Friday, October 9, 2009

ADAKAH INI HANYA KAN MENJADI CERITA…?

Duka…., kembali menguak luka
Gempa…., kembali terjadi dihadapan kita
Rasanya baru kemarin gempa menegur kita
Dengan meratakan bumi priangan ditanah jawa

Hari ini, luka kembali menganga….
Menambah perih derita yang belum lagi sirna
Gempa…, kembali mengingatkan kita…
Dengan meluluh lantakan ranah minang Sumatra..

6.7 skala ritcher….., dengan korban puluhan,
7.6 skala ritcher….., dengan korban ratusan
Derita, luka, dan duka yang sedemikian dalam,
Seakan hanya menjadi penghias berita dan tulisan dimedia

Pernahkah kita bertanya, kenapa terjadi bencana…?
Pernahkah kita berfikir, apa yang telah terjadi dengan bumi kita…?
Pernahkah kita tafakuri, kenapa harus selalu ‘gempa yang bicara’….?
Pernahkah kita merenung, adakah kita selalu lupa…..?”

Kita punya mata, tapi seolah kita tidak melihat…
Kita punya telinga, tapi seolah kita tidak mendengar…
Butakah mata kita.., tulikah telinga kita….?
Atau justru hati kita yang tertutup oleh dosa-dosa kita

Bencana demi bencana berlomba mengingatkan kita….
Gempa bumi menegur kita dengan geliatnya
Tsunami mengingatkan kita dengan gelombangnya
Pun dengan Puting beliung dan badai samudra…..

Kembali.., kembali lah segera….
Kejalan tuhan_Mu yang Maha Pemurah
Sebelum tertutup jalan kearah_Nya
Dengan sebenar-benar taubatan Nasuha….


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…….” Seru Maula dan Ki Bijak hampir bersamaan, demi mendengar berikut gempa bumi yang melanda wilayah Sumatra.

“Ki, rasanya belum genap dua bulan gempa bumi melanda Tasikmalaya; korban belum lagi tertangani seluruhnya, bahkan masih banyak para korban yang tinggal ditenda penampungan, dan rasanya air mata mereka yang ditinggalkan dan darah para korban belum kering, sekarang.., ditambah lagi dengan gempa di Sumatra……, apa yang tengah terjadi sebenarnya ki…? Tanya Maula dengan nada berat, terlebih beberapa sanak familynya berada dilokasi gempa, dan hingga kini ia belum dapat kepastian mengenai kondisi sanak familinya.

“Wallahu’alam Nak Mas, hanya dalam pandangan Aki yang sempit ini, Allah tengah memperlihatkan pada kita apa yang dulu pernah Allah perlihatkan kepada Baginda Rasul dalam perjalanan Isra’ Mi’rajnya….” Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki…?” Tanya Maula belum paham.

“Dalam perjalan Isra’ Mi’raj, Allah memperlihatkan kepada Baginda Rasul kondisi ‘Dunia’ secara simbolis dalam sosok wanita tua renta, dengan perhiasan yang mencolok dan seterusnya…,

“Sekarang ini, Allah tengah memperlihatkan sosok dunia yang sudah renta dan penuh perhiasan itu kepada kita bukan lagi dengan symbol, tapi dengan kondisi nyata…, Nak Mas lihat, bumi kita sekarang ini dihiasa berbagai gedung bertingkat, penuh dengan rumah mewah, dan sangat identik dengan segala hal yang berkaitan dengan materi…,

“Kemudian…., sosok tua renta, yang keriput dan bongkok yang diperlihatkan Allah sebagai symbol dunia dalam Isra’ Mi’raj Baginda Rasul juga dapat kita lihat dari kondisi dunia/bumi yang labil, yang mudah gempa, yang mudah berguncang, gunung berapi memuntahkan laharnya, serta kerusakan bumi yang sudah sedemikian nyata, air laut tercemar, habitat alaminya rusak, ikan-ikan dan mahluk penghuninya pun sudah jauh berkurang karena kepunahan….,

“Pun didaratan, isi perut bumi diexploitasi sedemkian rupa, tambangnya di ambil, minyaknya dipompa, airnya disedot, bahkan strukturnya tanahnya dirubah sedemikian rupa, gunung diratakan, lautan dijadikan daratan, hutan sudah gundul, gunung sudah rata, air sungai tercemar, dan berbagai kerusakan lainnya…,

“Demikianpun dengan udara kita, sudah penuh dengan asap dan polusi, dan bahkan terakhir, isu mengenai global warming mengemuka, yang ditandai dengan makin panasnya suhu udara dan berbagai penyakit sebagai efek dan perubahan cuaca global tersebut….., maka menurut Aki lengkaplah sudah gambaran bumi yang sudah tua ini terpampang dihadapan kita…..” Kata Ki Bijak.

“Subhanallah, benar ki, kalau empat belas abad yang lalu saja, dunia dan bumi ini sudah digambarkan seperti sosok wanita yang tua renta, empat belas abad setelahnya, pasti sudah jauh lebih tua, pasti sudah jauh lebih renta, dan….apakah itu artinya kiamat sudah semakin dekat ki…..?’ Kata Maula dengan nada agak sengau.

Ki Bijak tersenyum melihat mimic Maula yang agak berubah;

“Nak Mas, kiamat adalah sebuah keniscayaan, dan mengenai waktunya, Nak Mas perhatikan ayat ini;


17. Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ?

“Jadi apa yang Nak Mas katakan tadi; bahwa kiamat sudah dekat, jauh sebelumnya sudah Allah gambarkan dalam al qur’an, yang terpenting bagi kita sekarang adalah bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi ‘kiamat’ itu, dan Nak Mas bisa mengambil hikmah yang luar biasa dari apa yang terjadi kemarin di Sumatra sana……..” kata Ki Bijak.

“Hikmah apa saja ki….?” Tanya Maula.

“Pertama, bahwa secara fitrah, kita cenderung mencintai yang indah, yang cantik atau kalau mungkin yang abadi……” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki….?” Tanya Maula penasaran

“Lalu kalau kita tahu bahwa dunia ini sudah renta, sudah tua, akan mengalami kerusakan, akan mengalami kepunahan, bijakkah kita kalau kemudian kita mencurahkan seluruh waktu dan harapan kita hanya untuk urusan dunia…? Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki, kita jangan terlalu cinta dunia, dan kemudian hanya mengejar urusan dunia, hingga melalaikan akhirat yang jauh lebih indah, jauh lebih luas dan bahkan abadi, bukan begitu ki….?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, karena kita tahu bahwa kecintaan kepada dunia yang berlebihan, akan mengakibatkan kita lalai dengan urusan akhirat kita, bahkan sebuah nasehat bijak mengatakan kecintaan pada dunia yang berlebih inilah yang menjadi induk dari segala kejahatan, kita ambil contoh orang yang korupsi, karena ia sangat mencintai dunia, sehingga ia mengusahan dunia itu dengan berbagai cara, tanpa memperhatikan kaidah dan hukum yang berlaku…….” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki…..” Kata Maula.

“Lalu hikmah yang kedua, bahwa kematian bisa datang setiap saat, dimanapun, kapanpun, dan tidak peduli siapapun dia, dan dengan cara apapun yang dikehendaki Allah, gempa bumi yang hanya sekian detik, sangup merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa dengan kehendak Allah, minggu lalu kita lihat contohnya ditasik, sekarang di Sumatra, dan kita tidak tahu dimana dan kapan lagi itu akan terjadi, karena boleh jadi hari ini kita yang akan bercerita tentang korban gempa, besok lusa mungkin kita yang akan menjadi cerita dari mereka yang tersisa……” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu ki…? Tanya Maula.

“Kehidupan setelah kematian kita didunia ini adalah sebuah perjalanan panjang yang kekal dan abadi Nak Mas, maka alangkah tidak bijaknya kita kalau kita tidak memperisiapkan bekal untuk perjalan panjang itu……..”

“Kalau untuk kehidupan dunia yang hanya sementara, yang hanya lebih kurang tujuh puluh tahun saja kita harus jungkir balik, harus banting tulang, memeras keringat untuk mencukupinya, kenapa untuk kehidupan akhirat yang kekal kita hanya berusaha sekedarnya saja…….?” Tambah Ki Bijak.

“Iya ya ki, untuk shalat, kita hanya menghabiskan tidak lebih dari satu jam per hari, untuk shaum, hanya sebulan dalam setahun, untuk haji, hanya sekali seumur hidup, untuk zakat, hanya 2.5% saja yang kita zakatkan, sementara untuk ngobrol, untuk nonton tv, untuk belanja rokok, untuk pesiar, kita menghabiskan waktu, tenaga dan uang yang jauh lebih besar dan banyak….” Kata Maula menambahkan.

“Ya Nak Mas, sebaik-baik orang adalah mereka yang mampu memanfaatkan jatah umurnya dengan seimbang untuk urusan akhirat dan dunianya….” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu adakah hikmah lain ki….?” Tanya Maula

“Ya Nak Mas, gempa di Sumatra ini hanya berselang beberapa waktu dengan ramadhan yang baru saja meninggalkan kita, dan apa yang terjadi disana, ada isak tangis, ada ratapan pilu, ada onggokan jasad yang hancur, ada rumah-rumah yang rata dengan tanah, ada banyak hal yang seakan ingin menguji kita, apakah shaum kita berhasil atau tidak…” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki…?” Tanya Maula.

“Nak Mas masih ingat, bahwa salah satu nilai fungsional shaum adalah mentarbiyah kita dengan sifat-sifat ketuhanan, shaum mendidik kita untuk memiliki kepekaan yang tinggi, shaum mendidik kita untuk memiliki sikap tenggang rasa, tepa seliro, berempati dengan orang lain, penyantun, dermawan dan sebagainya, salah satu atau sebagian kecil indicator keberhasilan shaum kita mungkin akan terlihat dari bagaimana kita bersikap terhadap saudara-saudara kita di Sumatra sana, adakah kita turut prihatin,berempati dan kemudian berbuat ‘sesuatu’ untuk setidaknya meringankan beban mereka..?

“atau justru sebaliknya, kita hanya mendengar dan menonton tayangan bencana, kemudian kita tak acuh dan sama sekali tidak tergerak untuk berbuat sesuatu….?” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki, ya Allah.., jadikanlah kami orang-orang yang selalu dapat menangkap ayat-ayat_Mu dalam segala peristiwa, dan jauhkan kami dari sifat-sifat orang yang buta dan tuli yang sama sekali tidak mendengar jerit tangis dan rintih pilu saudara-saudaranya……..” Kata Maula.

“Amiin….” Sambut Ki Bijak.

Wassalam

October 08 2009

No comments:

Post a Comment