Thursday, October 29, 2009

DUNIA BUKAN PANGGUNG SANDIWARA

“Ki, ana sering mendengar beragam pendapat orang ketika mereka ditanya bagaimana mereka memaknai kehidupan dunia ini, ada yang mengatakan bahwa kehidupan dunia ini panggung sandiwara, ada yang mengatakan hidup ini perjuangan, dan lain sebagainya, menurut Aki sendiri bagaimana ki…?” Tanya Maula.

“Menurut hemat Aki, kehidupan dunia ini adalah pengabdian Nak Mas….?” Jawab Ki Bijak.

“Kehidupan dunia ini pengabdian ki…..?” Maula baru mendengar pendapat seperti itu.

“Benar Nak Mas, hidup dan kehidupan kita didunia ini semata untuk mengabdi kepada Allah swt, lain tidak, sesuai dengan firman_Nya dalam Surat Ad-dzariyat ayat 56…..” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat dimaksud;

56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

“Akan halnya orang yang berpendapat bahwa dunia dan kehidupannya merupakan panggug sandiwara ki….?” Tanya Maula

“Setiap orang berhak memiliki pendapat yang berbeda dalam memaknai kehidupan ini Nak Mas, tapi coba Nak Mas perhatikan ada apa saja diatas panggung sandiwara….” Kata Ki Bijak.

“Banyak sekali ki, dalam sebuah pementasan, beragam karakter dan peran ada, ada orang yang kaya, ada orang yang miskin, ada orang yang baik, ada juga orang yang jahat, ada yang ta’at, ada pula pembangkang, ada bromocorah, ada juga ksatria, ada raja, ada juga hamba, ada orang alim, ada pula orang jahil, hampir menyerupai kehidupan nyata ki…….” Kata Ki Bijak.

“Menyerupai memang, tapi takkan sama, Nak Mas tahu bedanya…? Bedanya adalah apa yang ada diatas panggung sandiwara itu hanya pura-pura, hanya kebohongan…, kalau ada yang kaya, tidak berarti ia kaya beneran, pun kalau ada yang miskin, kemiskinannya pun bohongan..;

“Kalau ada yang taat, maka ketaatannya bohongan, bukan ketaatan yang sebenarnya, ketaatannya semata hanya ingin tampil baik dihadapan penonton, ketaataanya hanya ingin pujian, bukan lahir dari ketulusan dan keikhlasan…”

“Pun demikian karakter dan peran lainnya, semuanya hanya pura-pura dan bohongan…., Nak Mas bisa bayangkan kalau kehidupan kita ini disamakan dengan peran actor dipanggung sandiwara, maka Nak Mas akan mendapati orang yang taat kepada Allah, tapi taatnya bohongan, taatnya hanya kalau ada keperluan, taatnya hanya disaat ditimpa kemalangan, taatnya hanya karena ingin jabatan, taatnya hanya karena ingin pujian, taatnya hanya kamuflase, betapa orang yang pura-pura taat ini akan menderita kerugian yang sangat, karena Allah hanya akan menerima ketaatan yang didasari keikhlasan dan ketulusan sebagai pengabdian seorang mahluk kepada khaliqnya…….” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki…., kalau ada orang shalatnya hanya sandiwara agar dibilang orang yang shaleh, apa jadinya ya ki…? Atau ada orang yang gembar gembor menganjurkan orang lain shalat semata karena sandiwara, hanya karena ingin dipuji, ini juga menjadi lucu…..” Kata Maula.

“Pun kalau ada orang yang shaumnya hanya sandiwara, karena malu sama teman dan keluarga, shaum semacam ini tidak memiliki nilai apapun disisi Allah swt…..” Kata Ki Bijak,

“Atau kalau ada orang yang zakat dan sedekahnya hanya sandiwara, hanya karena ingin disebut dermawan, zakat dan sedekah semacam ini pun tidak memiliki nilai apapun disisin Allah….”

“Apalagi pergi haji, yang sangat mudah disisipi oleh perasaan riya, hajinya karena kebanyakan harta, hajinya hanya sandiwara, maka haji semacam inipun tidak lain hanya menghabiskan uang tanpa makna…….” Kata Ki Bijak lagi.

“Kalau shalatnya hanya sandiwara dan pura-pura, zakatnya pura-pura, hajinya pun pura-pura, mungkin dapat surganya pun surga-surgaan ya ki…….” Kata Maula lagi.

“Mungkin saja seperti itu Nak Mas, mereka yang bersandiwara dalam ibadah, akan memperoleh kebahagiaan (surga) sesaat dari pujian orang lain didunia ini, karena yang mereka sembah pun sebenarnya bukan Allah, tapi tuhan-tuhanan, bisa tuhan yang bernama harta, tuhan yang bernama tahta atau bahkan tuhan bernama wanita…” Lanjut Ki Bijak.

“Iya ki…., akan halnya dengan mereka yang memakna kehidupan ini dengan perjuangan ki….?” Tanya Maula.

Ki Bijak menarik nafas panjang, “Kata perjuangan sebenarnya sangat bagus, hanya kadang kita kerap salah memaknainya, dengan kata perjuangan sering ditafsirkan untuk selalu ‘berperang’ dan ‘bertempur’, sehingga mereka yang memaknai hidupnya dengan perjuangan, sering terjebak dengan makna yang mereka buat sendiri, kehidupannya selalu diwarnai dengan ketidak tenangan, mereka seakan selalu berhadapan dengan musuh, mereka selalu merasa dikejar-kejar, mereka selalu merasa harus buru-buru, dan lain sebagainya…, maka perjuangan yang seharusnya bermakna positif, tidak jarang malah menjadikan kehidupan seseorang seakan selalu berada dimedan pertempuran, jauh dari kedamaian, jauh dari ketenangan, jauh dari rasa persahabatan…..”

“Lain halnya ketika kita memaknai kehidupan ini sebagai pengabdian kepada Allah semata, pengabdian tidak pernah menuntut upah, pengabdian tidak pernah ingin pamrih, pengabdian tidak pernah mengharap pujian, pengabdian adalah keikhlasan dan ketulusan, pengabdian adalah penyerahan diri secara total kepada Allah swt tanpa pretense apapun…..”

“Insya Allah, dengan kehidupan seperti ini, kita tidak terbebani ketika Allah mewajibkan kita menjalani syari’at_Nya, bahkan ketika Allah menyuruh kita untuk bangun malam, untuk tahajud, dengan dasar pengabdian, maka tahajud bukanlah beban…”

“Pun ketika Allah memerintahkan kita mengeluarkan sebagian harta kita, mereka yang menyadari bahwa perintah itu adalah ujian terhadap pengabdiannya, maka ia akan dengan sangat rela dan ikhlas membelanjakan hartnya dijalan Allah….”

“Orang yang memaknai hidupnya sebagai pengabdian kepada Allah,tidak akan mengeluh ketika harus menahan lapar dan dahaga untuk shaum, orang yang memaknai hidupnya sebagai pengabdian, akan menjalankan apapun yang diperintahkan Allah dengan sungguh-sungguh dan disertai keikhalasan……” Kata Ki Bijak panjang lebar.

“Benar Ki…,ana setuju, hidup adalah pengabdian kepada Allah swt……” Kata Maula sambil menyalami Ki Bijak untuk pamitan.

Wassalam

October 2009.

Tuesday, October 27, 2009

PELAJARAN HARI INI: JANGAN BERGANTUNG PADA MAHLUK

“Aneh ya ki…..” Kata Maula memulai perbincangan.

“Apanya yang aneh Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak.

“Ini Ki, setiap hari senin biasanya ana sering kesulitan mendapatkan kendaraan untuk berangkat kerja, karena mobilnya penuh oleh karyawan yang pulangnya seminggu sekali, hingga hari seninnya mobil penuh sesak….” Kata Maula.

“Lalu….?” Tanya Ki Bijak lagi

“Lalu ana mencoba meyakinkan diri ana, bahwa senin kali ini, ana tidak boleh kesiangan, ana berdoa kepada Allah semoga ana diberi kemudahan untuk sampai kekantor, bismillahi tawakaltu ‘alallah laa haula wala quata ila billah….,”

‘Dan Alhamdulillah, hari senin kemarin ana diberi kemudahan dengan tumpangan kendaraan tetangga sebelah yang berangkat bareng, dan ana sudah sampai kantor sekitar pukul 7.30……” Kata Maula.

Ki Bijak masih menunggu kelanjutan cerita Maula.

“Dan hari ini, ana justru datang lebih siang dari kemarin ki……” Kata Maula.

“Kenapa Nak Mas..?” Tanya Ki Bijak

“Karena setelah tumpangan kemarin, ana merasa sangat yakin bahwa hari ini juga ana akan dapat tumpangan dari tetangga ana itu, karena memang beliau mengatakan berangkatnya bareng saja, tapi pas lewat, beliau sedang bercakap dihandphone, hingga tidak melihat ana, jadi ana berangkat sendiri seperti biasa…., aneh kan ki, kemarin tidak ditungguin malah dapat tumpangan, hari ini yang sudah confirm, malah nggak jadi…..” kata Maula.

Ki Bijak tersenyum, “Tidak ada yang aneh menurut Aki Nak Mas, justru kejadian yang Nak Mas alami, telah memberi Nak Mas setidaknya dua pelajaran yang sangat berharga untuk Nak Mas camkan…” Kata Ki Bijak.

“Kejadian kemarin memberi ana dua pelajaran berharga ki…?” Tanya Maula heran.

Ki Bijak mengangguk, “Pelajaran pertama adalah jangan bergantung pada mahluk, dan yang kedua, jangan mendahului kehendak Allah……” Jawab Ki Bijak.

“Ana masih belum mengerti ki….” Kata Maula lagi.

“Ketika hari senin, Nak Mas belum tahu akan ikut tumpangan siapa, dan karenanya Nak Mas memohon kepada Allah untuk diberikan tumpangan, saat itu posisi Nak Mas benar, yakni bermohon dan bergantung kepada Allah……”

“Sebaliknya, hari ini, karena Nak Mas ‘tahu’ bahwa ada yang akan mengajak Nak Mas berangkat bareng, Aki yakin Nak Mas tidak lagi merasa bergantung kepada Allah, tapi kepada tetangga Nak Mas tadi, bukan begitu Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

“Astaghfirullah…, benar Ki, meski ana tidak mengucapkannya, ana sangat yakin bahwa hari ini ana akan ikut tetangga ana, ana yakin sekali akan hal itu, lha wong kemarinnya sudah confirm….” Kata Maula.

“Itulah yang Aki maksud dengan pelajaran berharga Nak Mas, Nak Mas sekarang tahu, bahwa mahluk itu lemah, mahluk itu pelupa, termasuk mungkin tetangga Nak Mas itu, beliau lupa telah menjanjikan tumpangan kepada Nak Mas kemarin…., lain halnya kalau kita bergantung kepada Allah, Allah pasti tidak akan lupa, Allah tidak akan lalai dan pasti memenuhi janji-Nya……” Kata Ki Bijak.

“Astaghfirullah…., ana merasa berdosa Ki, karena telah ‘mengabaikan’ Allah dan justru berharap pada mahluk…, ya Rabb ampuni kekhilafan hamba_Mu yang dhaif ini…..” Kata Maula menyadari kekeliruannya.

“Ya Nak Mas, Nak Mas harus terus menerus memupuk kesadaran untuk senantiasa bergantung dan berharap kepada Allah saja, dalam segala hal, termasuk hal kecil yang mungkin Nak Mas anggap sepele seperti berharap dapat tumpangan mobil hari ini………” Kata Ki Bijak.

“Iya ki……” Kata Maula pendek.

“Pelajaran yang kedua adalah jangan mendahului kehendak Allah…, apa yang Nak Mas alami hari ini mengejarkan kepada Nak Mas, bahwa seyakin apapun Nak Mas, sepasti apa pun janji mahluk kepada Nak Mas, tidak menjamin apapun kecuali dengan qudrah dan iradah_Nya…….., berharap boleh, tapi Aki merasakan bahwa harapan Nak Mas kemarin, telah ‘mendahului’ kehendak Allah, maka hari ini Allah seakan berkata kepada Nak Mas, ‘Tanpa izin_Ku, apa yang kamu bisa lakukan wahai Maula…” Kata Ki Bijak lagi.

“Astaghfirullah……, benar ki, semalam ana berkata kepada istri bahwa besok ana akan ikut dengan tetangga, tanpa mengucap insya Allah, ana sangat yakin sekali, hingga ana berangkat agak santai……” Kata Maula.

“Semoga pengalaman Nak Mas hari ini, bisa menjadi bekal dan pelajaran yang akan Nak Mas ingat selamanya, jangan bergantung kepada mahluk, karena Allah sajalah tempat kita dan segala sesuatu bergantung, Allahu shommad, dan jangan mendahului kehendak Allah, karena dengan kebesarannya, Allah bisa berbuat apapun yang DIA kehendaki, dengan Kun fayakun_Nya, Allah bisa mengubah sesuatu yang menurut kita tidak mungkin menjadi mungkin, dan sebaliknya, Allah bisa merubah apa yang menurut kita bisa, menjadi sesuatu yang mustahil menurut Allah……” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, insya Allah ana akan selalu ingat……………” Kata Maula sambil terus mentafakuri apa yang hari ini terjadi, sebuah ‘kejadian kecil’ yang bermakna besar baginya, ia kemudian membaca surat Al Ikhlas berulang-ulang, dimana didalamnya tertulis dengan jelas, Allah_lah tempat segala bergantung;

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."


Wassalam;

October 27,2009

Monday, October 26, 2009

TUSUK GIGI

“Nak Mas pernah dengar kisah hikmah tentang seorang ahli ibadah dan sebatang tusuk gigi….?” Tanya Ki Bijak, ketika berdiskusi tentang ‘dosa kecil’ yang kerap diabaikan, tapi kemudian menjadi aral bagi jalan menuju surga.

“Ahli ibadah dan tusuk gigi ki…? Ana belum pernah mendengarnya…” Jawab Maula.

“Terlepas apakah kisah ini kisah nyata atau hanya kisah simbolik, Aki berpendapat bahwa kisah ini sangat bagus untuk menjadi tambahan ibrah bagi kita, terutama agar kita berhati-hati dengan dosa-dosa yang kita anggap kecil, tapi dapat berdampak besar dikelak kemudian hari…” Tambah Ki Bijak.

“Bagaimana kisahnya ki…..?” Tanya Maula penasaran.

“Konon ada seorang ahli ibadah, ia melaksanakan shalat dengan baik, ia menunaikan zakat dengan baik, menunaikan shaum pun demikian halnya, bahkan ia telah menyempurnakan rukun Islam yang kelima dengan berangkat ketanah suci Makkah……” Ki Bijak mengawali ceritanya.

“Lalu ki….?” Maula tambah penasaran.

“Singkat cerita, sang ahli ibadah ini kemudian meninggal dunia, setelah beberapa lama ia dikebumikan, dalam sebuah versi cerita, salah seorang kerabatnya bermimpi bahwa ia melihat sang ahli ibadah ini, justru mendapat siksa kubur yang sangat menyakitkan, jasadnya tidak lagi terbaring, tapi terduduk, dan dari mulutnya keluar api yang terus menerus……..” Kata Ki Bijak lagi.

“Apa yang terjadi dengan ahli ibadah ini ki…, kenapa ia mendapatkan siksa kubur seperti itu…?” Tanya Maula.

“Hari berikutnya, sang kerabat memimpikan hal yang sama, ia melihat sang ahli ibadah itu disiksa didalam kuburnya, ia bertanya kepada sang ahli ibadah, dosa apakah gerangan yang membuatnya mendapatkan siksa kubur…..” Lanjut Ki Bijak.

“Dengan izin Allah sang ahli ibadah itu menuturkan kepada kerabatnya, bahwa sebenarnya selama hidupnya ia selalu menunaikan shalat, menunaikan zakat, shaum dan ibadah haji, hanya suatu ketika, sepulang dari undangan, sang ahli ibadah mengambil bagian kecil pagar bambu tetangganya untuk mengambil sisa makanan yang tersangkut pada giginya, sang ahli ibadah mengambil sekerat bambu untuk dijadikan tusuk gigi, tanpa izin orang yang punya pagar, dan hal itulah yang kemudian menyebabkan ia mendapatkan siksa kubur seperti itu, mulutnya mengeluarkan api terus menerus…….” Kata Ki Bijak.

Maula bergidik mendengar cerita gurunya, ia berfikir kalau hanya sekerat bambu untuk tusuk gigi saja mengakibatkan seorang ahli ibadah mendapatkan siksa kubur seperti itu, bagaimana mereka yang mengambil harta orang lain, bagaimana mereka yang korupsi, bagaimana mereka yang memakan makanan orang lain tanpa izin dari siempunya makanan, bagaimana mereka yang meminum air orang lain tanpa sepengetahuan si pemiliknya…? Serentetan pentanyaan segera saja singgah di benaknya……”

“Ki….kalau sekerat tusuk gigi saja siksanya sedemikian rupa, bagaimana mereka yang melakukan korupsi ya ki….? Bagaimana mereka yang memakan harta anak yatim, bagaimana mereka yang memakan sumbangan korban bencana…?” Tanya Maula kemudian.

“Wallahu’alam Nak Mas, Allah lebih tahu balasan apa yang pantas bagi mereka yang dengan sadar dan sengaja melakukan perbuatan yang jelas-jelas merugikan orang lain…., semoga Allah melindungi kita dari perbuatan – perbuatan semacam itu…..” Kata Ki Bijak.

“Adakah mereka yang korupsi, mereka yang memakan harta anak yatim dan sumbangan gempa pernah mendengar kisah ini ki…., seandainya mereka tahu betapa perbuatan mereka akan mendatangkan azab yang sangat dikubur dan akhiratnya…..” Kata Maula.

“Sekedar mendengar mungkin saja sudah, atau bahkan sering Nak Mas, hanya respon masing-masing orang terhadap nasehat yang baik tidaklah sama Nak Mas, seperti Nak Mas mungkin bergidik mendengar cerita seperti ini, tapi bagi orang lain, sangat mungkin mereka menganggapnya hanya sekedar dongeng atau omong kosong yang tak perlu diacuhkan, atau bahkan justru sebagian mereka menganggapnya lelucon….” Kata Ki Bijak.

“Kenapa bisa seperti itu ki….?, bukankah sebagian mereka yang berbuat semacam itu adalah orang-orang pintar dan terdidik ki….?” Tanya Maula.

“Maaf Nak Mas, Aki tidak bisa menjawabnya, kenapa mereka yang pintar dan terdidik tapi masih dengan sadar berani melakukan pelanggaran terhadap hukum dan aturan yang ada…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Ki…bagaimana halnya dengan pekerjaan ki…?” Tanya Maula.

“Maksud Nak Mas….?” Ki Bijak memastikan.

“Begini Ki, misalnya kita lalai dalam pekerjaan, atau misalnya kita kerjanya tidak benar, sehingga mengakibatkan partner kerja kita jadi repot, harus lembur untuk menyelesaikan pekerjaan kita, apakah itu juga sebuah dosa ki…..?” Tanya Maula.

“Pada dasarnya, setiap hal yang merugikan orang lain, baik apakah itu berupa materi, seperti kisah ahli ibadah tadi, atau dalam hal ‘kelalaian’ yang sengaja, seperti misalnya karena kita bolos, kita malas, kita banyak mengerjakan hal lain diluar pekerjaan kita, yang kemudian mengakibatkan orang lain ‘dirugikan’, adalah merupakan perbuatan yang kurang atau tidak terpuji Nak Mas, apalagi kalau kemudian orang yang menggantikan pekerjaan kita itu tidak ridha, atau harus ketinggalan shalatnya karena banyaknya pekerjaan yang kita lalaikan…., bisa-bisa diakhirat nanti kita dituntut oleh orang itu Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

“Apa yang harus kita lakukan untuk menghindari tuntutan itu ki….?” Tanya Maula.
“Minta maaf pada orang tersebut, dan minta diikhlaskan atas apa yang telah membuatnya dirugikan oleh kita…?” Kata Ki Bijak.

“Tapi kadang malu juga ki, kalau harus minta maaf….” Kata Maula.

“Kenapa harus malu….?’, lebih baik malu disini dan sekarang, daripada kemudian kita harus malu dihadapan Allah dikelak kemudian hari, dan ketidak ridhaan orang tersbut menjadi ‘penghalang’ ridha Allah kepada kita…” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya…..” Kata Maula.

“Intinya, jangan pernah menganggap ‘remeh’ perbuatan yang kita lakukan, adalah bijak kalau setiap langkah kita ukur dengan syariat, kita ukur dengan nilai kepatutan, kita ukur dengan norma dan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis, tak mengapa kalau kemudian kita dinilai orang terlalu lambat, jika itu akan menyelamatkan kita…….” Kata Ki Bijak.

Maula mengangguk tanda mengerti, sesaat kemudian ia pamitan kepada gurunya untuk pulang.

Wassalam
October 22, 2009

MATA HATI

“Apa saja yang diperiksa Nak Mas….” Tanya Ki Bijak mengenai proses medical check up yang baru dijalani Maula.

“Semuanya ki, termasuk check mata dan penglihatan……” Kata Maula.

“Bagaimana kondisi mata Nak Mas……” Tanya Ki Bijak, demi mengetahui bahwa Maula menggunakan kaca mata minus.

“Minusnya lumayan besar ki, ana tidak bisa melihat angka-angka dipapan uji dari jarak tertentu…..” Kata Maula.

“Tetap bersyukur ya Nak Mas, terlepas dari kondisi mata Nak Mas yang mengalami minus, Nak Mas harus tetap mensyukurinya, mata dhahir Nak Mas boleh minus, tapi tidak demikian dengan mata ini……” Kata Ki Bijak sambil menunjuk dada dengan jarinya.

Segera Maula menundukan kepala untuk melihat dadanya, “Mata ini ki….?” Tanya Maula mengulang.

“Ya Nak Mas, Mata Hati….., mata hati kita tidak boleh rusak, mata hati kita tidak boleh minus, bahkan mata hati kita tidak boleh kotor sedikitpun dari debu dan dosa yang dapat menghalanginya untuk dapat melihat kebenaran, untuk dapat melihat keadilan, untuk dapat ‘melihat Allah’, karenanya jaga mata hati kita dengan baik…..” Kata Ki Bijak.

“Apa saja yang dapat merusak kejernihan pandangan mata hati kita ki….?” Tanya Maula.

“Beberapa waktu lalu, kita pernah berdiskusi mengenagi penyakit hati Nak Mas, yaitu Angkuh, Iri, Dengki dan Sombong……, jauhi penyakit ini, karena keberadaan penyakit-penyakit ini, akan menghilangkan kejernihan pandangan hati kita….,

“Angkuh akan menghalangi penglihatan kita terhadap kelebihan orang lain…, sehingga kita cenderung meremehkan orang lain, dan ini tidak sehat Nak Mas “

“Iri akan menghalangi penglihatan kita terhadap nikmat Allah kepada kita, penyakit iri ini hanya akan mengarahkan pandangan kita kepada nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain, sementara itu kita lalai mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita…, penyakit ini akan melahirkan sifat kufur, dan Nak Mas tahu sanksi Allah terhadap orang-orang yang kufur nikmat, yaitu adzab yang pedih….”

“Dengki, akan menghalangi pandangan kita terhadap kebenaran, dengki melahirkan permusuhan, bahkan tak jarang sifat dengki menjadi awal terjadinya pertumpahan darah…..”

“Serta kesombongan akan menutup mata hati kita terhadap nasehat dari orang lain, kesombongan juga menutup mata hati kita dari ilmu yang bermanfaat, kesombongan juga akan menutup mata hati kita terhadap kedhaifan diri kita, sehingga kita tidak bisa merasakan keagungan Allah swt……., sombong hanya akan mendekatkan kita pada sifat syetan durjana…..” Kata Ki Bijak.

“Ya ki…..” Kata Maula.

“Lalu cinta dunia yang berlebihan, hal ini juga akan menghalangi pandangan mata hati kita….., cinta dunia yang berlebihan, akan menutup mata hati kita keinginan untuk dapat melihat keagungan Allah swt, yang ada yang uang, harta dan materi semata….

“Cinta kepada dunia yang berlebihan, akan menutup mata hati kita dari kepentingan akhirat yang jauh lebih besar….;

“Cinta dunia yang berlebihan, akan menutup mata hati kita terhadap kebenaran, bahkan cinta dunia yang berlebihan bisa menjadi pangkal dari segala perbuatan kejelekan…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Cinta dunia yang berlebihan pangkal dari segala kejelekan ki….?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, Hubbudunya khoti’ati kulli sayyiat….., Nak Mas lihat bagaimana orang korupsi, karena ia sangat mencintai dunia, karena ia ingin hartanya bertambah dengan sebanyak-banyaknya…..”

“Nak Mas perhatikan ada orang yang menggunakan segala cara, hanya demi memenuhi nafsunya akan dunia….”

“Nak Mas lihat betapa banyak orang yang rela menjual akidahnya, hanya demi kehidupan dunia yang mereka anggap lebih baik…”

“Tak sedikit orang yang menjual kehidupan akhiratnya demi untuk memperoleh pangkat dan jabatan dunia, yang jika mereka tahu, pasti mereka akan menyesalinya….”

“Tak jarang orang rela mengabaikan perintah Allah, Tuhan yang telah menciptakannya hanya demi kepentingan dunia, dan masih banyak lagi, betapa kecintaan pada dunia ini membutakan pandangan mata hati dari hal-hal yang seharusnya…..”

“Iya ki, ada banyak…ada orang yang rela mengorbankan anaknya demi dunia, ada orang yang rela mengorbankan keluarganya, demi dunia, ada orang yang bahkan rela menggadaikan kebahagiaannya sendiri hanya untuk mengejar dunia yang semu…..” Tambah Maula.

“Ya seperti itu Nak Mas, maka hindarkan kecintaan kepada dunia secara berlebih ini, agar kejernihan mata hati kita terjaga…..” Kata Ki Bijak.

“Selanjutnya, yang dapat membutakan mata hati adalah bertumpuknya dosa didalam hati ini, dosa ini ibarat kerak dan noda yang akan memudarkan kejernihan pandangan mata hati kita, ibarat cermin, semakin kotor permukaan cermin, maka akan semakin buram cahaya yang terpantul darinya, sebaliknya semakin bersih dan mengkilap permukaan cermin ini, maka akan cahaya yang terpantul akan semakin baik dan terang…….” Kata Ki Bijak mencontohkan.

“Iya ki…..” Kata Maula.

“Dan yang jauh lebih penting yang harus kita hindarkan agar mata hati kita tetap terjaga kejernihannya adalah jauhi perilaku syirik, perilaku menyekutukan Allah dengan selain_Nya…….” Kata Ki Bijak.

“Kenapa Ki….?” Tanya Maula.

“Syirik, dengan segala bentuknya, merupakan hijab yang sangat tebal yang menghalangi pandangan mata hati kita untuk dapat melihat Allah, syirik merupakan dosa dari segala dosa yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah swt, syirik merupakan dinding tebal yang tidak akan tertembus cahaya kebenaran, syirik laksana penjara syetan untuk mengasingkan kita dari Allah, mengasingkan kita dari kebenaran, mengasingkan kita dari cahaya ilahi…….”Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, semoga mata hati ana lebih bagus dan lebih jernih dari mata dhazir ini…..” Kata Maula.

“Mata lahir yang sehat, itu juga penting Nak Mas, tapi Mata Hati yang sehat, jauh lebih penting karena hanya dengan kejernihan mata hati inilah kita akan bisa melihat ayat-ayat Allah dengan lebih jernih, lebih bijak, lebih arif dan terang…..” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat Allah;


46. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.


“Iya ki………” Maula tak banyak memberikan tanggapan atas petuah gurunya, hatinya sibuk bertanya seberapa jernihkah mata hatinya….ia berdoa kepada Allah semoga mata hatinya tetap jernih dan terjaga dari hal-hal yang akan menumpulkannya.

Wassalam

October 26,2009.

Tuesday, October 20, 2009

ES BATU

“Photo apa ini Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak, melihat photo di handphone Maula.


“Oooh ini ki, tadi sewaktu nunggu mobil tadi pagi, kebetulan ada orang yang bawa es batu balokan berhenti tepat didepan ana ki, ana iseng, lalu mengambil gambarnya…..” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar jawaban Maula, “Nak Mas…, Nak Mas tahu bahwa apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita temukan, semuanya tidak ada yang kebetulan, tapi sudah diatur Allah, termasuk dengan pertemuan Nak Mas dengan tukang es batu tadi itu, kejadian itupun sudah diatur Allah, agar Nak Mas bisa mengambil pelajaran dari es batu tersebut….” Kata Ki Bijak.

“Mengambi pelajaran dari es batu ki….?” Tanya Maula heran.

Ki Bijak mengangguk “ Benar Nak Mas, kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari es batu ini….” Kata Ki Bijak kemudian.

Maula masih diam, ia belum menemukan ‘pelajaran’ dari es batu yang secara ‘iseng’ ia ambil gambarnya pagi tadi.

“Nak Mas perhatikan es batu ini…., es ini, jika dicampur dengan sirup, tentu akan menambah kesegaran es sirup yang kita minum, jika ditambahkan dengan kelapa muda, tentu juga menambah kesegaran air kelapa muda kita, pun ketika es batu ini ditambahkan kedalam teh manis, atau dicampur dengan buah-buahan, akan menambah ‘rasa’ dari minuman yang kita minum, meski kemudian es batu itu mencair, es batu tersebut telah melaksanakan fungsinya untuk menambah rasa dingin pada minuman, artinya lagi es batu ini bermanfaat bagi kita…….” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki………….?” Maula belum paham kearah mana wejangan dari gurunya tersebut.

“Lalu seandainya kita membiarkan es batu ini seperti dalam gambar ini, apakah es batu akan tetap seperti ini, atau akan mencair Nak Mas….?” Tanta Ki Bijak memancing.

“Tentu es batu ini akan mencair ki…” Jawab Maula singkat.

“Apakah pencairan es batu seperti ini sama manfaatnya dengan ketika kita mencairkannya kedalam minuman…..?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Tidak Ki, kalau es batu ini kita campur dengan minuman dan kemudian es ini mencair didalamnya, akan menambah kesegaran pada minuman kita, tapi kalau es ini dibiarkan mencair seperti ini, ya tidak menambah apapun, selain es batu ini akan habis dalam jangka waktu tertentu ki……” Jawab Maula.

Ki Bijak manggut-manggut, “Sekarang mari kita tengok kedalam diri kita, kita dikarunia Allah umur dalam waktu tertentu untuk menjalani kewajiban kita selaku hamba….., dan umur yang diberikan Allah kepada kita ini, laksana es batu ini Nak Mas, setiap saat akan mencair,setiap detik, umur kita berkurang, setiap menit umur kita berkurang, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, bulan dan tahun yang kita lalui, hakekatnya mengurangi jatah hidup kita didunia ini, persis seperti lelehan air es batu ini…………….” Kata Ki Bijak.

Maula baru tersadar dengan ungkapan terakhir gurunya, bahwa usia atau umur manusia, akan berkurang setiap waktu, mulai detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun, laksana lelehan es batu ini…dengan segera ia lebih memfokuskan perhatiannya pada photo es batu yang secara iseng ia ambil tadi pagi.

“Kalau kita menggunakan umur kita untuk beribadah kepada Allah, tentu kita akan mendapatkan pahala disisi Allah, kalau kita memanfaatkan umur kita untuk menuntut ilmu, insya Allah ilmu dan pengetahuan kita akan bertambah, pun ketika kita menggunakan waktu kita untuk hal-hal yang bermanfaat, maka umur kita akan memberikan manfaat bagi kita, sebelum akhirnya jatah umur kita itu habis……” Kata Ki Bijak, tanpa menunggu komentar Maula yang masih asyik memperhatikan photo es batunya.

“Sebaliknya, kalau misalnya kita tidur seharian, hal itu sama sekali tidak akan menambah jatah umur kita, bahkan umur kita tetap akan berkurang, atau kalau kemudian kita menggunakan umur kita untuk foya-foya, untuk malas-malasan, umur kita tetap akan habis sebagaimana melelehnya es batu ini, tanpa memberi manfaat apapun bagi kita kecuali kerugian…..” Tambah Ki Bijak.

“Iya ya ki, es batu ini kalau dibiarkan habis, dipakai habis, tapi mending dipake, karena kerasa nikmatnya, umur kitapun sama, dipakai untuk ibadah berkurang, tapi mendapat pahala, untuk bermaksiatpun tetap akan habis, tapi hanya menambah dosa…..” Kata Maula menyadari apa yang diwejangkan gurunya.

“Jadi, sebagai mahluk yang dikarunia Allah dengan akal dan fikiran, alangkah bijaknya kalau kemudian kita menggunakan jatah umur kita untuk hal-hal yang bermanfaat saja, untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah saja, untuk melakukan berbagai pekerjaan yang baik-baik saja, tidur sekedarnya saja, nonton TV sekedarnya saja, baca Koran sekedarnya saja, karena umur kita tidak akan pernah bertambah, tapi justru akan senantiasa terus berkurang, sejalan dengan waktu yang terus berputar…………………” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki, terima kasih……” Maula tersenyum simpul, demi menyadari photo es batu yang diambilnya secara iseng tadi pagi, telah memberinya banyak pelajaran.

“Terima kasih es batu…, syukur kepada_Mu ya Allah yang telah member hamba seorang guru yang arif dan bijak, sehingga keisengan hamba pun bisa bermakna……….” Kata Maula pelan.

Ki Bijak tersenyum; “Nak Mas harus lebih jeli lagi dalam melihat berbagai hal, karena sekali lagi, tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang terjadi dengan sendirinya, semuanya atas dan dengan izin Allah…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki……..” Kata Maula mengakhiri diskusi es batunya.

Wassalam

October 20,2009

JAUHI SIFAT IRI, PINTU SURGA MENANTI

“Nak Mas masih ingat dengan sebuah riwayat dimana Rasul menyebut seseorang sebagai calon ahli surga…?” Kata Ki Bijak, menjawab pertanyaan Maula mengenai perilaku para calon-calon penghuni surga kelak.

“Iya Ki…, dalam sanad Imam Ahmad diriwayatkan dari Anas ra bahwa ketika itu para shahabat tengah duduk-duduk bersama baginda Rasul, kemudian Baginda Rasul bersabda: "Akan datang kepada kalian di jalan yang kecil ini seorang laki-laki diantara ahli surga (rojulun min ahli jannah)….."

“Lalu….?’ Pancing Ki Bijak

“Dan kemudian datang seorang laki-laki dari golongan anshar yang jenggotnya itu basah bekas air wudhu dan ia menjinjing sandalnya di tangan kirinya, dan dia mengucapkan salam kepada Rasul dan para sahabat yang ada disana….”

“Besoknya Rasulullah SAW bersabda lagi: "Akan datang kepada kalian seorang laki-laki calon ahli surga". Dan ternyata, orangnya sama, kemudian di hari ketiga Rasulullah SAW kembali bersabda, dan yang muncul orang itu lagi…”

“Hal demikian mengundang rasa penasaran salah seorang sahabat, yang bernama Abdullah bin Amr untuk mengetahui amaliah apa yang dilakukan oleh si laki-laki yang disebut-sebut oleh Rasulullah sebagai calon ahli Surga, kemudian Abdullah bin Amr bersiasat untuk mengetahui amaliah tersebut dengan berpura-pura ia tengah bertengkar dengan keluarganya dirumah, sehingga ia minta izin untuk tinggal dirumah silaki-laki calon ahli surga tersebut…..”

“Abdullah bin Amr akhirnya tinggal dirumah laki-laki tersebut hingga tiga malam, ia mencoba mengamati setiap gerak-gerak sang calon ahli surga; ternyata sang calon ahli surga tidak pernah sholat malam, sholat tahajud, kecuali tatkala dia berbalik dalam tidurnya, ia selalu berdzikir kepada Allah dan bertakbir, demikianlah, sampai ia terjaga hanya untuk sholat subuh saja…..,

“Dan setelah hari ketiga, setelah Abdullah bin Amr mengetahui ‘hanya amalan itu saja’ yang dilakukan oleh si Ahli Surga, akhirnya Abdullah berterus terang kepada orang tersebut; dan ia berkata kepada anshor tadi bahwa sebenarnya antara ia dan bapaknya tidak ada kebencian pertengkaran, tapi sebetulnya ia hanya ingin tinggal di rumah calon ahli surga saja, sebab Rasulullah pernah berkata tiga kali bahwa ia calon ahli surga…., hanya ingin sekedar tahu apa yang dilakukan oleh si calon Ahli surga sehingga ia bisa mencontohnya…..”

“Si calon ahli surga mengatakan bahwa ia tidak melakukan amaliah lain kecuali yang dilihat oleh Abdullah bin Amr, ditambah dengan ‘sedikit amal lain’ yaitu bahwa ia tidak pernah menyimpan rasa benci, ia tidak pernah menipu atau berbuat curang kepada orang lain dan tidak pernah punya rasa hasad atau iri atas kebaikan yang telah Allah berikan atas orang lain…….” Kata Maula menuturkan apa yang pernah ia dapatkan dari gurunya.

“Subhanallah, Nak Mas laksana perpustakaan berjalan bagi Aki, Nak Mas mengingat hampir semua apa yang pernah Aki sampaikan atau kita diskusikan, yang Aki sendiri kadang suka alpa…., syukuri dan jaga karunia ingatan yang baik itu ya Nak Mas….” Kata Ki Bijak.

“Insya Allah ki…, lalu bagaimana cara menjaga agar ingatan kita tetap baik dan terpelihara ki..?” Kata Maula.

“Sebagaimana tubuh, otak kitapun memerlukan asupan dan vitamin yang memadai, karenanya Nak Mas harus secara konsisten memberi suplemen pada otak Nak Mas dengan berbagai nasehat, berbagai pengetahuan dan berbagai ilmu yang bermanfaat bagi Nak Mas, dan syukur kelak bisa disharing dengan orang lain….”

“Yang kedua, untuk memelihara ingatan yang baik, perbanyaklah menghafal al qur’an, karena insya Allah, semakin banyak hafalan al qur’an kita, maka daya ingat kita akan dipelihara Allah….”

“Yang ketiga, jauhi perbuatan dosa dan maksiat, sekecil apapun perbuatan dosa dan maksiat, akan menjadi karat dan debu yang mengotori otak, fikiran dan hati kita, semakin banyak karat dan debut itu menempel di otak, maka akan semakin tumpul pula daya ingat kita…..”

“Selanjutnya tentu dengan selalu mengingat Allah Nak Mas……., dan kembali ke topic kita, Nak Mas perhatikan lagi riwayat yang barusan Nak Mas sampaikan, orang yang disebut-sebut oleh Nabi sebagai calon ahli surga itu ternyata ‘hanya’ mengerjakan amal biasa, bahkan tanpa mengecilkan pentingnya tahajud, orang itu menurut Abdullah bin Amr tidak melakukakannya, ia hanya memiliki ‘kelebihan’ bahwa ia tidak pernah merasa iri terhadap nikmat yang Allah berikan pada orang lain dan tidak pernah curang, itu saja………….” Kata Ki Bijak.


“Ia memiliki ‘kelebihan’ bahwa ia tidak pernah merasa iri terhadap nikmat yang Allah berikan pada orang lain dan tidak pernah curang, itu saja………….” Kedengarannya mudah ya ki…, tapi apakah semudah itu melakukannya ki…?” Kata Maula.

“Maksud Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak lagi.

“Maksud ana…, kalau sekedar menjaga sikap untuk tidak menampakan rasa iri terhadap orang lain, mungkin masih banyak orang yang bisa, tapi bagaimana kita bisa menjaga hati kita agar terhindar dari perasaan iri ini ki…, karena perasaan ini sangat halus dan mungkin kita tidak menyadarinya, mungkin kita hanya tahu bahwa kita ingin seperti orang itu, kita ingin sebaik orang itu, dan lainnya, namun kadang keinginan itu secara tidak sadar ditumpangi perasaan iri itu…..” Kata Maula.

Ki Bijak menarik nafas panjang, “Benar Nak Mas…., perasaan iri, riya,ujub dan penyakit hati lainnya sangat halus, bahkan mungkin lebih halus dari rambatan semut yang kecil sekalipun, karenanya tidak ada cara dan jalan lain untuk mendeteksinya dengan memperhalus, memperlembut dan membersihkan hati kita…..” Kata Ki Bijak.

“Memperhalus memperlembut dan membersihkan hati kita ki…?” Tanya Maula lagi.

Ki Bijak mengangguk, “Coba Nak Mas ambil tissue itu satu lembar saja, dan Nak Mas letakan disini…..” Kata Ki Bijak

Tanpa banyak bertanya, Maula melakukan apa yang diperintahkan gurunya;

“Lalu Nak Mas letakan Koran yang Nak Mas bawa itu disamping tissue….” Pinta Ki Bijak lagi

Maula segera meletakan Koran yang ia pegang disamping tissue putih seperti permintaan gurunya.

Kemudian Ki Bijak mengambil dua ekor semut hitam kecil yang sedang merambat didinding Masjid, “Maaf ya semut, ana ambil sebentar……” Kata Ki Bijak, seolah minta izin pada semut.

Maula tersenyum melihat gurunya, betapa santunnya sang Guru sehingga untuk mengambil semut saja ia mesti minta maaf.

Ki Bijak meletakan dua ekor semut masing-masing diatas tissue putih dan Koran yang bertinta gelap; “Nak Mas bisa melihat semut diatas tissue ini…..?” Tanyanya kemudian.

“Iya ki……” Kata Maula sambil terus mengamati pergerakan semut diatas tissue.

“Sekarang coba Nak Mas cari dimana semut satunya lagi, yang tadi Aki letakan diatas Koran ini…?” Tanya Ki Bijak.

Maula nampak lebih mendekatkan wajahnya ke Koran untuk menemukan semut yang lainnya.

“Ketemu Nak Mas…..?” Tanya Ki Bijak.

“Belum Ki…., tidak kelihatan.., samar dengan tinta Koran ini…..” Jawab Maula sambil terus mencari semut yang tengah merambat diatas Koran.

“Nak Mas tahu bedanya kenapa Nak Mas dengan mudah menemukan semut yang merambat diatas tissue, tapi kesulitan menemukan semut satunya di Koran yang bertinta….?” Tanya Ki Bijak sejurus kemudian.

“Tissue ini putih bersih ki, sehingga dengan mudah semut hitam yang berjalan diatasnya terlihat, sementara tinta dan tulisan Koran ini menyamarkan semut yang berjalan diatasnya….” Kata Maula.

“Kalau tadi Aki katakana bahwa penyakit iri, ujub dan riya itu lebih halus dari rambatan semut, maka untuk mengetahui dan mendeteksinya secara dini, hati kita harus seputih dan sebersih tissue ini Nak Mas, sehingga seperti Nak Mas lihat tadi, meskipun semut itu hitam, kecil dan bergerak, tapi Nak Mas bisa menemukannya dengan cepat……,

“Coba Nak Mas bayangkan seandainya hati kita ini penuh bercak, penuh coretan, penuh guratan dan karat sehingga menghitam seperti Koran ini, jangankan penyakit iri, riya dan ujub, penyakit sombong yang tampak secara lahir pun akan sulit untuk terdeteksi oleh hati yang penuh noda dan debu dosa….” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana mengerti Ki…., lalu bagaimana caranya untuk memperlembut hati kita…?” Tanya Maula lagi.

“Dengan dzikrullah Nak Mas, dengan banyak mengingat Allah, mengingat kebesaran Allah, mengingat keagungan Allah, dalam setiap saat, disetiap waktu, dimanapun dan kapanpun, baik dengan lisan,dengan perbuatan dan tentu lebih khusus dengan hati……, detakan selalu hati kita untuk menyebut asma_Nya yang Agung, insya Allah hati kita akan menjadi lembut, lebih halus dan lebih peka untuk dapat mengetahui hal-hal yang halus dan tersembunyi dalam berbagai hal…..” Kata Ki Bijak lagi.

“Iya ki….., ana mengerti” Kata Maula, sambil langsung mencoba dzikir seperti yang dicontohkan gurunya; matanya dipejamkan, bibirnya dikatupkan, ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian hatinya merintih lirih menyebut asma_Nya.., Allah….,Allah…,Allah………………………”

Ki Bijak membiarkan Maula larut dalam dzikirnya, sesaat kemudian ia pun nampak asyik dan larut dalam dzikir yang sangat khusyu….., kedua orang dan murid itu kemudian larut dalam keindahan dzikir untuk menetapi keagungan Allah swt.

Wasaalam

October 19, 2009

Friday, October 9, 2009

ADAKAH INI HANYA KAN MENJADI CERITA…?

Duka…., kembali menguak luka
Gempa…., kembali terjadi dihadapan kita
Rasanya baru kemarin gempa menegur kita
Dengan meratakan bumi priangan ditanah jawa

Hari ini, luka kembali menganga….
Menambah perih derita yang belum lagi sirna
Gempa…, kembali mengingatkan kita…
Dengan meluluh lantakan ranah minang Sumatra..

6.7 skala ritcher….., dengan korban puluhan,
7.6 skala ritcher….., dengan korban ratusan
Derita, luka, dan duka yang sedemikian dalam,
Seakan hanya menjadi penghias berita dan tulisan dimedia

Pernahkah kita bertanya, kenapa terjadi bencana…?
Pernahkah kita berfikir, apa yang telah terjadi dengan bumi kita…?
Pernahkah kita tafakuri, kenapa harus selalu ‘gempa yang bicara’….?
Pernahkah kita merenung, adakah kita selalu lupa…..?”

Kita punya mata, tapi seolah kita tidak melihat…
Kita punya telinga, tapi seolah kita tidak mendengar…
Butakah mata kita.., tulikah telinga kita….?
Atau justru hati kita yang tertutup oleh dosa-dosa kita

Bencana demi bencana berlomba mengingatkan kita….
Gempa bumi menegur kita dengan geliatnya
Tsunami mengingatkan kita dengan gelombangnya
Pun dengan Puting beliung dan badai samudra…..

Kembali.., kembali lah segera….
Kejalan tuhan_Mu yang Maha Pemurah
Sebelum tertutup jalan kearah_Nya
Dengan sebenar-benar taubatan Nasuha….


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…….” Seru Maula dan Ki Bijak hampir bersamaan, demi mendengar berikut gempa bumi yang melanda wilayah Sumatra.

“Ki, rasanya belum genap dua bulan gempa bumi melanda Tasikmalaya; korban belum lagi tertangani seluruhnya, bahkan masih banyak para korban yang tinggal ditenda penampungan, dan rasanya air mata mereka yang ditinggalkan dan darah para korban belum kering, sekarang.., ditambah lagi dengan gempa di Sumatra……, apa yang tengah terjadi sebenarnya ki…? Tanya Maula dengan nada berat, terlebih beberapa sanak familynya berada dilokasi gempa, dan hingga kini ia belum dapat kepastian mengenai kondisi sanak familinya.

“Wallahu’alam Nak Mas, hanya dalam pandangan Aki yang sempit ini, Allah tengah memperlihatkan pada kita apa yang dulu pernah Allah perlihatkan kepada Baginda Rasul dalam perjalanan Isra’ Mi’rajnya….” Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki…?” Tanya Maula belum paham.

“Dalam perjalan Isra’ Mi’raj, Allah memperlihatkan kepada Baginda Rasul kondisi ‘Dunia’ secara simbolis dalam sosok wanita tua renta, dengan perhiasan yang mencolok dan seterusnya…,

“Sekarang ini, Allah tengah memperlihatkan sosok dunia yang sudah renta dan penuh perhiasan itu kepada kita bukan lagi dengan symbol, tapi dengan kondisi nyata…, Nak Mas lihat, bumi kita sekarang ini dihiasa berbagai gedung bertingkat, penuh dengan rumah mewah, dan sangat identik dengan segala hal yang berkaitan dengan materi…,

“Kemudian…., sosok tua renta, yang keriput dan bongkok yang diperlihatkan Allah sebagai symbol dunia dalam Isra’ Mi’raj Baginda Rasul juga dapat kita lihat dari kondisi dunia/bumi yang labil, yang mudah gempa, yang mudah berguncang, gunung berapi memuntahkan laharnya, serta kerusakan bumi yang sudah sedemikian nyata, air laut tercemar, habitat alaminya rusak, ikan-ikan dan mahluk penghuninya pun sudah jauh berkurang karena kepunahan….,

“Pun didaratan, isi perut bumi diexploitasi sedemkian rupa, tambangnya di ambil, minyaknya dipompa, airnya disedot, bahkan strukturnya tanahnya dirubah sedemikian rupa, gunung diratakan, lautan dijadikan daratan, hutan sudah gundul, gunung sudah rata, air sungai tercemar, dan berbagai kerusakan lainnya…,

“Demikianpun dengan udara kita, sudah penuh dengan asap dan polusi, dan bahkan terakhir, isu mengenai global warming mengemuka, yang ditandai dengan makin panasnya suhu udara dan berbagai penyakit sebagai efek dan perubahan cuaca global tersebut….., maka menurut Aki lengkaplah sudah gambaran bumi yang sudah tua ini terpampang dihadapan kita…..” Kata Ki Bijak.

“Subhanallah, benar ki, kalau empat belas abad yang lalu saja, dunia dan bumi ini sudah digambarkan seperti sosok wanita yang tua renta, empat belas abad setelahnya, pasti sudah jauh lebih tua, pasti sudah jauh lebih renta, dan….apakah itu artinya kiamat sudah semakin dekat ki…..?’ Kata Maula dengan nada agak sengau.

Ki Bijak tersenyum melihat mimic Maula yang agak berubah;

“Nak Mas, kiamat adalah sebuah keniscayaan, dan mengenai waktunya, Nak Mas perhatikan ayat ini;


17. Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ?

“Jadi apa yang Nak Mas katakan tadi; bahwa kiamat sudah dekat, jauh sebelumnya sudah Allah gambarkan dalam al qur’an, yang terpenting bagi kita sekarang adalah bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi ‘kiamat’ itu, dan Nak Mas bisa mengambil hikmah yang luar biasa dari apa yang terjadi kemarin di Sumatra sana……..” kata Ki Bijak.

“Hikmah apa saja ki….?” Tanya Maula.

“Pertama, bahwa secara fitrah, kita cenderung mencintai yang indah, yang cantik atau kalau mungkin yang abadi……” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki….?” Tanya Maula penasaran

“Lalu kalau kita tahu bahwa dunia ini sudah renta, sudah tua, akan mengalami kerusakan, akan mengalami kepunahan, bijakkah kita kalau kemudian kita mencurahkan seluruh waktu dan harapan kita hanya untuk urusan dunia…? Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki, kita jangan terlalu cinta dunia, dan kemudian hanya mengejar urusan dunia, hingga melalaikan akhirat yang jauh lebih indah, jauh lebih luas dan bahkan abadi, bukan begitu ki….?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, karena kita tahu bahwa kecintaan kepada dunia yang berlebihan, akan mengakibatkan kita lalai dengan urusan akhirat kita, bahkan sebuah nasehat bijak mengatakan kecintaan pada dunia yang berlebih inilah yang menjadi induk dari segala kejahatan, kita ambil contoh orang yang korupsi, karena ia sangat mencintai dunia, sehingga ia mengusahan dunia itu dengan berbagai cara, tanpa memperhatikan kaidah dan hukum yang berlaku…….” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki…..” Kata Maula.

“Lalu hikmah yang kedua, bahwa kematian bisa datang setiap saat, dimanapun, kapanpun, dan tidak peduli siapapun dia, dan dengan cara apapun yang dikehendaki Allah, gempa bumi yang hanya sekian detik, sangup merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa dengan kehendak Allah, minggu lalu kita lihat contohnya ditasik, sekarang di Sumatra, dan kita tidak tahu dimana dan kapan lagi itu akan terjadi, karena boleh jadi hari ini kita yang akan bercerita tentang korban gempa, besok lusa mungkin kita yang akan menjadi cerita dari mereka yang tersisa……” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu ki…? Tanya Maula.

“Kehidupan setelah kematian kita didunia ini adalah sebuah perjalanan panjang yang kekal dan abadi Nak Mas, maka alangkah tidak bijaknya kita kalau kita tidak memperisiapkan bekal untuk perjalan panjang itu……..”

“Kalau untuk kehidupan dunia yang hanya sementara, yang hanya lebih kurang tujuh puluh tahun saja kita harus jungkir balik, harus banting tulang, memeras keringat untuk mencukupinya, kenapa untuk kehidupan akhirat yang kekal kita hanya berusaha sekedarnya saja…….?” Tambah Ki Bijak.

“Iya ya ki, untuk shalat, kita hanya menghabiskan tidak lebih dari satu jam per hari, untuk shaum, hanya sebulan dalam setahun, untuk haji, hanya sekali seumur hidup, untuk zakat, hanya 2.5% saja yang kita zakatkan, sementara untuk ngobrol, untuk nonton tv, untuk belanja rokok, untuk pesiar, kita menghabiskan waktu, tenaga dan uang yang jauh lebih besar dan banyak….” Kata Maula menambahkan.

“Ya Nak Mas, sebaik-baik orang adalah mereka yang mampu memanfaatkan jatah umurnya dengan seimbang untuk urusan akhirat dan dunianya….” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu adakah hikmah lain ki….?” Tanya Maula

“Ya Nak Mas, gempa di Sumatra ini hanya berselang beberapa waktu dengan ramadhan yang baru saja meninggalkan kita, dan apa yang terjadi disana, ada isak tangis, ada ratapan pilu, ada onggokan jasad yang hancur, ada rumah-rumah yang rata dengan tanah, ada banyak hal yang seakan ingin menguji kita, apakah shaum kita berhasil atau tidak…” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki…?” Tanya Maula.

“Nak Mas masih ingat, bahwa salah satu nilai fungsional shaum adalah mentarbiyah kita dengan sifat-sifat ketuhanan, shaum mendidik kita untuk memiliki kepekaan yang tinggi, shaum mendidik kita untuk memiliki sikap tenggang rasa, tepa seliro, berempati dengan orang lain, penyantun, dermawan dan sebagainya, salah satu atau sebagian kecil indicator keberhasilan shaum kita mungkin akan terlihat dari bagaimana kita bersikap terhadap saudara-saudara kita di Sumatra sana, adakah kita turut prihatin,berempati dan kemudian berbuat ‘sesuatu’ untuk setidaknya meringankan beban mereka..?

“atau justru sebaliknya, kita hanya mendengar dan menonton tayangan bencana, kemudian kita tak acuh dan sama sekali tidak tergerak untuk berbuat sesuatu….?” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki, ya Allah.., jadikanlah kami orang-orang yang selalu dapat menangkap ayat-ayat_Mu dalam segala peristiwa, dan jauhkan kami dari sifat-sifat orang yang buta dan tuli yang sama sekali tidak mendengar jerit tangis dan rintih pilu saudara-saudaranya……..” Kata Maula.

“Amiin….” Sambut Ki Bijak.

Wassalam

October 08 2009

PAH…., KENAPA KUCING NGGAK SHALAT…?

“Kenapa Nak Mas…..?’ Tanya Ki Bijak melihat Maula yang tengah senyum-senyum sendiri.

“Oooh ini Ki, ana sedang teringat pertanyaan Ade kemarin sore….” Kata Maula.

“Pertanyaan apa Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.

“Kemarin sora Ade ikut ana ke Masjid Ki, ditengah perjalanan, ada seekor kucing hitam, spontan Ade bertanya pada ana, “Pah kucing itu sedang apa….’, ana pun menjawab secara spontan juga ‘kucing itu sedang main De…” Kata Maula.

“Lalu…?” Tanya Ki Bijak yang belum menemukan arah pembicaraan Maula.

“Lalu Ade mengejar ana dengan pertanyaan lanjutan ‘ Pah kenapa kucing itu sore-sore masih main…, kenapa kucing itu tidak shalat pah…’…, dan ana masih menjawab dengan ringan…’ yaah namanya juga kucing De, kucing ya memang nggak shalat…..’, jawab ana ketika itu…..” Kata Maula lagi.

“Dan yang membuat ana terkejut adalah ucapan Ade selanjutnya Ki…..” Kata Maula lagi.

“Ucapan apa itu Nak Mas…?” Tanya Ki Bijak.

“Pah.., kalau orang tidak shalat seperti kucing ya pah….’, ana terkejut sekali dengan ucapan kritis itu, “kalau ada orang yang tidak shalat, seperti kucing?”, dan ana hanya bisa menjawab, ‘makanya Ade harus shalat, biar nggak kayak kucing……” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum; “Subhanallah, anak yang cerdas, semoga putra Nak Mas bisa menjadi anak yang shaleh dikemudian hari….” Kata Ki Bijak setelah mengerti kenapa Maula seperti tersenyum –senyum sendiri tadi.

“Amiin…., tapi Ki, ana juga jadi bertanya, kenapa kucing dan mahluk lain selain manusia tidak dibebani kewajiban shalat dan syari’at lainnya ya ki…..?” Tanya Maula.

Ki Bijak kembali tersenyum, “Nak Mas perhatikan ayat ini;

44. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al Israa:44)

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka’, artinya semua mahluk, termasuk juga kucing, kambing, burung, semut, bebatuan, air, rerumputan bahkan udara, langit dan bumi, semua bertasbih dan memuji kepada Allah, hanya kita yang tidak mengerti seperti apa tasbih mereka seperti tertera dalam ayat ini…..”

“Sementara shalat yang kita lakukan, secara sederhana juga berisi tasbih kita kepada Allah, dalam ruku’ kita membaca tasbih, ketika sujudpun kita membaca tasbih, selain tentunya bacaan-bacaan lain, jadi dalam hemat Aki, kita.., sebagai manusia, memiliki ‘kesamaan’ kewajiban dengan mahluk Allah lainnya, tentu dengan porsi yang berbeda-beda menurut kehendak Allah, hanya bentuk dzahir dari tasbihnya saja yang berbeda-beda, sebagaimana Allah juga menerangkan bahwa setiap umat diberikan ketetapan syari’at yang berbeda; Dan Nak Mas perhatikan ayat ini…” Ki Bijak memberi penjelasan kepada Maula sambil mengutip beberapa ayat al qur’an


67. Bagi tiap-tiap umat Telah kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) Ini dan Serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (Al Hajj:67)


38. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(Al An’am)

[472] sebahagian Mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu Telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.

“Seperti juga beberapa bagian dalam bacaan iftitah shalat kita’ inna shalati wanusuki wama yahya wamammati lillahirabbil’alamiin, laa syarikallahuwa bidzalika umirtu wa anna minal muslimin….’adalah ucapaan atau ungkapan Nabi Ibrahim As, tapi kita tidak tahu dalam posisi dan kondisi seperti apa Nabi Ibrahim mengucapkan kalimat-kalimat itu, mungkin tidak sedang berdiri seperti shalat kita sekarang ini…”

“Pun dengan shaumnya Nabi Daud, berbeda secara syari’at lahiriah, tapi secara hakekat sama, menjalankan pengabdiannya kepada Allah sebagai mahluk…..”Tambah Ki Bijak.

Maula dengan segera memperhatikan ayat-ayat yang ditunjukan gurunya; “Jadi jawaban ana kepada Ade kemarin bahwa kucing tidak shalat (baca: tidak bertasbih), salah ya ki, karena semua mahluk Allah ternayta bertasbih memuji kepada_Nya….” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum; “Jawaban Nak Mas tidak salah, dan memang itu jawaban yang menurut Aki tepat untuk anak seusia Ade, dan kalau kita tidak melihat kucing dan mahluk lain ‘shalatnya tidak seperti kita’ karena secara fitrah manusia berbeda dengan mereka, manusia dibekali oleh Allah dengan Akal, sementara mahluk lain tidak…., yang justru menjadi pertanyaan adalah kalau masih ada manusia yang tidak shalat, sementara dia telah dikarunia Allah dengan akal sebagai sarana pengabdiannya kepada Allah, ini yang sangat mengherankan……” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, mungkin kalau dalam bahasa Ade, kalau mahluk yang tidak berakal saja shalat (bertasbih) kepada Allah, kenapa manusia yang berakal justru tidak mau shalat….” Kata Maula.

Ki Bijak tersenyum mendengar Maula menggunakan bahasa anaknya “Coba suatu waktu Nak Mas tanya dengan santun, kepada orang atau rekan yang belum shalat, alas an kenapa mereka tidak shalat, insya Allah mereka akan kesulitan menjawabnya….,oh ya Nak Mas, kemana cucu Aki..? Nak Mas tidak ajak Ade kesini..? Aki kangen sekali ingin ketemu….?’ Kata Ki Bijak.

“Ade dan Dinda sedang sakit Ki, kena cacar, jadi ana tidak ajak kemari, insya Allah lain waktu….” Kata Maula.

“Masya Allah…, semoga lekas sembuh ya Nak Mas….” Kata Ki Bijak dengan nada prihatin

“Iya ki, mohon doanya untuk kesembuhan Ade dan Dinda….” Kata Maula.

“Tentu Nak Mas, tanpa Nak Mas mintapun, Aki selalu berdoa untuk Nak Mas sekeluarga, semoga Nak Mas dan keluarga selalu sehat,berkecukupan dan senantiasa dalam lindungan dan ridha Allah swt…..” Jawab Ki Bijak.

“Terima kasih ki….” Kata Maula sambil pamitan.

Wassalam

October 09,2009

Thursday, October 8, 2009

SYAWAL, BULAN EVALUASI


“Ini Nak Mas, Aki punya gambaran yang bagus sebagai analogi berhasil tidaknya shaum kita…..” Kata Ki Bijak, menjawab pertanyaan Maula mengenai bagaimana shaum ramadhan membentuk pribadi mutaqin,sambil memperlihatkan sebuah photo bangunan masjid yang belum selesai dibangun.

Dengan segera Maula mengamati photo yang diperlihatkan gurunya

“Nak Mas perhatikan ini, ada bambu-bambu sebagai penyangga, ada papan bougesting, ada besi-besi yang dirakit sedemikian rupa, untuk kemudian dituang semen cor untuk membuat lantai dan tiang masjid…” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, papan kolom, bougesting dan besi-besi ini digunakan untuk membentuk lantai dan tiang sesuai yang dikehendaki……” Kata Maula mulai mengerti arah pembicaraan gurunya.

“Lalu menurut Nak Mas, apakah kualitas lantai dan tiang ini dinilai ketika papan kolom dan penyangga ini masih terpasang atau sesudah papan dan penyangga ini dilepas…?” Tanya Ki Bijak.

“Tentu setelah papan kolom, bougesting dan bambu-bambu penyangganya dilepas ki, kita akan bisa melihat bagaimana bentuk dan kekuatan lantai dan tiang-tiang ini, apakah bentuknya sesuai dengan tujuan awal dan memiliki kekuatan sesuai dengan yang diinginkan……..” Kata Maula.

“Sekarang mari kita cermati pendapat ulama yang menyatakan setidaknya ada tiga fungsi shaum; Tazhib – disini shaum berfungsi untuk mengarahkan lahir bathin manusia agar ‘sesuai’ menjadi sosok manusia yang dikehendaki Allah, kemudian fungsi shaum yang kedua; Ta'dib, yakni membentik karakterisktik jiwa manusia; dan yang ketiga Tadrib, yakni sebagai medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna, yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir shaum yakni takwa. …..”Papar Ki Bijak.

“Tahzib.., mengarahkan, Ta’bid…,membentuk karakteristik jiwa, dan Tadrib membentuk manusia paripurna……., jadi….yang Aki maksud fungsi shaum ramadhan ini kira-kira sama dengan fungsi papan kolom dan tiang-tiang penyangga ini ya ki, yakni sebagai sarana untuk mengarahkan kita untuk mencapai bentuk, karakteristik dan sosok yang sesuai dengan kehendak Allah….?” Kata Maula mencoba menyimpulkan.

“Mungkin tidak persis sama Nak Mas, namum dalam hemat Aki, kurang lebihnya seperti itu, shaum ramadhan yang baru saja meninggalkan kita, merupakan ‘papan kolom’ dan ‘bougesting’ bagi kita untuk menjadi sosok manusia paripurna, manusia dengan predikat mutaqin…….” Kata Ki Bijak lagi.

“Dan seperti yang Nak Mas katakan tadi, kualitas lantai dan tiang ini baru akan terlihat setelah papan kolom dan bougestingnya dilepas, maka kualitas shaum ramadhan kita pun akan dinilai selepas bulan ramadhan…;

“Kalau dibulan ramadhan kita ‘rajin’ kemasjid, maka dibulan syawal ini, setelah “kolom dan bougesting” ramadhannya ‘dilepas’, kita dapat mengevaluasi apakah kerajinan kita kemasjid selama ramadhan kemarin benar-benar sesuatu yang timbul dari kesadaran dari lubuk hati kita yang ingin menjadi orang bertakwa, atau justru hanya karena sekedar ikut-ikutan, sekedar tidak enak sama handai taulan, atau sekedar turut meramaikan saja, tanpa tahu esensi dari aktivitas ramadhan kita….”

“Kalau dibulan ramadhan kemarin kita rajin tarawih atau qiyamul lail, maka dibulan setelahnya, adakah aktivitas qiyamul lail kita meningkat, atau justru sebaliknya, kita kembali menjadi orang yang senang menghabiskan malam dengan tidur mendengkur….”

“Kalau dibulan ramadhan kemarin kita rajin tadarus dan tadabur al qur’an, maka dibulan berikutnya, adakah kita masih giat melaksanakannya, atau kita kembali menjadikan al qur’an sebagai pajangan dialmadi buku atau menjadikannya ‘jimat’ untuk menakut-nakuti jin dan sejenisnya….”

“Kalau dibulan ramadhan kemarin shalat fardu kita tepat waktu, maka dibulan berikutnya apakah shalat kita masih tepat waktu, atau jangan-jangan shalat tepat waktu kita pada saat ramadhan hanya karena kita tidak makan siang saja atau ada orang yang terus menerus meningatkan kita…..”

“Kalau dibulan ramadhan kemarin kita mampu menahan diri dari makanan dan minuman yang halal serta istri yang sah selama kita shaum, maka seharusnya dibulan-bulan berikutnya kita lebih mampu lagi menahan diri dari makanan, minumam yang haram dan wanita yang bukan mahrom kita…”

“Pun demikian dengan aktivitas ramadhan lainnya, kalau selama ramadhan kita rajin bersedekah, rajin menolong, bisa menahan untuk tidak berbicara yang tidak senonoh, tidak bergunjing, bisa berlaku sabar, maka dibulan berikutnya, adakah semuanya itu meningkat atau justru sebaliknya………………” Tutur Ki Bijak panjang lebar.

“Jadi bulan syawal ini bisa kita jadikan bulan evaluasi ya ki….” Kata Maula.

“Salah satu makna Syawal sendiri secara harfiah berarti ‘meningkat’ Nak Mas, dalam arti setelah selama kurang lebih sebulan kita ditatar dan didadar dibulan ramadhan, idealnya dibulan syawal ini keimanan kita akan meningkat, ketaatan kita akan meningkat, kualitas ibadah kita akan meningkat, mental kita menjadi lebih teruji dan ‘alarm’ kita terhadap hal-hal yang dilarang Allah juga dapat berfungsi lebih maksimal….., dan mereka itulah yang sebenarnya lebih berhak merayakan idul fitri dan mengucapkan minal ‘aidin wal faidzin, dan mereka itulah orang-orang yang ‘kembali’……” Kata Ki Bijak lagi.

“Akan halnya mereka yang setelah ramadhan tidak mengalami peningkatan ki….?” Tanya Maula lagi.

“Mungkin mereka itulah yang termasuk kedalam golongan yang disebut dalam hadits Berapa banyak umat(ku) yang shaumnya hanya mendapatkan lapar dan haus saja, selebihnya tidak ada perubahan……” Kata Ki Bijak.

“Seperti puasanya ular ya ki….” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, seperti puasanya ular, makan, kemudian berdiam diri hingga makanannya tercerna, dan kemudian kembali mencari mangsa lagi dengan kondisi yang lebih ganas….., mudah-mudahan Allah menghindarkan kita dari perilaku shaum seperti ular itu……” Kata Ki Bijak.

“Iya ki…., terima kasih….” Kata Maula sambil berpamitan.

Wassalam.

September 30,2009

ADAKAH INI HANYA KAN MENJADI CERITA…?

Duka…., kembali menguak luka
Gempa…., kembali terjadi dihadapan kita
Rasanya baru kemarin gempa menegur kita
Dengan meratakan bumi priangan ditanah jawa

Hari ini, luka kembali menganga….
Menambah perih derita yang belum lagi sirna
Gempa…, kembali mengingatkan kita…
Dengan meluluh lantakan ranah minang Sumatra..

6.7 skala ritcher….., dengan korban puluhan,
7.6 skala ritcher….., dengan korban ratusan
Derita, luka, dan duka yang sedemikian dalam,
Seakan hanya menjadi penghias berita dan tulisan dimedia

Pernahkah kita bertanya, kenapa terjadi bencana…?
Pernahkah kita berfikir, apa yang telah terjadi dengan bumi kita…?
Pernahkah kita tafakuri, kenapa harus selalu ‘gempa yang bicara’….?
Pernahkah kita merenung, adakah kita selalu lupa…..?”

Kita punya mata, tapi seolah kita tidak melihat…
Kita punya telinga, tapi seolah kita tidak mendengar…
Butakah mata kita.., tulikah telinga kita….?
Atau justru hati kita yang tertutup oleh dosa-dosa kita

Bencana demi bencana berlomba mengingatkan kita….
Gempa bumi menegur kita dengan geliatnya
Tsunami mengingatkan kita dengan gelombangnya
Pun dengan Puting beliung dan badai samudra…..

Kembali.., kembali lah segera….
Kejalan tuhan_Mu yang Maha Pemurah
Sebelum tertutup jalan kearah_Nya
Dengan sebenar-benar taubatan Nasuha….


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…….” Seru Maula dan Ki Bijak hampir bersamaan, demi mendengar berikut gempa bumi yang melanda wilayah Sumatra.

“Ki, rasanya belum genap dua bulan gempa bumi melanda Tasikmalaya; korban belum lagi tertangani seluruhnya, bahkan masih banyak para korban yang tinggal ditenda penampungan, dan rasanya air mata mereka yang ditinggalkan dan darah para korban belum kering, sekarang.., ditambah lagi dengan gempa di Sumatra……, apa yang tengah terjadi sebenarnya ki…? Tanya Maula dengan nada berat, terlebih beberapa sanak familynya berada dilokasi gempa, dan hingga kini ia belum dapat kepastian mengenai kondisi sanak familinya.

“Wallahu’alam Nak Mas, hanya dalam pandangan Aki yang sempit ini, Allah tengah memperlihatkan pada kita apa yang dulu pernah Allah perlihatkan kepada Baginda Rasul dalam perjalanan Isra’ Mi’rajnya….” Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki…?” Tanya Maula belum paham.

“Dalam perjalan Isra’ Mi’raj, Allah memperlihatkan kepada Baginda Rasul kondisi ‘Dunia’ secara simbolis dalam sosok wanita tua renta, dengan perhiasan yang mencolok dan seterusnya…,

“Sekarang ini, Allah tengah memperlihatkan sosok dunia yang sudah renta dan penuh perhiasan itu kepada kita bukan lagi dengan symbol, tapi dengan kondisi nyata…, Nak Mas lihat, bumi kita sekarang ini dihiasa berbagai gedung bertingkat, penuh dengan rumah mewah, dan sangat identik dengan segala hal yang berkaitan dengan materi…,

“Kemudian…., sosok tua renta, yang keriput dan bongkok yang diperlihatkan Allah sebagai symbol dunia dalam Isra’ Mi’raj Baginda Rasul juga dapat kita lihat dari kondisi dunia/bumi yang labil, yang mudah gempa, yang mudah berguncang, gunung berapi memuntahkan laharnya, serta kerusakan bumi yang sudah sedemikian nyata, air laut tercemar, habitat alaminya rusak, ikan-ikan dan mahluk penghuninya pun sudah jauh berkurang karena kepunahan….,

“Pun didaratan, isi perut bumi diexploitasi sedemkian rupa, tambangnya di ambil, minyaknya dipompa, airnya disedot, bahkan strukturnya tanahnya dirubah sedemikian rupa, gunung diratakan, lautan dijadikan daratan, hutan sudah gundul, gunung sudah rata, air sungai tercemar, dan berbagai kerusakan lainnya…,

“Demikianpun dengan udara kita, sudah penuh dengan asap dan polusi, dan bahkan terakhir, isu mengenai global warming mengemuka, yang ditandai dengan makin panasnya suhu udara dan berbagai penyakit sebagai efek dan perubahan cuaca global tersebut….., maka menurut Aki lengkaplah sudah gambaran bumi yang sudah tua ini terpampang dihadapan kita…..” Kata Ki Bijak.

“Subhanallah, benar ki, kalau empat belas abad yang lalu saja, dunia dan bumi ini sudah digambarkan seperti sosok wanita yang tua renta, empat belas abad setelahnya, pasti sudah jauh lebih tua, pasti sudah jauh lebih renta, dan….apakah itu artinya kiamat sudah semakin dekat ki…..?’ Kata Maula dengan nada agak sengau.

Ki Bijak tersenyum melihat mimic Maula yang agak berubah;

“Nak Mas, kiamat adalah sebuah keniscayaan, dan mengenai waktunya, Nak Mas perhatikan ayat ini;


17. Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ?

“Jadi apa yang Nak Mas katakan tadi; bahwa kiamat sudah dekat, jauh sebelumnya sudah Allah gambarkan dalam al qur’an, yang terpenting bagi kita sekarang adalah bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi ‘kiamat’ itu, dan Nak Mas bisa mengambil hikmah yang luar biasa dari apa yang terjadi kemarin di Sumatra sana……..” kata Ki Bijak.

“Hikmah apa saja ki….?” Tanya Maula.

“Pertama, bahwa secara fitrah, kita cenderung mencintai yang indah, yang cantik atau kalau mungkin yang abadi……” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki….?” Tanya Maula penasaran

“Lalu kalau kita tahu bahwa dunia ini sudah renta, sudah tua, akan mengalami kerusakan, akan mengalami kepunahan, bijakkah kita kalau kemudian kita mencurahkan seluruh waktu dan harapan kita hanya untuk urusan dunia…? Kata Ki Bijak.

“Maksud Aki, kita jangan terlalu cinta dunia, dan kemudian hanya mengejar urusan dunia, hingga melalaikan akhirat yang jauh lebih indah, jauh lebih luas dan bahkan abadi, bukan begitu ki….?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, karena kita tahu bahwa kecintaan kepada dunia yang berlebihan, akan mengakibatkan kita lalai dengan urusan akhirat kita, bahkan sebuah nasehat bijak mengatakan kecintaan pada dunia yang berlebih inilah yang menjadi induk dari segala kejahatan, kita ambil contoh orang yang korupsi, karena ia sangat mencintai dunia, sehingga ia mengusahan dunia itu dengan berbagai cara, tanpa memperhatikan kaidah dan hukum yang berlaku…….” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki…..” Kata Maula.

“Lalu hikmah yang kedua, bahwa kematian bisa datang setiap saat, dimanapun, kapanpun, dan tidak peduli siapapun dia, dan dengan cara apapun yang dikehendaki Allah, gempa bumi yang hanya sekian detik, sangup merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa dengan kehendak Allah, minggu lalu kita lihat contohnya ditasik, sekarang di Sumatra, dan kita tidak tahu dimana dan kapan lagi itu akan terjadi, karena boleh jadi hari ini kita yang akan bercerita tentang korban gempa, besok lusa mungkin kita yang akan menjadi cerita dari mereka yang tersisa……” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu ki…? Tanya Maula.

“Kehidupan setelah kematian kita didunia ini adalah sebuah perjalanan panjang yang kekal dan abadi Nak Mas, maka alangkah tidak bijaknya kita kalau kita tidak memperisiapkan bekal untuk perjalan panjang itu……..”

“Kalau untuk kehidupan dunia yang hanya sementara, yang hanya lebih kurang tujuh puluh tahun saja kita harus jungkir balik, harus banting tulang, memeras keringat untuk mencukupinya, kenapa untuk kehidupan akhirat yang kekal kita hanya berusaha sekedarnya saja…….?” Tambah Ki Bijak.

“Iya ya ki, untuk shalat, kita hanya menghabiskan tidak lebih dari satu jam per hari, untuk shaum, hanya sebulan dalam setahun, untuk haji, hanya sekali seumur hidup, untuk zakat, hanya 2.5% saja yang kita zakatkan, sementara untuk ngobrol, untuk nonton tv, untuk belanja rokok, untuk pesiar, kita menghabiskan waktu, tenaga dan uang yang jauh lebih besar dan banyak….” Kata Maula menambahkan.

“Ya Nak Mas, sebaik-baik orang adalah mereka yang mampu memanfaatkan jatah umurnya dengan seimbang untuk urusan akhirat dan dunianya….” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu adakah hikmah lain ki….?” Tanya Maula

“Ya Nak Mas, gempa di Sumatra ini hanya berselang beberapa waktu dengan ramadhan yang baru saja meninggalkan kita, dan apa yang terjadi disana, ada isak tangis, ada ratapan pilu, ada onggokan jasad yang hancur, ada rumah-rumah yang rata dengan tanah, ada banyak hal yang seakan ingin menguji kita, apakah shaum kita berhasil atau tidak…” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki…?” Tanya Maula.

“Nak Mas masih ingat, bahwa salah satu nilai fungsional shaum adalah mentarbiyah kita dengan sifat-sifat ketuhanan, shaum mendidik kita untuk memiliki kepekaan yang tinggi, shaum mendidik kita untuk memiliki sikap tenggang rasa, tepa seliro, berempati dengan orang lain, penyantun, dermawan dan sebagainya, salah satu atau sebagian kecil indicator keberhasilan shaum kita mungkin akan terlihat dari bagaimana kita bersikap terhadap saudara-saudara kita di Sumatra sana, adakah kita turut prihatin,berempati dan kemudian berbuat ‘sesuatu’ untuk setidaknya meringankan beban mereka..?

“atau justru sebaliknya, kita hanya mendengar dan menonton tayangan bencana, kemudian kita tak acuh dan sama sekali tidak tergerak untuk berbuat sesuatu….?” Kata Ki Bijak.

“Ana mengerti ki, ya Allah.., jadikanlah kami orang-orang yang selalu dapat menangkap ayat-ayat_Mu dalam segala peristiwa, dan jauhkan kami dari sifat-sifat orang yang buta dan tuli yang sama sekali tidak mendengar jerit tangis dan rintih pilu saudara-saudaranya……..” Kata Maula.

“Amiin….” Sambut Ki Bijak.

Wassalam

October 08 2009