“Menarik sekali ki.....................” Kata Maula.
“Apa yang menarik Nak Mas............?” Tanya Maula.
“Itu tadi ki dimobil, sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, teman-teman terlibat obrolan yang sangat menarik, mereka membicarakan harapan dan keinginannya yang sangat hebat ki, yang satu sedang menunggu panggilan untuk menjadi seorang manager, kemudian mendapat mobil, serta memiliki usaha sampingan lain, selain dari yang sudah dijalaninya sekarang, dan yang lain pun tak kalah hebat harapannya, jabatan, mobil dan penghasilan yang lebih besar..................” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, “Bukankah itu semua gambaran keinginan Nak Mas beberapa waktu lalu...........?” Tanya Ki Bijak.
“Benar Ki, ana pun mengalami fase-fase seperti itu, ana mengalami mimpi-mimpi indah untuk menjadi manager, memiliki kendaraan pribadi, berpenghasilan besar, rumah mewah dan prestise dalam kehidupan ana................” Kata Maula.
“Dan kalau Aki tidak salah ingat, hampir semua harapan dan mimpi Nak Mas itu terwujud, Nak Mas punya rumah, berpenghasilan relatif lebih besar dari rekan-rekan Nak Mas, Nak Mas juga memiliki mobil meskipun bukan mobil baru, Nak Mas juga punya sebidang tanah dikampung, bukan begitu Nak Mas.....?” Tanya Ki Bijak.
“Benar Ki, ana hampir mencapai semua mimpi ana, sehingga suatu saat ana terjaga..............” Kata Maula.
“Apa yang terjadi kemudian Nak Mas........?” Tanya Maula.
“Ternyata ana melupakan suatu hal dalam impian ana ki..............” Kata Maula.
“Impian apa yang lupa itu Nak Mas...........?” Tanya Maula.
“Ana telah melupakan satu hal yang seharusnya ana jadikan tujuan ana, yaitu kebahagiaan..............” Kata Maula.
“Benar Nak Mas, bukan hanya Nak Mas yang mengalami hal itu, banyak orang yang bermimpi dan berharap memiliki rumah megah, mobil mewah, penghasilan besar, jabatan tinggi, tapi justru lupa dengan sebuah pertanyaan mendasar yang harusnya mereka jawab diawal, yaitu untuk apa semua itu......, dan seperti Nak Mas katakan tadi, muara dan jawaban dari semua keinginan itu adalah kebahagiaan................” Kata Ki Bijak.
“Betapa banyak orang yang ketika penghasilannya biasa saja justu bisa menikmati kehidupannya, ia bisa beribadah kepada Allah dengan tenang, ia memiliki waktu yang banyak untuk keluarga, ia memiliki waktu untuk dirinya, tapi justru ketika penghasilannya meningkat, ibadahnya jadi berkurang karena kesibukan mengurus harta yang menguras energinya, waktu untuk keluarganya pun berkurang drastis demi mempertahankan penghasilannya, loyalitasnya pun bukan lagi semata kepada Allah, tapi menjadi bercabang dengan loyalitas pada nafsu dan keinginan, dan pada titik ini, sebenarnya ia telah ‘gagal’ memaknai arti kebahagiaan........”
“Kita juga bisa dengan mudah menemukan orang-orang yang ketika jabatanya biasa saja, ia bisa menjalani kehidupannya dengan penuh ketenangan dan kedamaian, tapi justru ketika pangkat dan jabatannya meningkat, ia menjadi kehilangan sebagian atau bahkan seluruh kebebasannya dengan mengatasnamakan demi sebuah impian, dan lagi, pada titik ini, ia pun telah ‘gagal’ memaknai kebahagiaan........” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki, kebahagian kadang tersamar dengan pemahaman banyaknya harta, tingginya jabatan atau luasnya rumah dan lahan..........., lalu apa sebenarnya kebahagiaan itu ki................?” Tanya Maula.
Ki Bijak menghela nafas panjang “Sangat luas dan beragam Nak Mas, jika Nak Mas bertanya pada sepuluh orang misalnya, mungkin Nak Mas akan mendapatkan jawaban yang mungkin bertolak belakang antara satu sama lainnya, tapi karena Nak Mas bertanya pada Aki, maka menurut Aki kebahagian tidak semata terletak pada banyaknya harta, tidak semata terletak pada tingginya jabatan, tidak semata terletak mobil mewah dan rumah megah, kebahagiaan menurut Aki adalah seberapa besar rasa syukur kita terhadap apa yang kita miliki, kebahagiaan terletak pada seberapa besar ridha kita terhadap kehendak ilahi, kebahagiaan terletak pada seberapa besar sabar kita terhadap ujian-ujian yang tengah kita alami, kebahagiaan terletak pada seberapa besar Qanaah kita terhadap pemberian rahmat Allah kepada kita....................” Kata Ki Bijak.
“Ki, banyak orang yang mengatakan bahwa sekarang ini kan segalanya memerlukan uang, kita perlu uang untuk makan, kita perlu uang untuk biaya pendidikan anak-anak kita, kita perlu uang untuk jalan-jalan, kita perlu uang untuk ini dan itu, bahkan ada yang berpikir kita harus berupaya mendapatkan dan mencari uang sebanyak-banyaknya untuk segala hal dalam kehidupan dizaman modern ini ki................?” Kata Maula.
“Memang benar Nak Mas, hampir segala-galanya memerlukan uang, tapi Aki tetap memiliki sebuah keyakinan bahwa sekalipun segalanya memerlukan uang, itu tidak berarti uang merupakan segala-galanya, masih teramat banyak hal yang tidak mungkin bisa dibeli dengan uang.................” Kata Ki Bijak.
“Ketenangan bathin misalnya, ketenangan bathin merupakan syarat mutlak bagi lahirnya kebahagiaan, tidak mungkin dibeli dengan uang, mungkin ada yang mengatakan dengan uang kita bisa berlibur untuk mencari ketenangan, tapi teori itu sama sekali belum terbukti, karena betapa banyak orang yang pergi berlibur justru tidak menemukan ketenangan dan bahkan menimbulkan kegelisahan baru karena uangnya habis atau kendaraannya rusak misalnya...............” Kata Ki Bijak.
“Kepuasan bathin misalnya, hal ini pun merupakan sesuatu yang tidak terbeli dengan uang, kenikmatan beribadah, ketentraman keluarga, juga merupakan beberapa contoh lain betapa dengan uang, kita tidak secara otomatis bisa sampai pada tujuan akhir kita untuk mendapatkan kebahagiaan...................” Kata Ki Bijak.
“Benar ki, tapi sayang ya ki, betapa banyak orang yang dengan sukarela memenjarakan kebahagiaannya dengan nafsunya, atau setidaknya mereka berjudi untuk menukar kebahagiaan yang mungkin sudah didapatnya dengan harapan yang kadang berlebihan...............” Kata Maula.
“Nak Mas pernah dengar pepatah bagai burung didalam sangkar emas....?” Tanya Ki Bijak.
“Pernah ki................” Kata Maula.
“Seperti itulah orang-orang yang memenjarakan kebahagiaanya dengan nafsunya yang tidak terbatas, ia terkungkung dengan mimpi-mimpi indah, terpenjara dengan harapan-harapannya, mereka mengira bahwa jika tinggal disangkar emas itu mereka akan bahagia, padahal betapapun seekor burung tinggal disangkar emas, burung akan jauh lebih bahagia jika ia terbang dialam bebas............” kata Ki Bijak.
“Iya ki, itu kalau burung ya ki, bagaimana agar kita bisa terbang bebas melintasi langit kebahagiaan kita ki..............?” tanya Maula.
“Bebaskan hati kita dari ikatan-ikatan yang membelenggu dan mengurungnya Nak Mas, bebaskan hati kita dari angan kosong, bebaskan hati kita dari rasa was-was yang berlebihan dalam urusan dunia, bebaskan hati kita dari kurungan keinginan-keinginan kita yang berlebihan, bebaskan hati kita dari khayalan-khayalan semu, bebaskan hati kita dari mempertuhankan berhala-berhala, bebaskan hati kita dari perbudakan uang, pangkat dan jabatan, karena nilai kita bukan terletak pada uang, pangkat atau jabatan kita, nilai kita, sekali lagi terletak seberapa besar hati kita untuk mensyukuri nikmat Allah, bersabar atas ujiannya, ridha atas taqdirnya serta lapang dalam menerima pemberian-Nya, insha Allah, kita akan bisa melintasi mega-mega kebahagian yang kita idamkan...............” kata Ki Bijak.
“Sekali lagi ya Nak Mas, apa yang Aki uraikan tadi samasekali tidak berarti kita tidak boleh bermimpi dan menginginkan aksesori dunia ini dan ragamnya, karena memang dunia ini Allah amanahkan kepada kita, Aki hanya ingin Nak Mas bisa membuat pilihan-pilihan bijak dalam menjalani kehidupan ini, Nak Mas harus benar-benar berhitung dan memperhitungkan segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan, jangan sampai kejadian yang menimpa Nak Mas dulu, yang hanya berfokus dan berorientasi jangka pendek, akhirnya Nak Mas justru tidak menemukan hakikat kebahagiaan yang Nak Mas cari..................” kata Ki Bijak.
“Iya ki, ana mengerti........., kita harus membuat dan mengambil keputusan-keputusan bijak agar mimpi kita tidak mengorbankan hal-hal lain yang lebih besar, atau dalam bahasa ekonomi mungkin bagaimana mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan (cost) yang sekecil-sekecilnya ya ki...........” kata Maula.
“Nak Mas lebih pandai rumus-rumus ekonomi dari Aki, dan jika itu baik, bisa Nak Mas terapkan dalam pengambilan keputusan dalam perjalanan hidup Nak Mas, seperti Aki bilang kemarin kita harus berfikir lebih besar lagi dari sekedar mementingkan urusan dunia, karena akhirat adalah target yang jauh lebih besar dan lebih penting kita utamakan, tentu juga membutuhkan pengorbanan atau cost seperti Nak Mas bilang tadi, yang juga tidak sedikit, itu pilihan yang lebih bijak menurut Aki...............” kata Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih Aki mengingatkan ana ki, karena ana juga masih sering khilaf ketika tawaran-tawaran nafsu duniawi itu datang menggoda...........” kata Maula.
“Bukan Aki yang mengingatkan Nak Mas, tapi Allah..................” kata Ki Bijak
Maula mendongakan kepalanya, mengucap syukur atas karunia_Nya yang tanpa batas.
Wassalam
February 02, 2008
“Apa yang menarik Nak Mas............?” Tanya Maula.
“Itu tadi ki dimobil, sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, teman-teman terlibat obrolan yang sangat menarik, mereka membicarakan harapan dan keinginannya yang sangat hebat ki, yang satu sedang menunggu panggilan untuk menjadi seorang manager, kemudian mendapat mobil, serta memiliki usaha sampingan lain, selain dari yang sudah dijalaninya sekarang, dan yang lain pun tak kalah hebat harapannya, jabatan, mobil dan penghasilan yang lebih besar..................” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, “Bukankah itu semua gambaran keinginan Nak Mas beberapa waktu lalu...........?” Tanya Ki Bijak.
“Benar Ki, ana pun mengalami fase-fase seperti itu, ana mengalami mimpi-mimpi indah untuk menjadi manager, memiliki kendaraan pribadi, berpenghasilan besar, rumah mewah dan prestise dalam kehidupan ana................” Kata Maula.
“Dan kalau Aki tidak salah ingat, hampir semua harapan dan mimpi Nak Mas itu terwujud, Nak Mas punya rumah, berpenghasilan relatif lebih besar dari rekan-rekan Nak Mas, Nak Mas juga memiliki mobil meskipun bukan mobil baru, Nak Mas juga punya sebidang tanah dikampung, bukan begitu Nak Mas.....?” Tanya Ki Bijak.
“Benar Ki, ana hampir mencapai semua mimpi ana, sehingga suatu saat ana terjaga..............” Kata Maula.
“Apa yang terjadi kemudian Nak Mas........?” Tanya Maula.
“Ternyata ana melupakan suatu hal dalam impian ana ki..............” Kata Maula.
“Impian apa yang lupa itu Nak Mas...........?” Tanya Maula.
“Ana telah melupakan satu hal yang seharusnya ana jadikan tujuan ana, yaitu kebahagiaan..............” Kata Maula.
“Benar Nak Mas, bukan hanya Nak Mas yang mengalami hal itu, banyak orang yang bermimpi dan berharap memiliki rumah megah, mobil mewah, penghasilan besar, jabatan tinggi, tapi justru lupa dengan sebuah pertanyaan mendasar yang harusnya mereka jawab diawal, yaitu untuk apa semua itu......, dan seperti Nak Mas katakan tadi, muara dan jawaban dari semua keinginan itu adalah kebahagiaan................” Kata Ki Bijak.
“Betapa banyak orang yang ketika penghasilannya biasa saja justu bisa menikmati kehidupannya, ia bisa beribadah kepada Allah dengan tenang, ia memiliki waktu yang banyak untuk keluarga, ia memiliki waktu untuk dirinya, tapi justru ketika penghasilannya meningkat, ibadahnya jadi berkurang karena kesibukan mengurus harta yang menguras energinya, waktu untuk keluarganya pun berkurang drastis demi mempertahankan penghasilannya, loyalitasnya pun bukan lagi semata kepada Allah, tapi menjadi bercabang dengan loyalitas pada nafsu dan keinginan, dan pada titik ini, sebenarnya ia telah ‘gagal’ memaknai arti kebahagiaan........”
“Kita juga bisa dengan mudah menemukan orang-orang yang ketika jabatanya biasa saja, ia bisa menjalani kehidupannya dengan penuh ketenangan dan kedamaian, tapi justru ketika pangkat dan jabatannya meningkat, ia menjadi kehilangan sebagian atau bahkan seluruh kebebasannya dengan mengatasnamakan demi sebuah impian, dan lagi, pada titik ini, ia pun telah ‘gagal’ memaknai kebahagiaan........” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki, kebahagian kadang tersamar dengan pemahaman banyaknya harta, tingginya jabatan atau luasnya rumah dan lahan..........., lalu apa sebenarnya kebahagiaan itu ki................?” Tanya Maula.
Ki Bijak menghela nafas panjang “Sangat luas dan beragam Nak Mas, jika Nak Mas bertanya pada sepuluh orang misalnya, mungkin Nak Mas akan mendapatkan jawaban yang mungkin bertolak belakang antara satu sama lainnya, tapi karena Nak Mas bertanya pada Aki, maka menurut Aki kebahagian tidak semata terletak pada banyaknya harta, tidak semata terletak pada tingginya jabatan, tidak semata terletak mobil mewah dan rumah megah, kebahagiaan menurut Aki adalah seberapa besar rasa syukur kita terhadap apa yang kita miliki, kebahagiaan terletak pada seberapa besar ridha kita terhadap kehendak ilahi, kebahagiaan terletak pada seberapa besar sabar kita terhadap ujian-ujian yang tengah kita alami, kebahagiaan terletak pada seberapa besar Qanaah kita terhadap pemberian rahmat Allah kepada kita....................” Kata Ki Bijak.
“Ki, banyak orang yang mengatakan bahwa sekarang ini kan segalanya memerlukan uang, kita perlu uang untuk makan, kita perlu uang untuk biaya pendidikan anak-anak kita, kita perlu uang untuk jalan-jalan, kita perlu uang untuk ini dan itu, bahkan ada yang berpikir kita harus berupaya mendapatkan dan mencari uang sebanyak-banyaknya untuk segala hal dalam kehidupan dizaman modern ini ki................?” Kata Maula.
“Memang benar Nak Mas, hampir segala-galanya memerlukan uang, tapi Aki tetap memiliki sebuah keyakinan bahwa sekalipun segalanya memerlukan uang, itu tidak berarti uang merupakan segala-galanya, masih teramat banyak hal yang tidak mungkin bisa dibeli dengan uang.................” Kata Ki Bijak.
“Ketenangan bathin misalnya, ketenangan bathin merupakan syarat mutlak bagi lahirnya kebahagiaan, tidak mungkin dibeli dengan uang, mungkin ada yang mengatakan dengan uang kita bisa berlibur untuk mencari ketenangan, tapi teori itu sama sekali belum terbukti, karena betapa banyak orang yang pergi berlibur justru tidak menemukan ketenangan dan bahkan menimbulkan kegelisahan baru karena uangnya habis atau kendaraannya rusak misalnya...............” Kata Ki Bijak.
“Kepuasan bathin misalnya, hal ini pun merupakan sesuatu yang tidak terbeli dengan uang, kenikmatan beribadah, ketentraman keluarga, juga merupakan beberapa contoh lain betapa dengan uang, kita tidak secara otomatis bisa sampai pada tujuan akhir kita untuk mendapatkan kebahagiaan...................” Kata Ki Bijak.
“Benar ki, tapi sayang ya ki, betapa banyak orang yang dengan sukarela memenjarakan kebahagiaannya dengan nafsunya, atau setidaknya mereka berjudi untuk menukar kebahagiaan yang mungkin sudah didapatnya dengan harapan yang kadang berlebihan...............” Kata Maula.
“Nak Mas pernah dengar pepatah bagai burung didalam sangkar emas....?” Tanya Ki Bijak.
“Pernah ki................” Kata Maula.
“Seperti itulah orang-orang yang memenjarakan kebahagiaanya dengan nafsunya yang tidak terbatas, ia terkungkung dengan mimpi-mimpi indah, terpenjara dengan harapan-harapannya, mereka mengira bahwa jika tinggal disangkar emas itu mereka akan bahagia, padahal betapapun seekor burung tinggal disangkar emas, burung akan jauh lebih bahagia jika ia terbang dialam bebas............” kata Ki Bijak.
“Iya ki, itu kalau burung ya ki, bagaimana agar kita bisa terbang bebas melintasi langit kebahagiaan kita ki..............?” tanya Maula.
“Bebaskan hati kita dari ikatan-ikatan yang membelenggu dan mengurungnya Nak Mas, bebaskan hati kita dari angan kosong, bebaskan hati kita dari rasa was-was yang berlebihan dalam urusan dunia, bebaskan hati kita dari kurungan keinginan-keinginan kita yang berlebihan, bebaskan hati kita dari khayalan-khayalan semu, bebaskan hati kita dari mempertuhankan berhala-berhala, bebaskan hati kita dari perbudakan uang, pangkat dan jabatan, karena nilai kita bukan terletak pada uang, pangkat atau jabatan kita, nilai kita, sekali lagi terletak seberapa besar hati kita untuk mensyukuri nikmat Allah, bersabar atas ujiannya, ridha atas taqdirnya serta lapang dalam menerima pemberian-Nya, insha Allah, kita akan bisa melintasi mega-mega kebahagian yang kita idamkan...............” kata Ki Bijak.
“Sekali lagi ya Nak Mas, apa yang Aki uraikan tadi samasekali tidak berarti kita tidak boleh bermimpi dan menginginkan aksesori dunia ini dan ragamnya, karena memang dunia ini Allah amanahkan kepada kita, Aki hanya ingin Nak Mas bisa membuat pilihan-pilihan bijak dalam menjalani kehidupan ini, Nak Mas harus benar-benar berhitung dan memperhitungkan segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan, jangan sampai kejadian yang menimpa Nak Mas dulu, yang hanya berfokus dan berorientasi jangka pendek, akhirnya Nak Mas justru tidak menemukan hakikat kebahagiaan yang Nak Mas cari..................” kata Ki Bijak.
“Iya ki, ana mengerti........., kita harus membuat dan mengambil keputusan-keputusan bijak agar mimpi kita tidak mengorbankan hal-hal lain yang lebih besar, atau dalam bahasa ekonomi mungkin bagaimana mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan (cost) yang sekecil-sekecilnya ya ki...........” kata Maula.
“Nak Mas lebih pandai rumus-rumus ekonomi dari Aki, dan jika itu baik, bisa Nak Mas terapkan dalam pengambilan keputusan dalam perjalanan hidup Nak Mas, seperti Aki bilang kemarin kita harus berfikir lebih besar lagi dari sekedar mementingkan urusan dunia, karena akhirat adalah target yang jauh lebih besar dan lebih penting kita utamakan, tentu juga membutuhkan pengorbanan atau cost seperti Nak Mas bilang tadi, yang juga tidak sedikit, itu pilihan yang lebih bijak menurut Aki...............” kata Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih Aki mengingatkan ana ki, karena ana juga masih sering khilaf ketika tawaran-tawaran nafsu duniawi itu datang menggoda...........” kata Maula.
“Bukan Aki yang mengingatkan Nak Mas, tapi Allah..................” kata Ki Bijak
Maula mendongakan kepalanya, mengucap syukur atas karunia_Nya yang tanpa batas.
Wassalam
February 02, 2008
Boleh tahu, ini karya siapa???
ReplyDeleteMas Radita, insya allah ini coretan-coretan sy, mohon masukannya jika ada yang kurang, Wassalam
ReplyDelete