“Innalillahi wainna ilaihi rojiun...., Aki sudah dengar berita tanah longsor diKarang anyar..........?” Tanya Maula demi mendengar berita di Televisi.
“Iya Nak Mas, tadi pagi Aki sempat melihat berita di TV mengenai bencana itu, kalau tidak salah korbannya lebih dari enam puluh orang ya Nak Mas.........” Kata Ki Bijak.
“Benar ki, bahkan korbannya masih mungkin bertambah, karena masih ada beberapa orang yang masih dinyatakan hilang ki..............” Kata Maula.
“Ya Nak Mas, Aki sangat-sangat prihatin dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, karena selain tanah longsor, banjir juga melanda berbagai daerah, ratusan hektar sawah gagal panen, ratusan hektar tambak hanyut, belum lagi kerugian materi dan non materi yang sangat besar jumlahnya, sepertinya kita harus lebih dalam lagi menundukan hati dan kepala kita untuk bisa menangkap ‘pesan’ yang tersirat dari apa yang sekarang terjadi Nak Mas.............?” Kata Ki Bijak.
“Ki, orang lain yang tertimpa bencana, kenapa kita yang justru harus menundukan kepala dan hati lebih dalam ki...............?” Tanya Maula.
“Benar Nak Mas, kita yang harus segera menundukan hati dan kepala kita untuk bersujud kepada-Nya, karena jika hari ini saudara kita yang diuji oleh Allah swt dengan apa yang kita sebut bencana, mungkin esok atau lusa kita yang akan mengalaminya, jadi yang diberi pesan itu kita yang masih hidup Nak Mas, karena orang yang telah ‘mati’ tidak mungkin lagi mampu menerima pesan apapun...............” Kata Ki Bijak.
“Pesan apa yang bisa kita tangkap dari peristiwa itu ki..............?” Tanya Maula.
“Satu pesan yang pasti dan sangat jelas bagi mereka yang masih ‘hidup hatinya’adalah sebuah pesan dari Allah bahwa semua kita akan mati, siapapun kita, presidenkah kita, pejabatkah kita, karyawankah kita, tua-muda, laki-laki atau perempuan, semua pasti akan mengalami yang namanya mati, entah itu karena kita tertimpa tanah longsor, terhanyut banjir, gempa bumi, karena sakit atau apapun syari’atnya, mati adalah sebuah kepastian.............” Kata Ki Bijak.
“Lalu ki.........?” Tanya Maula.
“Lalu kalau kita sudah tahu kita pasti mati, kenapa kita tidak mempersiapkan diri untuk menyambut saat kematian kita dari sekarang..? Kenapa kita justru lebih takut dan lebih disibukan dengan sesuatu yang belum pasti......?” Kata Ki Bijak setengah bertanya.
“Coba Nak Mas kaji dan hitung lagi bagaimana kita menghabiskan jatah hidup kita, kalau kita mau jujur, kita lebih disibukan dengan urusan dunia, kita mengejar kehidupan dunia seakan kita akan hidup selamanya, sudah kerja dikantor dengan menghabiskan waktu lebih dari 10 jam per hari, kita kadang masih disibukan dengan pekerjaan setelah pulang kantor, ada seminar ini, ada urusan itu, dan masih banyak lagi, sementara untuk urusan akhirat, kita melakukannya dengan sekedarnya saja, seakan kita tidak akan pernah mati, shalat yang kita dirikan, dengan sisa semangat dan tenaga setelah lelah diperjalanan, lelah mencuci kendaraan, zakatpun masih banyak diantara kita yang enggan menunaikannya..............” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, Aki benar.............” Kata Maula pendek.
“Lalu kalau Aki tidak salah ingat, kemarin itu bertepatan dengan peristiwa tsunami di Aceh ya Nak Mas......?” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki, tanggal 26 Desember kemarin tepat tiga tahun terjadinya tsunami Aceh, dan bahkan kemarinpun saudara kita di Aceh tengah memperingati kejadian itu ki...........” Kata Maula.
“Coba Nak Mas renungkan lagi, betapa harta yang kita kumpulkan siang malam, berpuluh tahun, dengan berbagai cara, pada akhirnya habis terhanyut air bah tidak lebih dari satu hari............”
“Mobil yang kita banggakan, rumah yang kita idamkan, tabungan yang kita kumpulkan, deposito, tanah dan kebun berhektar luasnya, sama sekali tidak dapat menolong dan menghindarkan kita dari kematian, lalu masihkan kita ‘bertuhan’ pada materi dan harta yang jelas-jelas tidak dapat menolong kita..............?” Kata Ki Bijak setengah bertanya.
“Iya ki, seharusnya rentetan kejadian ini makin menyadarkan kita ya ki..................” Kata Maula.
“Itu yang sedikit Aki sesalkan, ketika kita memperingati bencana dan sejenisnya, kita kerap terjebak pada acara seremonial belaka, atau kadang peringatan justru membuat kita kembali larut dalam kesedihan dan meratapi peristiwa itu, padahal menurut hemat Aki, peringatan itu bertujuan untuk mengingatkan kedhoifan dan kefanaan kita, untuk mengingatkan kita bahwa ada Allah disana yang Maha Berkuasa atas segalanya, dan dengan semua itu, mestinya membuat sujud kita semakin lama, mestinya ruku kita semakin khusyu, mestinya takbir kita semakin bermakna, karena kita menyadari bahwa hidup - mati kita semuanya ada dalam genggaman dan kekuasaan Allah swt............” Kata Ki Bijak.
“Sekarang mari kita tengok kedalam diri kita, apa yang selama ini membuat kita enggan dan sombong dengan tidak mengindahkan perintah dan larangan Allah, harta kita kah..? Wajah rupawan kita kah..?, pangkat dan jabatan kita kah..?, gelar kita kah....?, kemudian jawab dengan jujur, hal yang mana diantara semua yang kita agungkan itu yang dapat menolong kita dari kematian...?”
“Jika jawabannya tidak ada, lalu masih pantaskan kita berlaku sombong dihadapan Allah....?
“Masih pantaskah kita lebih mementingkan mencuci mobil dan motor kita dibanding bersegera memenuhi panggilan adzan....?”
“Masih pantaskah kita berbangga diri dengan ketampanan rupa kita kalau semua itu akan rusak binasa...?”
“Masih pantaskan kita meng-agungkan pangkat dan jabatan kita yang tidak lebih dari kehormatan sementara....? Kata Ki Bijak.
“Ki, boleh tidak kalau ana katakan bahwa rentetan kejadian bencana ini sebagai sebuah bentuk kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita yang sering lupa ki....?” Kata Maula hati-hati.
“Ya Nak Mas, kita memang pelupa, Tsunami Aceh, gempa bumi Jogya, banjir bandang, Jakarta yang hampir tenggelam, gunung merapi meletus, dan sekarang air laut pasang, longsor dan banjir dihampir semua daerah, adalah sebuah cara Allah untuk mengingatkan kita untuk ‘kembali’ kepada jalan yang diridhainya, kepada fitrah kita sebagai manusia yang membutuhkan rahmat dan kasih sayang-Nya..............” Kata Ki Bijak.
“Meski kadang terasa berat dan sakit ya ki............” Kata Maula.
“Ya meski kadang kita merasakan ‘teguran’ itu berat dan menyakitkan, tapi itu bukan karena Allah yang dhalim, tapi lebih karena kita yang ‘nakal’ Nak Mas..........” Kata Ki Bijak.
“Kita yang nakal ki...?” Tanya Maula.
“Betapa tidak, setelah sedemikian banyak ‘tanda-tanda’ kebesaran Allah didepan mata kita, kita tetap saja berlaku acuh dan tidak mengindahkannya, sehingga ‘sangat wajar’ kalau teguran yang tadinya sangat halus, menjadi teguran yang lebih keras, agar kita bisa mendengarnya, agar kita segera kembali kepada-Nya.............” Kata Ki Bijak sambil mengutip sebuah ayat al qur’an;
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). – Ar-rum)
Wassalam
Desember 27, 2007
“Iya Nak Mas, tadi pagi Aki sempat melihat berita di TV mengenai bencana itu, kalau tidak salah korbannya lebih dari enam puluh orang ya Nak Mas.........” Kata Ki Bijak.
“Benar ki, bahkan korbannya masih mungkin bertambah, karena masih ada beberapa orang yang masih dinyatakan hilang ki..............” Kata Maula.
“Ya Nak Mas, Aki sangat-sangat prihatin dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, karena selain tanah longsor, banjir juga melanda berbagai daerah, ratusan hektar sawah gagal panen, ratusan hektar tambak hanyut, belum lagi kerugian materi dan non materi yang sangat besar jumlahnya, sepertinya kita harus lebih dalam lagi menundukan hati dan kepala kita untuk bisa menangkap ‘pesan’ yang tersirat dari apa yang sekarang terjadi Nak Mas.............?” Kata Ki Bijak.
“Ki, orang lain yang tertimpa bencana, kenapa kita yang justru harus menundukan kepala dan hati lebih dalam ki...............?” Tanya Maula.
“Benar Nak Mas, kita yang harus segera menundukan hati dan kepala kita untuk bersujud kepada-Nya, karena jika hari ini saudara kita yang diuji oleh Allah swt dengan apa yang kita sebut bencana, mungkin esok atau lusa kita yang akan mengalaminya, jadi yang diberi pesan itu kita yang masih hidup Nak Mas, karena orang yang telah ‘mati’ tidak mungkin lagi mampu menerima pesan apapun...............” Kata Ki Bijak.
“Pesan apa yang bisa kita tangkap dari peristiwa itu ki..............?” Tanya Maula.
“Satu pesan yang pasti dan sangat jelas bagi mereka yang masih ‘hidup hatinya’adalah sebuah pesan dari Allah bahwa semua kita akan mati, siapapun kita, presidenkah kita, pejabatkah kita, karyawankah kita, tua-muda, laki-laki atau perempuan, semua pasti akan mengalami yang namanya mati, entah itu karena kita tertimpa tanah longsor, terhanyut banjir, gempa bumi, karena sakit atau apapun syari’atnya, mati adalah sebuah kepastian.............” Kata Ki Bijak.
“Lalu ki.........?” Tanya Maula.
“Lalu kalau kita sudah tahu kita pasti mati, kenapa kita tidak mempersiapkan diri untuk menyambut saat kematian kita dari sekarang..? Kenapa kita justru lebih takut dan lebih disibukan dengan sesuatu yang belum pasti......?” Kata Ki Bijak setengah bertanya.
“Coba Nak Mas kaji dan hitung lagi bagaimana kita menghabiskan jatah hidup kita, kalau kita mau jujur, kita lebih disibukan dengan urusan dunia, kita mengejar kehidupan dunia seakan kita akan hidup selamanya, sudah kerja dikantor dengan menghabiskan waktu lebih dari 10 jam per hari, kita kadang masih disibukan dengan pekerjaan setelah pulang kantor, ada seminar ini, ada urusan itu, dan masih banyak lagi, sementara untuk urusan akhirat, kita melakukannya dengan sekedarnya saja, seakan kita tidak akan pernah mati, shalat yang kita dirikan, dengan sisa semangat dan tenaga setelah lelah diperjalanan, lelah mencuci kendaraan, zakatpun masih banyak diantara kita yang enggan menunaikannya..............” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, Aki benar.............” Kata Maula pendek.
“Lalu kalau Aki tidak salah ingat, kemarin itu bertepatan dengan peristiwa tsunami di Aceh ya Nak Mas......?” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki, tanggal 26 Desember kemarin tepat tiga tahun terjadinya tsunami Aceh, dan bahkan kemarinpun saudara kita di Aceh tengah memperingati kejadian itu ki...........” Kata Maula.
“Coba Nak Mas renungkan lagi, betapa harta yang kita kumpulkan siang malam, berpuluh tahun, dengan berbagai cara, pada akhirnya habis terhanyut air bah tidak lebih dari satu hari............”
“Mobil yang kita banggakan, rumah yang kita idamkan, tabungan yang kita kumpulkan, deposito, tanah dan kebun berhektar luasnya, sama sekali tidak dapat menolong dan menghindarkan kita dari kematian, lalu masihkan kita ‘bertuhan’ pada materi dan harta yang jelas-jelas tidak dapat menolong kita..............?” Kata Ki Bijak setengah bertanya.
“Iya ki, seharusnya rentetan kejadian ini makin menyadarkan kita ya ki..................” Kata Maula.
“Itu yang sedikit Aki sesalkan, ketika kita memperingati bencana dan sejenisnya, kita kerap terjebak pada acara seremonial belaka, atau kadang peringatan justru membuat kita kembali larut dalam kesedihan dan meratapi peristiwa itu, padahal menurut hemat Aki, peringatan itu bertujuan untuk mengingatkan kedhoifan dan kefanaan kita, untuk mengingatkan kita bahwa ada Allah disana yang Maha Berkuasa atas segalanya, dan dengan semua itu, mestinya membuat sujud kita semakin lama, mestinya ruku kita semakin khusyu, mestinya takbir kita semakin bermakna, karena kita menyadari bahwa hidup - mati kita semuanya ada dalam genggaman dan kekuasaan Allah swt............” Kata Ki Bijak.
“Sekarang mari kita tengok kedalam diri kita, apa yang selama ini membuat kita enggan dan sombong dengan tidak mengindahkan perintah dan larangan Allah, harta kita kah..? Wajah rupawan kita kah..?, pangkat dan jabatan kita kah..?, gelar kita kah....?, kemudian jawab dengan jujur, hal yang mana diantara semua yang kita agungkan itu yang dapat menolong kita dari kematian...?”
“Jika jawabannya tidak ada, lalu masih pantaskan kita berlaku sombong dihadapan Allah....?
“Masih pantaskah kita lebih mementingkan mencuci mobil dan motor kita dibanding bersegera memenuhi panggilan adzan....?”
“Masih pantaskah kita berbangga diri dengan ketampanan rupa kita kalau semua itu akan rusak binasa...?”
“Masih pantaskan kita meng-agungkan pangkat dan jabatan kita yang tidak lebih dari kehormatan sementara....? Kata Ki Bijak.
“Ki, boleh tidak kalau ana katakan bahwa rentetan kejadian bencana ini sebagai sebuah bentuk kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita yang sering lupa ki....?” Kata Maula hati-hati.
“Ya Nak Mas, kita memang pelupa, Tsunami Aceh, gempa bumi Jogya, banjir bandang, Jakarta yang hampir tenggelam, gunung merapi meletus, dan sekarang air laut pasang, longsor dan banjir dihampir semua daerah, adalah sebuah cara Allah untuk mengingatkan kita untuk ‘kembali’ kepada jalan yang diridhainya, kepada fitrah kita sebagai manusia yang membutuhkan rahmat dan kasih sayang-Nya..............” Kata Ki Bijak.
“Meski kadang terasa berat dan sakit ya ki............” Kata Maula.
“Ya meski kadang kita merasakan ‘teguran’ itu berat dan menyakitkan, tapi itu bukan karena Allah yang dhalim, tapi lebih karena kita yang ‘nakal’ Nak Mas..........” Kata Ki Bijak.
“Kita yang nakal ki...?” Tanya Maula.
“Betapa tidak, setelah sedemikian banyak ‘tanda-tanda’ kebesaran Allah didepan mata kita, kita tetap saja berlaku acuh dan tidak mengindahkannya, sehingga ‘sangat wajar’ kalau teguran yang tadinya sangat halus, menjadi teguran yang lebih keras, agar kita bisa mendengarnya, agar kita segera kembali kepada-Nya.............” Kata Ki Bijak sambil mengutip sebuah ayat al qur’an;
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). – Ar-rum)
Wassalam
Desember 27, 2007
No comments:
Post a Comment