Wednesday, November 25, 2009

MARI BERQUR’BAN

“Ada perbedaan mendasar dari pola fikir umat dizaman Rasul dengan umat dizaman kita sekarang ini Nak Mas, jika umat terdahulu berlomba-lomba mencari tahu sunnah Nabi untuk mengikuti dan melaksanakannya, dizaman kita sekarang ini, orang berlomba-lomba mencari dalil sunnah, agar mereka bisa berkilah untuk tidak melaksanakannya, dengan alas an bahwa amalan itu sekedar sunnah, termasuk dalam hal qur’ban, betapa banyak orang yang sebenarnya mampu melaksanakannya, tapi mereka tidak melakukan qurban dengan dalih bahwa itu sunnah…..” Kata Ki Bijak, mengawali perbincangan seputar qur’ban.

“Iya ki…., padahal kalau dihitung-hitung, kalau kita menabung sehari Rp.5000 saja, dikali 365 hari dalam setahun, akan terkumpul sekitar 1,825,000, cukup untuk membeli seekor kambing qurban yang sekarang ini harganya sekitar 1,500,000 ribu, jauh lebih sedikit dari pengeluaran untuk membeli sebungkus rokok, yang mungkin lebih dari Rp.10000 per bungkusnya……” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan uang yang dihabiskan untuk membeli rokok; permasalahannya bukan hanya terletak dari mampu tidaknya seseorang menabung uang untuk berqurban; tapi bagaimana cara pandang orang tersebut terhadap perintah Allah melalui sunnah Rasul_Nya, selama mereka berfikir bahwa berqur’an itu hanya ‘sunnah’, maka niat dan kemauan itu tidak akan terpupuk dengan baik…..”Kata Ki Bijak.

“Benar Ki, padahal tidaklah Rasul melakukan sesuatu itu atas perintah Allah dan pasti ada selaksa hikmah dari apa yang Rasul contohkan tersebut ya ki…..” Kata Maula.

“Esensi qur’ban adalah ketaatan secara total kepada Allah Nak Mas, bukan sekedar menyembelih hewan qurban dan kemudian membagi-bagikannya, lebih dari itu, pelaksanaan qurban merupakan cerminan totalitas pengabdian seorang hamba kepada khaliqnya……..” Kata Ki Bijak.

Maula masih diam, meresapi apa yang diwejangkan gurunya;

“Nak Mas ingat kisah Nabi Ibrahim yang diuji Allah untuk mengorbankan putranya Nabi Ismail….?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki….., Al qur’an menceritakan kisah ini dalam Surat As-shaffat;

101. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar[1283].

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

103. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).

104. Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,

105. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

106. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

107. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285].

108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian,

109. (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".

[1283] yang dimaksud ialah nabi Ismail a.s.

[1284] yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksana- kannya.

[1285] sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). peristiwa Ini menjadi dasar disyariatkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.

“Nak Mas benar, ayat 101 hingga 109 ini menceritakan bagaimana Nabi Ibrahim diuji Allah untuk mengorbankan putranya Ismail, bisa kita bayangkan, anak yang sekian lama dinanti, dan kemudian terlahir sebagai anak yang cakap, cerdas dan tampan, tiba-tiba harus dikorbankan…, betapa berat ujian ini, dan hanya orang-orang yang benar-benar memiliki keimanan dan keyakinan yang sempurna sajalah yang akan bisa melaksanakannya….., hanya orang yang memiliki totalitas pengabdian kepada Allah sajalah yang akan mampu melaksanakannya, dan inilah yang dituntut Allah dari kita, totalitas pengabdian kita kepada Allah swt, bukan darah atau daging qurbannya…..” Kata Ki Bijak

“Iya ki, lagi pula kita tidak diminta untuk mengorbankan anak kita sebagaimana Nabi Ibrahim, hanya seekor kambing, yang harganya relative terjangkau……” Kata Maula.

“Ki, bagaimana caranya kita bisa menggugah saudara-saudara kita yang mampu, tapi belum melaksanakan qur’an ya ki….?” Tanya Maula kemudian.

“Pertama mungkin kita bisa memulainya dengan memberikan pemahaman bahwa sunnah, bukan berarti untuk ditinggalkan, keberadaan sunnah justru untuk mendukung ibadah fardhu kita sehingga menjadi paripurna…, sementara ini ada persepsi yang sedikit keliru, aah ini mah sunnah, aah ini sih tidak wajib, sehingga keberadaan sunnah baginda Rasul ditengah kehidupan kita sekarang ini sedikit meluntur…..” Kata Ki Bijak.

“Kemudian yang kedua, beragama adalah sebuah konsekuensi, beragama berarti kita terikat dan mengikatkan diri dengan apa yang ditetapkan dan disyariatkan agama kita, beragama artinya harus total, jika agama melarang satu hal, secara total kita harus melaksankannya, pun ketika agama memerintahkan kita, baik itu yang wajib maupun sunnah, sedapat mungkin kita melakukannya…., jangan kemudian kita tebang pilih, jika aturan agama itu sekiranya menguntungkan kita, kita ikut, sebaliknya ketika aturan itu kita anggap merugikan kita, kita mundur teratur……,

“Seperti halnya Qur’ban, bagi sebagian orang, mengeluarkan uang untuk membeli hewan qur’an dan kemudian membagikannya kepada orang lain, masih dirasakan sangat berat, meski sebenarnya mereka lebih dari sekedar mampu……, ini yang kurang baik….” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ya ki, seperti ana sering dengar orang mau nikah lagi, dengan alas an sunnah, sementara sunnah-sunnah lainnya, yang harusnya lebih bisa mereka laksanakan, justru banyak ditinggalkan…..” Kata Maula.

“Nak Mas mau nikah lagi….?” Goda Ki Bijak.

“Aki merestuinya….?” Jawab Maula spontan.

Ki Bijak mengangguk, “Tapi untuk Nak Mas, Aki kasih syarat sebelum Nak Mas memutuskan untuk menikah lagi….” Kata Ki Bijak.

“Apa syaratnya ki….?” Jawab Maula terpancing.

“Syaratnya mudah, pertama niatnya harus benar-benar lillahita’ala, kedua, Nak Mas terlebih dahulu harus bisa mendidik istri Nak Mas agar seshaleh Siti Aisyah, menjadikan putri Nak Mas seperti Siti Fatimah, dan menjadikan putra Nak Mas seperti cucunda Rasul Hasan dan Husen, dan yang terpenting, Nak Mas sendiri harus bisa seperti Rasul, tahajudnya jangan putus, sabarnya harus seperti beliau, adilnya harus seperti beliau, pokoknya Nak Mas harus total melaksanakan ajaran agama seperti yang dicontohkan Rasul, Nak Mas sanggup….?’ Tanya Ki Bijak.

Maula tersenyum; “Berat sekali syaratnya ki……” Katanya kemudian.

“Seperti tadi Aki katakan, jangan mau enaknya saja, harus total, agar kita tidak dicap sebagai orang yang plin plan…….” Kata Ki Bijak

“Ana memilih untuk beristri satu saja dulu Ki, ana fikir lebih baik ana konsentrasi melaksanakan agama ini secara benar sebagaimana diajarkan baginda Rasul daripada berfikir yang bukan-bukan….” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar jawaban Maula; “Aki fikir juga begitu, masih banyak yang harus kita perbaiki untuk mencapai muslim yang kaffah……….” Kata Ki Bijak.

“Ketiga, ber qur’ban juga sebentuk ungkapan rasa syukur kita atas karunia dan nikmat Allah yang sangat banyak, Allah menyatakan bahwa;

1. Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus[1606].

[1605] yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah.
[1606] maksudnya terputus di sini ialah terputus dari rahmat Allah.


“Sinar dan cahaya matahari kita tidak beli, udara dan oxygen untuk kita bernafas pun gratis, bumi yang kita pijak, tidak dipungut bayaran, belum lagi nikmat lainnya, mata kita, telinga kita, hidung kita, hati kita, semuanya pemberian Allah……., alangkah tidak patutnya kita jika kemudian setelah diberi nikmat dan karunia yang demikian banyak, kemudian tidak mau atau menghindar dari ‘perintah’ sang pemberi nikmat itu, meski Allah tidak memerlukan apapun dari kita, tapi selayaknya kita bertanya dimana rasa syukur kita, dimana rasa terima kasih kita, jika sekedar mengorbankan seekor kambing saja tidak mau….” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki….” Kata Maula.

“Ngomong-ngomong, sudah berapa orang yang mendaftar untuk tahun ini Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah ki, kemarin ana dapat informasi sudah ada lima ekor sapi dan beberapa ekor kambing…….., Kata Maula mengenai persiapan qurban dimasjid dekat rumahnya.

“Mudah-mudahan di dua hari terakhir ini akan lebih banyak orang yang melaksanakan qur’ban ya Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.

“Potensinya lebih besar dari itu ki, warga komplek rata-rata karyawan, yang insya Allah mampu melaksanakan qur’ban…..” kata Maula.

“Tugas Nak Mas dan ustadz-ustadz disanalah untuk memberikan pemahaman yang benar dan mengajak mereka yang belum berqurban untuk menunaikannya…..” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki……………” Jawab Maula mengakhiri percakapan itu.

Wassalam

November 18,2009

No comments:

Post a Comment