“Terima kasih Nak Mas, kok repot-repot bawa buah tangan segala….” Kata Ki Bijak sambil menerima buah tangan yang Maula bawa.
“Tidak apa-apa ki, Alhamdulillah, bulan ini ana ada rezeki lebih……” Kata Maula.
“Syukurlah…., tambahan rezeki darimana Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.
“Bulan kemarin ana ada banyak lembur ki, jadi ada sedikit tambahan…….” Maula menjawab dengan hati-hati, karena ia melihat raut muka gurunya yang sedikit bertanya.
“Nak Mas, Aki minta maaf sebelumnya, kalau boleh Aki tahu, apakah Nak Mas lembur Nak Mas atas permintaan perusahaan atau atas inisiatif Nak Mas sendiri….?” Tanya Ki Bijak.
“Atas permintaan kantor ki, bulan lalu ada stocktaking yang mengharuskan ana menyelesaikannya sampai agak larut, memangnya kenapa ki…?” Tanya Maula agak khawatir.
KI Bijak menarik nafas panjang, “Syukurlah…., tidak apa-apa Nak Mas, Aki hanya sedikit khawatir kalau dalam uang lembur Nak Mas itu ada uang yang subhat yang tanpa Nak Mas sadari terbawa, betapapun kecil, itu akan berdampak tidak baik bagi Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
“Astaghfirullah…., pada uang lembur ada potensi tercemar uang subhat ki…?” Tanya Maula.
Ki Bijak mengangguk, “Kemarin ada santri disini yang menceritakan pada Aki, bahwa ditempatnya bekerja, ada beberapa orang yang ‘dengan sengaja’ melemburkan diri dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan uang lembur, modusnya macam-macam, ada yang hari jum’at atau senin dia tidak masuk, tapi justru ia masuk dihari sabtu dan minggu, hingga dihitung lembur…, ada juga yang sengaja menunda-nunda pekerjaan hariannya, sehingga harus diselesaikan dengan lembur, dan menurut cerita santri tadi, masih banyak lagi modus yang digunakan beberapa oknum karyawan untuk menambah uang lembur….”
“Dan dalam hemat Aki, lembur dengan cara-cara menambah lemburan seperti ini adalah cara yang tidak elegan dan menyalahi peraraturan, baik itu peraturan perusahaan, terlebih aturan syari’at, karena uang yang didapat dengan cara seperti ini, seperti Aki bilang tadi, sangat berpotensi tercemar subhat atau bahkan haram…….” Kata Ki Bijak menambahkan.
“Naudzubillah……, uang lemburnya tidak seberapa, tapi mudharatnya lebih besar ya ki….” Kata Maula.
“Itulah kenapa Aki menanyakan kepada Nak Mas, apakah alas an lembur Nak Mas benar, atau hanya mengada-ada, karena Aki tidak ingin ada makanan atau minuman yang Nak Mas dan kelurga makan tercampur dengan hal-hal yang tidak baik, meski itu sebutir nasi atau setetes air sekalipun…..” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih sudah mengingatkan….., dan insya Allah ana tidak ingin seperti itu…..” Kata Maula.
“Harus Nak Mas, dan bahkan wajib hukumnya bagi kita untuk senantiasa komit untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang seperti ini, uang subhat tidak akan menambah apapun bagi kita, kecuali kerugian….”
“Dalam kasus lemburan misalnya, ketika kita tidak ‘jujur’ dalam pekerjaan, dan kemudian kita melemburkan diri untuk menambah penghasilan, percayalah, bahwa saat itu jiwa kita tidak akan tenang, jiwa kita akan merasa bersalah, meski atasan kita atau perusahaan tidak mengetahuinya dan tetap akan membayar uang lembur kita…..”
“Setelahnya, setelah kita mendapatkan uang lembur, uang itu akan digunakan untuk menafkahi anak istri kita, saat itu pun, sebenarnya jiwa kita menjerit, karena sebenarnya kita tahu, uang yang kita berikan, tercemar dengan uang subhat, jiwa kita akan menghukum kita karena telah meracuni anak istri kita dengan uang subhat….”
“Dan kalau sampai uang yang dihasilkan dari jalan subhat itu masuk lewat makanan dan minuman yang dibeli dengan uang subhat, maka ‘racun subhat’ ini akan menggerogoti jiwa dan hati kita, jiwa dan hati anak istri kita, jiwa dan hati siapapun yang ikut menikmati uang subhat yang kita hasilkan, naudzubillah……” Kata Ki Bijak.
“Mengerikan sekali ya ki…..” Kata Maula.
“Aki tidak bermaksud menakut-nakuti Nak Mas, Aki hanya ingin kita benar-benar menjaga diri dari kesalahan sekecil apapun, karena kesalahan yang kita anggap kecil, sangat mungkin berdampak besar dikemudian hari, baik itu secara lahir maupun secara bathin…., dan satu lagi, tidak ada dosa kecil, jika dosa itu dilakukan terus menerus tanpa pernah diperbaiki…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki……” Kata Maula pendek.
“Dan satu lagi Nak Mas, jangan pernah silau dengan mereka yang berpenghasilan banyak, cukupkan penghasilan kita dari cara baik dan halal, insya Allah itu cukup bagi mereka yang menginginkan pertemuan dengan Allah diakhirat kelak…..” Kata Ki Bijak.
Maula diam termenung memikirkan kata-kata gurunya, ia mencoba mengintrospeksi diri, jangan-jangan masih ada uang subhat dalam penghasilannya.
“Nak Mas, boleh Aki coba oleh-olehnya…..?” Kata Ki Bijak memecah lamunan Maula.
“Iya Ki, silahkan, insya Allah ini dibeli dengan uang halal, semoga diterima ya Ki….” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum, “Ana percaya pada Nak Mas, dan semoga Allah senantiasa menjaga Nak Mas dan keluarga agar senantiasa terlindung dari bahaya uang subhat dan apalagi haram….” Kata Ki Bijak sambil menikmati buah tangan yang dibawa Maula.
“Amiiin…..” Kata Maula mengamini.
August 31,2010
“Tidak apa-apa ki, Alhamdulillah, bulan ini ana ada rezeki lebih……” Kata Maula.
“Syukurlah…., tambahan rezeki darimana Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.
“Bulan kemarin ana ada banyak lembur ki, jadi ada sedikit tambahan…….” Maula menjawab dengan hati-hati, karena ia melihat raut muka gurunya yang sedikit bertanya.
“Nak Mas, Aki minta maaf sebelumnya, kalau boleh Aki tahu, apakah Nak Mas lembur Nak Mas atas permintaan perusahaan atau atas inisiatif Nak Mas sendiri….?” Tanya Ki Bijak.
“Atas permintaan kantor ki, bulan lalu ada stocktaking yang mengharuskan ana menyelesaikannya sampai agak larut, memangnya kenapa ki…?” Tanya Maula agak khawatir.
KI Bijak menarik nafas panjang, “Syukurlah…., tidak apa-apa Nak Mas, Aki hanya sedikit khawatir kalau dalam uang lembur Nak Mas itu ada uang yang subhat yang tanpa Nak Mas sadari terbawa, betapapun kecil, itu akan berdampak tidak baik bagi Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
“Astaghfirullah…., pada uang lembur ada potensi tercemar uang subhat ki…?” Tanya Maula.
Ki Bijak mengangguk, “Kemarin ada santri disini yang menceritakan pada Aki, bahwa ditempatnya bekerja, ada beberapa orang yang ‘dengan sengaja’ melemburkan diri dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan uang lembur, modusnya macam-macam, ada yang hari jum’at atau senin dia tidak masuk, tapi justru ia masuk dihari sabtu dan minggu, hingga dihitung lembur…, ada juga yang sengaja menunda-nunda pekerjaan hariannya, sehingga harus diselesaikan dengan lembur, dan menurut cerita santri tadi, masih banyak lagi modus yang digunakan beberapa oknum karyawan untuk menambah uang lembur….”
“Dan dalam hemat Aki, lembur dengan cara-cara menambah lemburan seperti ini adalah cara yang tidak elegan dan menyalahi peraraturan, baik itu peraturan perusahaan, terlebih aturan syari’at, karena uang yang didapat dengan cara seperti ini, seperti Aki bilang tadi, sangat berpotensi tercemar subhat atau bahkan haram…….” Kata Ki Bijak menambahkan.
“Naudzubillah……, uang lemburnya tidak seberapa, tapi mudharatnya lebih besar ya ki….” Kata Maula.
“Itulah kenapa Aki menanyakan kepada Nak Mas, apakah alas an lembur Nak Mas benar, atau hanya mengada-ada, karena Aki tidak ingin ada makanan atau minuman yang Nak Mas dan kelurga makan tercampur dengan hal-hal yang tidak baik, meski itu sebutir nasi atau setetes air sekalipun…..” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih sudah mengingatkan….., dan insya Allah ana tidak ingin seperti itu…..” Kata Maula.
“Harus Nak Mas, dan bahkan wajib hukumnya bagi kita untuk senantiasa komit untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang seperti ini, uang subhat tidak akan menambah apapun bagi kita, kecuali kerugian….”
“Dalam kasus lemburan misalnya, ketika kita tidak ‘jujur’ dalam pekerjaan, dan kemudian kita melemburkan diri untuk menambah penghasilan, percayalah, bahwa saat itu jiwa kita tidak akan tenang, jiwa kita akan merasa bersalah, meski atasan kita atau perusahaan tidak mengetahuinya dan tetap akan membayar uang lembur kita…..”
“Setelahnya, setelah kita mendapatkan uang lembur, uang itu akan digunakan untuk menafkahi anak istri kita, saat itu pun, sebenarnya jiwa kita menjerit, karena sebenarnya kita tahu, uang yang kita berikan, tercemar dengan uang subhat, jiwa kita akan menghukum kita karena telah meracuni anak istri kita dengan uang subhat….”
“Dan kalau sampai uang yang dihasilkan dari jalan subhat itu masuk lewat makanan dan minuman yang dibeli dengan uang subhat, maka ‘racun subhat’ ini akan menggerogoti jiwa dan hati kita, jiwa dan hati anak istri kita, jiwa dan hati siapapun yang ikut menikmati uang subhat yang kita hasilkan, naudzubillah……” Kata Ki Bijak.
“Mengerikan sekali ya ki…..” Kata Maula.
“Aki tidak bermaksud menakut-nakuti Nak Mas, Aki hanya ingin kita benar-benar menjaga diri dari kesalahan sekecil apapun, karena kesalahan yang kita anggap kecil, sangat mungkin berdampak besar dikemudian hari, baik itu secara lahir maupun secara bathin…., dan satu lagi, tidak ada dosa kecil, jika dosa itu dilakukan terus menerus tanpa pernah diperbaiki…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki……” Kata Maula pendek.
“Dan satu lagi Nak Mas, jangan pernah silau dengan mereka yang berpenghasilan banyak, cukupkan penghasilan kita dari cara baik dan halal, insya Allah itu cukup bagi mereka yang menginginkan pertemuan dengan Allah diakhirat kelak…..” Kata Ki Bijak.
Maula diam termenung memikirkan kata-kata gurunya, ia mencoba mengintrospeksi diri, jangan-jangan masih ada uang subhat dalam penghasilannya.
“Nak Mas, boleh Aki coba oleh-olehnya…..?” Kata Ki Bijak memecah lamunan Maula.
“Iya Ki, silahkan, insya Allah ini dibeli dengan uang halal, semoga diterima ya Ki….” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum, “Ana percaya pada Nak Mas, dan semoga Allah senantiasa menjaga Nak Mas dan keluarga agar senantiasa terlindung dari bahaya uang subhat dan apalagi haram….” Kata Ki Bijak sambil menikmati buah tangan yang dibawa Maula.
“Amiiin…..” Kata Maula mengamini.
August 31,2010
asswrwb...luar biasa yg ini tulisannya..bolehkah sy copas ke fb suami sy? spy koleganya membacanya...trims..
ReplyDeleteMemang benar... terkadang kita selalu mengambil mudah akan hal-hal seperti ini dan menganggap ianya sesuatu yang biasa-biasa saja...
ReplyDelete