juga hingga saat ini masih terus berada ditengah-tengah kita, selang beratus tahun setelah wafat jasadnya.

Al Jahiz – sipenemu ilmu hewan, demikian juga halnya.

Lalu bagaimana dengan kita?

Apakah kita “cukup puas” dengan kehidupan yang hanya 65~70 tahun saja?

Untuk dapat bertahan hidup lebih dari seratus atau bahkan seribu tahun setelah kematian jasad kita, kita tak perlu malu untuk mencontoh apa yang telah dilakukan oleh para penduhulu kita.

Kalau untuk menjadi peneliti dan menemukan mahakarya ilmiah kita mengalami banyak kendala dan kesulitan, kenapa kita tidak mencoba “memperpanjang umur kita” dengan menjadi orang yang beramal shaleh dan menjadi teladan umat sebagaimana Rasul dan para sahabat utamanya?

Kita bisa menjadi ahli shalat, bukan sekedar tukang shalat,
Kita bisa menjadi ahli zakat dan sedekah, bukan sekedar tukang sedekah
Kita bisa menjadi ahli ibadah, bukan sekedar tukang ibadah
Kita bisa menjadi orang jujur, untuk memperpanjang umur kita
Kita bisa menjadi orang teguh pendirian, untuk memperpanjang usia kita,
Mana saja yang kita bisa, lakukanlah, agar kita bisa bermanfaat bagi orang lain dan agar kita bisa “hidup selamanya”, pun ketika jasad kita sudah jadi santapan cacing tanah.

Untuk itu mulailah dari sekarang kita beramal shaleh, agar kita bisa hidup seribu tahun lagi.

Wassalam

June 13, 2007

Monday, June 11, 2007

HARTA = BEBANMU

Ada hal menarik ketika menyaksikan rekan-rekan yang saling pindah tempat Jum’at kemarin, tidak jauh, hanya terpisah oleh satu atau dua meja saja, tapi tetap tak mengurangi kesibukan untuk pindahan kemarin.

Pindah tempat duduk adalah hal yang biasa atau bahkan sangat biasa, dan tidak ada yang menarik dari perpindahan itu kecuali dalam dua hal;

1.File – file, odner serta komputer yang dipindahkan paling banyak menyita tenaga, karena semua itu merupakan property yang menjadi teman kerja kita sekaligus menjadi tanggung jawab kita.
2.Dibalik tumpukan file diatas meja kita dan dibawah tumpukan odner dikolong meja, ternyata banyak sekali terdapat debu dan kotoran yang sebelumnya tidak terlihat.

Lalu dimana sisi menariknya?

File, order dan komputer adalah analogi harta benda kita, bisa motor, bisa mobil, bisa rumah, bisa tabungan dan lain sebagainya. Sementara perpindahan lokasi tempat duduk kita analogikan saja sebagai “perpindahan” kita dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.

Lalu? Teman yang paling banyak memiliki file dan order adalah orang yang paling sibuk kemarin, sampai keringetan segala, lalu bagaimana dengan tumpukan harta kita, ketika kita akan berpindah tempat dari dunia kealam akhirat?

Semakin banyak tumpukan uang kita, semakin banyak deposito kita, semakin luas tanah dan sawah kita, semakin berjejer motor dan mobil kita, insya Allah kita akan semakin sibuk untuk mempertanggungjawabkan semuanya dihadapan Allah swt kelak.

Pertanyaan pertama; dari mana hartamu?
Pertanyaan kedua; bagaimana engkau membelanjakannya?

Pertanyaan pertama terkait dengan bagaimana kita mengumpulkan harta, dengan cara halalkah, subhat atau bahkan dengan cara-cara yang menyimpang dari tuntunan yang syari’at yang benar.

Benar cara kita dalam mendapatkan harta, insya Allah kita selamat dari ancaman yang diancamkan pada mereka yang memperoleh harta secara bathil;yakni azab dan kebinasaan.

Sebaliknya, ketika harta yang kita kumpulkan banyak yang diperoleh secara subhat atau bahkan haram, maka sesungguhnya kita telah mengumpulkan bahan bakar untuk api nerka yang kelak akan membakar kita, naudzubullah.

Yang kedua, kalaupun kita telah selamat dari pertanyaan pertama, kita akan dihadapkan pada pertanyaan bagaimana kita membelanjakan harta yang Allah titipkan dalam penguasaan kita;

Disana ada hak fakir miskin, disana ada hak anak yatim; dan masih banyak hak para asnaf yang harus ditunaikan.

Benar kita dalam membelanjakan harta, selamat kita dari ancaman azab Allah yang sangat pedih, sebaliknya, ketika kita lalai memenuhi amanat harta yang dititipkan pada kita, maka harta itu akan dikalung dileher kita yang akan membuat kita terhuyung karena beratnya.

Perjalanan diakhirat kelak adalah perjalanan yang sangat panjang, teramat sangat panjang, dan kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi sepanjang perjalanan nanti. Cara paling bijak bagi adalah bagaimana kita membekali diri kita untuk perjalanan panjang nanti, tanpa menjadikan bekal itu sebagai beban yang berat yang harus kita pikul.

Harta adalah beban yang sangat berat yang harus kita pikul dan kita pertanggung jawabkan nanti, maka dari itu milikilah harta dengan cara yang benar, dan nafkahkan secara benar pula, agar harta kita tidak menjadi beban kita kelak.

Hal menarik yang kedua adalah bahwa dibalik tumpukan file dan odner tadi, ternyata banyak tersimpan debu dan kotoran yang tidak terlihat selama ini. Harta yang kita kumpulkan sangat boleh jadi menyerupai tumpukan file dan odner yang “menutupi” debu dosa dan maksiat kita.

Lalai dalam zakat, adalah debu yang tak terlihat, sementara dalam jangka waktu yang panjang debu-debu itu hanya berakumulasi dan pada gilirannya akan berimbas pada kotornya hati dan diri kita.

Maka rajin-rajinlah membersihkan tumpukan harta kita dengan cara berzakat dan bersedekah, agar harta kita tidak rusak dan binasa.

Sekali lagi yang harus kita ingat, bahwa hartaadalah ujian bagi kita;

28. Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Al anfal:28)

Maka selayaknyalah kita berhati-hati menghadapi ujian dengan nama “harta”ini, agar kita tidak celaka karenanya.

Wassalam;

June, 11, 2007

Thursday, June 7, 2007

MANGGIS DAN BUAH KEJUJURAN

Manggis adalah buah yang manis lagi lezat, manggis dikenal dengan “buah yang jujur”, karena sekatan apa yang ada dibagian luar kulitnya, sama persis dengan jumlah spasi buah yang ada didalamnya. Manggis tak pernah berdusta tentang apa yang ada didalamnya, meskipun kulitnya tidak seindah kulit apel yang ranum, tapi manggis tetaplah memberikan kenikmatan dan kesegaran pada para penikmatnya.

Sebagaimana buah manggis, kejujuran tidak selalu nampak “indah dan nikmat” bagi sebagian orang, atau bahkan terkadang terasa pahit, sehingga kita sering mendengar perkataan yang terdengar sumbang;

“Aah, kalau saya jujur, kapan saya kaya?”

“Orang jujur akan hancur ditengah zaman edan seperti ini”

“Kalau kita jujur, kita tidak makan, bung!!”

“Jujur atau dusta toh sama saja, malah orang yang banyak dustanya, malah cepat kaya”

Dan masih banyak lagi ungkapan sejenis, dan yang perlu kita garis bawahi dari semua statement diatas adalah bahwa semua ungkapan diatas adalah salah total!!

Dengan berlaku jujur, mungkin kita tidak akan langsung menjadi kaya, tapi kejujuran adalah sebuah investasi yang sangat besar bagi “kekayaan” kita, bukan hanya kaya didunia, tapi kejujuran akan menghasilkan sebuah deviden bagi kesehatan ruhaniah kita, dan akan mengalirkan “keuntungan” berupa pahala bagi kita kelak, dan yang tak kalah penting, kita akan terhindar dari salah satu sifat munafik, yaitu pendusta!

Adakah keuntungan yang kita peroleh dengan berkata dan berlaku dusta melebihi keuntungan yang ditawarkan Allah bagi mereka yang jujur?

“Keuntungan semu” yang kita dapat dengan dusta hanya merupakan bom waktu yang setiap saat akan meledak dan meluluhlantakan kita.

“Keuntungan semu” yang mungkin kita peroleh dari dusta kita, ibarat bara dalam sekam, yang senantiasa mengintai dan siap membakar kita.

“Keuntungan semu” dari dusta sebenarnya sama sekali tidak ada!!

Kalau kemudian ada yang bilang orang jujur akan hancur, itu hanya ucapan pembual yang sama sekali tidak berfaedah, itu hanya ungkapan para pengecut yang tidak mampu memenangi pergulatan nafsunya.

Buka lebar-lebar mata dan telinga kita, panggung dan catatan sejarah selalu mencatat dengan tinta emas keberhasilan yang dicapai dengan kejujuran, sementara catatan ketidakjujuran hanya akan merupakan catatan diatas pasir yang akan segera sirna oleh hempasan gelombang.

Pahatan sejarah yang abadi hanya milik mereka yang meraihnya dengan kesungguhan dan kejujuran, bukan sebaliknya.

Benar, perut kita tidak akan serta merta akan kenyan manakala kita berkata dan berlaku jujur, tapi itu jauh lebih baik daripada kita menelan bara api neraka dengan berkata dusta!!

Benar, bahwa keroncongan bunyi perut kita tidak lantas berhenti dengan berkata jujur, tapi yakinlah bahwa bathin kita akan merasa puas dari dahaga dan lapar dengan kejujuran kita.

Satu lagi, akan terlihat jelas bedanya mereka yang pendusta dan mereka yang jujur, sebagaimana bedanya malam dan siang, seperti bedanya hitam dan putih, jelaaas sekali bedanya.

So, kalau sekarang diantara kita masih ada yang memiliki paradigma yang salah tentang kejujuran, sekarang saatnyalah kita mengubahnya menjadi paradigma yang benar, yaitu jujur adalah sebuah kebajikan!!

Dalam catatan sejarah peradaban manusia, Rasulullah Saw ditempatkan sebagai pemimpin dengan tingkat dan kadar keberhasilan yang paling tinggi, yang belum pernah disamai oleh pemimpin dunia manapun hingga sekarang.

Pernah terbayangkan bagaimana Rasulullah Saw mengubah peradaban jahilayah yang demikian kental ketika itu menjadi sebuah peradaban yang celang cemerlang, peradaban yang dipenuhi dengan cahaya dan keluhuran budi hanya dalam rentang waktu 23 tahun?

Pernah kita memikirkan apa resep Rasulullah untuk mencapai semua keberhasilan itu?

Salah satu faktor terpenting yang berperan dalam keberhasilan beliau adalah beliau menanamkan “kejujuran” dalam setiap langkah dan perjuangannya.

“Al amin”, demikian gelar yang beliau sandang, dan dengan modal itulah beliau maju menebarkan dakwah dan membebaskan masyarakatnya dari belenggu kejahiliyahan.

Tapi itu kan Rasul.....!!

Lalu? Kita khan umatnya, yang diwajibkan untuk meneladani beliau, bahkan kitapun berikrar dan mengakui bahwa beliau utusan Allah, lalu apa makna ikrar kita kalau kemudian kita berpaling kebelakang meninggalkan apa yang diajarkannya?

Tapi jujurkan sulit dizaman seperti ini....?!!

Kalau hanya ada satu juta orang jujur dari dua ratus lima puluh juta penduduk negeri ini, maka jadilah kita salahnya.

Kalau hanya ada seratus orang jujur dari dua ratus lima puluh juta penduduk negeri ini, maka jadilah kita salahnya.

Kalau hanya ada sepuluh orang jujur dari dua ratus lima puluh juta penduduk negeri ini, maka jadilah kita salahnya.

Kalau hanya ada satu orang jujur sajadari dua ratus lima puluh juta penduduk negeri ini, maka harus kitalah orangnya.

Kita tidak bisa mengajak orang lain berlaku dan berkata jujur, sementara ajakan kita masih dibalut dengan kedustaan, ajakan kita masih terbelenggu dengan pamrih, ajakan kita masih menginginkan pujian, sebuah pepatah Arab mengatakan;

Lisanu bil halli afshohuu min lisanil maqaali – Amal perbuatan jauh lebih terdengar dari sekedar ucapan” atau bahasa Cikampeknya “Action Talk then speak”

So, tidak ada ruginya kalau kita mulai berkata jujur sekarang, kita mulai bekerja dengan jujur sekarang, kita mulai berdakwah dengan jujur sekarang, kita mulai berteman dengan jujur sekarang, kita mulai menjalankan perintah Allah dengan jujur sekarang, karena sekaranglah saat yang tepat untuk jujur.....”

“Aah besok saja kalau sudah tua, baru kita bekerja dengan jujur, berkata dengan jujur, dan berlaku dengan jujur....”, siapa yang menjamin besok lusa kita masih akan ketemu matahari?

Kesempatan kita hanya “hari ini”, kemarin adalah waktu yang telah lewat, yang kita tidak akan bisa kembali pada saat walau sedetikpun, sebaliknya, esok adalah misteri yang kita tidak bisa menebaknya barang seujung kukupun!!

Jadi? Jadikan hari ini hari terbaik kita, hari terbaik untuk pengabdian kita, hari terbaik untuk amal kita, hari terbaik untuk kerja kita, jadikanlah hari ini hari istimewa kita!!

Wassalam

Juni 07, 2007

MBO SEORANG MUSLIM

56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Ad dzariyat:56)

Alhamdulillahirabbil’alamin, akhirnya selasai sudah tugas maha berat untuk menyusun Management By Objective, puja dan puji syukur penulis kepada Allah swt yang telah menuntun dan membimbing penulis untuk dapat menyusun rangkaian rencana atau tujuan yang hendak dicapai dalam satu tahun kedepan.

Kenapa kita harus buat MBO?

Istilah Management by Objective pertama kali dipopulerkan oleh Peter Drucker pada tahun 1954 dalam bukunya yang berjudul “The Practice of Management”. Management by Objectives didefinisikan sebagai “a process of agreeing upon objectives within an organization so that management and employees agree to the objectives and understand what they are” atau kalau tidak salah mengartikan MBO adalah " adalah suatu proses untuk menyepakati sasaran yang hendak dicapai dalam suatu organisasi sehingga manajemen dan karyawan memahami memahami dan menyepakatinya”

Sampai disini kemudian timbul sebuah pertanyaan retoris, “jika dalam sebuah perusahaan seorang karyawan harus membuat perencanaan sasaran yang hendak dicapainya dengan persetujuan dari manajemen, lalu seberapa pentingkah kita memiliki sasaran yang hendak dicapai seorang muslim?”

Ayat kelima puluh enam dari surat Ad-dzariyat diatas, adalah sebuah guidance yang sangat jelas bagi kita sebagai muslim untuk membuat perencanaan sasaran yang hendak kita capai oleh kita selaku muslim. Hal yang pertama yang harus kita catat adalah bahwa “kita (manusia) diciptakan untuk mengabdi kepada Allah swt semata”

Karena itu bagi seorang muslim harus menempatkan “pengabdian” dalam urutan pertama objektifnya serta harus diberi point level tertinggi, karena pengabdian merupakan nilai yang sangat tinggi disisi Allah Swt.
“Pengabdian” harus dipahami dan diartikan secara utuh dan menyeluruh, dengan menjadikan setiap sisi kehidupan diisi dan ditentukan oleh ajaran-ajaran Allah sebagai Pengatur kehidupan ini.

Kalau kita buat pemetaan objective kita sebagai seorang muslim, mungkin akan nampak seperti ini;

Tujuan/Objective: Menjadi seorang hamba Allah yang mukhlis

Tingkatan yang hendak dicapai/Achievement Level:
1.Memiliki pondasi aqidah yang benar (Imaniyah)
2.Memiliki pemahaman dan melaksanakan syari’at secara penuh dan benar (Uluhiyah)
3.Memiliki muamalah yang benar
4.Memiliki hubungan sosial yang baik / habluminnas (mu’asarah)
5.Memiliki ahlaqul karimah

Bagaimana / How?

1.Untuk memiliki aqidah yang benar, aqidah yang akan menumbuhkan motivasi (niat) yang ikhlash, yang menjadikan nilai pengabdian kita memiliki ruh tauhid, kita harus melibatkan seluruh potensi yang kita miliki, kita harus melibatkan Fikroh kita, yakni wawasan atau cara berpikir kita agar selaras dengan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam al qur’an dan sunah.

2.Kemudian kita juga harus melibatkan Syu’ur kita, yaitu perasaan kita yang akan mempengaruhi arah pengabdian kita kepada Allah swt, agar tetap sejalan dengan kehendak dan tujuan penciptaan kita sebagaimana termaktub dalam ayat pembuka diatas.

3.Untuk dapat melaksanakan shalat secara benar, tentu kita harus belajar tatacara shalat, kita harus memahami syarat dan rukun shalat, dengan membaca, dengan bertanya, dengan mencontoh atau melalui pendidikan formal disekolah maupun dipesantren. Pun kalau kita ingin memahami tuntunan zakat, kaidah puasa maupun tatacara ibadah haji, belajar, membaca, bertanya untuk kemudian kita latih dan kita praktekan dalam kehidupan kita sehari-hari.

4.Muamalah merupakan hal yang sangat menunjang pengabdian kita secara utuh dan menyeluruh kepada Allah. Kita bisa shalat dengan pakaian yang menutupi aurat kita, kita bisa menunaikan zakat, kita bisa buka puasa, kita bisa pergi haji dengan sebuah sarana yang dinamakan uang sebagai imbalan atas muamlah kita. Dan ketrampilan kita dalam muamalah hanya akan kita dapat jika kita mau belajar dan berlatih.

5.Sebagai mahluk sosial, kitapun dibebani kewajiban sosial atau fardhu kifayah dan juga kewajiban untuk bersosialisasi dengan manusia lain dan lingkungan kita, dan lagi hanya dengan proses belajar dan latihan saja ketrampilan kita dalam hal mu’asarah ini akan terasah.

6.Puncak dari pengabdian kita adalah ahlaqul karimah, baik ahlaq kita kepada Allah maupun ahlaq kita kepada sesame mahluk. “Agama adalah Ahlaq”, maka mereka yang berahlaqul karimah sajalah yang disebut sebagai orang beragama dan orang yang mengabdi kepada Allah swt.

Kapan/When?

Kita dikarunia Allah 24 jam per hari dengan usia rata-rata kita adalah 60~70 tahun. Setelah kita men-set-up sasaran dan tujuan kita sebagai seorang muslim, kini tinggal kebijaksanaan kita bagaimana kita mengatur dan menata waktu kita agar kita menjadi menjadi orang-orang yang beruntung, bukan sebaliknya menjadi seorang pesakitan yang merugi fi dunya wal akirat.

Baik tidaknya kita dalam menyusun sasaran dan tujuan kita sebagai muslim, akan sangat berpengaruh pada tingkat pencapaian kita terhadap target yang telah disusun.

Tinggi rendahnya tingkat pencapaian obejktive kita, akan sangat berpengaruh terhadap reward yang akan kita terima.

Kalau dalam pekerjaan kita akan mendapat bonus sesuai dengan rating achiement kita, dalam pengabdian kita pun kita akan mendapat imbalan pahala sesuai dengan tingkat ketaatan dan pengabdian kita kepada Allah swt.

Wassalam

Juni 07, 2007