Wednesday, October 20, 2010

KETIKA BENCANA YANG BICARA

“Astagfirullahal adzim……, banyak banget ya ki…..” kata Maula

“Apanya yang banyak Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.

“Ini ki, menurut sebuah sumber, wilayah Negara kita ini, selama kurun waktu 13 tahun terakhir, dari tahun 1997 hingga tahun 2008 saja, telah dilanda bencana kurang lebih sekitar 6,632 kali, dimana tahun 2008 menjadi tahun yang paling banyak mengalami bencana yakni sebanyak 1.302 kali, dari seluruh catatan bencana itu, banjir merupakan bencana yang paling sering dialami Negara kita, yakni mencapai angka 35%, disusul kemudian kekeringan sebanyak 18%, tanah longsor, angin topan dan kebakarang masing-masing 11%, sebuah angka yang membuat bulu kuduk ana merinding membacanya ki……” Kata Maula.

Ki Bijak menarik nafas dalam-dalam, berat sekali rasanya ia mendengar rangkaian bencana demi bencana yang datang silih berganti, hujan yang harusnya menjadi rahmat, justru menjadi banjir, kemarau yang mestinya bermanfaat bagi manusia, justru lebih sering menimbulkan kekeringan, kebakaran dan lainnya…..;

“Mungkin inilah saat yang digambarkan oleh al qur’an sebagai telah nampaknya kerusakan didaratan dan dilautan karena ulah tangan manusia yang ‘nakal’….; kata Ki Bijak sambil mengutip ayat 41 dari surat Ar-rum;


41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


“Iya ki, belum lagi kalau ditambah dengan bencana yang terjadi ditahun 2009 dan 2010, baru kemarin bencana banjir bandang melanda kota Wasior di tanah Papua, korban meninggal 152 orang, dan masih banyak korban yang belum ditemukan, belum lagi yang luka, kehilangan tempat tinggal, kehilangan tempat ibadah dan lainnya…..; Maula tidak melanjutkan kata-katanya, tenggorokannya terasa tercekat.

Kembali Ki Bijak menarik nafas dalam-dalam, “Aki hanya sedikit menyayangkan sikap kita dalam menyikapi ‘teguran-teguran’ ini, kita lebih banyak berkubang dan terjebak dalam hitungan angka korban, berapa jumlah kerugian materi, berapa rumah yang rusak, dan kalau ada yang lebih, hanyalah perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi, itu saja……,

“Kita tidak pernah beranjak lebih jauh untuk mempelajari hikmah apa yang ada dibalik semua musibah ini, Tsunami Aceh yang demikian besar, dengans sedemikian banyak ‘ayat-ayat’ Allah yang terpampang disana, tertelan dan terlupakan sedemikian cepat, tidak ada pelajaran apapun yang kita ambil dari kejadian itu…;

“Kemudian, gempa jogya yang tak lama berselang, kembali hanya hitung-hitungan diatas kertas mengenai jumlah korban dan kerugian materi yang diderita…;selebihnya kembali kita lupa…;

“Kemudian lagi tanah longsong di Sukabumi, gempa bumi di Padang, lumpur Lapindo dan yang terakhir banjir bandang di Wasior, kembali hanya menjadi komoditi berita dan hitung-hitungan diatas kertas mengenai jumlah korban dan jumlah kerugian materi…….,

“Kalau dengan tsunami Aceh kita tidak bisa diingatkan, kalau dengan gempa padang kita masih mudah lupa, kalau dengan banjir bandang Wasior kita pun melupakannya begitu saja, Aki khawatir, dan kita patut khawatir, Allah akan ‘mengingatkan’ kita dengan sesuatu yang lebih besar dari semua yang pernah selama ini……” Kata Ki Bijak dengan nada penuh keprihatinan.

“Naudzubillah min dzalik ki, kalau ada bencana yang lebih besar dari Tsunami Aceh atau gempa bumi Padang, seperti apa lagi, ana tidak sanggup membayangkannya ki……” Kata Maula.

“Karenanya, sekarang saatnya lah kita mentafakuri kalimat terakhir dari ayat tadi, bahwa dikembalikannya sebagian akibat dari ulah tangan manusia itu adalah “agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”, maka mari kita segera kembali kejalan yang benar, kembali ke jalan lurus yang Allah bentangkan melalui contoh dan teladan Rasulnya, melalui firman-firmannya di dalam Al qur’an…..” Kata Ki Bijak.

“Ki…., apakah perilaku kita sekarang ini sudah jauh dari tuntunan Allah dan contoh Rasul_Nya….?” Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum; “Kita tidak perlu jauh-jauh untuk dapat menemukan contoh betapa sudah jauhnya kita meninggalkan jalan lurus yang Allah bentangkan, mari kita tengok kedalam diri kita masing-masing, adakah kita sudah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah, misalnya dari keseharian kita, sudahkah kita shalat tepat waktu, sudahkan kita membayar zakat, lalu sudahkan kita bergaul dengan orang lain sesuai dengan kaidah dan tuntunan yang benar, sudahkan kita makan dan minum dari makanan yang halal, sudahkah kita mengkoreksi kalau-kalau ada rezeki yang tidak halal bercampur dalam pendapatan kita…, dan masih banyak pertanyaan lain yang dengan mudah kita bisa ajukan pada diri kita sendiri untuk mengukur dijalan mana kita berjalan sekarang ini…………” Kata Ki Bijak.

“Kalau kita mau jujur, pasti banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang sedikit banyak ‘menyimpang’ dari jalan Allah, waktu shalat kita semaunya, zakat yang harusnya kita tunaikan pun masih sekedahnya, cara bergaul kitapun sudah jauh dari tuntunan yang semestinya, belum lagi kalau kita berkaca dari bagaimana cara kita memperlakukan alam dan lingkungan kita, jauh dari kata bijaksana, kita lihat bagaimana kita dengan semena-mena memangkas gunung, bagaimana kita dengan tanpa pemikiran matang mengurug lautan, bagaimana kita mengekplorasi isi perut bumi dengan seenak kita, bagaimana kita dengan tanpa rasa bersalah kita mencemari tanah, air dan udara kita dengan berbagai hal yang sangat ‘menyakiti’ alam dan lingkungan kita…….., jadi rasanya wajar kalau teguran demi teguran selalu Allah alamatkan pada kita, selama kita tidak pernah hirau dengan kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita…..” Kata Ki Bijak lagi.

Maula nampak menghela nafas panjang, ia membenarkan apa yang barusan diuraikan gurunya, dan memang wajar kalau kemudian kita ‘ditegur’ dengan berbagai bencana karena memang kita selalu lupa atau melupakan setiap peringatan yang datang sebelumnya;

“Ki…., dari mana kita harus memulai untuk memperbaiki diri ki….?” Tanya Maula beberapa saat kemudian.

“Dari sini Nak Mas….?” Jawab Ki Bijak sambil menunjuk dadanya.

“Dari sini ki….?” Tanya Maula menirukan Ki Bijak yang menunjuk dadanya.

“Ya Nak Mas, kerusakan yang demikian nyata ini, adalah akibat ulah tangan-tagan manusia, dan tidaklah tangan-tangan itu akan membuat kerusakan jika hati yang ada didalam dada ini baik….” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat haditsnya…?” Tanya Ki Bijak kemudian.

“Iya Ki….Rasulullah bersabda “ Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati". (HR Bukhari dan Muslim).

Ki Bijak mengangguk, “Hati yang rusak, akan mendorong tangan untuk berbuat kerusakan, hati yang rusak, akan melangkahkan kaki ketempat kemaksiatan, hati yang rusak, akan mendorong keinginan tanpa batas, rakus, tamak, dan bahkan diluar batas-batas kewajaran, hati yang rusak, akan membuat anggota tubuh lainnya berbuat kerusakan, dan hal inilah yang dalam hemat Aki menajdi penyebab kerusakan-kerusakan yang ada, dan karenanya, hati ini pulalah yang harus segera diobati dan diperbaiki…..” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki.., kalau dalam hal penyakit dhahir, hampir semua orang aware, sekedar flu atau masuk angin pun, segera kedokter atau minum obat, tapi sangat jarang orang yang mengetahui bahwa hatinya sakit….., termasuk ana, mungkin juga tidak mengetahui secara persis apakah hati ana baik atau sakit…., lalu bagaimana mengetahui keadaan baik buruknya hati kita ki…..” Kata Maula.

“Hanya diperlukan sedikit ‘kejujuran’ kita untuk mengetahuinya Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

“Hanya dibutuhkan sedikit kejujuran kita ki…?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, hati yang sakit, akan selalu condong pada keburukan, seperti shalatnya malas, zakatnya enggan, kemasjid tidak jalan, menolong orang segan, dan selalu dipenuhi oleh angan kosong dan khalayalan, dan pastinya jauh dari mengingat Allah……, bukankah ini mudah untuk kita deteksi Nak Mas..?” Tanya Ki Bijak.

“Sebaliknya, hati yang sehat, selalu cenderung pada kebaikan, menikmati ibadah, dan selalu mengingat Allah dan setiap helaan nafas dan langkahnya……” Tambah Ki Bijak

Maula mengangguk tanda mengerti; “Allahumma ya muqallibal quluubi, tsabit qalbi alaa diinika wa ala ta’atika”. (Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku kepada dien/agama dan ketaatan kepada-MU); pintanya pada Allah beberapa saat kemudian

“Amiin…..” Ki Bijak mengamini.

Wassalam

October 2010

No comments:

Post a Comment