Thursday, March 5, 2009

JANGAN PERSEMPIT “REZEKIMU” SENDIRI

“Nak Mas perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la ini..........” Kata Ki Bijak sambil menyodorkan buku kumpulan hadits kepada Maula

Maula segera saja membaca apa yang diberikan gurunya, dan ia mendapati sebuah hadits yang berbunyi “Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati). (HR. Abu Ya'la)”


“Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati),……” Maula mengulang kata-kata yang terdapat dalam hadits tersebut.

“Benar Nak Mas, kekayaan seseorang tidak dapat diukur hanya karena ia memiliki penghasilan besar, kekayaan seseorang tidak dapat ditimbang hanya karena ia memiliki rumah bertingkat, kekayaan seseorang tidak dapat dipadankan dengan banyaknya deposito atau mobil yang berderet digarasinya, karena kekayaan hakiki adanya disini Nak Mas……..” Kata Ki Bijak sambil meletakan telunjuk tepat diulu hatinya.

Maula segera saja mengikuti arah telunjuk gurunya, “Kekayaan ada disini ki……?” Tanyanya kemudian.

“Kekayaan ada dihati kita Nak Mas, kekayaan ada dalam jiwa kita, dan seberapa besar kekayaan hati dan jiwa kita ini, akan berbanding lurus dengan seberapa besar rasa syukur kita terhadap semua karunia Allah swt kepada kita, seberapa besar kekayaan kita akan berbanding lurus dengan seberapa besar sikap qana’ah kita, rasa cukup kita terhadap semua pemberian Allah…….” Lanjut Ki Bijak.

Suasana menjadi hening sejenak, Maula terdiam, dia berusaha berdialog dengan bathinnya yang beberapa waktu belakangan ini dipenuhi dengan berbagai pertanyaan seputar bagaimana menjadi orang ‘kaya’, ia masih kerap diliputi keinginan untuk punya mobil, punya rumah dan memiliki penghasilan yang lebih besar, tapi…apa yang baru saja dituturkan gurunya justru sama sekali berbeda dengan definisi ‘kaya’seperti yang selama ini ia pikirkan.

“Nak Mas, tidak ada yang menyangkal bahwa dalam kehidupan kita ini, kita memerlukan uang, memiliki kendaraan dan rumah yang bagus juga bukan merupakan suatu kesalahan, hanya sekali lagi Aki tekankan jangan sampai keinginan-keinginan kita itu kemudian mempersempit ‘rezeki’ yang Allah berikan kepada kita…….” Kata Ki Bijak.

“Mempersempit rezeki ki…..?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, rezeki itu definisnya sangat luas, rezeki dapat berupa kesehatan jiwa dan raga kita, rezeki dapat berupa kesempatan, rezeki dapat berupa lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang jiwa kitam, rezeki dapat berupa anak-anak yang sholeh dan sholeha, rezeki dapat berupa istri yang shalehah, keluarga yang harmonis, atau dalam pengertian umum, rezeki dapat didefinisikan segala kebaikan yang kita terima dan kita rasakan, baik itu abstrak atau yang terlihat secara nyata, seperti kita tinggal dilingkungan alami yang bebas polusi, udara segar, air jernih serta sinar matahari yang menghangatkan, semuanya rezeki yang tidak ternilai dan tidak terhitung yang Allah karuniakan kepada kita…” Kata Ki Bijak.

“Dan karena ‘kebodohan’ kita, kita kemudian mempersempit rezeki itu dalam ruang yang sangat sempit dan terbatas, kita hanya tahu bahwa yang namanya rezeki itu uang, gaji besar dan materi yang berlimpah, itu terlalu sempit dan sangat mengecilkan arti rezeki itu sendiri…….” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, ana masih sering terjebak dalam konteks rezeki seperti itu....” Kata Maula.

“Itu alasan kenapa Nak Mas masih suka bingung ketika tidak punya uang kan....?” Kata Ki Bijak seperti menyelidik.

“Benar Ki, ana masih suka bingung kalau tidak punya uang untuk transpor ke kantor atau untuk keperlauan dapur dirumah.......” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “selama kebingungan itu masih dalam tahap wajar, tidak apa Nak Mas, Aki hanya pesan, jangan sampai kebingungan karena tidak punya uang itu melahirkan sikap kufur terhadap nikmat Allah, justru kondisi seperti itu harus disikapi secara dewasa, secara benar, untuk kemudian melahirkan rasa ketergantungan yang kita kepada Allah secara optimal......” Kata Ki Bijak.

“Ana masih belum mengerti ki.....” Kata Maula.

“Nak Mas sudah bekerja seharian untuk menjemput rezeki Allah, Nak Mas sudah menempuh perjalanan kurang lebih 100km sehari untuk tiba ditempat kerja, Nak Mas sudah berusaha bekerja dengan seluruh kemampuan Nak Mas, Nak Mas juga sudah berdoa dan memohon kepada Allah untuk diberikan berbagai kebaikan dalam kehidupan Nak Mas, dan kalau sampai sekarang apa yang telah Nak Mas lakukan belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan Nak Mas, artinya bahwa memang kita sebagai manusia, sebagai mahluk tidak memiliki kuasa apapun untuk menentukan besar kecilnya rezeki kita, artinya lagi kita harus menyadari sepenuhnya bahwa diatas segala ada Dia, ada Allah yang mengatur dan menakar karunia_Nya kepada siapa yang dikendaki_Nya...................” Kata Ki Bijak lagi.

“Nak Mas masih ingat dengan ayat Allah yang mengingatkan bahwa Allah_lah yang melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki_Nya..?” Tanya Ki Bijak sejurus kemudian.

“Ya ki............” kata Maula,sambil mengutip dua ayat dengan redaksi yang hampir sama;

37. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.


52. Dan Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.

“Dengan sangat jelas, dalam kedua ayat yang Nak Mas bacakan tadi, Allah Maha Berkuasa untuk melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki_Nya, tugas kita hanyalah ‘mengambil pelajaran’ dari tanda-tanda yang Allah berikan pada lapang dan sempitnya rezeki yang Allah berikan............” Kata Ki Bijak lagi.

“Nak Mas bisa memahami maksud Aki.....?” Tanya Ki Bijak, demi melihat Maula nampak hening mencermati ucapanya barusan.

“Eeeeh, pelajaran pertama mungkin seperti yang Aki sebutkan tadi ki, bahwa Allah_lah yang mengatur rezeki seseorang, bukan hanya karena pendidikan seseorang itu tinggi kemudian dia lantas kaya, atau bukan karena seseorang sudah bekerja sedemikian keras, kemudian ia menjadi berada, tapi diatas semua itu ada qudrat dan iradah Allah untuk memberikan karunia_Nya sesuai dengan kehendak_Nya..........”

“Pelajaran kedua yang ana bisa tangkap adalah bahwa kewajiban kita sebagai mahluk untuk melaksanakan syariat secara benar dan sempurna, sementara hasil yang akan diperoleh dari apa yang diusahakannya, semuanya hak prerogatif Allah Yang Maha Berkendak......” sambung Maula.

“Nak Mas benar, pertama kita harus meyakini bahwa qudrat dan iradah Allah pasti berlaku kepada setiap mahluk, dan yang kedua, sunnatullah juga niscaya adanya, barang siapa telah berusaha dengan baik dan benar, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan apa yang telah diusahakannya itu, kita tidak perlu takut Allah tidak memberikan ‘upah’ atas apa yang kita upayakan, dan yang jauh lebih penting lagi, ketika kita sudah memiliki sandaran vertikal yang benar, insya Allah kita tidak akan bersedih apalagi putus asa, manakala usaha kita belum memberikan hasil seperti haparan kita, pun sebaliknya ketika kita berhasil mendapatkan apa yang kita harapkan, kita tidak menjadi lupa diri karenanya, karena kita tahu, kedua-duanya, berhasil atau tidaknya usaha kita, sudah diatur oleh Sang Maha Pengatur yang Maha Adil lagi Bijaksana..............” Tambah Ki Bijak.

“Aaaah..., lega rasanya dada ini ki, semoga ana bisa tetap semangat untuk menyempurnakan ihtiar ana, dan semoga pula ana bisa lebih bersyukur, sabar dan tawakal menjalani apa yang telah Allah gariskan ini..........” Kata Maula sambil menghirup nafas dalam-dalam.

“Itulah sikap terbaik yang bisa kita lakukan, dan Aki percaya Nak Mas bisa menjalaninya dengan baik...............” Balas Ki Bijak.

“Amiin...”

Wassalam

February 13,2009

KIKIR ITU ‘PENYAKIT’

“Kikir itu penyakit Nak Mas....” Kata Ki Bijak.

“Kikir itu penyakit ki....?” Tanya Maula, mengulang pernyataan gurunya.

“Benar Nak Mas, kikir, pelit dan teman-temanya itu merupakan penyakit, dan sumber penyakit bagi mereka yang mengidapnya.....” Tambah Ki Bijak.

“Ana masih belum paham ki.....” Kata Maula.

“Begini Nak Mas, dalam harta kita, sekali lagi Aki ulangi dalam harta yang kita usahakan, terdapat hak-hak orang lain yang harus kita tunaikan, disana ada hak fakir miskin, disana ada hak dhuafa, dan masih banyak lagi kewajiban yang harus kita tunaikan dari karunia rezeki yang Allah amanahkan kepada kita.....” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki.....?” Tanya Maula.

“Lalu ketika kita tidak mengeluarkan apa yang menjadi hak orang lain atas harta kita, itu sama seperti orang yang makan terus menerus, tapi tidak mau mengeluarkannya karena merasa sayang dengan harga makanan yang mahal, menurut Nak Mas, orang semacam ini akan sehat atau sakit....?” Tanya Ki Bijak.

“Waah tentu orang semacam ini akan mengalami sakit perut ki, betapapun mahal dan enaknya makanan, kalau tidak dikeluarkan secara teratur, akan menjadi sumber penyakit bagi orang tersebut....” Kata Maula.

“Ya seperti itu Nak Mas, analoginya mungkin tidak terlalu bagus, tapi itulah kenyataanya, bahwa harta yang Allah karuniakan kepada kita, tapi kemudian kita tidak membelanjakannya secara teratur dijalan Allah dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kita kepada orang lain, akan menjadi sumber penyakit bagi pemiliknya...,

“Ia akan dijangkiti penyakit ‘loba dunia’ atau cinta dunia yang berlebihan, ia selalu berlomba-lomba mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, sehingga ia lupa untuk mengingat Allah...,

“Kemudian orang kikir juga sangat berpotensi dijangkiti penyakit asosial, penyakit yang membuat pengidapnya takut untuk bermasyarakat, ia menjadi takut bergaul dengan lingkungannya karena takut dimintai sumbangan, ia menjadi takut kemasjid karena takut diminta menjadi donatur, ia selalu diliputi ketakutan kalau-kalau hartanya berkurang karena harus menolong orang lain, dan ini penyakit yang sangat berbahaya, karena ketika hatinya sudah dipenuhi kekikiran, kualitas akidah dan keimannanya menjadi rentan dan patut dipertanyakan..............” Kata Ki Bijak panjang lebar.

“Hati yang kikir dapat mempengaruhi kualitas akidah dan keimanan seseorang ki...?” Tanya Maula

“Tidakkah Nak Mas tahu hadits yang diriwayatkan oleh Aththalayisi ‘Tidak akan berkumpul dalam hati seorang hamba kekikiran dan keimanan’; yang dalam hemat Aki, hal itu benar adanya; tidak mungkin orang yang imannya baik akan kikir terhadap sesamanya; tidak mungkin orang yang imannya bagus, mengklaim bahwa hartanya adalah haknya semata; hanya orang-orang yang imannya dalam tanda tanya sajalah yang sanggup berbuat kikir; karena dia tidak meyakini bahwa harta yang ada padanya hanya titipan dan amanah dari Allah swt untuk digunakan sesuai dengan titah_Nya…..” kata Ki Bijak.

“Benar Ki….” Guman Maula pendek.

“Selain itu, kikir juga menjadi salah satu asbab kehancuran umat-umat terdahulu; Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda‘ Jauhilah kekikiran, sesungguhnya kekikiran itu telah rnembinasakan (umat-umat) sebelum kamu’, al qur’an mengabadikan kisah kehancuran Qorun yang membangga-banggakan hartanya; kemudian ditenggelamkan oleh Allah swt; tidakkah kita bisa memetik pelajaran dari kisah Qorun….?” Kata Ki Bijak setengah bertanya.

“Iya ki, lagi pula kita tidak diperintahkan untuk mengeluarkan seluruh harta kita, hanya sebagian kecil saja, zakat saja hanya 2.5% ya ki….” Kata Maula.

“2.5% zakat bukan nilai yang besar bagi mereka yang mengimani bahwa rezekinya adalah amanah dari Allah; sebaliknya, 2.5% akan nampak sedemikian besar, jika mereka hanya berfikir bahwa hartanya semata karena kerja keras dan karena kepandaiannya, jadi kikir tidaknya seseorang akan berbanding lurus dengan kualitas keimanan seseorang…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Ki, kalau ada orang yang rajin shalat tapi tidak zakat, bagaimana ki….?” Tanya Maula.

“Alhamdulillah dia masih shalat, tapi sejauh ini Aki belum menemukan orang yang shalatnya benar, tapi tidak zakat, yang ada adalah mereka yang pura-pura rajin shalat, dan kemudian ia tidak zakat, itu memang benar adanya Nak Mas…….” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, terlebih kalau kita menyimak ayat al qur’an yang hampir selalu menggandengkan perintah shalat dengan perintah zakat dan sedekah, mestinya orang yang shalatnya benar, benar pula cara ia membelanjakan hartanya sesuai dengan perintah Allah……..” kata Maula sambil mengutip beberapa ayat al qur’an;


43. Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'[44].

[44] yang dimaksud ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.


83. ………….Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.


“Ada sekian banyak makna dibalik penggabungan perintah shalat dan zakat seperti pada ayat yang Nak Mas baca tadi; wallahu’alam, bagi kita yang awam ini, cukuplah melaksanakan kedua perintah itu dengan sebaik mungkin dulu, dirikan shalatnya, dan tunaikan zakatnya, insya Allah, kelak dikemudian hari kita akan mendapati hikmah dari apa yang Allah perintahkan tersebut; jangan sampai kita sibuk mencari arti harfiahnya dulu, sementara kita lupa untuk melaksanakan perintahnya……” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, lagian kalau difikir secara sehat, untuk apa kita ngumpulin harta sedemikian banyak hingga lupa hak orang lain, toh harta itu tidak dibawa mati ya ki….” Kata Maula.

“Memiliki harta yang banyak tidak salah Nak Mas, hanya yang harus benar-benar diingat, jangan pernah menjadikan harta sebagai tujuan, tapi jadikan harta kita sebagai alat untuk mencapai ridha Allah, dengan harta kita bisa berderma untuk mencari ridha Allah, dengan harta kita bisa menyantuni fakir miskin, dhuafa, untuk mencari ridha Allah, ketanah sucipun kita perlu uang, dan masih banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk mencapai ridha Allah dengan harta yang Allah amanahkan pada kita, tinggal bagaimana kitanya saja, apakah kita mampu mengendalikan harta kita atau justru kita yang diperbudak oleh harta dan dunia kita……” Kata Ki Bijak.

“Ini yang sangat sulit ki, ketika masih belum memiliki harta, kita bisa berfikir seperti itu, tapi kadang ditengah jalan, kita justru menjadi budak harta, sampai sekarang pun ana masih bisa dengan mudah menemukan contoh-contoh mereka yang menurut ana diperbudak hartanya, ana sering melihat orang yang harus hujan-hujanan mencuci mobilnya yang kotor tanpa peduli adzan maghrib berkumandang, ia lebih memilih mobilnya daripada memenuhi panggilan Allah untuk shalat……” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, godaan harta itu luar biasa besar, makanya Nak Mas harus tetap bersyukur kalau sekarang Nak Mas belum diamanahi kendaraan, mungkin karena Allah tidak ingin melihat Nak Mas terjebak menjadi budak mobil seperti contoh orang yang Nak Mas ceritakan tadi….” Kata Ki Bijak.

“Iya juga sih ki, mungkin pondasi keimanan ana masih dinilai ‘lemah’ oleh Allah, sehingga Allah belum memberi kepercayaan kepada ana untuk memiliki mobil……” kata Maula.

“Berfikir positif seperti itu jauh lebih baik daripada kita mempertanyakan kebijakan Allah,Nak Mas, pasti selalu ada hikmah, pasti selalu ada kebaikan dibalik sesuatu yang tidak kita sukai, bukalah mata hati Nak Mas seluas-luasnya untuk dapat memahami dan memaknai setiap pemberian Allah kepada Nak Mas, insya Allah Nak Mas akan menjadi orang yang pandai bersyukur, tidak kikir, tidak pelit apalagi sampai mengabaikan kewajiban zakat, naudzubillah…..” kata Ki Bijak.

“Iya ki…..” Kata Maula

“Dan satu lagi Nak Mas, bahagia itu ada disini, bukan pada harta yang banyak…..” Kata Ki Bijak sambil menunjuk dadanya, dan sambil mengutip hadits;

“Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati). (HR. Abu Ya'la)”

“Iya ki, terima kasih ki……” kata Maula sambil menyalami gurunya.

Wassalam

February 25, 2009

OTAK KITA BUKAN KERANJANG SAMPAH

“Nak Mas tahu apa saja isi keranjang sampah...?” Tanya Ki Bijak memulai sebuah percakapan.

“Ada tissue bekas, ada makanan sisa, ada plastik kotor, ada sisa buah, ada daging busuk dan kertas-kertas yang tidak terpakai ki......” Jawab Maula.

“Dan Nak Mas tahu apa yang akan terjadi ketika semua isi keranjang sampah itu tidak segera diangkat dan dibersihkan...?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Tentu akan menimbulkan bau tidak sedap ki, bahkan tumpukan sampah yang dibiarkan dalam waktu tertentu bisa menjadi sarang penyakit, karena akan banyak lalat yang datang dan pergi untuk kemudian menyebarkan penyakit, ada juga tikus,belatung dan lainnya.........” Jawab Maula lagi.

“Sekarang Nak Mas bayangkan apa yang akan terjadi dengan otak kita ini ketika otak kita ini dipenuhi dengan ‘sampah’, misalnya otak kita dipenuhi dengan gosip, otak kita dipenuhi dengan informasi yang tidak jelas, otak kita dipenuhi dengan bacaan vulgar, otak kita dipenuhi dengan fikiran-fikiran jahat dan kotor, kemudian lagi otak kita dipenuhi dengan potongan-potongan informasi yang berpotensi menimbulkan kebencian dan fitnah, Nak Mas bisa bayangkan hal itu terjadi pada otak seseorang....?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Waah, ana tidak bisa bayangkan hal itu terjadi pada otak seseorang ki, pasti fikirannya akan dipenuhi fikiran-fikiran kotor dan tidak produktif ya ki......” Jawab Maula.

“Nak Mas benar, otak kita akan menjadi kotor, berbau dan tidak produktif manakala otak kita dipenuhi sampah-sampah seperti yang Aki sebutkan tadi, indikasi otak yang hanya berisi sampah-sampah ini sangat jelas Nak Mas, karena output selalu berbanding lurus dengan inputnya, maka otak yang berisi sampah ini akan mengeluarkan perkataan dan pembicaraan yang tidak bermutu dari mulutnya, otak yang berisi sampah ini akan menampilkan citra diri yang kotor dalam perilakunya, matanya liar, bicaranya tidak terkontrol, sering menyakitkan perasaan orang lain, atau lebih senang berkata-kata pandir dan tidak berguna, bergurau dengan gurauan cabul dan sebagainya, karena memang bahan baku yang terdapat didalam otaknya merupakan sumber ‘penyakit’ bagi dirinya dan orang lain......” Kata Ki Bijak.

“Astaghfirullah...., ana jadi khawatir ki, karena sekarang ini banyak sekali ‘sampah-sampah’ yang berseliweran siap memenuhi otak kita, mulai dari media massa yang isinya tidak lebih dari bacaan dan gambar yang tidak mendidik, kemudian lagi di media TV yang hampir semua stasiunnya dengan bangga dan tanpa rasa bersalah, menyiarkan aneka gosip murahan, isu, mengekpose aib orang lain, praktek-praktek tidak terpuji seperti lawakan yang menghina fisik seseorang, tayangan yang tidak layak untuk ditonton dan sebagainya, yang celakanya acara semacam ini laris manis bak pisang goreng, kalau kita tidak pintar-pintar memilih dan memilahnya, bisa-bisa otak kita penuh dengan sampah-sampah itu ya ki......” Kata Muala.

“Beruntung dan bersyukurlah kalau kita masih menyadari betapa banyak sampah yang berpotensi merusak otak kita, Aki justru prihatin dengan mereka yang seakan tidak menyadari bahwa selama ini mereka mengkonsumsi racun-racun fikiran dan otaknya dengan saling berkirim gambar tak patut, dengan bercanda yang tidak berguna, dengan bacaan-bacaan iseng yang tiada bermanfaat, dengan informasi-informasi yang tidak jelas asal usulnya, dengan berbagai hal yang dapat mempersempit dan memperkeruh ruang fikir dan otaknya.....sangat disayangkan bahwa akal dan fikiran yang seharusnya digunakan untuk mentafakuri kebesaran Allah, justru digunakan untuk menampung hal-hal yang tidak berguna.................” Kata Ki Bijak.

“Mentafakuri kebesaran Allah dengan akal fikiran ki......?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, ada sekian banyak ayat al qur’an yang mengajak kita untuk berfikir dan mentafakuri tanda-tanda kebesaran Allah, dan tafakur yang benar, hanya mungkin dilakukan kalau fikiran kita jernih, fikiran kita terang, fikiran yang tidak tercemari oleh racun-racun yang merusaknya...., coba Nak Mas buka Al Qur;an itu, dan cari beberapa ayat yang mengajak kita untuk berfikir..........” kata Ki Bijak.

Maula segera saja mengambil al qur’an dari almari, dan mencari beberapa ayat yang dimaksud gurunya;

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(Ali Imran)


13. Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al Jaatsiyah)


42. Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah jiwa (orang) yang Telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan[1313]. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

[1313] Maksudnya: orang-orang yang mati itu rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati Hanya tidur saja, rohnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi.

Dengan cepat Maula menemukan beberapa ayat yang mengajak untuk berfikir.............

“Nak Mas perhatikan lagi, ‘Dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal’, kemudian ‘Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir’, lalu ‘Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah jiwa (orang) yang Telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir’, dari ketiga ayat ini saja, dengan sangat jelas kita diharuskan berfikir, kita dituntut untuk mengetahui siapa dibalik penciptaan langit dan bumi, siapa yang menundukan apa yang ada dilangit dan dibumi untuk kepentingan manusia, siapa yang menghidupkan dan mematikan, yang semuanya bermuara pada satu titik dimana kita harus mengenal Allah....., lalu mungkinkah pekerjaan maha besar ini dilakukan oleh sisa-sisa volume otak dan fikiran kita yang telah dipenuhi sampah...?” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, dengan full capacity saja, kita perlu waktu, perlu kesabaran dan ketekunan yang luar biasa untuk bisa mengenal Allah dengan benar, akan halnya kalau kita menggunakan sisa-sisa kapasitas akal dan fikiran kita untuk mengenal Allah, sepertinya jauh lebih sulit ya ki.....” Kata Maula.

“Hati, fikir dan rasa atau akal, serta seluruh indera kita, adalah seperangkat piranti yang disiapkan Allah untuk kita gunakan agar kita bisa mengenal_Nya, dan hanya piranti-piranti yang baik, bersih dan terjaga sajalah yang mampu berfungsi optimal untuk mencapai sasarannya, maka dari itu menjadi kewajiban kita untuk menjaga amanah itu dengan baik, dengan bersungguh-sungguh, dengan bertanggung jawab, karena semuanya akan dimintai pertanggung jawaban....”

“Hati kita akan dimintai pertanggung jawaban, untuk apa ia digunakan....”
“Fikiran kita akan dimintai pertanggung jawaban, untuk apa ia digunakan...”
“Tangan kita, kaki kita, mata kita, mulut kita, bahkan kulit kita akan memberikan kesaksian dihadapan mahkamah Allah tentang apa yang telah kita perbuat, tidak akan ada dusta disana, tidak akan ada manipulasi disana, karenanya, agar kita bisa mempertanggung jawabkan semua amanah kita, kita harus memulainya dari sekarang.....”

“Dengan menjaga hati kita dari berbagai penyakit yang mungkin akan merusaknya, kita juga harus menjaga otak kita, fikiran dan akal kita dari berbagai virus yang dapat menggerogotinya, singkatnya jangan biarkan piranti pemberian Allah ini lapuk tidak terjaga, sehingga mengurangi atau bahkan merusak fungsinya........” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki..............., semoga ana bisa senantiasa menjaga dan membersihkan semua amanah dari Allah ini ya ki......” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas............” Kata Ki Bijak, sambil menyambut uluran tangan Maula yang hendak pamitan.

Wassalam

February 26, 2009

BAHAGIA, INSYA ALLAH CUKUP DENGAN ‘SAJUTA’

“Orang sunda bilang, untuk bahagia itu cukup dengan ‘Sajuta’, Nak Mas......” Kata Ki Bijak, menanggapi pertanyaan Maula mengenai kiat untuk menjadi bahagia.

“Bahagia cukup dengan sejuta ki..?” Ana masih bingung ki, jangankan dengan sejuta, orang yang memiliki penghasilan lebih dari sepuluh juta sebulan saja, masih banyak yang kebingungan, bagaimana mungkin hanya dengan sejuta kita bisa bahagia ki.....” Kata Maula penasaran.

Ki Bijak tersenyum, “Bukan sejuta Nak Mas, tapi SAJUTA, itu istilah sunda, sajuta kependekan dari Sabar, Jujur dan Tawakal, jadi maksud Aki tadi, orang akan bahagia jika ia bisa berlaku sabar, jujur dan tawakal dalam menjalani berbagai ujian dan kehidupan yang dijalaninya...,

“Orang yang sabar, memiliki maqam tersendiri disisi Allah; Nak Mas tahu ayat yang menyatakan Allah bersama orang yang sabar...?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki......, Jawab Maula, sambil membacakan ayat yang dimaksud gurunya.

146. Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah Karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran)

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqarah)

[99] ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.


“Sekarang jelas sudah kenapa orang sabar akan beroleh kebahagiaan, karena orang sabar disukai Allah, dan ketika Allah menyukai seseorang, maka tidak akan berarti kebencian mahluk terhadapnya, ia akan tetap menjadi orang yang bahagia.....”

“Dan ketika Allah beserta mereka yang sabar, apalagi yang bisa membuat orang itu sedih atau takut, karena ketika Allah selalu ‘bersamanya’, tiada suatu apapun yang dapat melemahkan atau menyedihkannya, dan mereka yang sabar inilah orang yang akan menemukan kebahagiaan.......” Sambung Ki Bijak.

“kemudian Jujur, seperti pernah kita pernah bicarakan beberapa waktu lalu, merupakan sebuah mutiara jaman yang tidak akan pernah lekang oleh waktu dan tidak luntur ditelan perputaran jaman, jujur akan tetap merupakan hal terindah dalam kehidupan, yang akan membuat orang memilikinya akan beroleh kebahagiaan, baik itu didunia, maupun kebahagiaan dinegeri akhirat kelak.......”

“Jujur, juga merupakan sifat utama dari para ambiya, juga merupakan sifat utama dari orang-orang pilihan Allah, jujur merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin hidupnya bahagia, jujur pada diri sendiri, jujur pada keluarga, jujur pada orang lain, dan terlebih harus jujur pada Allah.......” Kata Ki Bijak lagi.

“Jujur pada Allah ki...? Apakah mungkin kita ‘menipu Allah’ki....?’ Tanya Maula.

“Nak Mas perhatikan ayat ini.....” Kata Ki Bijak sambil menunjukan beberapa ayat dimaksud;


142. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[364]. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[365] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali[366]. [0]

[364] Maksudnya: Allah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
[365] riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.
[366] Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.


9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.

“Menipu Allah’itu maksudnya perbuatan orang munafik Nak Mas, mereka pura-pura memeluk agama islam, mereka pura-pura shalat, mereka pura-pura shaum, mereka pura-pura membayar zakat, pura-pura pergi ketanah suci, tapi semua amaliahnya tidak lebih dari kamuflase untuk menutupi belangnya, dan tentu orang seperti ini tidak akan pernah tahu bahwa Allah maha mengetahui segala tujuan dan niat amal perbuatannya....., dan ini yang dibahasakan dengan menipu Allah.......” Kata Ki Bijak.

“Oooh jadi penipu itu orang munafik ya ki....” kata Maula.

“Benar Nak Mas, dan jangan pernah berharap orang-orang semacam ini akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, ia niscaya akan senantiasa akan diliputi kegelisahan, keresahan dan perasaan bersalah yang selalu menderanya, ia akan sangat menderita, meski mungkin secara lahir ia dapat menutupi ketidak bahagiaanya itu dari pandangan dhahir orang lain......” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana mengerti ki......” kata Maula

“Dan tawakal.., merupakan sebuah kunci utama untuk memasuki gerbang kebahagiaan, karena Allah menjamin setiap mereka yang tawakal akan diberikan jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapinya, jika Allah yang memberi jalan keluar dari setiap kita, apalah lagi yang akan membuat kita sulit..?, Nak Mas masih ingat ayat yang menyatakan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan memberinya jalan keluar...?” Kata Ki Bijak.

“Iya ki....” Kata Maula sambil menyebut ayat dimaksud;

2. ........barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At Thalaq)


“Sajuta, Sabar, Jujur dan Tawakal..., bagus sekali ya ki akronimnya.......” Kata Maula, mengulang perkataan gurunya.

“Bagus dan penuh makna, itulah kepintaran orang-orang tua kita dulu, mereka pandai sekali menggunakan simbol-simbol untuk mempermudah kita mengambil pelajaran, sayangnya generasi kita sekarang ini cenderung ‘malas’ untuk bertanya makna dibalik simbol-simbol tersebut.....” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, kadang ada sebagian orang lebih senang mengambil kesimpulan dini tanpa lebih dulu menggali lebih dalam dari apa yang dipermasalahkan....., orang sekarang ini banyak yang merasa dirinya sudah jauh lebih pintar dari orang-orang terdahulu, padahal banyak juga arif billah dari orang-orang tua zaman dulu......” kata Maula.

“Aki bangga dengan pemikiran kritis dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh generasi Nak Mas sekarang ini, banyak diantara mereka yang hafal ribuan hadits bahkan hingga sanad dan perawinya, banyak diantara mereka hafidz al qur’an, dan masih banyak pengetahuan lain yang mereka dapatkan dari pendidikannya yang tinggi, mereka adalah aset-aset islam yang harus terus didukung dan dikembangkan, Aki hanya ingin daya kritis dan pengetahuan yang tinggi itu diimbangi dengan kebijakan dan kearifan sehingga bisa lebih berdaya guna bagi kemajuan dirinya khususnya, dan kemajuan islam pada umumnya......” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, dengan Sajuta, maka kau akan bahagia......” Maula mengulang-ngulang akronim dari gurunya, yang menurutnya sangat sederhana, mudah diingat, tapi penuh makna.

Wassalam

March 03,2008