“Benar Nak Mas…, kemapanan juga sebuah ujian yang sangat berat…., banyak orang yang ‘lulus’ ketika diuji dengan ketidak pastian, tapi justru gagal ketika diuji dengan kemapanan…”
“Misalnya ketika masih karyawan kontrak, yang belum pasti diperpanjang atau tidaknya kontrak kita, shalatnya rajin, dhuhanya jalan, tahajudnya tiap malam…., tapi ketika sudah menjadi karyawan tetap, dengan gaji, dengan jaminan ia bisa kerja terus, mulailah shalatnya sedikit ketinggalan, mulai dhuhanya jarang-jarang, mulai tahajudnya ditinggalkan…..”
“Misalnya lagi ketika masih dirumah kontrakan, yang selalu membuat deg-degan karena takut telat bayar, banyak orang rajin berdoa kepada Allah, rajin ngaji, tapi begitu sudah punya rumah sendiri, mulai merasa bahwa ia merasa aman, merasa tidak perlu berdoa lagi, tidak ngaji lagi….;
“Pun dalam hal lainnya, ketika masih menjadi karyawan golongan rendah, ia sangat rendah hati, tapi begitu menjadi karyawan golongan atas, ia berubah menjadi tinggi hati…..”
“Pun ketika masih jadi bawahan, tutur katanya santun dan sopan, tapi begitu jadi atasan, kata-katanya pun mulai berubah, nadanya tinggi dan sering menyakitkan hati orang lain…..”
“Dan masih banyak lagi perubahan yang terjadi seiring dengan perubahan kondisi kemapanan seseorang, semakin mapan seseorang, maka ia merasa semakin merasa aman, sehingga sikap tawakalnya, sikap tergantungannya kepada Allah sedikit demi sedikit memdudar…..” Kata Ki Bijak.
“Benar Ki…., ana banyak melihat dan bahkan merasakan sendiri kondisi seperti itu, ketika ana merasa sudah berada dizona mapan, gaji dapat tiap bulan, tunjangan kesehatan, transportasi, bonus dan lainnya, ketika itulah ‘perasaan aman’ sedikit demi sedikit menggeser rasa ketergantungan ana pada Allah….., aah nanti akhir bulan gajian, aah nanti pertengahan tahun dapat bonus, aah tahun depan naik gaji lagi…., dan seterusnya, sehingga kemudian, ketika itu terjadi terus menerus dan bertahun-tahun, rasa aman dan mapan itu bukan timbul karena kita dekat dengan Allah, tapi rasa aman itu karena ana merasa punya ‘jaminan’ gajian dan bonus yang ‘pasti’ ana terima setiap bulannya…..” Kata Maula.
“Khilaf itu manusiawi Nak Mas…., dan syukur Alhamdulillah Nak Mas segera menyadari bahwa seharusnya rasa aman itu timbul dari perasaan bahwa kita dekat dengan Allah, rasa aman itu timbul karena kita merasa dijamin Allah, rasa aman itu harusnya timbul karena kita merasa dilindungi Allah, rasa aman itu mestinya timbul karena itu benar-benar bergantung dan berserah diri kepada Allah….”
“Adalah salah kalau kita merasa aman, karena kita merasa setiap bulan akan menerima gajian, karena siapapun, kapanpun gajian kita mungkin terhenti karena berbagai hal,mungkin kita senang bekerja diperusahaan tersebut, tapi belum tentu perusahaan masih membutuhkan tenaga kita, atau sebaliknya perusahaan butuh kita, tapi kita nya yang tidak betah….”
“Adalah salah kalau kita merasa aman, hanya karena kita akan menerima bonus setiap tahunnya, karena boleh jadi, suatu waktu perusahaan tidak akan mengeluarkan bonus dengan seribu satu alas an…”
“Adalah salah kalau kita merasa aman, hanya karena kita merasa sudah mendapatkan asuransi, tidak ada jaminan perusahaan asuransi akan membayar klaim kita, bahkan banyak perusahaan asuransi yang bangkrut dan kabur meninggalkan customernya…”
“Adalah juga salah kalau kemudian kita merasa aman karena punya banyak rekening tabungan……, sudah terbukti orang yang tabungannya banyak, tapi kemudian tidak bisa diambil karena bank nya pailit…..
“Dan masih banyak lagi ‘kesalahan’ kita yang merasa aman dengan cara yang salah, karena sesungguhnya rasa aman dan pemberi keamanan adalah Allah semata, tidak ada yang lain……,’Allaahumma antas salaam - waminkas salaam, Wa ilaika ya 'uudus salaam,Fahayyina Rabbanaa bis salaam, Wa adkhilnal jan nataka daaras salaam…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki…., salah memaknai kemapanan, memang akan membunuh sikap tawakal kita kepada Allah, salah memaknai kemapanan juga tidak jarang merusak kreativitas, merusak sensitivitas kita dalam menjalani hidup ya ki…” Kata Maula lagi.
Ki Bijak mengangguk, “Sebenarnya hal ini bisa disikapi dengan menetapkan tujuan hidup kita dengan benar Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.
“Menetapkan tujuan hidup dengan benar Ki….?” Tanya Maula.
“Ya Nak Mas…, kebanyakan dari kita, setting tujuan hidupnya hanyak untuk jangka pendek, seperti ketika kita berdoa kepada Allah, yaa Allah saya ingin dapat kerja, sehingga ketika sudah dapat kerja, Allahnya dilupakan…”
“Yaa Allah…saya ingin naik gaji….; maka ketika gajinya sudah naik, Allahnya dilupakan…”
“Yaa Allah, saya ingin naik jabatan…, maka ketika jabatannya sudah naik, Allahnya dilupakan….”
“Dan masih banyak lagi yang kita minta ke Allah itu untuk urusan jangka pendek, sementara untuk urusan jangka panjang, urusan akhirat, kita hampir tidak pernah memintanya, untuk urusan ketentraman hati, kita hampir tidak pernah memintanya, untuk urusan keselamatan akhirat, kita hampir tidak pernah memintanya……” Kata Ki Bijak lagi.
“Ya Ki….” Kata Maula pendek.
“Sekali lagi Aki tegaskan, silahkan kaya, silahkan punya usaha apapun, silahkan punya tabungan berapapun, silahkan punya pangkat setinggi apapun, silahkan bekerja diperusahaan mapan, perusahaan multi nasional, silahkan bekerja diperusahaan bonafid, hanya satu yang harus diingat, jangan sampai segala bentuk kemapanan itu mengurangi apalagi sampai menghilangkan ketergantungan kita pada Allah, karena sekali kita meninggalkan Allah sebagai sandaran hidup kita, maka bersiap-siaplah menjadi orang yang merugi……”
“Sebaliknya, sekalipun harta kita terbatas, sekalipun jabatan kita biasa-biasa saja, sekalipun kita tidak punya banyak tabungan, sekalipun kita bekerja diperusahaan local, sekalipun menurut orang kita belum mapan, selama kita memiliki sandaran vertical yang kokoh,selama kita memiliki Allah, selama kita bersama Allah, maka insya Allah, itulah kemapanan sejati……” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya Ki…..” Kata Maula mengakhiri perbincangan.
Wassalam;
Casnadi
No comments:
Post a Comment