“Ini Nak Mas, Aki punya gambaran yang bagus sebagai analogi berhasil tidaknya shaum kita…..” Kata Ki Bijak, menjawab pertanyaan Maula mengenai bagaimana shaum ramadhan membentuk pribadi mutaqin,sambil memperlihatkan sebuah photo bangunan masjid yang belum selesai dibangun.
Dengan segera Maula mengamati photo yang diperlihatkan gurunya
“Nak Mas perhatikan ini, ada bambu-bambu sebagai penyangga, ada papan bougesting, ada besi-besi yang dirakit sedemikian rupa, untuk kemudian dituang semen cor untuk membuat lantai dan tiang masjid…” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, papan kolom, bougesting dan besi-besi ini digunakan untuk membentuk lantai dan tiang sesuai yang dikehendaki……” Kata Maula mulai mengerti arah pembicaraan gurunya.
“Lalu menurut Nak Mas, apakah kualitas lantai dan tiang ini dinilai ketika papan kolom dan penyangga ini masih terpasang atau sesudah papan dan penyangga ini dilepas…?” Tanya Ki Bijak.
“Tentu setelah papan kolom, bougesting dan bambu-bambu penyangganya dilepas ki, kita akan bisa melihat bagaimana bentuk dan kekuatan lantai dan tiang-tiang ini, apakah bentuknya sesuai dengan tujuan awal dan memiliki kekuatan sesuai dengan yang diinginkan……..” Kata Maula.
“Sekarang mari kita cermati pendapat ulama yang menyatakan setidaknya ada tiga fungsi shaum; Tazhib – disini shaum berfungsi untuk mengarahkan lahir bathin manusia agar ‘sesuai’ menjadi sosok manusia yang dikehendaki Allah, kemudian fungsi shaum yang kedua; Ta'dib, yakni membentik karakterisktik jiwa manusia; dan yang ketiga Tadrib, yakni sebagai medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna, yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir shaum yakni takwa. …..”Papar Ki Bijak.
“Tahzib.., mengarahkan, Ta’bid…,membentuk karakteristik jiwa, dan Tadrib membentuk manusia paripurna……., jadi….yang Aki maksud fungsi shaum ramadhan ini kira-kira sama dengan fungsi papan kolom dan tiang-tiang penyangga ini ya ki, yakni sebagai sarana untuk mengarahkan kita untuk mencapai bentuk, karakteristik dan sosok yang sesuai dengan kehendak Allah….?” Kata Maula mencoba menyimpulkan.
“Mungkin tidak persis sama Nak Mas, namum dalam hemat Aki, kurang lebihnya seperti itu, shaum ramadhan yang baru saja meninggalkan kita, merupakan ‘papan kolom’ dan ‘bougesting’ bagi kita untuk menjadi sosok manusia paripurna, manusia dengan predikat mutaqin…….” Kata Ki Bijak lagi.
“Dan seperti yang Nak Mas katakan tadi, kualitas lantai dan tiang ini baru akan terlihat setelah papan kolom dan bougestingnya dilepas, maka kualitas shaum ramadhan kita pun akan dinilai selepas bulan ramadhan…;
“Kalau dibulan ramadhan kita ‘rajin’ kemasjid, maka dibulan syawal ini, setelah “kolom dan bougesting” ramadhannya ‘dilepas’, kita dapat mengevaluasi apakah kerajinan kita kemasjid selama ramadhan kemarin benar-benar sesuatu yang timbul dari kesadaran dari lubuk hati kita yang ingin menjadi orang bertakwa, atau justru hanya karena sekedar ikut-ikutan, sekedar tidak enak sama handai taulan, atau sekedar turut meramaikan saja, tanpa tahu esensi dari aktivitas ramadhan kita….”
“Kalau dibulan ramadhan kemarin kita rajin tarawih atau qiyamul lail, maka dibulan setelahnya, adakah aktivitas qiyamul lail kita meningkat, atau justru sebaliknya, kita kembali menjadi orang yang senang menghabiskan malam dengan tidur mendengkur….”
“Kalau dibulan ramadhan kemarin kita rajin tadarus dan tadabur al qur’an, maka dibulan berikutnya, adakah kita masih giat melaksanakannya, atau kita kembali menjadikan al qur’an sebagai pajangan dialmadi buku atau menjadikannya ‘jimat’ untuk menakut-nakuti jin dan sejenisnya….”
“Kalau dibulan ramadhan kemarin shalat fardu kita tepat waktu, maka dibulan berikutnya apakah shalat kita masih tepat waktu, atau jangan-jangan shalat tepat waktu kita pada saat ramadhan hanya karena kita tidak makan siang saja atau ada orang yang terus menerus meningatkan kita…..”
“Kalau dibulan ramadhan kemarin kita mampu menahan diri dari makanan dan minuman yang halal serta istri yang sah selama kita shaum, maka seharusnya dibulan-bulan berikutnya kita lebih mampu lagi menahan diri dari makanan, minumam yang haram dan wanita yang bukan mahrom kita…”
“Pun demikian dengan aktivitas ramadhan lainnya, kalau selama ramadhan kita rajin bersedekah, rajin menolong, bisa menahan untuk tidak berbicara yang tidak senonoh, tidak bergunjing, bisa berlaku sabar, maka dibulan berikutnya, adakah semuanya itu meningkat atau justru sebaliknya………………” Tutur Ki Bijak panjang lebar.
“Jadi bulan syawal ini bisa kita jadikan bulan evaluasi ya ki….” Kata Maula.
“Salah satu makna Syawal sendiri secara harfiah berarti ‘meningkat’ Nak Mas, dalam arti setelah selama kurang lebih sebulan kita ditatar dan didadar dibulan ramadhan, idealnya dibulan syawal ini keimanan kita akan meningkat, ketaatan kita akan meningkat, kualitas ibadah kita akan meningkat, mental kita menjadi lebih teruji dan ‘alarm’ kita terhadap hal-hal yang dilarang Allah juga dapat berfungsi lebih maksimal….., dan mereka itulah yang sebenarnya lebih berhak merayakan idul fitri dan mengucapkan minal ‘aidin wal faidzin, dan mereka itulah orang-orang yang ‘kembali’……” Kata Ki Bijak lagi.
“Akan halnya mereka yang setelah ramadhan tidak mengalami peningkatan ki….?” Tanya Maula lagi.
“Mungkin mereka itulah yang termasuk kedalam golongan yang disebut dalam hadits Berapa banyak umat(ku) yang shaumnya hanya mendapatkan lapar dan haus saja, selebihnya tidak ada perubahan……” Kata Ki Bijak.
“Seperti puasanya ular ya ki….” Kata Maula.
“Ya Nak Mas, seperti puasanya ular, makan, kemudian berdiam diri hingga makanannya tercerna, dan kemudian kembali mencari mangsa lagi dengan kondisi yang lebih ganas….., mudah-mudahan Allah menghindarkan kita dari perilaku shaum seperti ular itu……” Kata Ki Bijak.
“Iya ki…., terima kasih….” Kata Maula sambil berpamitan.
Wassalam.
September 30,2009
No comments:
Post a Comment