Tuesday, May 15, 2007

JANJI ADALAH HUTANG

34. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Al Israa’34)

Janji adalah hutang, demikian ungkapan yang sering kita dengar, dan ayat diatas dengan lebih jelas menyatakan bahwa “Janji itu pasti diminta pertanggungan Jawabnya”.

Dalam banyak ayat, al qur’an menceritakan bagaimana Allah memuliakan mereka yang memenuhi janjinya, sebaliknya betapa Allah akan menimpakan azab bagi mereka yang melanggar janji yang seharusnya mereka pegang teguh.

Al qur’an menceritakan bagaimana Allah mengangkat janji Bani Israil, sebagaimana termaktub dalam ayat berikut;

40. Hai Bani Israil[41], ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku[42], niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).

[41] Israil adalah sebutan bagi nabi Ya'qub. Bani Israil adalah turunan nabi Ya'qub; sekarang terkenal dengan bangsa Yahudi.

[42] Janji Bani Israil kepada Tuhan ialah: bahwa mereka akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta beriman kepada rasul-rasul-Nya di antaranya nabi Muhammad s.a.w. sebagaimana yang tersebut di dalam Taurat.

Namun yang terjadi kemudian adalah pengingkaran terhadap janji bahwa mereka akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta beriman kepada rasul-rasul-Nya di antaranya nabi Muhammad s.a.w. yang telah mereka buat dengan Allah, yang mengakibatkan mereka dimurkai oleh Allah swt;

Lalu bagaimana dengan kita? janji apa saja yang telah kita ucapkan terhadap Allah dan Rasul-Nya?

Mari kita merenung sejenak, janji apa saja yang telah kita ucapkan, dalam shalat misalnya;
Shalat kita adalah serangkaian janji prasetia kita kepada Allah dan rasul-Nya, dimulai ketika kita berniat,bahwa shalat kita Lillahita’ala, bukan karena pujian, bukan karena kita menginginkan pangkat atau jabatan dan bukan karena sesuatu yang lainnya, tapi shalat kita, sesuai dengan ucapan kita, hanya karena Allah swt, sudahkah kita memenuhi apa yang kita ucapkan dalam niat shalat kita?

Selanjutnya, ketika kita bertakbiratul Ihram dengan mengucap “Allahu Akbar”, kita mendeklarasikan bahwa tidak ada yang lebih besar selain Allah, tidak ada yang lebih penting selain Allah, tidak ada yang menghalangi pandangan mata dan hati kita kecuali kebesaran Allah, lalu sudahkan kita meresapkan keagungan Allah itu dalam hati kita?

Lalu dalam setiap shalat kita, kita mengikrarkan bahwa “hidup kita, mati kita serta amal ibadah kita hanya karena Allah dan untuk Allah, dan kita menyatakan diri sebagai Hanif dan bukan seorang orang musyrik”.

Apakah itu sudah memenuhi ikrar dan janji kita tersebut? Kadang kita justru melakukan amaliah yang bertolak belakang dengan apa yang kita ucapkan, hidup dan kehidupan kita lebih condong untuk diabdikan pada kepentingan dunia, bukan kepada Allah.

Mati kita juga bukan untuk berjihad dimedan juang demi membela agama Allah, bahkan banyak diantara kita yang membiarkan umurnya habis untuk hal-hal yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah.

Kemudian ibadah kita, juga masih sering untuk kepentingan dan pemuas nafsu kita, kita rajin tahajud karena kita ingin jabatan, kita rajin dhuha karena kita takut kemiskinan, bukan Allah-nya yang kita tuju sebagaimana ikrar dan janji kita dalam setiap shalat kita.

Selepas do’a iftitah, dengan lantang kita pun berikrar bahwa “Segala puji bagi Allah, tuhan semesta Alam” dalam fatihah yang kita baca.Tapi coba tengok lagi kedalam diri kita, masih terlalu sering kita ingin dipuji, berdakwah hanya karena ingin dipanggil ustadz, bukan merupakan panggilan ilahi bahwa menyampaikan amanah Allah adalah sebuah kewajiban, berzakat, masih sering hati kita diselimuti keinginan untuk disebut dermawan, puasa kitapun masih belum sepenuhnya luput dari bisikan ujub dan keinginan untuk dipuji.

Lalu kita juga menyatakan bahwa “hanya kepada-Mu lah kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan”, sudahkah kita mendhahirkan apa yang kita ucapkan tersebut?

Kalau mau jujur, kita masih lebih banyak mengabdi kepada sesama mahluk, kalau atasan kita yang minta kita lembur misalnya, kita dengan penuh semangat akan memenuhinya sebagai bukti pengabdian kita pada atasan dan perusahaan. Namun manakala Allah memerintahkan kita untuk bertahajud untuk penambah amal ibadah kita, justru kita demikian enggan untuk bangun menunaikannya.

Lalu tengok lagi, berapa sering kita mengeluh kepada sesama mahluk, dibanding kita mengembalikan segala permasalahan kepada Allah? Katanya kita hanya mohon pertolongan kepada Allah, sementara hati kita sendiri tidak pernah meyakini bahwa Allah akan menolong kita, maka kita cari orang pintar, dukun atau lainnya yang kita anggap mampu menolong kita, padahal itu sama sekali tidak benar!!

107. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Yunus:107)

Jelas dan tegas, bahwa “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia”, bukan ilah-ilah lainnya.

Ikrar apalagi yang kita ucapkan dalam shalat kita?

Syahadat yang kita ucapkan dalam setiap tahiyat kita, juga merupakan sesuatu yang harus kita penuhi hak-haknya, bahwa kita tidak akan mengibadahi ilah lain selain Allah dan bahwa kita bersaksi Muhammad itu utusan Allah, yang sebagai konsekuensinya kita tidak akan menjadikan panutan lain selain beliau Rasulullah saw, sudahkah itu kita penuhi?

Menurut beberapa kalangan, salah satu hikmah dari kisah-kisah kaum terdahulu yang terdapat dalam al qur’an adalah untuk memberikan pelajaran bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu, atau sebaliknya meniru hal-hal positif yang mengantar umat-umat tersebut mencapai kejayaannya, lalu bagaimana dengan janji kita?

Kalau dulu Allah mengembalikan Bani Israil dari “sebaik-baik umat” menjadi umat yang dinistakan Allah karena mereka, sebagian Bani Israil tersebut melanggar janji yang telah mereka ikrarkan kepada Allah, apakah kita akan mengulangi kesalahan yang sama, sehingga kita terperosok kedalam jurang yang sama dengan mereka? Naudzubillah!!

Untuk itu marilah dari sekarang kita belajar untuk memenhi segala janji prasetia kita kepada Allah, kepada Islam, kepada sang pembawa Risalah-Nya, agar kita menjadi umat yang dimuliakan Allah karena insya Allah kita termasuk umat yang berpegang teguh pada janji kita.

10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397], Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Al Fath:10)

Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang memenuhi janji, amiin.

Wassalam

May 17, 2007

No comments:

Post a Comment