Wednesday, October 27, 2010

SEBUAH HIKMAH

“Ternyata memang bukan Mbah Maridjan sipemilik dan pemilihara gunung merapi ya ki, tapi Allah jualah pemilik dan Dzat yang maha berkuasa atas segalanya, terbukti kakek yang arif itu pun tidak kuasa meredam meletusnya gunung merapi…………” Kata Maula, dengan nada prihatin mendengar berita meninggalnya sosok yang selama ini dikenal sebagai juru kunci gunung merapi.

“Ya Nak Mas…., Aki juga prihatin dengan banyaknya jumlah korban letusan gunung merapi kali ini……” Kata Ki Bijak tidak kalah prihatin.

“Kabar terakhir, sudah dua puluh delapan jenazah ditemukan ki……, yaa Allah, semoga ini bukan sebentuk kemurkaan_Mu atas kelalaian kami dalam mengabdi kepada_Mu……” Kata Maula pelan.

Ki Bijak menghela nafas panjang mendengar kata-kata Maula, “Rasanya memang agak berat bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini bukan sebentuk teguran yang sangat keras dari Allah kepada kita Nak Mas, belum lagi kering air mata duka yang membasahi bumi papua dengan banjir bandang wasior, kini gempa bumi dan tsunami juga menambah luka dibumi mentawai sana, bertambah pedih dengan luluh lantaknya sebagai wilayah disekitar gunung merapi….., Aki tidak menemukan padanan kata lain untuk menggambarkan semua yang terjadi sekarang ini selain teguran dari Allah Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.

Maula menghela nafas panjang sebagaimana gurunya, “Iya ki….., ana merasa sudah sedemikian nyata ‘peringatan’ yang Allah berikan untuk mengingatkan kita ya ki…..” Kata Maula lagi.
“Ya Nak Mas, semoga Allah membukakan pintu hikmah dari apa yang sekarang terjadi, sehingga kita bisa belajar untuk memperbaiki diri, memperbaiki kesalahan-kesalan kita, sebelum semuanya menjadi terlambat……” Kata Ki Bijak.

“Semoga ki, dan dalam kejadian meletusnya gunung merapi ini, hikmah apa yang bisa kita ambil ki….?” Tanya Maula.

Ki Bijak diam sesaat, “Pertama, mungkin kita bisa berintrospeksi diri, bahwa bukan Mbah Maridjan atau pun mahluk lain yang menguasai dan pemilik gunung atau apapun dimuka bumi ini, tapi Allah, Allah-lah yang menciptakan gunung, Allah-lah yang memeliharanya, dan Allah pulalah yang maha berkuasa atas apapun yang akan dan harus terjadi pada gunung itu, maka sudah saatnyalah kita menata kembali keimanan kita, untuk tidak bergantung kepada sesama mahluk, untuk tidak meyakini hal-hal yang tahayul dan mistik, Aki khawatir setan akan memanfaatkan kelengahan kita untuk kemudian mengelincirkan akidah kita dari tauhid yang benar……” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kasihan Mbah Maridjan, mungkin beliau tidak pernah mengatakan bahwa ia berkuasa atau tahu semua hal ikhwal gunung merapi, apalagi memiliki kekuasan untuk menunda atau mempercepat letusan gunung, tapi hanya karena keyakinan yang ‘salah’ pada sebagian orang, orang tua bijak ini kemudian disangkut pautkan dengan banyak hal mengenai meletusnya gunung merapi…..” Kata Maula.

“Iya Nak Mas, tidak bijak rasanya kalau kemudian kita ‘menyalahkan’ Mbah Mardijan yang tidak mau mengungsi karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya, kitalah yang harusnya bisa berfikir jernih dan memilah apa yang terbaik bagi kita…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki…..” Kata Maula pendek.

“Hal kedua yang Aki lihat adalah bagaimana sebagian orang tidak mau diungsikan dengan alasan mereka harus menjaga harta mereka, mereka harus menjaga ternak mereka, mereka harus menjaga sawah dan ladang mereka, sehingga ketika kemudian gunung merapi meletus, sebagian mereka tidak sempat lagi untuk menyelamatkan diri……”

“Ini sebuah simbol atau pelajaran bagi kita Nak Mas, bahwa kadang harta kita, ladang kita, sawah kita, ternak kita, dan materi duniawi justru membuat kita tidak dapat berfikir dengan bijak, kita lebih mementingkan ‘dunia dan materi’ yang sedikit ini, dengan mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu nyawa kita….” Kata Ki Bijak.

“Memang benar adanya bahwa kematian pasti datang, letusan gunung, kemudian awan panas dan debu vulkanik hanyalah wasilah datangnya ajal yang telah Allah tentukan bagi setiap mahluk, tapi dari sana pula, terdapat pelajaran bahwa kita tidak boleh ‘mencintai’ dunia dengan gelap mata, ada hal-hal lain yang jauh lebih berharga yang harus kita ‘selamatkan’ yakni kehidupan kita yang lebih luas, kehidupan akhirat kita……” Kata Ki Bijak lagi.

“Dunia ini laksana ini Nak Mas…….” Kata Ki Bijak melanjutkan pituturnya, sambil memperlihatkan batu kecil kepada Maula.

“Dunia seperti batu ini ki….?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, dunia ini kecil seperti batu ini,hanya kita menempatkannya persis didepan pelupuk mata kita seperti ini…” Kata Ki Bijak sambil menempatkan batu kecil persis didepan matanya.

“Dengan posisi batu kecil seperti ini, Aki tidak dapat melihat apapun yang ada didepan Aki kecuali batu kecil ini, pun ketika kita menempatkan dunia ini sangat dekat dengan kita, fikiran kita, hati kita, motivasi kita, akan cenderung tertutup oleh urusan dunia yang ‘kecil’ dan justru lalai terhadap urusan akhirat yang jauh lebih besar yang lebih penting………” Kata Ki Bijak.

Maula mengambil batu kecil dan menirukan gurunya, menempatkan batu kecil itu tepat didepan pelupuk matanya, “Benar ki…., dengan batu sekecil ini didepan mata ana, ana bahkan tidak bisa melihat Aki yang tepat berada didepan ana….” Kata Maula.

“Sekarang coba Nak Mas agak jauhkan posisi batu itu dari mata Nak Mas, apa yang Nak Mas lihat sekarang…?” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana bisa melihat lebih luas ki….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, manakala kita menempatkan dunia pada proporsi yang benar, maka kita akan melihat sesuatu yang lebih luas, lebih indah……” Kata Ki Bijak.

“Ya Ki….” Jawab Maula.

Bersambung…insya Allah.
Wassalam
October 27,2010

No comments:

Post a Comment