Thursday, March 5, 2009

JANGAN PERSEMPIT “REZEKIMU” SENDIRI

“Nak Mas perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la ini..........” Kata Ki Bijak sambil menyodorkan buku kumpulan hadits kepada Maula

Maula segera saja membaca apa yang diberikan gurunya, dan ia mendapati sebuah hadits yang berbunyi “Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati). (HR. Abu Ya'la)”


“Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati),……” Maula mengulang kata-kata yang terdapat dalam hadits tersebut.

“Benar Nak Mas, kekayaan seseorang tidak dapat diukur hanya karena ia memiliki penghasilan besar, kekayaan seseorang tidak dapat ditimbang hanya karena ia memiliki rumah bertingkat, kekayaan seseorang tidak dapat dipadankan dengan banyaknya deposito atau mobil yang berderet digarasinya, karena kekayaan hakiki adanya disini Nak Mas……..” Kata Ki Bijak sambil meletakan telunjuk tepat diulu hatinya.

Maula segera saja mengikuti arah telunjuk gurunya, “Kekayaan ada disini ki……?” Tanyanya kemudian.

“Kekayaan ada dihati kita Nak Mas, kekayaan ada dalam jiwa kita, dan seberapa besar kekayaan hati dan jiwa kita ini, akan berbanding lurus dengan seberapa besar rasa syukur kita terhadap semua karunia Allah swt kepada kita, seberapa besar kekayaan kita akan berbanding lurus dengan seberapa besar sikap qana’ah kita, rasa cukup kita terhadap semua pemberian Allah…….” Lanjut Ki Bijak.

Suasana menjadi hening sejenak, Maula terdiam, dia berusaha berdialog dengan bathinnya yang beberapa waktu belakangan ini dipenuhi dengan berbagai pertanyaan seputar bagaimana menjadi orang ‘kaya’, ia masih kerap diliputi keinginan untuk punya mobil, punya rumah dan memiliki penghasilan yang lebih besar, tapi…apa yang baru saja dituturkan gurunya justru sama sekali berbeda dengan definisi ‘kaya’seperti yang selama ini ia pikirkan.

“Nak Mas, tidak ada yang menyangkal bahwa dalam kehidupan kita ini, kita memerlukan uang, memiliki kendaraan dan rumah yang bagus juga bukan merupakan suatu kesalahan, hanya sekali lagi Aki tekankan jangan sampai keinginan-keinginan kita itu kemudian mempersempit ‘rezeki’ yang Allah berikan kepada kita…….” Kata Ki Bijak.

“Mempersempit rezeki ki…..?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, rezeki itu definisnya sangat luas, rezeki dapat berupa kesehatan jiwa dan raga kita, rezeki dapat berupa kesempatan, rezeki dapat berupa lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang jiwa kitam, rezeki dapat berupa anak-anak yang sholeh dan sholeha, rezeki dapat berupa istri yang shalehah, keluarga yang harmonis, atau dalam pengertian umum, rezeki dapat didefinisikan segala kebaikan yang kita terima dan kita rasakan, baik itu abstrak atau yang terlihat secara nyata, seperti kita tinggal dilingkungan alami yang bebas polusi, udara segar, air jernih serta sinar matahari yang menghangatkan, semuanya rezeki yang tidak ternilai dan tidak terhitung yang Allah karuniakan kepada kita…” Kata Ki Bijak.

“Dan karena ‘kebodohan’ kita, kita kemudian mempersempit rezeki itu dalam ruang yang sangat sempit dan terbatas, kita hanya tahu bahwa yang namanya rezeki itu uang, gaji besar dan materi yang berlimpah, itu terlalu sempit dan sangat mengecilkan arti rezeki itu sendiri…….” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, ana masih sering terjebak dalam konteks rezeki seperti itu....” Kata Maula.

“Itu alasan kenapa Nak Mas masih suka bingung ketika tidak punya uang kan....?” Kata Ki Bijak seperti menyelidik.

“Benar Ki, ana masih suka bingung kalau tidak punya uang untuk transpor ke kantor atau untuk keperlauan dapur dirumah.......” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “selama kebingungan itu masih dalam tahap wajar, tidak apa Nak Mas, Aki hanya pesan, jangan sampai kebingungan karena tidak punya uang itu melahirkan sikap kufur terhadap nikmat Allah, justru kondisi seperti itu harus disikapi secara dewasa, secara benar, untuk kemudian melahirkan rasa ketergantungan yang kita kepada Allah secara optimal......” Kata Ki Bijak.

“Ana masih belum mengerti ki.....” Kata Maula.

“Nak Mas sudah bekerja seharian untuk menjemput rezeki Allah, Nak Mas sudah menempuh perjalanan kurang lebih 100km sehari untuk tiba ditempat kerja, Nak Mas sudah berusaha bekerja dengan seluruh kemampuan Nak Mas, Nak Mas juga sudah berdoa dan memohon kepada Allah untuk diberikan berbagai kebaikan dalam kehidupan Nak Mas, dan kalau sampai sekarang apa yang telah Nak Mas lakukan belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan Nak Mas, artinya bahwa memang kita sebagai manusia, sebagai mahluk tidak memiliki kuasa apapun untuk menentukan besar kecilnya rezeki kita, artinya lagi kita harus menyadari sepenuhnya bahwa diatas segala ada Dia, ada Allah yang mengatur dan menakar karunia_Nya kepada siapa yang dikendaki_Nya...................” Kata Ki Bijak lagi.

“Nak Mas masih ingat dengan ayat Allah yang mengingatkan bahwa Allah_lah yang melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki_Nya..?” Tanya Ki Bijak sejurus kemudian.

“Ya ki............” kata Maula,sambil mengutip dua ayat dengan redaksi yang hampir sama;

37. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.


52. Dan Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.

“Dengan sangat jelas, dalam kedua ayat yang Nak Mas bacakan tadi, Allah Maha Berkuasa untuk melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki_Nya, tugas kita hanyalah ‘mengambil pelajaran’ dari tanda-tanda yang Allah berikan pada lapang dan sempitnya rezeki yang Allah berikan............” Kata Ki Bijak lagi.

“Nak Mas bisa memahami maksud Aki.....?” Tanya Ki Bijak, demi melihat Maula nampak hening mencermati ucapanya barusan.

“Eeeeh, pelajaran pertama mungkin seperti yang Aki sebutkan tadi ki, bahwa Allah_lah yang mengatur rezeki seseorang, bukan hanya karena pendidikan seseorang itu tinggi kemudian dia lantas kaya, atau bukan karena seseorang sudah bekerja sedemikian keras, kemudian ia menjadi berada, tapi diatas semua itu ada qudrat dan iradah Allah untuk memberikan karunia_Nya sesuai dengan kehendak_Nya..........”

“Pelajaran kedua yang ana bisa tangkap adalah bahwa kewajiban kita sebagai mahluk untuk melaksanakan syariat secara benar dan sempurna, sementara hasil yang akan diperoleh dari apa yang diusahakannya, semuanya hak prerogatif Allah Yang Maha Berkendak......” sambung Maula.

“Nak Mas benar, pertama kita harus meyakini bahwa qudrat dan iradah Allah pasti berlaku kepada setiap mahluk, dan yang kedua, sunnatullah juga niscaya adanya, barang siapa telah berusaha dengan baik dan benar, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan apa yang telah diusahakannya itu, kita tidak perlu takut Allah tidak memberikan ‘upah’ atas apa yang kita upayakan, dan yang jauh lebih penting lagi, ketika kita sudah memiliki sandaran vertikal yang benar, insya Allah kita tidak akan bersedih apalagi putus asa, manakala usaha kita belum memberikan hasil seperti haparan kita, pun sebaliknya ketika kita berhasil mendapatkan apa yang kita harapkan, kita tidak menjadi lupa diri karenanya, karena kita tahu, kedua-duanya, berhasil atau tidaknya usaha kita, sudah diatur oleh Sang Maha Pengatur yang Maha Adil lagi Bijaksana..............” Tambah Ki Bijak.

“Aaaah..., lega rasanya dada ini ki, semoga ana bisa tetap semangat untuk menyempurnakan ihtiar ana, dan semoga pula ana bisa lebih bersyukur, sabar dan tawakal menjalani apa yang telah Allah gariskan ini..........” Kata Maula sambil menghirup nafas dalam-dalam.

“Itulah sikap terbaik yang bisa kita lakukan, dan Aki percaya Nak Mas bisa menjalaninya dengan baik...............” Balas Ki Bijak.

“Amiin...”

Wassalam

February 13,2009

No comments:

Post a Comment