“Ada berita apa Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak kepada Maula yang tengah membaca halaman muka sebuah surat kabar yang ia pinjam dari temannya.
“Oooh ini ki, biasa, berita teroris lagi, yang kemarin terjadi baku tembak di Temanggung dan bekasi itu ki…..” Kata Maula sambil memperlihatkan gambar kepala orang yang konon ditangkap diTemanggung.
“Astaghfirullah….gambarnya agak kurang enak dilihat ya Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, gambarnya memang agak menakutkan…., ki.., ana sedikit prihatin dengan keadaan akhir-akhir ini….” Kata Maula kemudian.
“Prihatin kenapa Nak Mas….?’ Tanya Ki Bijak.
“Ini ki, setiap ada kejadian pemboman, atau teroris atau sejenisnya, selalu saja dikait-kaitkan dengan pesantren, pesantren inilah, pesantren itulah, seolah-olah pesantren sekarang ini sudak menjadi sarang teroris, aneh sekali kan ki….” Kata Maula masih dengan nada prihatin.
Ki Bijak menarik nafas panjang, “Benar Nak Mas, Aki juga sangat prihatin dengan pandangan negative sebagian orang terhadap keberadaan pesantren…..” katanya dengan nada berat.
“Bagaimana kita bisa menjelaskan kepada orang-orang itu bahwa pesantren bukanlah tempat penghasil teroris seperti prasangka sebagian orang itu ya ki….?” Tanya Maula.
“Untuk mengubah atau mengembalikan citra pesantren sebagai sarana pendidikan dan pembinaan generasi muda islam; sekarang ini memang agak sulit Nak Mas, selain karena propaganda negative dari orang-orang yang memang tidak menyukai keberadaan pesantren, keberadaan pesantren ini pun belum sepenuhnya mendapat dukungan yang layak dari orang islam sendiri, seperti kita tahu, banyak keluarga muslim yang lebih memilih sekolah umum daripada menitipkan anak-anaknya dipesantren….” Kata Ki Bijak
“Tapi kita tidak bisa berdiam diri sajakan ki, dengan keadaan ini….”Kata Maula
“Nak Mas benar, kita tidak boleh berdiam diri dari upaya-upaya pendiskreditan pesantren oleh pihak-pihak yang tidak suka dan tidak bertanggung jawab, dan cara terbaik untuk memulihkan citra pesantren adalah dengan mencetak generasi pesantren yang baik sesuai dengan cita-cita luhur para pendiri pesantren untuk melahirkan sosok pribadi muslim yang mampu berhubungan secara harmonis dengan ketiga unsur diluar dirinya…..” Kata Ki Bijak.
“Ana masih belum paham benar ki….” Kata Maula.
“Begini Nak Mas, pesantren, atau pe-santri-an, secara harfiah, konon berarti tempat para santri menimba ilmu, sementara santri itu sendiri, konon terambil dari dua kata; San – yang berasal dari kata Insun – insan (bhs.Arab yang berarti Manusia/Harmonis), sementara Tri sendiri terambil dari bahasa sanksekerta yang berarti Tiga, dari perpaduan dua kata inilah kemudian kata pesantren diartikan sebagai tempat Insan atau manusia untuk mendidik dirinya agar mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tiga unsur yang terkait dengan dirinya, dipesantren inilah para santri dididik untuk mampu menjalin hubungan vertical dengan Allah sebagai Rabb-nya secara harmonis, dipesantren ini, para santri menimba ilmu untuk dapat membangun hubungan horizontal dengan sesame manusia secara harmonis, dipesantren inilah para santri dibentuk untuk dapat menjalin hubungan dengan alam sekitranya secara harmonis pula, sehingga ketika seorang santri keluar dari pesantren, diharapkan ia mampu menjadi sosok dan pribadi yang paripurna, pribadi yang mempunyai hablu minnallah yang baik, pribadi yang memiliki hablu minannas yang baik, menjadi pribadi yang mampu memakmurkan bumi dan alam sekitarnya sebagai bagian amanah yang diembannya sebagai khalifah dimuka bumi ini…….” Kata Ki Bijak.
“Waah kalau mendengar penuturan Aki tadi, rasa-rasanya kita tidak perlu malu untuk menimba ilmu dipesantren ya ki, karena dari namanya saja sudah sedemikian bagus, tempat mendidik pribadi yang berhablu minallah, berhablu minannas, dan pribadi yang mampu memakmurkan lingkungan, lalu darimana asalnya kemudian orang-orang mengkait-kaitkan pesantren dengan teroris…?” Maula keheranan.
“Mungkin benar, ada beberapa alumnus pesantren tertentu yang kemudian ditengarai menjadi pelaku perbuatan yang merugikan banyak orang, tapi jangan lantas menyamaratakan semua santri seperti itu, itu sangat tidak adil menurut Aki…..” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, kenapa kalau ada kejadian seperti ini lantas digenalisir semua pesantren seperti itu, tapi disisi lain, banyak koruptor dan penjahat kelas kakap yang merupakan alumni perguruan tinggi terkenal, kok tidak ada orang yang berani mengatakan bahwa perguruan tinggi itu sarang koruptor, paling banter mereka menyebutnya sebagai ‘oknum’, ini memang tidak adil ya ki……” Kata Maula.
“Layaknya telur yang dierami; mungkin tidak semua telur akan menetas dan menjadi anak ayam; mungkin ada beberapa butir telur yang karena satu dan lain hal tidak bisa menetas dengan sempurna; dan kalau ada telur seperti itu, bukan berarti induk ayam itu yang salah, lantas kemudian dipotong, harus dilihat secara jernih, harus dikaji secara cermat, agar kita terhindar dari perbuatan yang menjurus ke fitnah dan justru kontra produktif dari tujuan semula untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat….” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, belum-belum tersangkanya diketahui, justru pihak-pihak yang mungkin tidak tahu menahu malah menjadi gerah dengan pencitraan yang negative dan tidak berimbang…..” Tambah Maula.
“Ki…..,ana jadi kefikiran, bagaimana dengan para koruptor itu ya ki….?” Tanya Maula.
“Maksud Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak memastikan.
“Iya, kalau pelaku bom itu kan kita sepakat bahwa itu perbuatan yang sangat merugikan orang lain, dengan dampak kerusakan yang nyata, baik materil maupun korban jiwa, yang pada saat itu langsung diketahui, lalu bagaimana dengan koruptor, yang dengan perbuatannya telah banyak atau bahkan lebih banyak pihak-pihak yang dirugikan, misalnya saja ada orang korupsi dana kesehatan masyarakat, maka efeknya masyarakat akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, terus kalau masyarakat kurang sehat, maka mereka tidak bisa hidup dan bekerja secara optimal, dan akibatnya bisa sangat banyak, penghasilannya berkurang misalnya, dan lain sebagainya…..”
“Lalu misalnya lagi ada orang yang korupsi dana pembangunan jalan atau jembatan, yang karena dananya kurang, kualitas jalan dan jembatan iu jadi tidak layak, berlubang atau runtuh, yang sangat mungkin mengakibatkan pengguna jalan mengalami kecelakaan atau bahkan meninggal……
“Lalu juga misalnya ada orang yang korupsi subsidi minyak tanah, subsidi pupuk, subsidi listrik dan lainnya, bukankan dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan korup ini juga sangat dahsyat ki…..?, lalu kenapa kita seolah menutup mata dari perbuatan keji semacam ini…..?” Kata Maula keheranan.
“Aki bukan orang yang kompeten untuk menilai apakah perbuatan korup itu bisa disejajarkan dengan pemboman, tapi dari uraian Nak Mas tadi, Aki melihat bahwa memang dari segi akibat yang ditimbulkan, dua-duanya memiliki kesamaan, yaitu merugikan kepentingan masyarakat banyak, hanya bedanya pada waktu untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh kedua perbuatan itu, kalau peledakan bom, efeknya segera kita ketahui, sementara akibat perilaku korup, efeknya baru akan terasa setelah beberapa waktu berselang…” Tambah Ki Bijak.
“Jadi perilaku korup itu seperti bom waktu ya ki….” Kata Maula.
“Kira-kira seperti itu Nak Mas….” Jawab Ki Bijak.
“Kembali kepada masalah pesantren dan ‘teroris’ Ki, apa yang bisa kita perbuat tentu untuk mengembalikan citra pesantren pada posisi yang benar ki….? Tanya Maula.
“Yang pertama; seperti Aki bilang tadi, cara terbaik untuk mengembalikan citra pesantren adalah dengan menghasilkan alumni-alumni pesantren benar-benar mencitrakan pesantren sebagai produsen manusia-manusia unggul yang mampu berinteraksi dengan Allah, dengan sesame manusia maupun berinteraksi dengan lingkungannya secara harmonis….” Kata Ki Bijak.
“Yang kedua, dituntut adanya peran serta aktif semua lapisan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai makna jihad, karena bagaimanapun, kata ‘jihad’, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan konsekuensi keberagamaan setiap muslim, jangan sampai makna jihad yang luhur dan agung, dipelintir untuk kepentingan orang atau golongan tertentu sehingga mencederai makna jihad itu sendiri dan merugikan umat islam secara keseluruhan…, ulama, ustadz, umaroh bahkan masyarakat umum seyogianya berperan aktif dalam memberikan pemahaman yang dan pengawasan generasi muda dan putra-putrinya secara konsisten, karena terbukti, peran pesantren saja belum cukup untuk mencegah adanya penyalahgunaan doktrin jihad secara salah ditengah-tengah masyarakat kita…..” Kata Ki Bijak.
“Yang ketiga, marilah kita membangun ‘pesantren’ dalam keseharian kita, membangun pesantren dalam keluarga kita, membangun pesantren ditengah lingkungan terdekat kita, menjadi santri tidak harus mondok dipesantren, tapi bisa dimana saja, selama pendidikan yang kita dapat bertujuan untuk menjadikan kita manusia yang mampu berhubungan dengan Allah dengan baik, mampu berhubungan dengan manusia lain dengan baik, mampu berhubungan dengan lingkungan dengan baik pula…, meski Aki lebih setuju kalau anak-anak muslim ini mendapatkan pendidikan yang memadai dipesantren formal dengan bimbingan ustadz dan kyai yang mumpuni……” Kata Ki Bijak.
“Selanjutnya marilah kita mohon kepada Allah agar ditunjukan mana jalan yang lurus untuk kita ikuti, dan mana jalan yang salah untuk kita kesampingkan, agar kita bisa selamat meniti jembatan kehidupan ini dengan selamat hingga tiba diujung sana…..” Tambah Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih…….” Kata Maula sambil menyalami gurunya.
Wassalam
August 23,2009
“Oooh ini ki, biasa, berita teroris lagi, yang kemarin terjadi baku tembak di Temanggung dan bekasi itu ki…..” Kata Maula sambil memperlihatkan gambar kepala orang yang konon ditangkap diTemanggung.
“Astaghfirullah….gambarnya agak kurang enak dilihat ya Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, gambarnya memang agak menakutkan…., ki.., ana sedikit prihatin dengan keadaan akhir-akhir ini….” Kata Maula kemudian.
“Prihatin kenapa Nak Mas….?’ Tanya Ki Bijak.
“Ini ki, setiap ada kejadian pemboman, atau teroris atau sejenisnya, selalu saja dikait-kaitkan dengan pesantren, pesantren inilah, pesantren itulah, seolah-olah pesantren sekarang ini sudak menjadi sarang teroris, aneh sekali kan ki….” Kata Maula masih dengan nada prihatin.
Ki Bijak menarik nafas panjang, “Benar Nak Mas, Aki juga sangat prihatin dengan pandangan negative sebagian orang terhadap keberadaan pesantren…..” katanya dengan nada berat.
“Bagaimana kita bisa menjelaskan kepada orang-orang itu bahwa pesantren bukanlah tempat penghasil teroris seperti prasangka sebagian orang itu ya ki….?” Tanya Maula.
“Untuk mengubah atau mengembalikan citra pesantren sebagai sarana pendidikan dan pembinaan generasi muda islam; sekarang ini memang agak sulit Nak Mas, selain karena propaganda negative dari orang-orang yang memang tidak menyukai keberadaan pesantren, keberadaan pesantren ini pun belum sepenuhnya mendapat dukungan yang layak dari orang islam sendiri, seperti kita tahu, banyak keluarga muslim yang lebih memilih sekolah umum daripada menitipkan anak-anaknya dipesantren….” Kata Ki Bijak
“Tapi kita tidak bisa berdiam diri sajakan ki, dengan keadaan ini….”Kata Maula
“Nak Mas benar, kita tidak boleh berdiam diri dari upaya-upaya pendiskreditan pesantren oleh pihak-pihak yang tidak suka dan tidak bertanggung jawab, dan cara terbaik untuk memulihkan citra pesantren adalah dengan mencetak generasi pesantren yang baik sesuai dengan cita-cita luhur para pendiri pesantren untuk melahirkan sosok pribadi muslim yang mampu berhubungan secara harmonis dengan ketiga unsur diluar dirinya…..” Kata Ki Bijak.
“Ana masih belum paham benar ki….” Kata Maula.
“Begini Nak Mas, pesantren, atau pe-santri-an, secara harfiah, konon berarti tempat para santri menimba ilmu, sementara santri itu sendiri, konon terambil dari dua kata; San – yang berasal dari kata Insun – insan (bhs.Arab yang berarti Manusia/Harmonis), sementara Tri sendiri terambil dari bahasa sanksekerta yang berarti Tiga, dari perpaduan dua kata inilah kemudian kata pesantren diartikan sebagai tempat Insan atau manusia untuk mendidik dirinya agar mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tiga unsur yang terkait dengan dirinya, dipesantren inilah para santri dididik untuk mampu menjalin hubungan vertical dengan Allah sebagai Rabb-nya secara harmonis, dipesantren ini, para santri menimba ilmu untuk dapat membangun hubungan horizontal dengan sesame manusia secara harmonis, dipesantren inilah para santri dibentuk untuk dapat menjalin hubungan dengan alam sekitranya secara harmonis pula, sehingga ketika seorang santri keluar dari pesantren, diharapkan ia mampu menjadi sosok dan pribadi yang paripurna, pribadi yang mempunyai hablu minnallah yang baik, pribadi yang memiliki hablu minannas yang baik, menjadi pribadi yang mampu memakmurkan bumi dan alam sekitarnya sebagai bagian amanah yang diembannya sebagai khalifah dimuka bumi ini…….” Kata Ki Bijak.
“Waah kalau mendengar penuturan Aki tadi, rasa-rasanya kita tidak perlu malu untuk menimba ilmu dipesantren ya ki, karena dari namanya saja sudah sedemikian bagus, tempat mendidik pribadi yang berhablu minallah, berhablu minannas, dan pribadi yang mampu memakmurkan lingkungan, lalu darimana asalnya kemudian orang-orang mengkait-kaitkan pesantren dengan teroris…?” Maula keheranan.
“Mungkin benar, ada beberapa alumnus pesantren tertentu yang kemudian ditengarai menjadi pelaku perbuatan yang merugikan banyak orang, tapi jangan lantas menyamaratakan semua santri seperti itu, itu sangat tidak adil menurut Aki…..” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, kenapa kalau ada kejadian seperti ini lantas digenalisir semua pesantren seperti itu, tapi disisi lain, banyak koruptor dan penjahat kelas kakap yang merupakan alumni perguruan tinggi terkenal, kok tidak ada orang yang berani mengatakan bahwa perguruan tinggi itu sarang koruptor, paling banter mereka menyebutnya sebagai ‘oknum’, ini memang tidak adil ya ki……” Kata Maula.
“Layaknya telur yang dierami; mungkin tidak semua telur akan menetas dan menjadi anak ayam; mungkin ada beberapa butir telur yang karena satu dan lain hal tidak bisa menetas dengan sempurna; dan kalau ada telur seperti itu, bukan berarti induk ayam itu yang salah, lantas kemudian dipotong, harus dilihat secara jernih, harus dikaji secara cermat, agar kita terhindar dari perbuatan yang menjurus ke fitnah dan justru kontra produktif dari tujuan semula untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat….” Kata Ki Bijak.
“Iya ya ki, belum-belum tersangkanya diketahui, justru pihak-pihak yang mungkin tidak tahu menahu malah menjadi gerah dengan pencitraan yang negative dan tidak berimbang…..” Tambah Maula.
“Ki…..,ana jadi kefikiran, bagaimana dengan para koruptor itu ya ki….?” Tanya Maula.
“Maksud Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak memastikan.
“Iya, kalau pelaku bom itu kan kita sepakat bahwa itu perbuatan yang sangat merugikan orang lain, dengan dampak kerusakan yang nyata, baik materil maupun korban jiwa, yang pada saat itu langsung diketahui, lalu bagaimana dengan koruptor, yang dengan perbuatannya telah banyak atau bahkan lebih banyak pihak-pihak yang dirugikan, misalnya saja ada orang korupsi dana kesehatan masyarakat, maka efeknya masyarakat akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, terus kalau masyarakat kurang sehat, maka mereka tidak bisa hidup dan bekerja secara optimal, dan akibatnya bisa sangat banyak, penghasilannya berkurang misalnya, dan lain sebagainya…..”
“Lalu misalnya lagi ada orang yang korupsi dana pembangunan jalan atau jembatan, yang karena dananya kurang, kualitas jalan dan jembatan iu jadi tidak layak, berlubang atau runtuh, yang sangat mungkin mengakibatkan pengguna jalan mengalami kecelakaan atau bahkan meninggal……
“Lalu juga misalnya ada orang yang korupsi subsidi minyak tanah, subsidi pupuk, subsidi listrik dan lainnya, bukankan dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan korup ini juga sangat dahsyat ki…..?, lalu kenapa kita seolah menutup mata dari perbuatan keji semacam ini…..?” Kata Maula keheranan.
“Aki bukan orang yang kompeten untuk menilai apakah perbuatan korup itu bisa disejajarkan dengan pemboman, tapi dari uraian Nak Mas tadi, Aki melihat bahwa memang dari segi akibat yang ditimbulkan, dua-duanya memiliki kesamaan, yaitu merugikan kepentingan masyarakat banyak, hanya bedanya pada waktu untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh kedua perbuatan itu, kalau peledakan bom, efeknya segera kita ketahui, sementara akibat perilaku korup, efeknya baru akan terasa setelah beberapa waktu berselang…” Tambah Ki Bijak.
“Jadi perilaku korup itu seperti bom waktu ya ki….” Kata Maula.
“Kira-kira seperti itu Nak Mas….” Jawab Ki Bijak.
“Kembali kepada masalah pesantren dan ‘teroris’ Ki, apa yang bisa kita perbuat tentu untuk mengembalikan citra pesantren pada posisi yang benar ki….? Tanya Maula.
“Yang pertama; seperti Aki bilang tadi, cara terbaik untuk mengembalikan citra pesantren adalah dengan menghasilkan alumni-alumni pesantren benar-benar mencitrakan pesantren sebagai produsen manusia-manusia unggul yang mampu berinteraksi dengan Allah, dengan sesame manusia maupun berinteraksi dengan lingkungannya secara harmonis….” Kata Ki Bijak.
“Yang kedua, dituntut adanya peran serta aktif semua lapisan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai makna jihad, karena bagaimanapun, kata ‘jihad’, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan konsekuensi keberagamaan setiap muslim, jangan sampai makna jihad yang luhur dan agung, dipelintir untuk kepentingan orang atau golongan tertentu sehingga mencederai makna jihad itu sendiri dan merugikan umat islam secara keseluruhan…, ulama, ustadz, umaroh bahkan masyarakat umum seyogianya berperan aktif dalam memberikan pemahaman yang dan pengawasan generasi muda dan putra-putrinya secara konsisten, karena terbukti, peran pesantren saja belum cukup untuk mencegah adanya penyalahgunaan doktrin jihad secara salah ditengah-tengah masyarakat kita…..” Kata Ki Bijak.
“Yang ketiga, marilah kita membangun ‘pesantren’ dalam keseharian kita, membangun pesantren dalam keluarga kita, membangun pesantren ditengah lingkungan terdekat kita, menjadi santri tidak harus mondok dipesantren, tapi bisa dimana saja, selama pendidikan yang kita dapat bertujuan untuk menjadikan kita manusia yang mampu berhubungan dengan Allah dengan baik, mampu berhubungan dengan manusia lain dengan baik, mampu berhubungan dengan lingkungan dengan baik pula…, meski Aki lebih setuju kalau anak-anak muslim ini mendapatkan pendidikan yang memadai dipesantren formal dengan bimbingan ustadz dan kyai yang mumpuni……” Kata Ki Bijak.
“Selanjutnya marilah kita mohon kepada Allah agar ditunjukan mana jalan yang lurus untuk kita ikuti, dan mana jalan yang salah untuk kita kesampingkan, agar kita bisa selamat meniti jembatan kehidupan ini dengan selamat hingga tiba diujung sana…..” Tambah Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih…….” Kata Maula sambil menyalami gurunya.
Wassalam
August 23,2009
No comments:
Post a Comment