“Nak Mas pernah perhatikan bagaimana seorang bayi ‘memenuhi’ kebutuhannya…?” Tanya Ki Bijak.
“Maksudnya Ki…?” Tanya Maula.
“Ketika bayi baru dilahirkan dan sampai beberapa bulan kemudian, seorang bayi belum bisa berbicara, belum bisa meminta, belum bisa makan sendiri, belum bisa mengganti popok sendiri, belum bisa mandi sendiri…., seorang bayi belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, dan Allah memberikan suatu alat atau sarana bagi setiap bayi untuk dapat memenuhi kebutuhannya….., yaitu tangisan…” Kata Ki Bijak.
“Allah memberikan alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhannya berupa tangis ki…? Tanya Maula masih belum mengerti.
“Ya Nak Mas…., dibalik ‘ketidakberdayaan’, seorang bayi diberi ‘kekuatan’ untuk dapat memenuhi kebutuhannya…..,
“Ketika seorang bayi merasa lapar, dia tidak pergi kedapur untuk mengambil makan, apalagi pergi kewarung sendiri untuk membeli makanan, cukup dengan menangis…, maka segera ibunya memberikan ASI untuknya….”
“Ketika seorang bayi merasa tidak nyaman karena popoknya basah, dia tidak pergi kekamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti popoknya, tapi cukup menangis, kemudian ibunya akan segera mengerti dan mengganti popoknya yang basah…”
“Ketika seorang bayi merasa lelah dari berbaringnya, ia tidak perlu bangun sendiri, cukup menangis, maka ibunya akan segera menggendongnya dengan penuh kasih sayang….”
“Ketika seorang bayi merasa gerah atau gatal, dia tidak perlu untuk berdiri dan menyalakan kipas angin, cukup menangis, maka ibunya segera mengerti dan mengipasinya….”
“Ternyata hanya dengan ‘bahasa tangisan’, semua kebutuhan bayi dipenuhi Allah dengan wasilah orang-orang disekitarnya…, ibunya, ayahnya, kakaknya, kerabatnya segera memperhatikan dan memenuhi kebutuhannya manakala bayi menangis…..” Kata Ki Bijak.
“Benar Ki….., semua kebutuhan bayi terpenuhi hanya dengan cara menangis……, tidak perlu kerja keras dan banting tulang, tidak perlu pergi pagi pulang malam, tapi cukup dengan meminta kepada Allah lewat tangisan, maka kebutuhannya akan dipenuhi….” Kata Maula.
“Pertanyaannya sekarang, kenapa setelah kita besar, setelah kita kuat, setelah kita mampu berjalan sendiri, setelah kita mampu berusahan sendiri, justru banyak diantara kita yang tidak mampu mencukupi kebutuhan kita, meski sudah banting tulang, meski pergi pagi buta dan pulang sudah tengah malam gulita…?” Tanya Ki Bijak.
Maula mengerutkan dahi, “Iya ya Ki…, semakin kita besar, fasilitas kemudahan yang Allah berikan ketika kita bayi, perlahan-lahan berkurang…” Kata Maula.
“Jawabannya karena kita tidak pernah lagi menangis dan meminta kepada Allah Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
“Kita tidak pernah lagi menangis dan meminta kepada Allah sehingga fasilitas kemudahan itu dicabut ki…?” Tanya Maula.
Ki Bijak mengangguk, ”Coba kita ingat-ingat lagi, setelah kita akil baligh, berapa kali kita menangis dan meminta kepada Allah untuk kebutuhan kita..?” Tanya Ki Bijak.
Maula terdiam sejenak, “Iya ya Ki…, hampir tidak pernah….” Kata Maula kemudian.
“Disitulah perbedaanya Nak Mas…, ketika bayi, ketika kita lemah, ketika kita tidak mempunyai daya dan kekuatan, kita menyeru Allah dengan tangisan…., tapi ketika kita sudah besar, ketika kita sudah merasa bisa melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kita, ketika kita merasa sudah pintar, ketika kita sudah merasa kuat, kita lebih mengedepankan otot dan kekuatan kita untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, kita cenderung melupakan kekuatan tangis kita untuk memohon kepada Allah….., padahal tidak akan ada yang membantah, bahwa tangisan kepada Allah adalah sebuah kekuatan dahsyat yang Allah berikan kepada kita sebagai sarana kita untuk meminta kepada Allah……” Kata Ki Bijak.
Maula diam sejenak, “Benar ki…., setelah besar, manusia cenderung ‘sombong’ karena merasa sudah memiliki kekuatan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan modal kekuatan otot dan otaknya…..; tapi ana pernah dengar juga Ki…, kalau kita berdoa sambil menangis itu dibilang cengeng dan childist…” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum; “Sayyidina Abu Bakar….., seorang sahabat yang banyak mengalami ujian dan cobaan kala mendampingi nabi, seorang yang tabah dan kuat, tapi toh beliau tetap mencucurkan air mata dihadapan Allah…., lalu ada yang berani mengatakan Abu Bakar cengeng?”
“Sayyidina Umar bin Khatab, seorang pahlawan penegak panji-panji islam, yang tidak pernah takut dan gentar berhadapan dengan musuh macam apapun, dan bahkan setanpun harus mencari jalan lain ketika berpapasan dengannya, toh tersedu-sedu ketika berhadapan dengan Allah, Umarpu menangis…, lalu siapa yang lancing berani mengatakan Umar cengeng.?”
“Sayyidina Ustman bin Affan….., seorang sahabat utama, seorang khalifah, seorang saudagar kaya raya, tetap terisak dihadapan Allah, apakah kemudian Ustman bin Affan dikatakan cengeng..?
“Sayyidina Ali bin abi thalib, ksatria perkasa yang tidak pernah mundur walau sejengkalpun dalam membela kejayaan islam, yang setiap musuh akan gemetar lututnya manakala harus berhadapan dengannya, juga bersimpuh dan bersimbah air mata kala berhadapan dengan Rabbnya, adakah Ali cengeng…?
“Ketabahan Abu Bakar, kegagahan Umar, kehebatan Ustman dan kejayaan Ali, justru mereka peroleh karena mereka selalu menangis dan meminta kepada Allah…..; karena dengan kerendahan hati itulah Allah menjadi pelindung dan penolongnya dalam setiap jengkal langkah hidupnya……” Kata Ki Bijak.
Maula mengangguk-angguk, “Benar ki…” Kata Maula.
“Kondisi kita sekarang ini berbanding terbalik dengan para pendahulu kita, kalau dulu para sahabat selalu menangis dihadapan Allah, tapi tampil perkasa ketika berhadapan dengan sesame manusia, dizaman sekarang ini, orang justru lebih banyak menangis dan menghiba kepada sesama manusia…;
“Ingin jabatan…, mengemis dan menangis pada atasan agar dinaikan jabatannya, sementara dihadapan Allah ia tetap menyombongkan diri dengan tidak mau beribadah kepadanya…”
“Ingin gaji besar…, memelas dan memohon dengan derai air mata buaya kepada sesama manusia, sementara ketika berhadapan dengan Allah, hatinya keras membatu….”
“Ingin harta, ingin mobil, ingin kekayaan, orang dizaman kita ini lebih cenderung menangis dan meminta kepada manusia, sementara ia menyombongkan diri dihadapan rabbnya….” Kata Ki Bijak.
“Malah kebalik ya ki…., Allah menjamin rezeki bayi karena kepasrahannya, tapi banyak orang justru menyombongkan diri karena merasa dirinya hebat,karena merasa dirinya kuat, merasa dirinya mampu….” Kata Maula.
“Tidak perlu malu ketika kita menangis dan meminta kepada Allah, justru kita harus malu ketika meminta dan menangis kepada sesama manusia….; menangis dan meminta kepada Allah adalah sumber kekuatan kita, sementara menangis dan meminta kepada manusia adalah sumber kehinaan kita…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Menangis dan meminta kepada Allah adalah sumber kekuatan kita, sementara menangis dan meminta kepada manusia adalah sumber kehinaan kita….., ana mengerti ki….., mintalah seperti bayi, menangislah kepada Allah dengan segenap kepasrahan dan ketundukan ya ki, bukan dengan angkuh dan kesombongan…..” Kata Maula.
“Benar Nak Mas….” Kata Ki Bijak mengakhiri perbincangan.
No comments:
Post a Comment