“Mohon maaf sebentar ki……” Kata Maula, meminta izin pada gurunya untuk membersihkan kacamatanya dari debu yang menghalangi pandangannya kepapan tulis.
Ki Bijak menghentikan penjelasannya, sambil menunggu Maula yang tengah membersihkan kacamata dengan tissue.
“Sudah bersih Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.
“Sudah ki, alhamdulillah……” Kata Maula.
“Itulah debu Nak Mas, meskipun kecil, tetap akan menghalangi pandangan mata kita yang jernih…..” Kata Ki Bijak kemudian.
“Iya ki, padahal debu ini sangat kecil, bahkan hampir tidak terlihat, tapi tetap sangat mengganggu….” Kata Maula lagi.
“Karenanya kita harus berhati-hati dengan ‘debu’ Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
Maula menyadari bahwa gurunya tengah membicarakan hal lain diluar yang ditulisnya dipapan tulis.
“Nak Mas lihat, debu merapi misalnya, debu-debu yang kecil itu, mampu merusak ratusan hektar tanaman yang siap panen, debu-debu yang kecil itu mampu menutup areal pemukiman ratusan bahkan ribuan hektar yang bahkan berjarak ribuan kilo dari puncak merapi, dan kalau Aki tidak salah, banyak maskapai penerbangan yang menunda jadwal penerbangannya karena khawatir dengan efek debu yang kecil ini, yang jika masuk kemesin pesawat, akan merusak mesin dan sangat membahayakan…..” Kata Ki Bijak.
Maula menarik nafas panjang, ia membenarkan apa yang dikatakan gurunya, betapa debu merapi yang terdiri dari partikel-partikel kecil itu sangat berbahaya, termasuk juga berbahaya bagi kesehatan, karena ketika terhirup dan masuk kedalam paru-paru, akan menimbulkan kerusakan pada orang vital tersebut.
Ki Bijak menarik nafas panjang, “Jika pandangan mata Nak Mas terhalang karena debu kecil yang menempel pada kacamata Nak Mas, jika tanaman menjadi rusak dan layu karena debu yang mengenainya, jika halaman dan pemukiman menjadi kotor karena debu-debu yang kecil, jika mesin pesawat bisa rusak karena debu-debu yang kecil, ini artinya kita sama sekali tidak boleh mengacuhkan dan membiarkan debu-debu ini begitu saja….” Kata Ki Bijak.
Maula diam, menunggu kelanjutan penuturan gurunya…”Dikeseharian kita, ada banyak ‘dosa-dosa kecil’ yang sudah kita anggap biasa,seperti contohnya saling mencela antar teman, kelihatannya sekarang ini sudah dianggap biasa, dan bukan merupakan sebuah dosa..”
“Kemudian mencela kondisi fisik seseorang, ini juga sepertinya sudah sebuah kelaziman dikeseharian kita, belum lagi ghibah, belum lagi berprasangka buruk, belum lagi mengumpat, belum lagi menunda waktu shalat, belum lagi menyia-nyiakan waktu luang, belum lagi janji palsu, belum lagi berkata dusta, belum lagi khianat, dan masih banyak lagi aktivitas keseharian kita yang mengandung ‘debu-debu dosa’…..” Kata Ki Bijak.
“Kalau debu merapi dapat mengotori dan merusak banyak hal, maka debu-debu dosa ini akan mengotori kejernihan mata hati kita….., kalau tadi setitik debu saja yang menempel dikacamata Nak Mas menjadikan pandangan Nak Mas terganggu, konon lagi kalau banyak dosa-dosa yang menempel dan menutup hati kita, niscaya hati kita akan gelap gulita, jauh dari cahaya ilahi…….” Kata Ki Bijak lagi.
Degh….., Maula membayangkan hujan abu merapi yang demikian pekat, sehingga menggangu dan mengurangi jarak pandang, menyebabkan penyakit, dan menyebabkan kerusakan dalam berbagai hal, lalu bagaimana jika hati, yang merupakan pelita, yang merupakan sumber cahaya, yang merupakan cermin, yang merupakan sarana berlabuhnya petunjuk ilahi ini tertutup oleh tebalnya debu-debu dosa…?.
“Hanya sayangnya, kalau debu dhahir seperti yang menempel pada kacamata Nak Mas tadi dengan mudah kita ketahui, tapi debu dosa yang menempel pada hati kita, jarang sekali orang yang mengetahuinya, ataupun kalau ia mengetahuinya, ia lebih cenderung untuk tak acuh dan mengabaikannya…..” kata Ki Bijak lagi.
“Ki……, apa akibatnya kalau kita membiarkan hati kita terus-menerus kena debu dosa..?” Tanya Maula.
“Apa yang Nak Mas rasakan kalau banyak debu yang menempel dikacamata Nak Mas…?” Ki Bijak balik bertanya.
“Pandangan ana buram ki, selain juga kacamata akan tergores dan rusak….” Jawab Maula.
“Pun dengan hati kita Nak Mas, manakala terus menerus terkena dosa, dosa sekecil apapun itu, akan mempengaruhi kualitas kejernihannya, pandangan mata hati kita jadi buram, hati kita jadi tidak peka, dan pada stadium lanjut, hati kita akan keras membatu, bahkan lebih keras dari batu, sehingga akan sulit menerima kebenaran, cenderung congkak dan sombong, dan pada gilirannya, hati kita akan buta dan mati…..!” Kata Ki Bijak lagi.
“Naudzubillah….., bagaimana ciri-ciri orang yang mati hatinya ki…?” Tanya Maula.
“Nak Mas pernah mengantar jenazah….?” Tanya Ki Bijak.
“Pernah ki…..” Jawab Maula.
“Apakah jenazah merespon ketika ada orang menangis…?” Tanya Ki Bijak.
“Tidak ki…..” Jawab Maula.
“Apakah jenazah menyahut ketika adzan dan iqomah dikumandangkan…?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Tidak ki….” Jawab Maula lagi.
“Apakah jenazah tahu ada yang sedih, ada yang berduka,ada orang yang menangis, ada orang yang lapar atau orang yang sakit..? Tanya Ki Bijak lagi.
“Tidak ki, jenazah tidak merespon atau berbuat apapun ki….” Jawab Maula lagi.
“Begitulah kira-kira keadaan orang yang hatinya mati Nak Mas, ia tidak peduli pada tetangganya yang lapar….”,
“Orang yang hatinya mati, ia tidak berbuat apapun ketika ada anak yatim yang kelaparan..”,
“Orang yang hatinya mati, ia tidak berbuat apapun ketika ada saudaranya tengah dilanda musibah….”
“Orang yang hatinya mati, tidak akan tergerak ketika terdengar panggilan adzan, orang yang hatinya mati, tidak akan merespon jika ada anjuran bersedekah, berzakat atau berderma lainnya….”
“Orang yang hatinya mati, ia bahkan tidak dapat menerima kebenaran atau nasehat dari siapapun, persis seperti jenazah, ia laksana bangkai berjalan……” papar Ki Bijak lagi.
Maula diam, menyimak penuturan gurunya yang demikian gamblang, Orang yang Hatinya mati, sama dengan mayit, yang tidak bisa melakukan apapun baik untuk dirinya, apalagi bagi orang lain…!!!
“Ki…., adakah cara untuk membersihkan dan menghidupkan hati ki….?” Tanya beberapa saat kemudian.
“Kita harus banyak-banyak beristighfar Nak Mas…..” Kata Ki Bijak
“Dengan memperbanyak istighfar ki…?” Tanya Maula.
“Ya Nak Mas, istighfar adalah deterjen pemberish debu-debu dosa, dengan istighfar mudah-mudahan Allah membersihkan noda-noda yang menempel dihati kita, yang membuat hati kita hitam pekat, yang membuat hati kita kotor, yang membuat hati kita menjadi sakit dan mati…..”
“Sebagaimana Nabi Adam beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena telah ‘melanggar’ peringatan Allah untuk menjauhi pohon khuldi;
“Sebagaimana Nabi Nuh beristighfar, memohon ampun dan perlindungan dari berbagai hal yang ia tidak ketahui hakekatnya”,
“Sebagaimana Nabi Musa beistighfar, memohon ampun kepada Allah, karena telah menganiaya diri sendiri..”,
“Sebagaimana Nabi Sulaiman beristighfar, memohon ampun kepada Allah ketika beliau diuji dengan sakit yang luar biasa…”,
“Sebagaimana Nabi Yunus, beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena kemarahannya dan kemudian ditelan ikan paus…”,
“Maka selayaknyalah kita yang pasti banyak dilumuri debu-debu dosa ini, memperbanyak istighfar, memohon ampunan dari Allah, semoga dengan beristighfar, dengan memohon ampun, dengan senantiasa membersihkan diri dan hati dari debu-debu dosa, hati kita akan senantiasa jernih, hati kita akan senantiasa lembut, hati kita senantiasa sehat, hati kita senantiasa hidup, sehingga mampu menangkap cahaya kebenaran ilahi, sehingga kita peka terhadap keadaan diri dan lingkungan kita, sehingga kita tidak hanya seonggok daging pembungkus tulang yang berjalan tanpa hati, sehingga kita benar-benar menjadi manusia, mahluk yang Allah ciptakan dengan berbagai kelebihan, salah satunya adalah Allah menanugerahkan kepada manusia sebentuk hati, yang dengannya manusia diuji untuk bagaimana menggunakan hati untuk mengenal siapa penciptanya……” Kata Ki Bijak panjang lebar.
Maula manggut-manggut, meresapi setiap untai kata yang keluar dari tutur bijak gurunya.
“Bahkan baginda Rasul, manusia paling agung dan mendapat predikat maksum, pun senantiasa beristighfar kepada Allah swt…..” Sambung Ki Bijak sambil membacakan sayyidul istighfar sebagaimana diajarkan Baginada Rasul;
“(Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada ilaha selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu dan aku selalu berusaha menepati ikrar dan janjiku kepadaMu dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui betapa besar nikmat-nikmatMu yang tercurah kepadaku; dan aku tahu dan sadar betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Karenanya, ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”
Maula mencoba mengulang-ngulang bacaan sayyidul istighfar yang dibacakan gurunya;
Allahumma anta rabbi laa ilaha illa anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’udzubika min syarri ma shona’tu abu-u laka bini’matika ‘alaiyya wa abu-u bidzanbi faghfirli fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta
Tanpa terasa, air matanya menetes dipipinya, meresapi keindahan lafadz istighfar yang dicontohkan baginda Rasul, sambil menyelami maknanya yang demikian menyentuh dan menggetarkan hati…., Maula terus mengulang dan mengulang bacaan istighfar sambil menikmati indahnya istighfar.
Ki Bijak membiarkan Maula terus larut dalam kenikmatan dzikir, ia sendiri kemudian turut serta berdzikir dengan membaca istighfar………………….”
Wassalam
November 2010.
No comments:
Post a Comment