Monday, October 22, 2007

SEMOGA KITA MENJADI BAGIAN ORANG YANG “KEMBALI”

“Ki, Minal aidin wal faizin..............” sambil bermushafahah dengan Ki Bijak, gurunya.

“Taqabballahu minna wa minkun, shiyama wa shiyamakum, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin......” Balas Ki Bijak.

“Kapan Nak Mas datang dari kampung..........?”Tanya Ki Bijak .

“Baru kemarin ki, ini ada sedikit buah tangan ki, semoga aki berkenan menerimanya.......” Kata Maula sambil memberikan beberapa kantong kresek berisi kueh lebaran kepada Ki Bijak.

“Alhamdulillah, Jazakumullahi khairaan katsiraa, terima kasih Nak Mas......” Jawab Ki Bijak.

“Bagaimana lebaran dikampung Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah ki, ana dan keluarga bisa bersilaturahim dengan orang tua dan saudara, kami disana sekitar 10 hari, jadi bisa kangen-kangenan lebih lama dengan sanak family.....” Kata Maula.

“Bagaimana perjalanan balik kesininya Nak Mas.......” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah Ki, perjalanan kami lancar dan selamat, meski sedikit macet akibat kecelakaan.............” Kata Maula.

“Kecelakaan Nak Mas...?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, sepertinya ada seorang pengendara motor yang hendak kembali ke Jakarta, tapi mengalami kecelakaan di daerah Subang, ana tidak sempat melihat korbannya secara jelas, hanya terlihat sesosok tubuh tergeletak ditengah jalan............” Kata Maula.

“Masya Allah...........” Kata Ki Bijak.

“Iya, ki, bahkan dibeberapa tempat lain, banyak pemudik yang tidak bisa kembali ketempat tinggal atau tempat kerjanya.........” Kata Maula.

“Ramadhan dan shaum kita pun demikian Nak Mas................” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki........?” Tanya Maula.

“Seperti kata-kata yang barusan kita ucapkan, Minal aidin wal faizin, seharusnya merupakan doa dan harapan bahwa setelah menjalani proses pentarbiyahan dan pendidikan lahir bathin selama ramadhan, harusnya kita akan “kembali” kepada fitrah, baik itu kita kembali pada fitrah awal kejadian kita, yang oleh sebagian orang dianalogikan dengan kondisi bayi yang baru dilahirkan yang bersih dan suci dari dosa, maupun ‘kembali” pada fitrah kebenaran dan islam.......” Kata Ki Bijak.

“Namun demikian, seperti halnya para pemudik tadi, tidak semuanya bisa kembali, ada yang mengalami kecelakaan, ada yang sakit, ada yang dikehabisan bekal, dan masih banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak bisa kembali ketempat asalnya....”

“Pun demikian dengan kita, tidak semua orang yang shaum ramadhan lantas berhak mendapatkan gelar “Aidin wal faizin”, karena mereka yang “kembali pada fitrah” itu memerlukan berbagai kriteria dan syarat yang tidak mudah............” Kata Ki Bijak lagi.

“Siapa saja mereka yang bisa “kembali” serta apa saja syaratnya ki.........” Tanya Maula.

“Pertama, seseorang yang benar-benar “kembali” dan “beruntung dan memperoleh kemenangan” adalah mereka mampu memaknai bulan Syawal secara benar....” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya Ki........?” Tanya Maula.

“Syawal, terambil dari akar kata syala ya sulu syawalun, yang artinya “meningkat”, nah mereka, orang-orang yang “kembali” dan memperoleh “keuntungan” adalah mereka yang amal ibadahnya meningkat pasca ramadhan..,

“Kalau dibulan ramadhan kita ditarbiyah untuk qiyamul lail, maka dibulan syawal dan bulan-bulan lainnya, tahajudnya akan semakin giat..”,

“Jika dibulan ramadhan kita dilatih untuk menghatamkan al qur’an dalam sebulan secara berjamaah, maka dibulan syawal dan seterusnya, kita harus lebih rajin lagi tadabur dan tadarus al qur’an....”,

“Mereka yang “kembali” dan beroleh kemenangan juga adalah mereka yang tetap istiqomah shalat berjamaah dimasjidnya, mereka juga tetap istiqomah untuk menjadi seorang penyabar dan penyantun, dan masih banyak lagi indikator yang dapat menunjukan kembali tidaknya seseorang setelah shaum ramadhan......” Kata Ki Bijak.

“Akan halnya mereka yang memperoleh “Faizun”, memperoleh kemenangan atau sebagian mengartikan “beruntung” adalah mereka yang beriman kepada Allah, mereka yang berhijrah dijalan Allah, baik hijrah secara lahiriah, maupun hijrah secara bathiniah, hijrah dari hal-hal yang buruk menuju hal-hal yang baik, hijrah dari sifat-sifat jahiliyah kepada sifat-sifat qur’ani dan islami, serta mereka yang berjihad dijalan Allah dengan jiwa dan hartanya, dan juga mereka yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana termaktub dalam surat At Taubah:20 dan Al Ahzab:71 .....” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat al qur’an;

20. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

71. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.

“Ki, lalu kenapa kita mesti ‘kembali kepada fitrah kita” ki..............” Tanya Maula.

“Karena kita, manusia, akan sangat-sangat merugi dan menderita manakala kita tidak berjalan diatas fitrah kita, salah satu contoh fitrah kita adalah hidup dan berperilaku secara harmonis...” Kata Ki Bijak.

“Hidup harmonis juga salah satu fitrah kita ki.........?”Tanya Maula

“Benar Nak Mas, karena asal kata manusia atau insan sendiri adalah insun (bahasa arab), yang artinya Harmonis, kita diciptakan oleh Allah penuh dengan keharmonisan, penuh keseimbangan, penuh dengan tata nilai dan kebenaran.....”,

“Nah.., kadang seiring perjalanan waktu, nilai-nilai keharmonisan ini tercemar oleh nafsu dan dosa kita, sehingga perjalanan hidup kita tidak lagi seimbang dan limbung, dan pada titik inilah kita harus segera “kembali” kepada keharmonisan kita, kepada fitrah kita, agar kita memperoleh kemenangan dan keuntungan fi dunya wal akhirat.................” Kata Ki Bijak.

“Ki, habbluminnallah wa habblu min annas itukah yang harus kita jaga keharmonisannya...........?” Tanya Maula.

“Benar, itulah yang harus kita jaga, bagaimana kita berhubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, dan kalau boleh Aki tambah, kitapun harus menjaga hubungan baik kita dengan diri kita atau habblu min an nafs serta lingkungan semesta.......” Kata Ki Bijak.

“Habblu min an nafs ki.........?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, karena ketika kita bisa berhubungan dengan harmonis dengan diri kita sendiri, dalam arti kita mengenal siapa kita, dari mana kita, dimana kita dan akan kemana kita, insya Allah, kita akan mampu menempatkan diri kita dengan baik, baik ketika kita berhubungan dengan Allah lewat ibadah kita, kita akan mampu menempatkan diri sebagai seorang hamba yang mukhlis dalam melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya, maupun ketika kita berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan, kita akan terhindar dari sifat sombong atau takabur, kita akan terpelihara dari sifat angkuh dan merasa diri lebih baik, lebih hebat dibanding orang lain, karena orang yang mengenal dirinya, tentu akan malu untuk berhubungan dengan Allah, dengan manusia, dengan lingkungan dengan cara yang tidak benar....., karena itu akan bertentangan dengan fitrahnya sebagai manusia........” Kata Ki Bijak.

“Sebaliknya, manakala hubungan kita dengan diri kita sendiripun sudah rusak dan tidak harmonis, bagaimana mungkin kita bisa membina hubungan yang harmonis dengan Allah?, bagaimana mungkin kita bisa menata hubungan yang harmonis dengan manusia lain disekitar kita? atau bagaimana kita bisa memelihara dan berhubungan lingkungan semesta, sementara kita “gagal” dalam menjaga dan membina keharmonisan dengan diri kita sendiri...?” Kata Ki Bijak.

“Bagaimana caranya kita membina hubungan baik dengan diri kita ki...?” Tanya Maula.

“Kenali diri kita, kenali fitrah kita, dengarkan apa yang dikatakan sang diri, jangan membelenggunya dengan nafsu dan keinginan kita, jangan mengekangnya demi kesombongan kita, jangan membelokannya demi kepentingan sesaat kita......, Kata Ki Bijak setengah berfilsafat.

“Misalnya bagaimana ki......?” Tanya Maula.

“Secara fitrah, kita mengakui keberadaan Allah sebagai satu-satunya ilah yang wajib diibadahi, tapi kadang kita membelenggu fitrah itu dengan tidak mengakui adanya Allah hanya karena nafsu kita yang mengatakan bahwa Allah itu tidak ada, bahwa Allah itu bukan apa-apa, ini yang tidak boleh.......”

“kemudian lagi, secara fitrah, kita tahu bahwa kita ini mahluk lemah yang tidak mempunyai kekuatan dan daya apapun bahkan untuk melakukan hal terkecil sekalipun, namun kemudian kita mengekang fitrah kita itu dengan mengatakan bahwa “aku bisa, aku pandai, aku kuat, aku kaya”, ini juga hal yang akan merusak hubungan kita dengan sang diri dan merusak fitrah kita..........”

“Kemudian lagi, kita tahu bahwa satu-satu kebenaran adalah kebenaran Allah yang tertuang dalam al qur’an dan sunnah rasul-Nya, tapi demi kepentingan duniawi kita yang hanya sesaat, sebagian kita rela menukarnya dengan harga yang sangat murah, halal jadi haram, haram menjadi halal dan masih banyak lagi hal yang kerap kita lakukan yang berpotensi memperburuk hubungan kita dengan diri kita sendiri.........” Tutur ki Bijak.

“Jadi bisa tidaknya kita ber-habblu minallah dan berhabblu minannas tergantug bagaimana kemampuan kita ber-habblu min an nafs ya ki............” Kata Maula.

“Coba sekarang Nak Mas tanyakan pada diri Nak Mas, apakah apa yang Aki utarakan tadi benar atau salah, sebagai salah satu latihan bagi Nak Mas untuk mengenal dan berhubungan dengan diri Nak Mas, insya Allah, Nak Mas akan menemukan jawabannya............” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki............” Kata Maula sambil pamitan kepada Ki Bijak.

Wassalam

22 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment