33. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Hampir setiap menjelang kumandang adzan, kalimat diatas terdengar nyaring dikumandangkan muadzin di masjid kami; “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Sehingga suatu ketika penulis menanyakan hal ini kepada Pak Ustadz, beliau menjawab;
“Ayat itu berkaitan dengan anjuran untuk berdakwah, karena sekarang ini, ditengah kondisi umat seperti sekarang ini, kita memerlukan banyak sekali orang-orang yang mau berdakwah, orang-orang yang mau menyeru saudara-saudaranya kepada Allah, sambil senantiasa mengerjakan amal shaleh, seperti ayat diatas...” Jelas Pak Ustadz.
“Ya Pak, kami sebenarnya ingin sekali kemasjid atau ikut majelis taklim, tapi kami “tidak tahu jalan kemasjid (maksudnya: Tidak ada yang mengajak dan memberikan pengajaran kepada mereka)”, karena selama ini kami dianggap orang-orang buangan yang tidak bisa dinasehati.....” Kata seorang preman yang “berhasil” dibujuk untuk meninggalkan kebiasaannya dijalanan oleh seorang mantan dosen.
“Pak saya mau pinjam buku tuntutan shalat, saya ingin belajar shalat, tapi saya belum bisa do’anya....”Kata bibi pembantu dirumah.
Dan masih banyak pernyataan sejenis yang menggambarkan bagaimana mereka, sebagian saudara-saudara kita belum “tersentuh” oleh para ustadz dan kyai yang memberikan ceramah keagamaan dimasjid-masjid atau majelis taklim karena berbagai alasan, biasanya karena kesibukan atau karena alasan ekonomi, mereka harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memenuhi periuk nasi dan dapurnya, sehingga mereka “tidak sempat” kemasjid atau menuntut ilmu agama, atau latar belakang mereka yang cenderung tidak mengenalkan mereka pada agama yang benar.
Mereka yang dijalanan, anak-anak terlantar, para preman, pengamen, dan lainya, sebagian besar juga beragama islam, tapi sekali lagi, mereka hampir tidak tersentuh oleh ceramah dan pendidikan islami yang memadai, sehingga mereka tidak tahu jalan kemasjid, tidak tahu shalat, lalu apakah kita akan membiarkan mereka, yang juga saudara kita akan seperti itu selamanya?
Atau cukupkah kita berdalih “aah mereka khan emang nggak mau shalat, nggak mau ngaji, atau mereka khan preman”?
Jikapun mereka preman, kalaupun mereka gembel dan anak jalanan, mereka tetap manusia, mereka tetap saudara seakidah yang juga berhak mendapatkan informasi dan pendidikan agama dari saudaranya yang lain.
Lalu jika pak ustadz dan pak kyai sudah sedemikian sibuk menempa para santri dipesantren dan jama’ah dimajelis taklim,siapa yang peduli akan mereka?
Rasanya kurang bijak kalau kita belum memberikan penerangan kepada mereka, kemudian kita mengklaim bahwa mereka emang sudah begitu dari sononya.
Rasanya kurang arif kalau kita membiarkan mereka “tersesat” karena kekurang pedulian kita.
Rasanya kurang sreg kalau kita diam saja menyaksikan mereka dalam ketidaktahuaanya.
Atau jangan-jangan kita justru yang mendapat “teguran” dari Allah karena tingkah pola mereka yang jauh dari tuntunan agama karena ketidak tahuan, sementara kita berdiam diri saja?
Ingat, bahwa malapetaka bukan hanya akan menimpa mereka yang berlaku dhalim,tapi siapapun yang berada disana, tidak peduli dia ustadz atau kyai, tidak peduli mereka yang dhalim dalam ketidak tahuannya; seperti firman Allah berikut;
25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Al Anfal:25)
Terlambat rasanya ketika petaka datang kemudian kita menyalahkan mereka yang berbuat dhalim sementara kita tak pernah mengingatkan mereka sebelumnya.
Kita juga tidak bisa lantas mencari kambing hitam terhadap bencana yang terjadi dengan menunjuk suatu kelompok atau golongan tertentu yang berbuat ini dan itu, yang berlaku salah menurut kita , sementara kita sendiri tidak pernah mencoba mengajak mereka untuk berlaku yang patut.
“Aah, gara-gara banyak yang pasang togel nih, makanya hujan tidak turun-turun’
“Aah, gara-gara banyak warung remang-remang nih, maka kekeringan”
Itu yang sering kita dengar, tapi pernahkah kita mengingatkan kepada mereka, pemasang togel dan penghuni warung remang-remang itu untuk meninggalkannya? Kalau belum, rasanya kitapun turut andil dalam berbagai peristiwa yang tidak kita senangi itu kalau tidak mau dikatakan ikut bertanggung jawab.
Seorang teman pernah bertanya kepada penulis;
“Mas, apa yang harus kita lakukan kalau kita mengetahui ditempat kerja kita ada kemaksiatan?” Tanya sang teman.
Merujuk apa yang pernah penulis dapatkan dari pak ustadz, penulis menjawab;
“Rubah dengan “tangan kita” jika memang kita mampu”, atau beri pengertian kepada mereka dengan cara yang bijak”, atau kalau tidak do’akan agar mereka mendapatkan petunjuk dari Allah, atau kalau memang sudah tidak mungkin melakukan semua, hijrahlah, pindah dari tempat kerja tersebut....”
Lalu apa yang harus kita lakukan?
“Sampaikan dariku walau satu ayat” Demikian potongan matan sebuah hadits.
Atau dalam bahasa al qur’an, Allah berfirman;
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran:104)
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
“Ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan” didefinisikan oleh beberapa kalangan sebagai ustadz atau ulama untuk menyampaikan dan menyeru kebajikan, namun sekali lagi, kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab menyeru kepada kebajikan itu hanya terbatas pada ustadz dan ulama saja, setidaknya kita punya tanggung jawab moral untuk sedikit meringankan perjuangan para ustadz dan kyai.
Benar, untuk berdakwah dan menyeru kepada kebajikan diperlukan ilmu yang memadai, oleh karenanya sampaikan satu ayat saja yang kita tahu dan sudah kita amalkan kepada saudara kita yang belum mengetahuinya, atau setidaknya kita menunjukan jalan bagi mereka untuk dapat belajar dan bertanya pada ustadz atau kyai yang mumpuni keilmuannya, sambil kita terus mengasah ilmu dan amal kita tentunya.
Hampir setiap menjelang kumandang adzan, kalimat diatas terdengar nyaring dikumandangkan muadzin di masjid kami; “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Sehingga suatu ketika penulis menanyakan hal ini kepada Pak Ustadz, beliau menjawab;
“Ayat itu berkaitan dengan anjuran untuk berdakwah, karena sekarang ini, ditengah kondisi umat seperti sekarang ini, kita memerlukan banyak sekali orang-orang yang mau berdakwah, orang-orang yang mau menyeru saudara-saudaranya kepada Allah, sambil senantiasa mengerjakan amal shaleh, seperti ayat diatas...” Jelas Pak Ustadz.
“Ya Pak, kami sebenarnya ingin sekali kemasjid atau ikut majelis taklim, tapi kami “tidak tahu jalan kemasjid (maksudnya: Tidak ada yang mengajak dan memberikan pengajaran kepada mereka)”, karena selama ini kami dianggap orang-orang buangan yang tidak bisa dinasehati.....” Kata seorang preman yang “berhasil” dibujuk untuk meninggalkan kebiasaannya dijalanan oleh seorang mantan dosen.
“Pak saya mau pinjam buku tuntutan shalat, saya ingin belajar shalat, tapi saya belum bisa do’anya....”Kata bibi pembantu dirumah.
Dan masih banyak pernyataan sejenis yang menggambarkan bagaimana mereka, sebagian saudara-saudara kita belum “tersentuh” oleh para ustadz dan kyai yang memberikan ceramah keagamaan dimasjid-masjid atau majelis taklim karena berbagai alasan, biasanya karena kesibukan atau karena alasan ekonomi, mereka harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memenuhi periuk nasi dan dapurnya, sehingga mereka “tidak sempat” kemasjid atau menuntut ilmu agama, atau latar belakang mereka yang cenderung tidak mengenalkan mereka pada agama yang benar.
Mereka yang dijalanan, anak-anak terlantar, para preman, pengamen, dan lainya, sebagian besar juga beragama islam, tapi sekali lagi, mereka hampir tidak tersentuh oleh ceramah dan pendidikan islami yang memadai, sehingga mereka tidak tahu jalan kemasjid, tidak tahu shalat, lalu apakah kita akan membiarkan mereka, yang juga saudara kita akan seperti itu selamanya?
Atau cukupkah kita berdalih “aah mereka khan emang nggak mau shalat, nggak mau ngaji, atau mereka khan preman”?
Jikapun mereka preman, kalaupun mereka gembel dan anak jalanan, mereka tetap manusia, mereka tetap saudara seakidah yang juga berhak mendapatkan informasi dan pendidikan agama dari saudaranya yang lain.
Lalu jika pak ustadz dan pak kyai sudah sedemikian sibuk menempa para santri dipesantren dan jama’ah dimajelis taklim,siapa yang peduli akan mereka?
Rasanya kurang bijak kalau kita belum memberikan penerangan kepada mereka, kemudian kita mengklaim bahwa mereka emang sudah begitu dari sononya.
Rasanya kurang arif kalau kita membiarkan mereka “tersesat” karena kekurang pedulian kita.
Rasanya kurang sreg kalau kita diam saja menyaksikan mereka dalam ketidaktahuaanya.
Atau jangan-jangan kita justru yang mendapat “teguran” dari Allah karena tingkah pola mereka yang jauh dari tuntunan agama karena ketidak tahuan, sementara kita berdiam diri saja?
Ingat, bahwa malapetaka bukan hanya akan menimpa mereka yang berlaku dhalim,tapi siapapun yang berada disana, tidak peduli dia ustadz atau kyai, tidak peduli mereka yang dhalim dalam ketidak tahuannya; seperti firman Allah berikut;
25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Al Anfal:25)
Terlambat rasanya ketika petaka datang kemudian kita menyalahkan mereka yang berbuat dhalim sementara kita tak pernah mengingatkan mereka sebelumnya.
Kita juga tidak bisa lantas mencari kambing hitam terhadap bencana yang terjadi dengan menunjuk suatu kelompok atau golongan tertentu yang berbuat ini dan itu, yang berlaku salah menurut kita , sementara kita sendiri tidak pernah mencoba mengajak mereka untuk berlaku yang patut.
“Aah, gara-gara banyak yang pasang togel nih, makanya hujan tidak turun-turun’
“Aah, gara-gara banyak warung remang-remang nih, maka kekeringan”
Itu yang sering kita dengar, tapi pernahkah kita mengingatkan kepada mereka, pemasang togel dan penghuni warung remang-remang itu untuk meninggalkannya? Kalau belum, rasanya kitapun turut andil dalam berbagai peristiwa yang tidak kita senangi itu kalau tidak mau dikatakan ikut bertanggung jawab.
Seorang teman pernah bertanya kepada penulis;
“Mas, apa yang harus kita lakukan kalau kita mengetahui ditempat kerja kita ada kemaksiatan?” Tanya sang teman.
Merujuk apa yang pernah penulis dapatkan dari pak ustadz, penulis menjawab;
“Rubah dengan “tangan kita” jika memang kita mampu”, atau beri pengertian kepada mereka dengan cara yang bijak”, atau kalau tidak do’akan agar mereka mendapatkan petunjuk dari Allah, atau kalau memang sudah tidak mungkin melakukan semua, hijrahlah, pindah dari tempat kerja tersebut....”
Lalu apa yang harus kita lakukan?
“Sampaikan dariku walau satu ayat” Demikian potongan matan sebuah hadits.
Atau dalam bahasa al qur’an, Allah berfirman;
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran:104)
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
“Ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan” didefinisikan oleh beberapa kalangan sebagai ustadz atau ulama untuk menyampaikan dan menyeru kebajikan, namun sekali lagi, kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab menyeru kepada kebajikan itu hanya terbatas pada ustadz dan ulama saja, setidaknya kita punya tanggung jawab moral untuk sedikit meringankan perjuangan para ustadz dan kyai.
Benar, untuk berdakwah dan menyeru kepada kebajikan diperlukan ilmu yang memadai, oleh karenanya sampaikan satu ayat saja yang kita tahu dan sudah kita amalkan kepada saudara kita yang belum mengetahuinya, atau setidaknya kita menunjukan jalan bagi mereka untuk dapat belajar dan bertanya pada ustadz atau kyai yang mumpuni keilmuannya, sambil kita terus mengasah ilmu dan amal kita tentunya.
Seperti ayat pembuka diatas, bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan orang-orang yang menyeru Allah, mengerjakan amal shaleh dan mengajak orang lain untuk bersama-sama menggapai ridha-Nya.
27. Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. (Al Kahfi:27)
125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(An Nahl:125)
[845] Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
“Bacakanlah” dan “Serulah” manusia kepada jalan Tuhan-mu, makin memperkuat pondasi kita untuk menbacakan Al qur’an dan menyeru manusia pada jalan yang digariskan Allah, atau dengan kata lain “Berdakwalah”, walaupun dengan satu ayat!
Ada e-mail, ada saat makan siang bersama, ada saat pulang pergi kekantor bersama, ada saat ngobrol bersama, kenapa kita tidak gunakan waktu,sarana dan media yang tersedia tersebut untuk saling berbagi dengan teman dan saudara kita?
Jangan patah arang kalau dengan itu kita dikatakan sok pinter, jangan patah semangat kalau kemudian kita justru dijauhi, karena memang demikianlah seharusnya, semuanya hanya ujian bagi kita.
Semoga kita bisa menjadi dai bagi diri dan keluarga kita khususnya dan bisa pula menjadi perantara bagi mereka yang ingin meniti jalan dan ridha-Nya, amiin.
Nahnu Du'aat Qobla Kulli Syaii' - Kita adalah da'i sebelum segala sesuatu yang lain
Wassalam
May 01, 2007
No comments:
Post a Comment