Monday, February 18, 2008

LAGI, SEBUAH CERMIN

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..............” Salam Maula kepada Ki Bijak, yang tengah beristirahat disebuah saung dikebun yang rindang, tidak jauh dari pondok pesantren.

“Walaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh....., Nak Mas..., mari duduk disini Nak Mas..............” Jawab Ki Bijak sambil mengajak Maula untuk masuk kedalam saung yang cukup luas dari asri itu.

“Tadi ana kepondok, tapi kata para santri Aki disini, makanya ana menyusul kesini ki..........” Kata Maula sejurus kemudian setelah ia duduk disisi Ki Bijak.

“Ya Nak Mas, kalau lagi senggang, Aki sering kemari, selain udaranya yang sejuk dan asri, pemandangan disini juga sangat indah........”Kata Ki Bijak sambil memutar matanya untuk menikmati panorama alam yang memang indah dan asri.

Secara spontan Maula pun melakukan hal yang sama, ia menebarkan pandangannya untuk melihat keelokan pemandangan disekitar kebun itu.

“Iya ki, indah sekali pemandangan disini, pepohonan hijau, gemerisik daun, gemerincing dan gemericik air mengalir, gunung yang menjulang serta kicau burung yang bersahutan, damai sekali suasana disini ya ki......................” Kata Maula mengagumi kesempurnaan ciptaan Allah swt.

Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, kemudian dari bibirnya yang senantiasa berdzikir dan mengagungkan asma Allah itu, terdengar sebuah ayat al qur’an;

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (ali Imran)

“Iya Nak Mas, dibalik keindahannya, alam ini, pepohonan ini, kicau burung, angin yang semilir, gunung yang menjulang, juga merupakan cermin yang sangat baik bagi kita untuk berkaca untuk melihat seperti apa kita ini.........” Kata Ki Bijak.

“Kita bercermin pada alam ki......?, bagaimana mungkin kita bisa bercermin pada pepohonan, pada burung-burung itu atau pada angin ki.........?” Tanya Maula sedikit keheranan.

“Benar Nak Mas, alam ini merupakan ‘cermin ajaib’ yang akan memberikan gambaran yang sangat bening kepada kita tentang siapa kita ini............” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas perhatikan batang pohon pisang ini......................” Kata Ki Bijak sambil memegang sebatang pohon pisang yang tumbuh tepat disamping saung tempat guru dan murid itu beristirahat sambil bercengkrama.

Maula menoleh kearah yang dimaksud, dan sejurus kemudian ikut memegang batang pohon pisang raja yang nampak mulai berbuah.

“Ada apa dengan pohon pisang ini ki........?” Tanya Maula.

“Pohon pisang ini adalah sebuah lambang integritas yang luar biasa, beda dengan sebagian kita dari bangsa manusia.............” kata Ki Bijak.

“Pohon pisang ini sebuah simbol integritas ki...............?” Tanya Maula

“Pohon pisang ini memiliki batang, yaitu batang pohon pisang, pohon ini memiliki daun, daung pisang, pohon ini menghasilkan buah, buah pisang, bahkan ketika pada saatnya ia berkembang biak, anaknya pun anak pohon pisang, semuanya selaras dan sesuai dengan tujuan penciptaan dan penamaannya...............” Kata Ki Bijak.

“Pun dengan tanaman singkong disana, tanaman itu memiliki batang tanaman singkong, daun singkong, buahnya juga singkong.......”

“Burung yang cantik itu juga demikian Nak Mas, kicaunya pasti merupakan kicau burung, anaknya anak burung, perilakunya juga perilaku burung, yang dimakannya ada apa yang memang seharusnya dimakan burung, tidak pernah ada burung makan semen atau sarapan aspal, tidak pernah ada burung mengaum layaknya harimau, tidak pernah ada burung yang berperilaku menyimpang dari fitrahnya sebagai burung.....................” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki....................?” Tanya Maula penasaran.

“Lalu coba Nak Mas perhatikan ayat ini;

4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

“Dengan kesempurnaanya, sebagian manusia justru tidak mampu menjadi manusia secara utuh sebagaimana layaknya pohon pisang atau tanaman singkong yang kita bicarakan tadi, dibalik kesempurnaan penciptaanya, manusia kadang ‘kalah’ dari burung dalam bertutur kata atau berperilaku...., "
"Coba Nak Mas lihat dengan seksama disekitar kita, ada manusia yang keganasananya lebih dari seekor harimau, ada manusia yang keserakahannya melebihi srigala, ada manusia yang kelicikannya melebihi musang, ada manusia yang kata-katanya melebihi bisa ular, ada manusia yang kejamnya melebihi singa, ada manusia yang kesombongannya melebihi setan, ada banyak manusia yang tidak mampu menjadi manusia..........” Kata Ki Bijak.

Maula tampak termenung sejenak menyimak kata-kata gurunya barusan.

“Nak Mas perhatikan dan lihat, betapa banyak manusia yang membunuh manusia lain dengan cara-cara yang jauh melebihi kebuasan binatang buas sekalipun, kalau harimau memangsa binatang lain sekedar untuk menyambung hidupnya, sementara manusia melakukannya dengan ‘senang hati’ dan demi memuaskan hatinya, kalau harimau membunuh dengan seketika, ada manusia yang membunuh sesamanya dengan perlahan dan dengan cara yang sangat menyakitkan, mereka memakan hak orang lain dengan cara korupsi, sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk menghidupi hajat hidup orang banyak, tidak dapat dinikmati oleh orang yang berhak menerimanya, bahan makanan menjadi mahal, pendidikan menjadi tidak terjangkau, busung lapar merajalela, kemiskinan menjadi pemandangan yang biasa, dan bukankah ini sebuah pembunuhan yang biadab, membunuh dengan perlahan dan dengan cara yang jauh lebih kejam dari binatang.......” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, hampir setiap hari ada berita mereka yang bunuh diri karena tekanan ekonomi dan kemiskinan yang sedemikian mencekik, sehingga mereka tidak sanggup lagi menahan beban kehidupan yang semakin hari semakin menghimpitnya, ditambah dengan lemahnya iman, sebagian mereka kemudian mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri.......” Kata Maula.

“Jika uang yang ‘dilalap’ oleh segelintir manusia durjana itu yang jumlah milyaran atau bahkan triliyunan rupiah itu dibelikan sembako, atau dijadikan modal, atau buat subsidi, kalaupun tidak seratus persen, setidaknya akan ada banyak orang yang tertolong dari himpitan kemiskinan yang mendera sebagian rakyat negeri ini..............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, uang satu triliyun saja, kalau digunakan untuk membantu orang-orang kelaparan, berapa orang yang akan merasa kenyang ya ki........................” Kata Maula.

“Lalu ki, tadi Aki bilang ada manusia yang kesombongannya melebihi setan, ki......?” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, setan yang terkutuk itu masih mau mengakui Allah sebagai pencipta, ungkapan iblis ‘Engkau ciptakan aku dari api’ adalah sebuah pengakuan iblis kepada Allah sebagai penciptanya, kemudian iblis pun tetap memohon kepada Allah untuk diberi tangguh, karena iblis ‘menyadari’ ketidak berdayaan dan ketidak mampuannya, sementara disisi lain, manusia, sekali lagi dengan kesempurnaan ciptaanya, ada banyak manusia yang tidak mau mengakui Allah sebagai penciptanya........” Kata Ki Bijak.

“Seperti Firaun ya ki............” kata Maula.

“Ya seperti firaun, dan hingga dizaman kita sekarang pun tipikal manusia seperti firaun ini, orang-orang yang tidak mau mengakui Allah sebagai rabb-ya, tidak pernah habis dan terus lahir disetiap generasi...................”Kata Ki Bijak.

“Lalu dengan kesombongannya pula, ada manusia yang dengan sadar mengatakan ‘tidak mau merepotkan Allah’, ‘tidak mau memohon kepada Allah’ karena merasa mampu mencukupi keperluannya sendiri tanpa melibatkan Allah, mereka berfikir mereka hanya perlu bekerja keras, sekeras-kerasnya kemudian dengan sendirinya segalanya keperluannya terpenuhi, tanpa perlu berfikir bahwa Allah-lah yang telah memberikan segala apa yang dimakannya, bahwa Allah yang telah memberi apa yang diminumnya, bahwa Allah-lah yang telah memberi apa yang dihirupnya.............” Kata Ki Bijak.

“Ada gitu ki orang yang mengatakan ‘tidak akan merepotkan Allah’......?” Tanya Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Kelak Nak Mas akan menemukan orang atau segolongan orang yang kebablasan seperti ini, pesan Aki, Nak Mas cukup mengetahui saja, setelah itu, segera jauhi mereka, jangan dekati dan berpalinglah dari mereka, karena mereka bukan golongan yang dapat kita jadikan teman atau teladan...........” Kata Ki Bijak.

“Ana jadi teringat ungkapan qorun yang mengatakan bahwa harta yang dimilikinya semata karena ilmu dan kepintaraanya semata ya ki........” kata Maula sambil mengutip ayat al qur’an;

78. Karun berkata: "Sesungguhnya Aku Hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada padaku". dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh Telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih Kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (Al Qasash)

“Ya Nak Mas, akan selalu lahir karun-karun generasi baru yang bahkan mungkin jauh lebih sombong dari karun dizaman Nabi Musa dulu, karena dengan harta yang jauh lebih sedikit dari karun, kesombongan mereka sudah menyamai karun, jauhi mereka Nak Mas, karena akhir kesudahan dari golongan ini sangat jelas, kebinasaan, baik didunia terlebih diakhirat kelak......” Kata Ki Bijak.

‘Rabbana maa khalaqta haada bathiil.......subhanaka faqina ‘adabanarr.......” Hanya itu yang keluar dari bibir Maula, ia seperti baru tersadar bahwa alam yang selama ini tak pernah ia hiraukan, memberi banyak sekali pelajaran yang sangat berharga baginya, “subhanallah, subhanallah,subhanallah.....................”



Wassalam

February 16, 2008

No comments:

Post a Comment