“Nak Mas pernah baca kisah perang Badr...........?” Tanya Ki Bijak, membuka percakapan mengenai peperangan melawan hawa nafsu dibulan ramadhan.
“Iya ki, Perang Badar terjadi pada 7 Ramadhan, dua tahun setelah hijrah, perang Badar tercatat sebagai salah satu perang terbesar kaum muslimin ketika itu dan merupakan peperangan pertama kaum muslimin dalam menghadapi gangguan kafir terhadap perkembangan agama Islam, pasukan Muslim ketika itu berjumlah sekitar 300 orang, sementara kaum kafir berjumlah sekitar 1000 orang, dilengkapi dengan 600 pakaian perang, 100 ekor kuda dan 700 ekor unta serta persediaan perbekalan yang sangat banyak.......” Kata Maula
“Lalu ......?” Tanya Ki Bijak memancing
“Lalu dengan kekuasaan Allah, kaum muslimin yang jumlahnya hanya sepertiga dari kaum kafir itu, kaum muslimin memperoleh kemenangan..........” sambung Maula.
“Benar Nak Mas, perang Badr merupakan peperangan yang sangat dahsyat, dan yang menarik bagi adalah sabda Rasulullah setelah perang selesai, Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar...’, yang membuat para Sahabat terkejut dan bertanya, "Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? " Baginda berkata, "Peperangan melawan hawa nafsu." (Riwayat Al Baihaqi)...” Kata Ki Bijak
“Nak Mas perhatikan sekali lagi, peperangan melawan hawa nafsu, yang dalam kata lain ‘musuh’ terbesar kita bukanlah pasukan perang bersenjata lengkap seperti layaknya kafir quraish dalam perang badar itu, musuh terbesar kita justru ada di dalam diri kita sendiri, yaitu nafsu kita, nafsu kita yang liar tak terkendali sehingga jika kita kalah dalam peperangan dengan hawa nafsu itu, kita akan ditawan dan diperbudak oleh nafsu kita................” kata Ki Bijak lagi.
“Ada orang yang rela menjual harga dirinya demi setumpuk uang, adalah salah satu contoh mereka yang kalah dalam peperangan melawan hawa nafsunya, sehingga ia ditawan oleh dorongan nafsu itu untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang, termasuk dengan menyerahkan kehormatan dan harga dirinya demi memenuhi keinginan sang hawa nafsu............”
“Ada juga orang yang merasa paling hebat, merasa paling pinter, merasa paling baik karena posisi dan pangkat jabatannya, mereka tidak menyadari bahwa kesombongan yang mereka pertontonkan tidak lebih dari kehendak hawa nafsu yang telah memenangkan pertarungan dan kemudian menawannya........”
“Ada lagi orang yang keakuannya membuncah karena ia orang kaya, karena ia orang berduit, karena ia orang terpelajar, karena ia seorang pejabat, mereka ini pun dalam hemat Aki merupakan para tawanan sang hawa nafsu.......”
“Dan yang tidak kalah banyak adalah mereka-mereka yang telah menggadaikan waktu dan hidupnya demi mengejar materi, hari-harinya dilalui semata untuk menghasilkan uang, jam-jamnya bergulir semata untuk menghitung uang, menit-menitnya berlalu untuk berkhayal bagaimana mendapatkan kekayaan, sehingga tidak sedetikpun tersisa dari hidup dan waktunya untuk beribadah dan mengingat Allah....Naudzubillah.............” Sambung Ki Bijak lagi.
“Demikian besar ya ki kehancuran yang ditimbulkan hawa nafsu yang lepas tanpa kendali.........” kata Maula.
“Bahkan sangat besar Nak Mas, pertikaian, perpecahan, dan bahkan peperangan adalah beberapa contoh akibat yang disebabkan merajalelanya hawa nafsu pada sebagian kita..........., belum lagi kerusakan didarat, dilaut dan diudara yang sekarang ini semakin nampak nyata” kata Ki Bijak.
“Dan saat inilah, disaat ramadhan inilah kemampuan dan ketahanan kita terhadap ganguan hawa nafsu diuji Nak Mas......., disaat mana perut kita lapar, tenggorokan kita kering, kita dihadapkan pada berbagai kondisi dan rutinitas yang tidak jarang memancing timbulkan hawa nafsu kita kepermukaan..............” kata Ki Bijak.
“Iya ki, ana kemarin juga menemukan kondisi seperti itu ki, dimobil umum ada bapak-bapak yang merokok dan minum seenaknya, tapi peduli orang lain sedang shaum........., ana jadi sedikit kesel juga ki......” kata Maula menceritakan pengalamanya.
“Dan mungkin Nak Mas atau siapapun yang tengah menjalani shaum akan menemukan berbagai hal lain yang menggelitik hawa nafsu kita untuk membuncah keluar, karenanya selama kita shaum, kita harus senantiasa membangun kesadaran bahwa kita tengah menjalani proses ujian pengendalian dan diri dari gangguan hawa nafsu......” kata Ki Bijak.
“Ki, bukankah pengendalian diri dan ketahanan kita terhadap gangguan hawa nafsu itu bukan sekedar disaat shaum ramadhan ini ki......?’ Tanya Maula.
“Nak Mas benar, pengendalian diri dan ketahanan diri terhadap gangguan hawa nafsu bukan hanya diperlukan pada saat shaum ramadhan, tapi kita memerlukan ketahanan dan pengendalian diri ini disetiap hari, setiap saat, disetiap waktu, disetiap detik dan disetiap hembusan nafas kita, karena hawa nafsu bisa datang kapan saja, karena memang ia berasal dari dalam diri kita, yang Aki maksud tadi, kenapa dibulan ramadhan ini kita harus lebih meningkatkan sistem ketahanan dan pengendalian diri ini karena momentum ramadhan adalah momentum dimana ketahanan dan pengendalian diri itu dapat terlihat dengan jelas dan nyata, karena godaan hawa nafsu juga berlipat ganda manakala kita shaum, dan seperti Nak Mas tadi katakan bahwa ‘keberhasilan’ kita menjalani proses latihan pengendalian diri ini tidak boleh hanya diukur sesaat saja, maksud Aki keberhasilan latihan ini juga harus tetap terlihat pada keseharian kita diluar ramadhan..........” kata Ki Bijak.
“Jadi kalau kita bisa sabar dan tidak mudah marah dibulan ramadhan, indikasinya juga harus terlihat setelah ramadhan ya ki.........” kata Maula.
“Benar Nak Mas, kita tidak bisa bilang bahwa kita sudah menjadi orang sabar, orang yang tidak mudah marah, orang yang bisa menahan diri selama kita tidak bisa menunjukan dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur itu selepas bulan ramadhan...., orang yang berhasil shaum ramadhannya adalah mereka yang mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam shaum itu sepanjang kehidupanya, baik diluar atau didalam bulan ramadhan....................” kata Ki Bijak.
“Nak Mas masih ingat makna shaum secara fungsional...........?” Tanya Ki Bijak kemudian.
“Iya ki, shaum secara fungsional merupakan sarana tarbiyah atas iradah kita, kemudian juga sebagai Tarbiayatul Lil ilahiyah, dan juga sebagai latihan kepatuhan dan ketaatan atau yang disebut Tarekatul Lil Malaikat, disamping sebagai sarana Tazkiyatun an nafs, sarana pembersihan diri.............” kata Maula.
“Aki sangat setuju dengan pandangan itu, karena memang keberhasilan shaum tidak hanya diukur dari kemampuan kita untuk tidak makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga maghrib tiba, tapi lebih dari itu keberhasilan shaum seseorang harus mencerminkan tumbuhnya fungsi-fungsi dan nilai shaum yang Nak Mas sebutkan tadi dalam diri setiap mereka yang shaum dengan benar dan kokoh..........” kata Ki Bijak.
“Seseorang yang shaumnya baik dan benar, akan menampilkan citra diri yang luhur, ia akan menjadi seorang penyabar, peka dan memiliki kepedulian yang terhadap sesama, serta sangat takut untuk melanggar hukum-hukum Allah, atau singkatnya mereka yang shaumnya benar, selepas ramadhan ia laksana kupu-kupu yan baru keluar dari kepompongnya...................” Kata Ki Bijak.
“Kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya ki...............?”, oh ya ana ingat sekarang, Aki pernah bercerita kepada ana bahwa sebelum menjadi kupu-kupu yang indah dan cantik itu, kupu-kupu hanyalah seekor ulat yang mungkin sangat menjijikan, tapi setelah ulat itu “mengurung diri” didalam kepompong untuk beberapa waktu, sangat ulat kemudian menjadi kupu-kupu yang indah dan menawan, bukan begitu ki...................” kata Maula.
“Benar Nak Mas, sebelas bulan perjalanan hidup kita, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, mungkin ada sekian banyak khilaf dan dosa yang menempel pada diri kita, mungkin dari mata kita yang tidak terjaga dari hal-hal yang dilarang Allah, mungkin dari telinga kita yang terlalu sering mendengar kata-kata tanpa makna, mungkin dari mulut kita yang kelewat bebas ketika berbicara, atau bahkan sangat mungkin dari hati kita yang jarang berdetak mengigat Allah, belum lagi tangan kita, kaki kita yang juga sangat mungkin ikut melumuri diri kita dengan rangkai dosa dan maksiat kepada Allah, dan pada kondisi seperti itu, kita layaknya ulat yang sangat ‘menjijikan’ dan sama sekali tidak mengundang kekaguman bagi mereka yang melihatnya.........”
“Dan ramadhan ini, adalah ‘kepompong’ tempat kita berlatih diri, tempat kita mentarbiyah diri, tempat kita menempa diri, dengan lapar dan dahaga, dengan mengekang nafsu amarah kita, dengan mengendalikan pendengaran dan pandangan mata kita, dengan menjaga lisan kita, dengan senantiasa menggetar hati kita untuk mengingat Allah, insya Allah, dipenghujunga nanti, sekeluarnya kita dari ‘kepompong’ ramadhan ini, kita bisa menjadi ‘kupu-kupu’ yang indah dan mempesona.............” kata Ki Bijak.
“Menjadi seperti kupu-kupu yang indah.......” Maula seperti membathin.
“Benar Nak Mas, selain indah, Nak Mas perhatikan juga bagaimana kupu-kupu yang terbang dan hinggap kian kemari diantara putik bunga, tanpa merusak putik bunga yang dihinggapinya, kemudian kupu-kupu juga bisa berperan sebagai sarana perkawinan antara benang sari dan putik sari, kupu-kupu juga berandil untuk menyebarkan benih-benih bunga keberbagai tempat hingga bunga bisa berkembang biak dan masih banyak lagi yang bisa kita petik dari liuk anggun kupu-kupu.......” Kata Ki Bijak.
“Artinya apa ki........?” Tanya Maula.
“Artinya mereka yang shaumnya baik dan benar akan menjadi pribadi yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianutnya, mereka yang shaumnya benar akan menjunjung tinggi norma dimana tempatnya berpijak, ia berpantang untuk menjadi provokator apalagi untuk berbuat kerusakan, sebagaimana ditamsilkan oleh kupu-kupu yang tidak pernah merusak kelopak bunga yang dihinggapinya......”
“Kemudian mereka yang shaumnya benar, akan mampu berperan sebagai pelopor, sebagai perintis berbagai kebajikan dimanapun ia tinggal, seperti kupu-kupu yang berperan dalam perkawinan putik dan benang sari, selain juga mereka senantiasa menebarkan kebaikan sebagai salah satu manifestasi pengabdiannya kepada Allah sebagai rahmat bagi alam dan orang sekitarnya.........” Kata Ki Bijak.
“Demikian agung nilai-nilai itu ya ki..........” kata Maula.
“Ya Nak Mas, semoga ramadhan kali ini bisa mengatar kita untuk kembali kepada fitrah kita, dan semoga pula kita bisa menjadi lebih baik, baik didalam bulan suci ini, baik juga selepasnya..........” kata Ki Bijak.
“Amiin........., terima kasih ki.......” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum sambil membalas uluran tangan Maula.
Wassalam.
September 17,2008
“Iya ki, Perang Badar terjadi pada 7 Ramadhan, dua tahun setelah hijrah, perang Badar tercatat sebagai salah satu perang terbesar kaum muslimin ketika itu dan merupakan peperangan pertama kaum muslimin dalam menghadapi gangguan kafir terhadap perkembangan agama Islam, pasukan Muslim ketika itu berjumlah sekitar 300 orang, sementara kaum kafir berjumlah sekitar 1000 orang, dilengkapi dengan 600 pakaian perang, 100 ekor kuda dan 700 ekor unta serta persediaan perbekalan yang sangat banyak.......” Kata Maula
“Lalu ......?” Tanya Ki Bijak memancing
“Lalu dengan kekuasaan Allah, kaum muslimin yang jumlahnya hanya sepertiga dari kaum kafir itu, kaum muslimin memperoleh kemenangan..........” sambung Maula.
“Benar Nak Mas, perang Badr merupakan peperangan yang sangat dahsyat, dan yang menarik bagi adalah sabda Rasulullah setelah perang selesai, Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar...’, yang membuat para Sahabat terkejut dan bertanya, "Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? " Baginda berkata, "Peperangan melawan hawa nafsu." (Riwayat Al Baihaqi)...” Kata Ki Bijak
“Nak Mas perhatikan sekali lagi, peperangan melawan hawa nafsu, yang dalam kata lain ‘musuh’ terbesar kita bukanlah pasukan perang bersenjata lengkap seperti layaknya kafir quraish dalam perang badar itu, musuh terbesar kita justru ada di dalam diri kita sendiri, yaitu nafsu kita, nafsu kita yang liar tak terkendali sehingga jika kita kalah dalam peperangan dengan hawa nafsu itu, kita akan ditawan dan diperbudak oleh nafsu kita................” kata Ki Bijak lagi.
“Ada orang yang rela menjual harga dirinya demi setumpuk uang, adalah salah satu contoh mereka yang kalah dalam peperangan melawan hawa nafsunya, sehingga ia ditawan oleh dorongan nafsu itu untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang, termasuk dengan menyerahkan kehormatan dan harga dirinya demi memenuhi keinginan sang hawa nafsu............”
“Ada juga orang yang merasa paling hebat, merasa paling pinter, merasa paling baik karena posisi dan pangkat jabatannya, mereka tidak menyadari bahwa kesombongan yang mereka pertontonkan tidak lebih dari kehendak hawa nafsu yang telah memenangkan pertarungan dan kemudian menawannya........”
“Ada lagi orang yang keakuannya membuncah karena ia orang kaya, karena ia orang berduit, karena ia orang terpelajar, karena ia seorang pejabat, mereka ini pun dalam hemat Aki merupakan para tawanan sang hawa nafsu.......”
“Dan yang tidak kalah banyak adalah mereka-mereka yang telah menggadaikan waktu dan hidupnya demi mengejar materi, hari-harinya dilalui semata untuk menghasilkan uang, jam-jamnya bergulir semata untuk menghitung uang, menit-menitnya berlalu untuk berkhayal bagaimana mendapatkan kekayaan, sehingga tidak sedetikpun tersisa dari hidup dan waktunya untuk beribadah dan mengingat Allah....Naudzubillah.............” Sambung Ki Bijak lagi.
“Demikian besar ya ki kehancuran yang ditimbulkan hawa nafsu yang lepas tanpa kendali.........” kata Maula.
“Bahkan sangat besar Nak Mas, pertikaian, perpecahan, dan bahkan peperangan adalah beberapa contoh akibat yang disebabkan merajalelanya hawa nafsu pada sebagian kita..........., belum lagi kerusakan didarat, dilaut dan diudara yang sekarang ini semakin nampak nyata” kata Ki Bijak.
“Dan saat inilah, disaat ramadhan inilah kemampuan dan ketahanan kita terhadap ganguan hawa nafsu diuji Nak Mas......., disaat mana perut kita lapar, tenggorokan kita kering, kita dihadapkan pada berbagai kondisi dan rutinitas yang tidak jarang memancing timbulkan hawa nafsu kita kepermukaan..............” kata Ki Bijak.
“Iya ki, ana kemarin juga menemukan kondisi seperti itu ki, dimobil umum ada bapak-bapak yang merokok dan minum seenaknya, tapi peduli orang lain sedang shaum........., ana jadi sedikit kesel juga ki......” kata Maula menceritakan pengalamanya.
“Dan mungkin Nak Mas atau siapapun yang tengah menjalani shaum akan menemukan berbagai hal lain yang menggelitik hawa nafsu kita untuk membuncah keluar, karenanya selama kita shaum, kita harus senantiasa membangun kesadaran bahwa kita tengah menjalani proses ujian pengendalian dan diri dari gangguan hawa nafsu......” kata Ki Bijak.
“Ki, bukankah pengendalian diri dan ketahanan kita terhadap gangguan hawa nafsu itu bukan sekedar disaat shaum ramadhan ini ki......?’ Tanya Maula.
“Nak Mas benar, pengendalian diri dan ketahanan diri terhadap gangguan hawa nafsu bukan hanya diperlukan pada saat shaum ramadhan, tapi kita memerlukan ketahanan dan pengendalian diri ini disetiap hari, setiap saat, disetiap waktu, disetiap detik dan disetiap hembusan nafas kita, karena hawa nafsu bisa datang kapan saja, karena memang ia berasal dari dalam diri kita, yang Aki maksud tadi, kenapa dibulan ramadhan ini kita harus lebih meningkatkan sistem ketahanan dan pengendalian diri ini karena momentum ramadhan adalah momentum dimana ketahanan dan pengendalian diri itu dapat terlihat dengan jelas dan nyata, karena godaan hawa nafsu juga berlipat ganda manakala kita shaum, dan seperti Nak Mas tadi katakan bahwa ‘keberhasilan’ kita menjalani proses latihan pengendalian diri ini tidak boleh hanya diukur sesaat saja, maksud Aki keberhasilan latihan ini juga harus tetap terlihat pada keseharian kita diluar ramadhan..........” kata Ki Bijak.
“Jadi kalau kita bisa sabar dan tidak mudah marah dibulan ramadhan, indikasinya juga harus terlihat setelah ramadhan ya ki.........” kata Maula.
“Benar Nak Mas, kita tidak bisa bilang bahwa kita sudah menjadi orang sabar, orang yang tidak mudah marah, orang yang bisa menahan diri selama kita tidak bisa menunjukan dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur itu selepas bulan ramadhan...., orang yang berhasil shaum ramadhannya adalah mereka yang mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam shaum itu sepanjang kehidupanya, baik diluar atau didalam bulan ramadhan....................” kata Ki Bijak.
“Nak Mas masih ingat makna shaum secara fungsional...........?” Tanya Ki Bijak kemudian.
“Iya ki, shaum secara fungsional merupakan sarana tarbiyah atas iradah kita, kemudian juga sebagai Tarbiayatul Lil ilahiyah, dan juga sebagai latihan kepatuhan dan ketaatan atau yang disebut Tarekatul Lil Malaikat, disamping sebagai sarana Tazkiyatun an nafs, sarana pembersihan diri.............” kata Maula.
“Aki sangat setuju dengan pandangan itu, karena memang keberhasilan shaum tidak hanya diukur dari kemampuan kita untuk tidak makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga maghrib tiba, tapi lebih dari itu keberhasilan shaum seseorang harus mencerminkan tumbuhnya fungsi-fungsi dan nilai shaum yang Nak Mas sebutkan tadi dalam diri setiap mereka yang shaum dengan benar dan kokoh..........” kata Ki Bijak.
“Seseorang yang shaumnya baik dan benar, akan menampilkan citra diri yang luhur, ia akan menjadi seorang penyabar, peka dan memiliki kepedulian yang terhadap sesama, serta sangat takut untuk melanggar hukum-hukum Allah, atau singkatnya mereka yang shaumnya benar, selepas ramadhan ia laksana kupu-kupu yan baru keluar dari kepompongnya...................” Kata Ki Bijak.
“Kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya ki...............?”, oh ya ana ingat sekarang, Aki pernah bercerita kepada ana bahwa sebelum menjadi kupu-kupu yang indah dan cantik itu, kupu-kupu hanyalah seekor ulat yang mungkin sangat menjijikan, tapi setelah ulat itu “mengurung diri” didalam kepompong untuk beberapa waktu, sangat ulat kemudian menjadi kupu-kupu yang indah dan menawan, bukan begitu ki...................” kata Maula.
“Benar Nak Mas, sebelas bulan perjalanan hidup kita, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, mungkin ada sekian banyak khilaf dan dosa yang menempel pada diri kita, mungkin dari mata kita yang tidak terjaga dari hal-hal yang dilarang Allah, mungkin dari telinga kita yang terlalu sering mendengar kata-kata tanpa makna, mungkin dari mulut kita yang kelewat bebas ketika berbicara, atau bahkan sangat mungkin dari hati kita yang jarang berdetak mengigat Allah, belum lagi tangan kita, kaki kita yang juga sangat mungkin ikut melumuri diri kita dengan rangkai dosa dan maksiat kepada Allah, dan pada kondisi seperti itu, kita layaknya ulat yang sangat ‘menjijikan’ dan sama sekali tidak mengundang kekaguman bagi mereka yang melihatnya.........”
“Dan ramadhan ini, adalah ‘kepompong’ tempat kita berlatih diri, tempat kita mentarbiyah diri, tempat kita menempa diri, dengan lapar dan dahaga, dengan mengekang nafsu amarah kita, dengan mengendalikan pendengaran dan pandangan mata kita, dengan menjaga lisan kita, dengan senantiasa menggetar hati kita untuk mengingat Allah, insya Allah, dipenghujunga nanti, sekeluarnya kita dari ‘kepompong’ ramadhan ini, kita bisa menjadi ‘kupu-kupu’ yang indah dan mempesona.............” kata Ki Bijak.
“Menjadi seperti kupu-kupu yang indah.......” Maula seperti membathin.
“Benar Nak Mas, selain indah, Nak Mas perhatikan juga bagaimana kupu-kupu yang terbang dan hinggap kian kemari diantara putik bunga, tanpa merusak putik bunga yang dihinggapinya, kemudian kupu-kupu juga bisa berperan sebagai sarana perkawinan antara benang sari dan putik sari, kupu-kupu juga berandil untuk menyebarkan benih-benih bunga keberbagai tempat hingga bunga bisa berkembang biak dan masih banyak lagi yang bisa kita petik dari liuk anggun kupu-kupu.......” Kata Ki Bijak.
“Artinya apa ki........?” Tanya Maula.
“Artinya mereka yang shaumnya baik dan benar akan menjadi pribadi yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianutnya, mereka yang shaumnya benar akan menjunjung tinggi norma dimana tempatnya berpijak, ia berpantang untuk menjadi provokator apalagi untuk berbuat kerusakan, sebagaimana ditamsilkan oleh kupu-kupu yang tidak pernah merusak kelopak bunga yang dihinggapinya......”
“Kemudian mereka yang shaumnya benar, akan mampu berperan sebagai pelopor, sebagai perintis berbagai kebajikan dimanapun ia tinggal, seperti kupu-kupu yang berperan dalam perkawinan putik dan benang sari, selain juga mereka senantiasa menebarkan kebaikan sebagai salah satu manifestasi pengabdiannya kepada Allah sebagai rahmat bagi alam dan orang sekitarnya.........” Kata Ki Bijak.
“Demikian agung nilai-nilai itu ya ki..........” kata Maula.
“Ya Nak Mas, semoga ramadhan kali ini bisa mengatar kita untuk kembali kepada fitrah kita, dan semoga pula kita bisa menjadi lebih baik, baik didalam bulan suci ini, baik juga selepasnya..........” kata Ki Bijak.
“Amiin........., terima kasih ki.......” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum sambil membalas uluran tangan Maula.
Wassalam.
September 17,2008
No comments:
Post a Comment