“Ki, kemarin ana berkesempatan untuk berkunjung ke pelosok desa, di Bogor sana, ana tidak tahu apa nama tempatnya, tapi ana sangat berkesan sekali dengan kunjungan kemarin ki...........” Kata Maula menceritakan perjalanannya hari minggu lalu.
“Apa yang membuat Nak Mas terkesan.....?” Tanya Ki Bijak.
“Selain pemandangan alamnya yang indah, ana sangat terkesan dengan ‘kebersahajaan’ orang-orang yang ana temui disana ki...........” Kata Maula.
“Kebersahajaan......, boleh Nak Mas ceritakan lebih lanjut mengenai kebersahajaan yang Nak Mas maksud...?” Pinta Ki Bijak.
“Ana bertemu dengan para pemetik sayuran dilereng gunung yang tengah panen, anak-anak yang berlarian diantara pematang, serta beberapa orang gadis, berjilbab,tapi tanpa alas kaki...............” Kata Maula menuturkan pengalamannya.
“Lalu........?” Tanya Ki Bijak penasaran.
“Lalu, dibalik kesederhaan, kebersahajaan dibawah terik matahari yang menyengat dan memanggang kulit mereka itu, ana justru melihat ‘sebongkah kebahagian’ terpancar dari rona mereka yang lugu, meski ana tidak bertanya langsung, hati ana merasakan keceriaan dan ketenangan hidup mereka yang damai, tentram, meski ditengah kehidupan keras yang sehari-hari mereka jalani, anak-anak pun begitu ceria menjalani hari-harinya ditengah pematang ladang, sangat berbeda dan kontras dengan wajah-wajah orang kota yang selama ini temukan, meski mereka berpakaian rapih, berkendaraan bagus,berdasi dan bekerja ‘nyaman’ dikantor dan ber-AC, tapi sebagian besar wajah-wajah orang kota ini terlihat lusuh, cemas dan tegang.., seperti ada beban berat yang selalu menyertai mereka, kenapa ya ki............?” Tanya Ki Bijak.
Ki Bijak tersenyum mendengar cerita Maula, “Waah, Aki jadi penasaran dengan cerita Nak Mas, kalau berkesempatan Aki ingin juga melihat-lihat kesana Nak Mas...., Nak Mas, kebahagiaan memang tidak ditentukan oleh bagusnya pakaian yang mereka kenakan, tidak ditentukan oleh dimana mereka bekerja, tidak ditentukan oleh dasi yang indah atau mobil yang mentereng, bahkan tidak juga ditentukan oleh besaran penghasilan atau banyaknya tabungan dibank, makna kebahagian lebih mengarah pada bagaimana kita memaknai kehidupan dan kebahagiaan itu sendiri............” jawab Ki Bijak.
“Ana masih belum paham ki............?” Tanya Maula lagi.
“Aki juga orang desa Nak Mas, Aki juga pernah jadi gembala kambing, menyabit rumput, memetik sayuran diladang dan masih banyak lagi yang Aki lakukan sebagai orang desa, jadi sedikit banyak Aki mengerti tentang kehidupan desa yang Nak Mas ceritakan tadi, dan dari pengalaman Aki, hal yang membedakan orang desa yang bahagia dan orang kota yang selalu cemas, gelisah, dan tegang adalah terletak pada perbedaan cara pandang terhadap keduanya dalam memaknai hidup, kebahagiaan, uang dan lainnya......”
“Disatu sisi, orang desa, seperti Aki, sudah sangat bersyukur dengan pendapatan kami dari hasil panen padi dan palawija, kami sudah sangat senang, manakala anak-anak kami sehat, bisa sekolah dan ada sedikit padi dilumbung kami, itu sudah lebih dari cukup, kami hampir tidak pernah ‘bermimpi’ secara berlebih, misalnya ingin mobil mewah, rumah mewah dan deposito serta tabungan yang menumpuk, sehingga kami menjalani hari-hari dengan penuh ceria, damai, dan tenang, meski dari sisi materi, sangat mungkin kami jauh tertinggal dari orang-orang kota......”
“Disisi lain, orang-orang kota, seperti juga mungkin Nak Mas pernah alami, selalu memanjakan dirinya dengan ‘mimpi-mimpi indah’ yang kadang berlebihan, meski mereka sudah bekerja dan berpenghasilan, mereka ingin yang lebih besar, meski mereka sudah memiliki uang untuk makan, mereka terus ingin menambahnya, mereka bermimpi ingin punya mobil mewah, rumah megah, anak-anak yang bersekolah tinggi dan menjadi sarjana, dan lain sebagainya...., dan mimpi-mimpi inilah yang kemudian mendorong otak, pikiran dan hati mereka terus berpacu untuk menggapai mimpi-mimpinya, mereka terus bekerja tanpa kenal lelah, mengekploitasi kondisi fisik dan psikisnya demi impian yang mereka angankan, dan hal inilah kemudian yang nampak dipermukaan wajah sebagian mereka menjadi tampak tegang, cemas, stress dan lain sebagainya, karena mereka takut jika terbangun nanti mimpinya menjadi hilang..........” kata Ki Bijak lagi.
“Benar ki, ana sering menemukan berbagai proposal bisnis yang isinya demikian ‘memanjakan angan-angan’, mulai dari penghasilan yang luar biasa wah, hingga jaminan kesejahteraan yang menjanjikan, sehingga banyak orang kemudian berpacu untuk meraih apa yang mereka sebut mimpi itu.........., bahkan ada yang pernah mengatakan kepada ana, bahwa mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang, agar tidak terus-menerus ‘merepotkan Allah’, dia bilang dia tidak mau kalau butuh sesuatu minta kepada Allah, dengan cara itu tadi ki, ia mengikuti sebuah bisnis yang katanya menjamin kesejehateraan hidupnya dan keluarganya...........” kata Maula.
“Naudzubillah, Nak Mas, bermimpi, memiliki keinginan, mempunyai harapan untuk sesuatu yang lebih baik, sah-sah saja, tapi jika sampai hal itu mengesampingkan atau menafikan Allah sebagai Dzat yang Maha Pemberi, itu sudah syirik Nak Mas.......!!, dan satu lagi, tidak ada satupun yang dapat menjamin seseorang bahagia atau sejahtera, selain Allah, apapun usahanya, berapapun penghasilannya, atau setinggi apapun pangkat dan kedudukannya, sama sekali tidak akan bisa menjamin bahwa ia bisa hidup seperti yang ia impikan selain karena qudra dan iradat_Nya, bahkan sangat mungkin orang-orang yang berprinsip seperti ini akan menjadi orang hubub dunya, orang yang terjebak untuk mencintai dunia secara berlebihan, sehingga ia lalai dengan rencana kehidupan abadinya diakhirat kelak.............” kata Ki Bijak lagi, sambil mengutip ayat al qur;an yang ‘mengancam’ mereka yang menyombongkan diri dengan enggan meminta kepada Allah;
60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
[1326] yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
“Naudzubillah............” Spontan mulut Maula berucap, demi diingatkan dengan ayat dalam surat al Mu’min yang dibacakan gurunya.
“Nak Mas masih ingat kisah Qorun dalam al qur;an......?” Tanya Ki Bijak sejurus kemudian.
“Iya ki, Qorun dikenal dengan kekayaannya yang luar biasa banyak, tapi kemudian ditenggelamkan kedalam bumi karena kekufurannya terhadap nikmat Allah yang diterimanya...........” Kata Maula.
“Salah satu hikmah dari kisah qarun dalam al qur’an adalah agar kita berhati-hati dengan harta yang Allah amanahkan kepada kita, agar kita tidak seperti qarun yang menganiaya dirinya sendiri dengan tidak mensyukuri nikmat Allah...., kisah Qarun adalah sebuah simbol bagi mereka yang salah memandang dunia, seperti orang menempatkan kelereng tepat didepan matanya, sehingga menghalangi pandangannya untuk melihat yang sesuatu lebih besar dihadapannya............”,
Coba Nak Mas ambil kelereng atau bola kecil dikotak itu.........”Perintah Ki Bijak.
Segera Maula mengambil sebuah kelereng dari kotak yang ditunjukan gurunya;
“Sekarang letakan kelereng itu tepat didepan mata Nak Mas, apa yang Nak Mas lihat........?’ Lanjut ki Bijak.
“Ana tidak bisa melihat apa-apa ki...........” Jawab Maula.
“Sekarang, geser kelereng menjauh dari mata Nak Mas, apakah Nak Mas bisa melihat sesuatu sekarang......?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Ya ki, ana bisa melihat berbagai benda didepan ana dengan jelas ki........” Kata Maula.
“Kelereng ini, sebuah simbol dunia yang sangat ‘kecil’ dibanding dengan akhirat, tapi ketika kita menempatkan dan mencintai dunia ini ‘terlalu dekat’ dan berlebihan, maka kepentingan akhirat yang jauh lebih besar, jauh lebih penting, jauh lebih berharga, jauh lebih utama, menjadi terabaikan karenanya, untuk itu, agar kita tidak terjebak kedalam muslihat dunia yang kecil ini, tempatkan dunia pada proporsi yang benar, silahkan kejar dunia, tapi jangan sampai mengabaikan kepentingan akhirat yang jauh lebih besar, silahkan punya mobil, gunakan untuk kepentingan akhirat, untuk menuntut ilmu, untuk ngaji dan lainnya, silahkan punya uang banyak, gunakan untuk zakat, infaq, sedekah dan jihad fisabilillah, silahkan punyai apa yang mungkin kita raih didunia ini, tapi ingat, jangan lupakan kehidupan akhirat yang kekal abadi, jadikan dunia yang kita miliki sebagai sarana kita untuk mencapai ridha Allah dan untuk kehidupan di kampung akhirat nanti.........” kata Ki Bijak, sambil mengutip surat al qashash;
77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
“Dan satu yang harus Nak Mas ingat, panjang angan adalah tipu daya setan, karenanya berhati-hatilah, jangan sampai keinginan dan harapan kita untuk mencari sesuatu yang lebih baik, disisipi oleh tipu daya sang setan durjana...........” kata Ki Bijak sambil mengutip ayat ke 120 dalam surat An-Nissa;
120. Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.
“Lalu bagaimana kita menyeleraskan keinginan kita agar tetap berjalan direl yang benar ki....................?” Tanya Maula.
“Luruskan sajadah kearah qiblat, kemudian shalat dan mohon kepada Allah untuk dibimbing kearah dan jalan yang lurus, bukan hanya untuk urusan dunia, bukan hanya untuk kepentingan usaha, lebih dari itu, sandarkan seluruh hajat dan kebutuhan kita kepada Allah, insya Allah kita tidak akan cemas, tidak akan stress, diakan gamang menjalani kehidupan ini, seperti orang desa yang Nak Mas temui kemarin, damai, tenang, dan sejahtera.............” kata Ki Bijak.
“Terima kasih ki, semoga Allah membimbing ana untuk menjadi orang yang bahagia didunia, dan selamat diakhirat kelak ya ki.........” Kata Maula.
“Amiiin.......”
Wassalam
November 25,2008
“Apa yang membuat Nak Mas terkesan.....?” Tanya Ki Bijak.
“Selain pemandangan alamnya yang indah, ana sangat terkesan dengan ‘kebersahajaan’ orang-orang yang ana temui disana ki...........” Kata Maula.
“Kebersahajaan......, boleh Nak Mas ceritakan lebih lanjut mengenai kebersahajaan yang Nak Mas maksud...?” Pinta Ki Bijak.
“Ana bertemu dengan para pemetik sayuran dilereng gunung yang tengah panen, anak-anak yang berlarian diantara pematang, serta beberapa orang gadis, berjilbab,tapi tanpa alas kaki...............” Kata Maula menuturkan pengalamannya.
“Lalu........?” Tanya Ki Bijak penasaran.
“Lalu, dibalik kesederhaan, kebersahajaan dibawah terik matahari yang menyengat dan memanggang kulit mereka itu, ana justru melihat ‘sebongkah kebahagian’ terpancar dari rona mereka yang lugu, meski ana tidak bertanya langsung, hati ana merasakan keceriaan dan ketenangan hidup mereka yang damai, tentram, meski ditengah kehidupan keras yang sehari-hari mereka jalani, anak-anak pun begitu ceria menjalani hari-harinya ditengah pematang ladang, sangat berbeda dan kontras dengan wajah-wajah orang kota yang selama ini temukan, meski mereka berpakaian rapih, berkendaraan bagus,berdasi dan bekerja ‘nyaman’ dikantor dan ber-AC, tapi sebagian besar wajah-wajah orang kota ini terlihat lusuh, cemas dan tegang.., seperti ada beban berat yang selalu menyertai mereka, kenapa ya ki............?” Tanya Ki Bijak.
Ki Bijak tersenyum mendengar cerita Maula, “Waah, Aki jadi penasaran dengan cerita Nak Mas, kalau berkesempatan Aki ingin juga melihat-lihat kesana Nak Mas...., Nak Mas, kebahagiaan memang tidak ditentukan oleh bagusnya pakaian yang mereka kenakan, tidak ditentukan oleh dimana mereka bekerja, tidak ditentukan oleh dasi yang indah atau mobil yang mentereng, bahkan tidak juga ditentukan oleh besaran penghasilan atau banyaknya tabungan dibank, makna kebahagian lebih mengarah pada bagaimana kita memaknai kehidupan dan kebahagiaan itu sendiri............” jawab Ki Bijak.
“Ana masih belum paham ki............?” Tanya Maula lagi.
“Aki juga orang desa Nak Mas, Aki juga pernah jadi gembala kambing, menyabit rumput, memetik sayuran diladang dan masih banyak lagi yang Aki lakukan sebagai orang desa, jadi sedikit banyak Aki mengerti tentang kehidupan desa yang Nak Mas ceritakan tadi, dan dari pengalaman Aki, hal yang membedakan orang desa yang bahagia dan orang kota yang selalu cemas, gelisah, dan tegang adalah terletak pada perbedaan cara pandang terhadap keduanya dalam memaknai hidup, kebahagiaan, uang dan lainnya......”
“Disatu sisi, orang desa, seperti Aki, sudah sangat bersyukur dengan pendapatan kami dari hasil panen padi dan palawija, kami sudah sangat senang, manakala anak-anak kami sehat, bisa sekolah dan ada sedikit padi dilumbung kami, itu sudah lebih dari cukup, kami hampir tidak pernah ‘bermimpi’ secara berlebih, misalnya ingin mobil mewah, rumah mewah dan deposito serta tabungan yang menumpuk, sehingga kami menjalani hari-hari dengan penuh ceria, damai, dan tenang, meski dari sisi materi, sangat mungkin kami jauh tertinggal dari orang-orang kota......”
“Disisi lain, orang-orang kota, seperti juga mungkin Nak Mas pernah alami, selalu memanjakan dirinya dengan ‘mimpi-mimpi indah’ yang kadang berlebihan, meski mereka sudah bekerja dan berpenghasilan, mereka ingin yang lebih besar, meski mereka sudah memiliki uang untuk makan, mereka terus ingin menambahnya, mereka bermimpi ingin punya mobil mewah, rumah megah, anak-anak yang bersekolah tinggi dan menjadi sarjana, dan lain sebagainya...., dan mimpi-mimpi inilah yang kemudian mendorong otak, pikiran dan hati mereka terus berpacu untuk menggapai mimpi-mimpinya, mereka terus bekerja tanpa kenal lelah, mengekploitasi kondisi fisik dan psikisnya demi impian yang mereka angankan, dan hal inilah kemudian yang nampak dipermukaan wajah sebagian mereka menjadi tampak tegang, cemas, stress dan lain sebagainya, karena mereka takut jika terbangun nanti mimpinya menjadi hilang..........” kata Ki Bijak lagi.
“Benar ki, ana sering menemukan berbagai proposal bisnis yang isinya demikian ‘memanjakan angan-angan’, mulai dari penghasilan yang luar biasa wah, hingga jaminan kesejahteraan yang menjanjikan, sehingga banyak orang kemudian berpacu untuk meraih apa yang mereka sebut mimpi itu.........., bahkan ada yang pernah mengatakan kepada ana, bahwa mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang, agar tidak terus-menerus ‘merepotkan Allah’, dia bilang dia tidak mau kalau butuh sesuatu minta kepada Allah, dengan cara itu tadi ki, ia mengikuti sebuah bisnis yang katanya menjamin kesejehateraan hidupnya dan keluarganya...........” kata Maula.
“Naudzubillah, Nak Mas, bermimpi, memiliki keinginan, mempunyai harapan untuk sesuatu yang lebih baik, sah-sah saja, tapi jika sampai hal itu mengesampingkan atau menafikan Allah sebagai Dzat yang Maha Pemberi, itu sudah syirik Nak Mas.......!!, dan satu lagi, tidak ada satupun yang dapat menjamin seseorang bahagia atau sejahtera, selain Allah, apapun usahanya, berapapun penghasilannya, atau setinggi apapun pangkat dan kedudukannya, sama sekali tidak akan bisa menjamin bahwa ia bisa hidup seperti yang ia impikan selain karena qudra dan iradat_Nya, bahkan sangat mungkin orang-orang yang berprinsip seperti ini akan menjadi orang hubub dunya, orang yang terjebak untuk mencintai dunia secara berlebihan, sehingga ia lalai dengan rencana kehidupan abadinya diakhirat kelak.............” kata Ki Bijak lagi, sambil mengutip ayat al qur;an yang ‘mengancam’ mereka yang menyombongkan diri dengan enggan meminta kepada Allah;
60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
[1326] yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
“Naudzubillah............” Spontan mulut Maula berucap, demi diingatkan dengan ayat dalam surat al Mu’min yang dibacakan gurunya.
“Nak Mas masih ingat kisah Qorun dalam al qur;an......?” Tanya Ki Bijak sejurus kemudian.
“Iya ki, Qorun dikenal dengan kekayaannya yang luar biasa banyak, tapi kemudian ditenggelamkan kedalam bumi karena kekufurannya terhadap nikmat Allah yang diterimanya...........” Kata Maula.
“Salah satu hikmah dari kisah qarun dalam al qur’an adalah agar kita berhati-hati dengan harta yang Allah amanahkan kepada kita, agar kita tidak seperti qarun yang menganiaya dirinya sendiri dengan tidak mensyukuri nikmat Allah...., kisah Qarun adalah sebuah simbol bagi mereka yang salah memandang dunia, seperti orang menempatkan kelereng tepat didepan matanya, sehingga menghalangi pandangannya untuk melihat yang sesuatu lebih besar dihadapannya............”,
Coba Nak Mas ambil kelereng atau bola kecil dikotak itu.........”Perintah Ki Bijak.
Segera Maula mengambil sebuah kelereng dari kotak yang ditunjukan gurunya;
“Sekarang letakan kelereng itu tepat didepan mata Nak Mas, apa yang Nak Mas lihat........?’ Lanjut ki Bijak.
“Ana tidak bisa melihat apa-apa ki...........” Jawab Maula.
“Sekarang, geser kelereng menjauh dari mata Nak Mas, apakah Nak Mas bisa melihat sesuatu sekarang......?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Ya ki, ana bisa melihat berbagai benda didepan ana dengan jelas ki........” Kata Maula.
“Kelereng ini, sebuah simbol dunia yang sangat ‘kecil’ dibanding dengan akhirat, tapi ketika kita menempatkan dan mencintai dunia ini ‘terlalu dekat’ dan berlebihan, maka kepentingan akhirat yang jauh lebih besar, jauh lebih penting, jauh lebih berharga, jauh lebih utama, menjadi terabaikan karenanya, untuk itu, agar kita tidak terjebak kedalam muslihat dunia yang kecil ini, tempatkan dunia pada proporsi yang benar, silahkan kejar dunia, tapi jangan sampai mengabaikan kepentingan akhirat yang jauh lebih besar, silahkan punya mobil, gunakan untuk kepentingan akhirat, untuk menuntut ilmu, untuk ngaji dan lainnya, silahkan punya uang banyak, gunakan untuk zakat, infaq, sedekah dan jihad fisabilillah, silahkan punyai apa yang mungkin kita raih didunia ini, tapi ingat, jangan lupakan kehidupan akhirat yang kekal abadi, jadikan dunia yang kita miliki sebagai sarana kita untuk mencapai ridha Allah dan untuk kehidupan di kampung akhirat nanti.........” kata Ki Bijak, sambil mengutip surat al qashash;
77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
“Dan satu yang harus Nak Mas ingat, panjang angan adalah tipu daya setan, karenanya berhati-hatilah, jangan sampai keinginan dan harapan kita untuk mencari sesuatu yang lebih baik, disisipi oleh tipu daya sang setan durjana...........” kata Ki Bijak sambil mengutip ayat ke 120 dalam surat An-Nissa;
120. Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.
“Lalu bagaimana kita menyeleraskan keinginan kita agar tetap berjalan direl yang benar ki....................?” Tanya Maula.
“Luruskan sajadah kearah qiblat, kemudian shalat dan mohon kepada Allah untuk dibimbing kearah dan jalan yang lurus, bukan hanya untuk urusan dunia, bukan hanya untuk kepentingan usaha, lebih dari itu, sandarkan seluruh hajat dan kebutuhan kita kepada Allah, insya Allah kita tidak akan cemas, tidak akan stress, diakan gamang menjalani kehidupan ini, seperti orang desa yang Nak Mas temui kemarin, damai, tenang, dan sejahtera.............” kata Ki Bijak.
“Terima kasih ki, semoga Allah membimbing ana untuk menjadi orang yang bahagia didunia, dan selamat diakhirat kelak ya ki.........” Kata Maula.
“Amiiin.......”
Wassalam
November 25,2008
No comments:
Post a Comment