Tuesday, May 8, 2007

TUA SEBUAH KEPASTIAN, DEWASA SEBUAH PILIHAN

“Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”, Demikian sebuah peribahasa yang sangat familiar ditelinga kita untuk menggambarkan seseorang yang dalam hitungan bilangan telah mencapai angka tertentu, tapi kadang berbanding terbalik dengan jumlah bilangan usianya.

Tua adalah bilangan usia, satu tahun, dua tahun atau lima puluh tahun, dan itu pasti terjadi pada siapapun yang dikarunia usia yang sesuai dengan bilangannya, tidak ada orang yang mampu menahan laju usia dan bilangan umurnya, namun kadang usia yang sudah “matang” tidak diimbangi dengan kematangan atau tingkat kedewasaan seseorang, kenapa?

Sekali lagi, tua adalah kepastian, sementara kedewasaan banyak dipengaruhi berbagai faktor, dan tidak tergantung usia.

Ilmu, pengalaman, lingkungan, tingkat pendidikan dan masih banyak lagi yang berperan dalam proses pendewasaan seseorang.

Seseorang yang masih muda, tapi memiliki ilmu pengetahuan yang sangat baik, bertempat tinggal dilingkungan yang menunjang perkembangan fisik dan jiwanya, akan sangat mungkin memiliki tingkat kedewasaan yang jauh diatas orang-orang yang lebih tua, tapi tidak memiliki tingkat pendidikan dan ilmu yang memadai serta tinggal dilingkungan yang membuat perkembangan jiwa dan fisiknya terganggu.

Dalam hal apa saja kedewasaan seseorang harus tercermin.

Kedewasaan dalam beragama – beragama membutuhkan kedewasaan, karena dalam beragama dituntut sebuah tanggung jawab, dan hanya mereka yang sudah benar-benar dewasa sajalah yang mengerti tanggung jawab keberagamaan.

Ikrar Syahadat adalah sebuah pengakuan yang mensyaratkan tanggung jawab, bahwa kita bertanggung jawab untuk membuktikan pengakuan kita bahwa tidak ilah yang berhak disembah dan diibadahi selain Allah Swt. Ikrar kita bahwa Nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul utusan Allah juga mensyaratkan adanya tanggung jawab kita untuk mengaplikasikan apa yang dibawanya dalam peri kehidupan kita, dan menjadikan beliau satu-satunya teladan yang harus diikuti, bukan lainnya.

Sebagaimana dalam sebuah perusahaan, ketika kita menandatangani kontrak kerja kita, artinya kita sudah terikat dan mengikatkan diri dalam perusahaan tersebut, yang sebagai konsekuensinya adalah bahwa kita akan melakukan apa yang menjadi tanggung jawab kita dalam perusahaan itu. Semakin bagus kita bekerja dan bertanggung jawab, maka kita akan mendapat imbalan yang sepadan dengan kualitas dan tanggung jawab kita. Sebaliknya, ketika kita sudah terikat kontrak kemudian kita bermain-main dan melalaikan tanggung jawab kita sebagai seorang karyawan, maka kitapun harus bersiap diri untuk mendapatkan sanksi sebagai konsekuensi kelalaian kita dalam memenuhi tanggung jawab kita.

Shalat kita juga butuh tanggung jawab, Innashalati wanusuki wamayahya wamati lillahita’ala” adalah sebuah “janji” loyalitas dari seorang hamba kepada pencipta-Nya. Kita akan dikategorikan sebagai seorang munafik manakala apa yang kita baca dalam setiap shalat itu hanya sekedar ucapan kamuplase agar kita disebut orang islam.

Sebuah ilustrasi yang bagus dari sosok Cepot dalam pegelaran wayang golek disebuah stasiun televisi yang menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim melaksanakan shalat sebagai kewajiban dan tanggung jawab keberagamaanya;

“Kamu mah seperti anak kecil” Kata Si Cepot kepada Dawala

“Kenapa gitu?” Tanya si Dawala

“Iya, kamu masih seperti anak kecil, yang kalau disuruh mandi saja harus diiming-imingi sesuatu atau ditakut-takuti baru mau mandi” Papar si Cepot.

“Begitupun dengan ibadah kamu, mau tahajud, hanya ketika ingin sesuatu atau takut sesuatu, mau berzakat, ketika ada pamrih, mau berpuasapun bukan semata karena Allah swt” Lanjut si Cepot

“Seandainya anak kecil itu tahu bahwa mandi itu baik bagi kesehatan dirinya, niscaya tanpa disuruhpun ia akan mandi, pun halnya dengan kedewasaan kita dalam beragama, kalau kita tahu esensi shalat untuk kepentingan kita, hakekat zakat untuk kebaikan kita, puasa salah satunya untuk kesehatan kita, niscaya kita akan dengan segera menunaikan kewajiban-kewajiban keberagamaan kita tanpa rasa terpaksa atau dipaksa” Kata Cepot lagi.

Kedewasaan, sekali lagi merupakan hal yang sangat diperlukan bagi siapapun yang menghendaki kebaikan dalam beragama.

Kedewasaan dalam perilaku – ada banyak orang yang bilangan usianya sudah tua, tapi berperilaku seperti anak kecil. Lihat apa saja perilaku anak kecil yang masih sering ditiru oleh “anak-anak yang berusia 50 tahun”,

Ia, anak-anak usia 50 tahun ini masih suka pamer, kalau shalat, shalatnya ingin dilihat orang, kalau zakat, zakatnya karena ingin dikatakan dermawan, kalau berhaji, hanya karena ingin dipanggil pak haji, perilaku ini adalah cerminan ketidak dewasaan seseorang yang melakukannya.

Kita juga masih sering menjumpai “anak-anak usia 50 tahun” yang bicaranya asal bunyi, asal nyeplos, tanpa didasari ilmu, tanpa disertai perasaan apakah ucapannya itu baik atau buruk bagi dirinya atau orang lain. Bahkan” anak-anak usia 50 tahun” yang duduk sebagai pejabatpun masih banyak yang asbun, asal bunyi.

Lalu juga perilaku balita yang masih nampak pada “anak usia paruh baya” adalah “suka merengek” minta ini atau minta itu, kalau tidak dituruti, ngambek.

Kalau meminta kepada Allah penginnya banyak, maunya cepat, sementara kalau shalat telat terus, kalau zakat mikirnya kelamaan, itu adalah cerminan sebuah ketidak dewasaan.

“Mau menang sendiri” juga merupakan perilaku ketidakdewasaan yang masih sering kita jumpai pada “anak-anak paruh baya”.

Dalam pekerjaan misalnya, kalau minta sesuatu ke orang lain maunya cepat, pas diminta bantuan orang lain, ngambek, ukurannya “saya”, yang penting saya selesai, yang penting sudah tidak dimeja saya, bukan dari apakah pekerjaannya sudah bisa dipakai orang lain, itu lain hal bagi mereka yang masih “anak-anak” alias belum dewasa.

Masih banyak sebenarnya perilaku “anak-anak paruh baya” yang kadang lebih kekanak-kanakan dari anak balita sekalipun.

Mudah-mudahan bilangan usia kita yang sudah kepala tiga, kepala empat atau bahkan kepala lima, bisa tercermin dalam kedewasan kita dalam beragama, dalam berperilaku, dalam bersikap, dalam berpikir, sehingga kita benar-benar menjadi orang dewasa, bukan semata karena bilangan usia kita yang banyak jumlahnya.

Selamat datang kedewasaan, selamat tinggal kekanak-kanakan.

Wassalam.

May, 07, 2007

No comments:

Post a Comment