“Masya Allah…., bagaimana kejadiannya Nak Mas……?” Tanya Ki Bijak, menanggapi cerita Maula mengenai mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan.
“Kejadiannya berlangsung sangat cepat Ki, ana hanya tahu ketika tiba-tiba mobil yang ana tumpangi sedikit oleng, begitu ana lihat kedepan, ternyata sebuah mobil colt diesel memotong jalan, sopir mobil ana mungkin kaget, sehingga secara reflex membanting stir kekanan sehingga membentur pembatas jalan dengan keras, mobil sempat miring kekanan, ban dan peleknya hancur….., Alhamdulillah sopirnya cukup tenang, sehingga mobil tidak terbalik, dan hanya menggesek pembatas jalan sekitar 20 meteran ki…..” Kata Maula menceritakan pengalamannya.
Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar penuturan Maula; “Syukurlah Nak Mas tidak kurang suatu apa…..” Katanya kemudian.
“Alhamdulillah ki……, tadi juga teman-teman ana yang berada dibelakang mobil yang ana tumpangi pada telpon, mereka khawatir dengan keadaana ana, karena memang benturannya keras sekali…., sepertinya sisopir itu kurang konsentrasi atau gimana, karena dari sebelum masuk tol pun, ana perhatikan pak sopir ini marah-marah pada keneknya, katanya penumpangnya kurang satu lagi, padahal didalam sudah penuh……” Kata Maula lagi.
“Ya Nak Mas, kecelakaan memang tidak ada yang tahu kapan dan dimana akan terjadi, tapi mendengar cerita Nak Mas tadi, ada sebuah pelajaran yang bisa kita petik dari apa yang Nak Mas alami tadi pagi…..” Kata Ki Bijak.
“Disetiap kejadian memang ana yakini ada sejuta hikmah dan selaksa pelajaran Ki, tapi untuk kejadian tadi pagi, kira-kira pelajaran apa ya ki….?” Tanya Maula.
“Pelajarannya ‘jangan mengemudi saat kita marah’ Nak Mas….., seperti Nak Mas tadi katakan, pak sopir itu marah-marah sebelum masuk tol, dan kemarahan itulah yang mungkin mengurangi konsentrasinya dalam mengemudi…, dan dalam kondisi apapun, kemarahan tidak akan menambah apapun kecuali kerugian……” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, terlepas dari apa yang terjadi tadi adalah atas izin dan kehendak Allah, tapi secara syari’at, mungkin kemarahan itulah yang membuat pak sopir sedikit kehilangan konsentrasinya…..” Kata Maula.
“Ya Nak Mas….., dan lebih jauh lagi, jika kita analogikan, seorang sopir itulah ibarat seorang pemimpin, dimana ia diamanahi untuk membawa penumpangnya selamat sehingga sampai tujuan…., dan ketika pemimpin ini selalu marah-marah, selalu tidak konsentrasi, selalu ugal-ugalan, maka ia berpotensi memcelakakan banyak orang, bukan hanya dirinya, tapi juga orang-orang yang berada dalam kendaraan yang dikemudikannya….,
“Seorang presiden, adalah sopir bagi rakyat dan negaranya untuk menuju Negara yang adil makmur wa robbun ghofur….., sehingga tidak boleh kemudian seorang presiden mengemudikan kendaraan yang bernama ‘negara’ ini dengan marah-marah, dengan ugal-ugalan, karena sekali lagi, sekali ia salah perhitungan, maka kecelakaan bukan hanya akan menimpa dirinya sendiri, tapi juga seluruh rakyat dan Negaranya akan mengalami kerugian…..”
“Pun seorang gubernur….., pun seorang bupati/walikota, pun seorang camat, pun seorang lurah, pun seorang RT/RW……, mereka yang diamanahi jabatan seperti itu, hakekatnya diamanahi kendaraan untuk dikemudikan dengan baik, sehingga penumpang-rakyat- yang dipimpinnya bisa selamat sampai tujuan……” Kata Ki Bijak.
Maula terdiam, meresapi setiap kata yang terurai dari lisan bijak gurunya.
“Dalam lingkup keluargapun, seorang suami adalah sopir atau nahkoda bagi keluarganya, suami bertanggung jawab atas dirinya, suami bertanggung jawab atas istrinya, suami bertanggung jawab atas anak-anaknya, untuk bisa selamat didunia, dan selamat dari api neraka diakhirat kelak……”
“Lalu bagaimana mungkin seorang suami bisa mengemudikan atau menahkodai bahtera rumah tangga kalau ia sendiri pemarah…?, bagaimana mungkin ia bisa mendidik dan mengarahkan anak istrinya untuk berlaku santun sementara ia sendiri ugal-ugalan…..?”
“Diperlukan suami yang santun, mengerti peraturan (syariat), penyayang, pemaaf dan sabar untuk dapat menjalankan roda rumah tangga menuju keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diidamkan setiap keluarga…….” Tambah Ki Bijak.
“Benar ki……, ketika seseorang marah, maka tangan, kaki, mata dan konsentraisnya menjadi buyar ya ki…..” Kata Maula.
“Benar Nak Mas, benar yang memegang kemudi adalah tangan, yang menginjak pedal gas dan rem adalah kaki, yang melihat jalan adalah mata, yang mendengar klakson adalah telinga, tapi jika hati kita diliputi kemarahan, maka fungsi dari panca indera tadi tidak akan maksimal…, seperti pak sopir yang membawa Nak Mas tadi pagi, matanya tidak mengantuk,tangan kakinya sehat, telinganya pun baik, tapi ketika hatinya sedang tidak nyaman, kondisi hati itulah yang akan tampak lewat anggota tubuhnya yang dhahir…….” Kata Ki Bijak lagi.
“Hati ya ki….” Kata Maula.
“Ya Nak Mas, hati inilah yang menggerakan anggota badan yang lain sesuai dengan kondisinya, jika hati baik, maka yang lain insya Allah baik, sebaliknya jika hatinya sedang tidak baik, pun dengan anggota tubuh lainnya sama, karenanya jagalah hati ini sebaik mungkin yang kita bisa….., termasuk menjaga hati agar tidak mudah marah…….” Kata Ki Bijak lagi.
“Bagaimana caranya ki, agar kita tidak mudah marah……?” Tanya Maula.
“Lembutkan hati dengan dzikrullah Nak Mas….., hati yang lembut, tidak akan mudah terpancing emosi, hati yang lembut, tidak akan mudah marah, karenanya perbanyaklah berdzikir kepada Allah agar kita diberi kelembutan hati…..”
“Yang kedua, ingatlah bahwa kemarahan itu datangnya dari syetan; syetan memprovokasi hati kita untuk marah dan meledak-ledak, dan setelahnya, syetan dengan gampang mengarahkan orang yang sedang marah untuk berbuat hal-hal yang melanggar perintah Allah, karenanya ketika marah, segeralah istighfar dan memohon perlindingan kepada Allah untuk mengusir syetan agar tidak mengganggu kita….”
“Yang Ketiga tentu kita harus senantiasa membangun kesadaran bahwa sekali lagi kemarahan tidak akan menambah apapun kepada kita kecuali kerugian…..; insya Allah ketika itu sudah kita lakukan, kita agar terhindar dari sifat-sifat pemarah yang merugikan itu…” Kata Ki Bijak.
“Ana mengerti ki…..” Kata Maula.
“Satu-satunya alas an yang membolehkan kita ‘marah’ adalah ketika kita melihat kemungkaran Nak Mas……, ketika kita melihat kemunkaran, kita harus ‘marah’, itupun dengan proporsi kemarahan yang benar, jangan membabi buta, tapi kemarahan yang disertai niat untuk merubah kemunkaran itu menjadi kebaikan……..” Kata Ki Bijak lagi.
“Sekarang Nak Mas istirahat saja dulu, sambil bertafakur untuk dapat mengambil hikmah dari apa yang Nak Mas alami pagi tadi….” Tambah Ki Bijak
“Iya ki, terima kasih…, Ya Rabb, semoga Engkau bukakan pintu hikmah dari setiap kejadian apapun, dan jadikanlah hamba menjadi abdiMu yang pandai mengambil hikmah dan pelajaran dariMu….” Kata Maula.
“Amiin….” Timpal Ki Bijak mengamini.
Wassalam
Desember 29,2010
No comments:
Post a Comment