Wednesday, October 31, 2007

MEMILIKI RSS, SEBUAH KEHARUSAN

“Ki, apakah orang yang ‘bahagia’ harus kaya.................” Tanya Maula.

“Kenapa Nak Mas ....?” Tanya Ki Bijak

“Iya ki, hampir dalam semua perbicangan, ana sering sekali menemukan orang-orang yang ketika berbicara tentang ‘bahagia’ selalu saja dikaitkan dengan unsur materi, seolah kalau orang tidak punya banyak uang, maka ia tidak bisa bahagia, seolah kalau mobilnya belum lima, maka ia belum dikategorikan bahagia, apakah benar demikian ki............” Tanya Maula.

“Pernah Nak Mas merasa sedih saat Nak Mas memiliki banyak uang? Atau sebaliknya, pernahkah Nak Mas merasa bahagia justru saat Nak Mas tidak memiliki banyak uang...?” Tanya Ki Bijak.

“Pernah Ki, ana pernah merasakan bagaimana ketersediaan uang yang cukup sama sekali tidak membuat ana bahagia, bahkan tak jarang ana risau memikirkan bagaimana harus menempatkan dan menggunakan uang itu............” Kata Maula.

“Sebaliknya sekarang ana justru ketika ana tidak memiliki uang sebanyak dulu, ana merasakan ‘sesuatu’ yang belum pernah ana rasakan sebelumnya, ana merasa damai dengan keterbatasan yang ada pada ana saat ini......., ana jadi tidak banyak mengkhayal ingin ini dan itu yang banyak menguras pikiran ana............” Sambung Maula.

“Itulah jawabannya Nak Mas, bahwa kebahagiaan tidak selalu identik dengan uang dan materi, meski tak dapat dipungkiri, dijaman sekarang ini, hampir segala-galanya memerlukan uang, bahkan hingga kita meninggal pun, kita masih memerlukan uang untuk jasa penguburan kita, tapi Aki tetap berkeyakinan bahwa uang bukan segala-galanya.......” Kata Ki Bijak

“Lalu syariat apa yang bisa ‘menjamin’ kita bahagia ki..........?” Tanya Maula

“Milikilah RSS Nak Mas, insya Allah kita akan bahagia..............” Kata Ki Bijak.

“Rumah Sangat Sederhana ki............? Tanya Maula lagi.

“Terlepas dari apakah rumah kita sangat sederhana, tapi selama kita memiliki sifat Ridha, Sabar dan Syukur, insya Allah kita akan menjadi orang yang paling kaya dan paling bahagia.................” Kata Ki Bijak.

“Ada banyak orang yang tinggal dirumah mewah nan megah, tapi tidak memiliki kebahagiaan sebagaimana mereka yang tinggal digubuk reot sekalipun, namun mereka memiliki sifat ridha,sabar dan syukur terhadap ketentuan dan takdir Allah atas dirinya..............” Kata Ki Bijak.

“Aki benar ki, ana pernah berkunjung kesebuah rumah, atau tepatnya sebuah gubuk yang dihuni seorang tua yang sudah renta, ia tinggal sendiri digubuk itu dengan segala keterbatasannya, tapi pak tua itu mengatakan bahwa ia sangat bahagia dan tak pernah merasakan kekurangan, meskipun penghasilannya hanya cukup untuk sekali makan saja..............” Kata Maula.

“Sebaliknya, Aki pernah menemukan orang yang mampu membuat ‘iri’ orang lain dengan harta kekayaan dan kedudukannya, tapi hampir tiap hari ia mengeluhkan berbagai hal yang menimpanya, ia sama sekali tidak bahagia dengan apa yang dimilikinya.............” Tambah Ki Bijak.

“Ki, mana yang lebih baik, apakah orang kaya atau orang miskin.........” Tanya Maula.

“Dua-duanya baik, selama orang kaya itu bersyukur dengan kekayaannya, dan orang miskin yang sabar dengan cobaan yang tengah dihadapinya..............” Kata Ki Bijak.

“Siapakah mereka ki...............?” Tanya Maula

“Nak Mas masih ingat kisah Nabi Sulaeman................?” Tanya Ki Bijak.

“Ya, Ki, Nabi Sulaeman as, putra Nabi Daud as, dikaruniai Allah dengan kerajaan dan kekayaan yang belum pernah ada sebelumnya dan tidak akan ada setelahnya orang yang diberi karunia sebesar apa yang telah Allah karuniakan kepada Nabi Sulaeman, bukan demikian ki.............?” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, bahkan konon Nabi Sulaeman diwarisi Allah dengan kebesaran dan kekayaan yang setara dengan seperempat isi bumi, namun Nabi Sulaeman tetap berlaku zuhud dan wara’ dan senantiasa bersyukur dengan apa yang dikaruniakan Allah padanya, beda halnya dengan Qarun, yang mengklaim bahwa apa yang dimilikinya ada semata karena ilmu dan kepintaraannya, dan Nak Mas tahu akhir kesudahan kisah Qarun...............?” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, Qarun dengan harta kekayaan yang telah melalaikannya dari nikmat Allah itu, dibenamkan kedalam bumi oleh Allah swt............” Kata Maula.

“Jadi kalau ada orang yang mengatakan orang Islam harus zuhud dan wara’, bukan berarti ia harus hidup dalam kemiskinan, tapi sifat zuhud dan wara’ dapat terwujud dalam kondisi orang kaya yang bersyukur dengan memanfaatkan dan membelanjakan hartanya dijalan Allah swt............” Kata Ki Bijak.

“Kalau orang yang sabar dengan cobaan yang dihadapinya, ki...........?” Tanya Maula.

“Nak Mas ingat dengan kisah Nabi Ayub as................?” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, Nabi Ayub as diuji oleh Allah dengan penyakit menahun yang membuat dirinya terusir dari keluarganya sendiri, tapi dengan kesabaran yang luar biasa, Allah membalas kesabaran itu dengan nikmat yang demikian besar, Allah menyembuhkan penyakitnya, Allah mengembalikan nabi Ayub kepada keluarganya serta memberikan keturuan yang banyak kepada Nabi Ayub as............” Kata Maula.

“Ya.....Nak Mas benar, dan itulah sebaik-baik contoh dan teladan yang Allah berikan kepada kita, kalau kita diberi kekayaan, maka berlakulah seperti nabi Sulaeman, yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya, dan dikala kita diuji dengan berbagai cobaan, maka sifat dan sikap Nabi Ayub as dalam menghapi ujian yang diberikan Allah padanya, patut kita teladani, agar kita menjadi orang yang selamat, baik ketika kita senang, atau ketika kita susah sekalipun...............” Kata Ki Bijak.

“Ridha, syukur dan sabar ...................” Maula mengulang-ulang petuah gurunya.

“Ya Nak Mas, ridha dan qana’ah kita terhadap pemberian Allah, akan menjadikan kita orang paling kaya dan paling bahagia...........”

“Sementara syukur akan mengundang nikmat yang lebih banyak dan lebih lama bagi kita............”

“Dan sikap sabar, adalah sebuah maqam khusus disisi Allah bagi mereka yang memilikinya...............” Kata Ki Bijak.

“Ya Allah, semoga engkau masukan kami kedalam hamba-hamba-Mu yang bersyukur atas segala nikmat-Mu............” Kata Muala sambil membaca ayat;

19. Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (An Naml)

“Alhamdulillah, terjawab sudah pertanyaan ana beberapa hari ini ki...........” Kata Maula.

“Pertanyaan apa Nak Mas..............” Tanya Ki Bijak.

“Pertanyaan bagaimana ana bisa bahagia dengan kondisi sekarang ki...........” Kata Ki Bijak.

“Syukurlah, semakin baik kualitas RSS yang Nak Mas miliki, insya allah, semakin baik juga kebahagian yang akan Nak Mas rasakan.............” kata Ki Bijak.

“Insya Allah, amiiin....” Maula mengamini.

Wassalam

October 31, 2007

Tuesday, October 30, 2007

SOMBONG, JALAN KEHANCURAN

“Ki, selain rasa malas, seperti yang Aki ajarkan kemarin, apalagi yang dapat menyebabkan seseorang terjerumus kedalam kebinasaan ki...........” Tanya Maula.

“Nak Mas masih ingat bagaimana jawaban iblis ketika diperintahkan Allah untuk bersujud (tahiyatul sujud – sujud penghormatan) kepada Adam...........?” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, Iblis mengatakan bahwa ia lebih baik dari Adam, karena Iblis diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah......” Jawab Maula sambil mengutip ayat yang menjelaskan hal itu;

12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (Al A’raf).

76. Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, Karena Engkau ciptakan Aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah" (Shaad).

“Menurut pendapat Nak Mas, apa arti jawaban iblis yang merasa lebih baik dari penciptaan Adam.....?” Tanya Ki Bijak.

“Iblis telah berlaku sombong, karena merasa lebih baik dari Adam dan merasa lebih tahu dari Allah sekalipun, serta membangkang terhadap perintah Allah, ki................” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, selain rasa malas dan enggan, sifat sombong adalah juga merupakan benih-benih kebinasaan yang akan menjerumuskan siapapun yang terjangkiti kedalam jurang kenistaan...........” Kata Ki Bijak.

“Apa yang kemudian terjadi dengan Iblis pembangkanganya itu...? Tanya Ki Bijak lagi

“Iblis diusir dari syurga dalam keadaan hina dan terkutuk ki.............” Kata Maula.

“Pun akan demikian halnya dengan siapapun yang memiliki sifat sombong dalam dirinya, kalau dulu Iblis laknatullah diusir dari surga, maka orang yang memiliki sifat sombong akan ‘terusir’ dari lingkungan dan surga dunia ini...........” Kata Ki Bijak.

“Kenapa ki.............” Tanya Maula.

“Pertama, orang yang memiliki sifat sombong, akan selalu merasa lebih baik dari orang lain, sehingga ia cenderung menutup diri dari dari orang lain, bahkan dalam stadium lanjut, orang yang sombong, akan menolak kebenaran hakiki yang dia rasa bertentangan dengan ego-nya, seperti Iblis tadi, sekalipun dia tahu bahwa yang memerintahkannya untuk sujud kepada Adam itu adalah Allah penciptanya, kesombongannya telah menghalanginya untuk melaksanakan perintah itu.......” Kata Ki Bijak.

“Yang kedua, orang yang memiliki sifat sombong, cenderung lalai, baik dalam ibadah maupun dalam muamalah, ia merasa ibadahnya sudah paling bener dan paling baik, ia merasa shalatnya paling khusuk, ia merasa zakatnya paling banyak, ia merasa shaumnya paling ikhlas, ia merasa hajinya paling mabrur dan sebagainya, dan ketika berbagai rasa ini sudah mendarah daging, ia akan ‘lupa’ bahwa pengabdian kepada Allah mensyaratkan sebuah kerendahan hati atau sifat tawadlu, ia akan lalai kalau sebagai manusia kita diberi fitrah sifat dhaif, ia akan lupa bahwa sesungguhnya Allah-lah yang telah memberikan kekuatan padanya untuk melakukan semua itu, ia akan lupa pada Allah rabb-nya..........” Kata Ki Bijak

“ Ki, apa yang menyebabkan seseorang terjangkiti sifat sombong....?” Tanya Maula.

“Banyak faktor yang menyebabkan seseorang terjebak dalam kesombongan, dia mungkin sombong karena ilmunya, ia mungkin sombong karena harta dan pangkatnya, ia mungkin sombong karena kedudukannya dan masih banyak hal yang menjadikan seseorang sombong............” Kata Ki Bijak.

“Diantara sekian banyak faktor yang menyebabkan kesombongan, menurut Aki, faktor yang paling dominan yang menyebabkan seseorang menjadi sombong adalah karena ia ‘miskin’.............”Lanjut Ki Bijak.

“Orang menjadi sombong karena miskin ki...........?” Tanya Maula heran.

“Benar, orang yang miskin iman, akan menjadi sombong, karena ia tidak memiliki keyakinan bahwa hanya Allah saja yang Maha Besar......”

“Orang yang miskin ilmu, akan menjadi sombong, karena ia tidak memiliki wawasan yang benar tentang betapa luas dan dalamnya ilmu Allah, sehingga ia merasa sudah paling pintar dengan apa yang ada padanya...........”

“Orang yang miskin pergaulan, akan menjadi sombong, karena ia terperangkap dalam lingkungan yang sempit, ‘kurung batokeun’ kata orang sunda, atau bagai katak dalam tempurung, yang tidak tahu dunia luar, sehingga ia tidak bisa mengukur dalamnya laut dan tingginya langit..............”

“Dan yang Nak Mas harus camkan, Orang yang merasa besar dengan ilmunya, merasa besar dengan ibadahnya, merasa besar dengan kedudukannya, sesunggunya ia ‘kecil’ dihadapan Allah dan dimata manusia lain..........” Kata Ki Bijak.

“Karena apa ki.........?” Tanya Maula.

“Nak Mas perhatikan orang-orang yang merasa dirinya besar, kemudian bertingkah polah layaknya Fir’aun, mungkin orang akan berpura-pura menunduk hormat dihadapannya, tapi dibelakang, orang akan mencibir dan mencemoohnya, konon lagi dihadapan Allah, ia akan sangat nista dan hina karena kesombongannya............” Kata Ki Bijak.

“Apa yang bisa kita lakukan untuk terhindar dari sifat ini ki........” Tanya Maula.

“Senantiasa membangun kesadaran, Nak Mas, kita harus membangun kesadaran kita sebagai manusia yang diciptakan Allah dengan segala kesempurnaannya, termasuk sifat lemah dan tiada daya, kita juga harus membangun kesadaran bahwa ilmu kita sangat-sangat terbatas, kita juga harus menyadari bahwa harta,pangkat dan kedudukan kita bukanlah sesuatu yang kekal yang patut kita sombongkan, semua hanya amanah yang kelak harus kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.............”Kata Ki Bijak.

“Jadi kita harus ‘tahu diri’ ya ki..........” Kata Maula.

“Benar, kita harus ‘tahu diri’, bahwa kita tidak lebih dari sesosok mahluk Allah yang tidak memiliki daya dan kekuatan apapun, kecuali dengan izin Allah, Laa haulawala quata ilabillahi...............” Kata Ki Bijak.

“Bahkan dalam beberapa hal, kita jauh lebih lemah dari mahluk Allah lainnya............” Tambah Ki Bijak.

“Maksud Aki...........” Tanya Maula.

“Yaah, dibalik kesempurnaan penciptaan kita, kita juga dikaruniai Allah dengan berbagai kelemahan, misalnya, kalau kucing minum air yang kotor sekalipun, kucing tersebut tidak sakit, karena dibekali Allah dengan sistem imun yang berbeda dengan manusia, sebaliknya ketika kita minum jenis minuman yang baru saja, susu instan misalnya, sebagian kita kadang justru mengalami sakit perut, apalagi harus minum air yang kotor seperti kucing atau hewan lainnya...........” Kata Ki Bijak.

“Untuk apa Allah memberikan kelemahan pada kita ki...........” Tanya Maula.

“Untuk menyadarkan kita bahwa kita mahluk lemah yang sangat-sangat bergantung kepada Allah, dan agar kita sadar akan kelemahan itu dan segera kembali kepada-Nya.............” Kata Ki Bijak.

“Terima kasih ki, semoga apa yang aki wejangkan tadi bisa ana pahami dan amalkan sebagai bekal ana menjalani kehidupan ini ya ki.........” Kata Maula.

“Insa Allah..amiin..........” Timpal Ki Bijak.

Wassalam

October 30, 2007.

Monday, October 29, 2007

MALAS, SEBUAH POTENSI KEMUNKARAN

“Ki, Aki sudah dengar adalah kelompok Islam baru yang katanya memiliki nabi sendiri.............?” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, Aki beberapa hari lalu mendengar berita yang sedang santer diberbagai media, meski Aki belum terlalu jelas siapa dan bagaimana eksistensi kelompok itu..........” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki, sekarang malah makin ramai, karena sebagian umat Islam ramai-ramai ‘menangkapi’ anggota kelompok itu, karena pengakuan pemimpinnya sebagai nabi baru, serta beberapa ajarannya yang dinilai sangat menyimpang atau bahkan bertentangan dengan ajaran Islam secara umum............”Kata Maula.

“Yaah, seperti itulah kondisi umat sekarang Nak Mas, sebagaian mereka terlalu bangga dengan kecerdasan dan rasio mereka, bahkan cenderung men-tuhan-kan logika mereka secara membabi buta, menurut Aki...........” Kata Ki Bijak.

“Ki, Kenapa banyak orang yang dengan ‘mudah’ terperangkap dan mengikuti ajaran yang belum jelas juntrungannya, seperti tidak perlu shalat, tidak perlu shaum, dan tidak perlu haji, padahal kalau lihat berita ditelevisi kemarin, sebagian besar dari anggota kelompok itu orang-orang yang intelek dan berdasi........?” Tanya Maula heran.

“Aki tidak tahu persis kenapa hal itu terjadi, namun dari sudut pandang Aki, apa yang terjadi sekarang ini adalah sebuah kulminasi fenomena yang sudah lama terjadi dimasyarakat kita Nak Mas.........” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya Ki.......?” Tanya Maula.

“Aki melihat pesatnya perkembangan kelompok-kelompok sejenis ini, bukan karena ‘kehebatan’ pemimpin mereka dalam merekrut jamaahnya dengan paham dan ajarannya, tapi lebih pada ‘kepintaraan’ mereka dalam memanfaatkan momentum ......” Kata Ki Bijak

“Momentum apa ki..........?” Tanya Maula penasaran.

“Nak Mas perhatikan disekitar kita, betapa banyak ‘orang yang mengaku islam’, tapi kemudian tidak shalat, atau kalaupun shalat pilih-pilih waktu dan kepentinganya yang diukur dengan nafsunya.....”,

“Ada lagi ‘orang islam’ yang tidak zakat, atau kalaupun zakat hanya karena pamrih dan riya...”,

“Lalu ada ‘orang Islam’ tidak shaum, atau kalaupun shaum lebih banyak mengeluhnya, buang-buang uang kalau pergi haji katanya, Nah ditengah kondisi umat yang seperti ini, akan sangat mudah bagi seseorang untuk menggelincirkan umat kedalam jurang kesesatan...........”

“Mereka yang memiliki kepentingan untuk menjerumuskan mereka, sebut saja kelompok-kelompok tadi, hanya perlu sedikit tenaga untuk ‘memoles’ rasa malas dan enggan yang memang sudah ada pada sebagian orang menjadi sebuah doktrin, bahwa islam tidak perlu shalat, tidak perlu zakat, tidak perlu shaum, dan orang-orang yang memang memiliki potensi ‘kemalasan dan keengganan’ untuk melaksanakan ajaran Islam secara penuh, menyambut seruan ini dengan tangan terbuka, karena mereka merasa mendapat ‘legitimasi’ atas argumen-argumennya untuk meninggalkan shalat, mengingkari zakat atau melalaikan shaum dan haji, end toh di KTP mereka masih berstatus Islam.............” Kata Ki Bijak.

“Jadi secara de facto, orang-orang semacam itu sudah ada ya ki..........” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, secara de facto, orang islam yang malas shalat, dengan mengatakan shalat tidak lebih dari ritual dan gerakan senam, orang islam yang enggan zakat, orang islam yang takut shaum, orang islam yang alergi haji sudah ada jauh sebelum kelompok yang sekarang ramai diberitakan itu memaklumkan dirinya dengan nama dan gaya baru...............” Kata Ki Bijak.

“Betapa berbahayanya sifat malas itu ya ki.............” Kata Maula.

“Bahkan sangat-sangat berbahaya, karena pada kondisi kronis, sifat malas ini sangat berpotensi untuk menjerumuskan kita pada jurang kemusyrikan, seperti terjadi pada sebagian orang, Naudzubullah...........” Kata Ki Bijak.

“Ki, bagaimana awalnya sifat malas ini terbentuk...........?” Tanya Maula.

“Aki bukan ahli psikologi atau ahli kejiwaan yang pandai menilai perilaku seseorang, dan kalau Aki mengatakan bahwa sifat malas ini terbentuk dari ‘kebiasaan kita menunda’, itu lebih pada pemahaman Aki yang memang terbatas Nak Mas.........” Kata Ki Bijak.

“Kebiasaan menunda sebagai proses awal terbentuknya sifat malas ki..........” Tanya Maula.

“Itu menurut Aki Nak Mas, contoh kecilnya begini, kebiasaan kita menunda dan mengakhirkan shalat dengan berbagai dalih, karena sibuk, karena ada pekerjaan penting, nanti saja karena waktu masih panjang, karena ngantuk, karena lelah, dan berbagai dalih lainnya, yang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, secara langsung atau tidak, akan mendidik kita untuk memiliki sifat malas ini, karena seperti kata orang, kebiasaan adalah sifat kita yang kedua, karenanya Nak Mas harus sangat berhati-hati untuk mengulur dan menunda waktu shalat, kecuali memang ada udzhur yang dibenarkan syara’..........” Kata Ki Bijak.

“Atau kebiasaan kita melalaikan zakat, aah nanti saja, aah belum waktunya, aah masih sedikit, secara tidak sadar akan menjadi ‘racun’ yang akan mengaliri jasmani dan rohani kita dengan kemalasan, pun demikian dengan menganggap enteng shaum dengan meng-qhada-nya tanpa alasan yang benar, akan sangat berpotensi menjadikan kita seorang pemalas, dan ingat, kemalasan merupakan sebuah potensi yang sangat besar untuk menjerumuskan kita pada kemunkaran.............” Kata Ki Bijak.

“Hingga dalam sebuah hadits Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita untuk berlindung dari sifat malas ini, salah satu alasannya karena potensi bahaya diatas....” sambung Ki Bijak sambil mengutip sebuah hadits;
Artinya: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kedukaan. Aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan rasa malas". Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan bakhil. Dan aku berlindung kepada-Mu dari banvak hutang dan kezhaliman manusia."

“Ternyata sifat malas yang sering kita anggap kecil itu bahayanya besar sekali ya ki.............” Kata Maula.

“Tidak ada bahaya yang besar kalau kita berlaku hati-hati, sebaliknya, tidak ada bahaya yang kecil kalau kita ceroboh dan sembrono, dan ini berlaku dalam hal apapun dalam kehidupan kita...........” kata Ki Bijak.

“Apa yang harus kita lakukan untuk menyikapi fenomena maraknya ajaran-ajaran baru seperti sekarang ini, ki..........” Tanya Maula.

“Pertama, tingkatkan kehati-hatian kita untuk ikut suatu kegiatan yang kita tidak tahu latar belakang dan misinya, seyogyanya kita memilih orang atau sumber-sumber yang sudah terpercaya, jangan mudah terpengaruh dengan hal-hal baru yang banyak ditawarkan oleh banyak pihak........”

“Kedua, laksanakan amal agama sesuai dengan qur’an dan sunnah, jangan berdasarkan doktrin golongan atau aliran tertentu dengan penuh kesungguhan, hindari rasa malas yang berlebihan dalam mengamalkan ajaran agama........”

“Ketiga, tambah ilmu dari sumber-sumber yang terpercaya, agar kita tidak mudah terprovokasi dengan berbagai tawaran yang seolah-olah akan menyelamatkan kita, tapi sesungguhnya tipu daya setan belaka.....”

“Keempat, cobalah mulai banyak berdiskusi dengan hati kita, jangan hanya mengandalkan rasio dan logika yang kadang justru menjauhkan kita pada tujuan yang benar........, berpikir kritis boleh, tapi harus dengan ilmu yang benar, tanyakan pada orang yang lebih mengerti dari kita, kalau kita menemukan hal-hal kira-kira asing bagi kita, jangan memaksa untuk menyimpulkan sendiri kalau kita memang tidak tahu ilmunya.........”

“Selanjutnya bertawalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, mohon perlindungan dari-Nya agar kita terhindar dari tipu daya dajjal dan fitnah-fitnahnya............” Kata Ki Bijak.

“Allahuma ‘audubika min fitnatidunyaa wal fitnatill akhiraa, wa fitnati dajjal................” Kata Maula pelan.

“Amiin............ “ Timpal Ki Bijak.

Wassalam
October 29, 2007

Friday, October 26, 2007

BELAJAR TANPA HENTI

“Rasanya kita harus berbesar hati untuk bisa dan mau belajar dari seorang anak kecil sekalipun Nak Mas.......” kata Ki Bijak, mengomentari cerita Maula tentang putranya yang sedang belajar jalan.

“Apa yang bisa kita pelajari dari tingkah laku ade sekarang ki.........” Tanya Maula.

“Nak Mas masih ingat perbincangan kita tentang sifat kekanak-kanakan yang masih mungkin terdapat pada kita yang mengaku sudah dewasa.....? Kata Ki Bijak.

“Iya ki, sebagian sifat anak kecil yang masih melekat pada sebagian orang dewasa adalah sikap suka pamer, baik itu ketika ia memiliki sesuatu, atau bahkan suka pamer ketika melakukan kebaikan dan amal ibadah kepada Allah, kemudian juga sikap ‘kolokan’ dalam mengerjakan sesuatu, sebagian kita orang dewasa hanya mau melakukan suatu pekerjaan ketika diiming-imingi hadiah atau ditakut-takuti, bukan atas kesadaran sendiri, kemudian ada lagi sifat anak kecil yang masih melekat pada kita orang dewasa adalah suka bicara sekenanya, ceplas-ceplos dan cenderung tidak bertanggung jawab, begitukan ki.......” Kata Maula.

“Ya, seperti itu, masih banyak diantara kita yang tua-tua ini bahkan kadang lebih kekanak-kanakan dari seorang anak kecil sendiri, namun demikian, dibalik semua apa yang Nak Mas sebutkan tadi, kitapun bisa belajar hal-hal yang baik dari seorang anak kecil, dari Ade yang sedang belajar jalan misalnya...........” Kata Ki Bijak.

“Apa yang bisa kita pelajari ki........?” Tanya Maula.

“Pertama, kita bisa belajar dari seorang anak yang sedang belajar jalan mengenai bagaimana sebuah proses harus dilalui sebelum kita sampai pada tujuan kita................” Kata Ki Bijak

“Maksudnya ki...?” Tanya Maula.

“Nak Mas pasti lebih tahu dari Aki, bagaimana perkembangan Ade dari mulai bayi hingga sekarang, ia melalui berbagai tahapan sebelum ia benar-benar bisa berjalan nanti, ia belajar menggerakan-gerakan anggota badannya, kemudian ia belajar membalikan badan dan kemudian tengkurap, kemudian belajar duduk, merangkap, belajar berdiri, hingga sekarang Ade mulai belajar melangkahkan kakinya untuk berjalan..........” Kata Ki Bijak.

“Apa artinya bagi kita orang dewasa ki...........” Tanya Maula lagi.

“Artinya dalam hal apapun, ada sebuah sunatullah yang pasti berlaku bagi semua kita, yaitu sebuah proses, misalnya sekarang Nak Mas ingin menjadi manager sebuah perusahaan, pasti ada sebuah proses dan jenjang yang harus Nak Mas lalui terlebih dahulu, pertama mungkin ketika datang pertama kali, Nak Mas hanya seorang pemula yang tak tahu apa-apa tentang pekerjaan dan perusahaan baru itu, kemudian setelah sekian waktu, pengetahuan dan ketrampilan Nak Mas bertambah, status Nak Mas pun tidak lagi sebagai pemula, dan seiring dengan itu kedudukan Nak Mas pun akan naik, dari junior, senior, supervisor, assistan dan seterusnya hingga menjadi manager, itu adalah sebuah proses yang harus dilalui.........” Kata Ki Bijak.

“Dan seperti halnya Ade yang sedang belajar berjalan, yang harus jatuh bangun, kepentok meja, nabrak pintu atau terbentur tembok, proses kita dalam menuju keinginan kitapun niscaya akan menemui berbagai hambatan dan aral yang akan menjadi bumbu penyedapnya, akan ada tantangan dari rekan sekerja yang mungkin merasa tersaingi, ada hambatan dari atasan yang mungkin kurang peduli,ada kendala dan kekurangan kita dalam pengetahuan dan ketrampilan, dan masih banyak lagi hal-hal yang akan mewarnai dan menjadi penyedap perjalanan kita..........” Kata Ki Bijak.

“Apa yang harus kita lakukan jika menemukan hal-hal seperti itu ki.............” Tanya Maula.

“Apa yang Ade lakukan ketika ia harus jatuh, apa ia kemudian berhenti belajar berjalannya.......?” Ki Bijak balik bertanya.

“Ade tidak pernah menyerah, kalau ia jatuh, ia bangun lagi, jatuh lagi bangun lagi, sampai-sampai kakinya ada yang lebam.........” Kata Maula.

“Ya seperti itulah seharusnya kita, kita tidak boleh menyerah hanya karena adanya sedikit rintangan yang menghalangi perjalanan kita, kita nikmati saja prosesnya, karena memang wilayah kita ada dalam lingkaran proses saja, selebihnya terserah kepada Allah............” Kata Ki Bijak.

“Jadi kita ‘hanya’ wajib berusaha ya ki.............” kata Maula.

“Ya kita ‘hanya’ wajib berusaha, tapi tidak wajib berhasil, karena ada Allah yang menentukan apakah usaha dan upaya kita memang layak dibalas dengan keberhasilan, ditunda atau kita justru diharuskan menempuh upaya dan jalan lain yang menurut Allah lebih tepat buat kita............” Kata Ki Bijak.

“Hal kedua adalah semangat dan keberanian; Nak Mas perhatikan bagaimana Ade berjuang untuk mengalahkan rasa takut jatuhnya demi sebuah tujuan, yaitu ingin bisa jalan, dan ini juga merupakan sebuah sunatullah, bahwa tidak akan ada sebuah keberhasilan, dalam hal dan bidang apapun yang akan dicapai oleh seseorang, apabila dia tidak memiliki semangat dan keberanian untuk mencapainya.......” Kata Ki Bijak.

“Banyak sudah contoh bagaimana seseorang yang memiliki potensi sedemikian besar, harus layu sebelum berkembang,karena tidak memiliki semangat dan tekad baja untuk meraihnya............” Kata Ki Bijak.

“Benar Ki, ada seorang teman SMP dulu yang secara akademik memiliki sedemikian hebat prestasinya, tapi dia kerap takut dan gagap untuk memilih dan melakukan sesuatu yang sangat mungkin untuk dia capai, akhirnya sekarang dia tidak lebih hanya menjadi seperti orang kebanyakan, semua potensi yang dimilikinya hanya tersimpan dalam bentuk nilai diijazah sekolahnya..........” Kata Maula.

“Sebaliknya, seseorang yang secara akademik biasa-biasa saja, menjadi orang yang sangat ‘hebat’ karena keberanian dan kesungguhannya menggeluti usahanya, seperti teman Aki dikampung dulu, ia sekarang menjadi orang yang serba kecukupan secara materi.............” Tambah Ki Bijak.

“Hal ketiga yang dapat kita pelajari dari seorang anak kecil adalah keingin tahuannya yang sangat besar terhadap berbagai hal...., Nak Mas perhatikan lagi tingkah polah Ade, hampir setiap benda yang ada disekitarnya ingin diambil, atau dimasukan kedalam mulutnya, ini adalah sebuah naluri dasar dari seorang anak untuk mengenal dan mengetahui hal-hal diluar dirinya..............” Kata Ki Bijak.

“Kadang kita, orang-orang tua ini, sudah merasa cepat puas dengan ilmu dan pengetahuan yang sudah kita miliki, kita sudah merasa pintar atau bahkan paling pintar, sehingga kita menjadi malas untuk menggali dan belajar lagi.........” Kata Ki Bijak.

“Benar ki, kadang ana pun mengalami dan merasakan hal yang demikian.......” Kata Maula.

“Yah, karena itulah kita harus banyak belajar lagi, bahkan dari seorang anak kecil sekalipun...........” Kata Ki Bijak.

“Nak, terima kasih, engkau ajari Abi dengan dengan kesungguhan dan semangatmu, terima kasih Nak...............” Kata Maula.

Wassalam

October 26, 2007

Wednesday, October 24, 2007

SELAMAT DATANG HUJAN (RAHMAT)

“Alhamdulillah, sudah musim hujan lagi Nak Mas......” Kata Ki Bijak

“Alhamdulillah ki, kemarin, waktu pulang kerjapun ana kehujanan dijalan, deras sekali..........” Kata Maula.

“Ya seperti itulah seharusnya kita menyikapi datangnya hujan, Aki pesan pada Nak Mas, jangan sekali-kali Nak Mas bilang ‘Yaah, hujan lagi deh’, ‘gara-gara ini sih....’, karena itu tidak baik dan berpotensi untuk mengurangi rasa syukur kita atas nikmat Allah swt atau bahkan kita terjebak pada kemusyrikan kalau kita..............” Kata Ki Bijak.

“Seperti dalam sebuah hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Zaid menceritakan: Rasulullah Shallalallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Shubuh bersama kami di Al-Hudaibiyyah di bekas turunnya hujan di malam sebelumnya. Usai shalat, beliau menghadap ke arah jama'ah shalat dan bertanya: "Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?" Mereka berkata menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau berkata: "Allah berfirman: "Di pagi hari, di antara hamba-hamba-Ku ada yang menjadi mukmin dan ada yang menjadi kafir kepada-Ku. Orang yang mengatakan: "Tadi malam turun hujan untuk kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya," maka orang itu beriman kepadaku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata: "Tadi malam turun hujan untuk kita karena bintang-bintang tersebut," maka ia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang itu….”Sambung Ki Bijak.

“Bagaimana seharusnya kita menyikapi pergantian musim ini ki.........” Tanya Maula.

“Hujan, adalah salah satu tanda dari sekian banyak tanda kebesaran Allah, karenanya banyak sekali ayat yang menyatakan hal diatas;

46. Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira[1173] dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya[1174] dan (juga) supaya kamu dapat mencari karunia-Nya; mudah-mudahn kamu bersyukur. (Ar-rum;46)

[1173] Pembawa berita gembira Maksudnya: awan yang tebal yang ditiup angin lalu menurunkan hujan. karenanya dapat dirasakan rahmat Allah dengan tumbuhnya biji-biji yang Telah disemaikan dan menghijaunya tanaman-tanaman serta berbuahnya tumbutumbuhan dan sebagainya.
[1174] yaitu: dengan seizin Allah dan dengan sekehendak-Nya.

48. Allah, dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira. (Ar-rum:48)


57. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu Telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah kami membangkitkan orang-orang yang Telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.(Al A’raf:57)


27. Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. (Al Fathir:27)


“Masih banyak lagi ayat-ayat al qur’an yang menyatakan bahwa hujan adalah salah satu bukti kebesaran Allah, rasanya tidak pantas bagi kita yang mengaku beriman, tapi kemudian justru ‘menyesali’ kedatangan salah satu tanda kebesaran itu..............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, dengan datangnya hujan kemarin, tadi sepanjang perjalan kekantor, ana lihat para petani mulai menggarap sawah untuk memulai menanam padi atau tanaman lainnya.........” Kata Maula.

“Itu salah satu contoh konkritnya Nak Mas, betapa hujan yang dikeluhkan oleh sebagian orang, justru merupakan berkah bagi sebagian yang lain, dan sekali lagi tidak pantas bagi kita untuk mengeluh dan mempertanyakan kebijakan Allah dengan mengganti musim panas menjadi musim hujan atau sebaliknya.........” Kata Ki Bijak.

“Kalau hujan yang kemudian menimbulkan banjir dan bencana bagaimana ki........?” Tanya Maula.

“Ada memang hujan yang mengakibatkan banjir dan bencana seperti itu, tapi sama sekali tidak mengurangi arti hujan sebagai salah satu tanda kebesaran Allah, justru bencana banjir atau sejenisnya yang diakibatkan oleh hujan juga bisa kita maknai sebagai salah satu tanda kebesaran Allah untuk memperingatkan kita...........” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki..........” Tanya Maula.

“Selain menggambarkan hujan sebagai rahmat, dengan menyirami bumi yang tandus dan menumbuhkan tumbuhan sebagai rezeki bagi kita, al qur’an juga menceritakan bagaimana sebagian umat-umat terdahulu diperingatkan Allah dengan datangnya hujan yang membawa malapetaka kepada mereka, yang diakibatkan ‘pembakangan’ mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.........” Kata Ki Bijak.

“Nak Mas masih ingat umat mana saja yang mendapatkan azab berupa hujan yang membawa bencana, bahkan ada diantar mereka yang dihujani dengan batu....” Kata Ki Bijak memancing.

“Kaumnya Nabi Luth ki, mereka dihujani dengan batu, karena melakukan fahisyah (penyimpanngan seksual).....”


58. Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu. (An Naml:58)


40. Dan Sesungguhnya mereka (kaum musyrik Mekah) Telah melalui sebuah negeri (Sadum) yang (dulu) dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya (hujan batu). Maka apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu; bahkan adalah mereka itu tidak mengharapkan akan kebangkitan. (Al Furqon:40)

“Juga kaum Nabi Nuh dan bahkan anaknya ikut ditenggelamkan oleh Allah dengan hujan dan banjir karena pengingkarannya terhadap seruan Nabi Nuh.............” Sambung Maula.

“Nak Mas betul, itu adalah sebagian kisah dalam al qur’an yang menggambarkan hujan sebagai salah satu bukti kebesaran Allah, bahwa dengan kebesarannya Allah mampu menjadikan hujan sebagai rahmat atau sebagai azab sesuai dengan kehendak-Nya..........” Kata Ki Bijak.

“Jadi pilihannya ada pada kita ya ki........” Kata Maula.

“Secara syari’at iya, bagaimana kita berperilaku, bagaimana sikap dan ketaatan kita kepada Allah, akibatnya akan kembali kepada kita, baik sikap dan ketaatan kita, maka hujan yang diturunkan Allah akan menjadi rahmat bagi kita, sebaliknya, ketika kita lebih banyak membangkang daripada menurut, maka seperti kaum nabi luth dan kaum Nabi Nuh itulah hujan yang mungkin akan kita terima..............” Kata Ki Bijak.

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat dan membawa rahmat, dan selamatkan kami dari hujan-Mu yang membawa petaka akibat kelalaian kami, amiin Allahuma amiin…….”
Wassalam

24 Oktober 2007

Monday, October 22, 2007

SEMOGA KITA MENJADI BAGIAN ORANG YANG “KEMBALI”

“Ki, Minal aidin wal faizin..............” sambil bermushafahah dengan Ki Bijak, gurunya.

“Taqabballahu minna wa minkun, shiyama wa shiyamakum, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin......” Balas Ki Bijak.

“Kapan Nak Mas datang dari kampung..........?”Tanya Ki Bijak .

“Baru kemarin ki, ini ada sedikit buah tangan ki, semoga aki berkenan menerimanya.......” Kata Maula sambil memberikan beberapa kantong kresek berisi kueh lebaran kepada Ki Bijak.

“Alhamdulillah, Jazakumullahi khairaan katsiraa, terima kasih Nak Mas......” Jawab Ki Bijak.

“Bagaimana lebaran dikampung Nak Mas....?” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah ki, ana dan keluarga bisa bersilaturahim dengan orang tua dan saudara, kami disana sekitar 10 hari, jadi bisa kangen-kangenan lebih lama dengan sanak family.....” Kata Maula.

“Bagaimana perjalanan balik kesininya Nak Mas.......” Tanya Ki Bijak.

“Alhamdulillah Ki, perjalanan kami lancar dan selamat, meski sedikit macet akibat kecelakaan.............” Kata Maula.

“Kecelakaan Nak Mas...?” Tanya Ki Bijak.

“Iya ki, sepertinya ada seorang pengendara motor yang hendak kembali ke Jakarta, tapi mengalami kecelakaan di daerah Subang, ana tidak sempat melihat korbannya secara jelas, hanya terlihat sesosok tubuh tergeletak ditengah jalan............” Kata Maula.

“Masya Allah...........” Kata Ki Bijak.

“Iya, ki, bahkan dibeberapa tempat lain, banyak pemudik yang tidak bisa kembali ketempat tinggal atau tempat kerjanya.........” Kata Maula.

“Ramadhan dan shaum kita pun demikian Nak Mas................” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki........?” Tanya Maula.

“Seperti kata-kata yang barusan kita ucapkan, Minal aidin wal faizin, seharusnya merupakan doa dan harapan bahwa setelah menjalani proses pentarbiyahan dan pendidikan lahir bathin selama ramadhan, harusnya kita akan “kembali” kepada fitrah, baik itu kita kembali pada fitrah awal kejadian kita, yang oleh sebagian orang dianalogikan dengan kondisi bayi yang baru dilahirkan yang bersih dan suci dari dosa, maupun ‘kembali” pada fitrah kebenaran dan islam.......” Kata Ki Bijak.

“Namun demikian, seperti halnya para pemudik tadi, tidak semuanya bisa kembali, ada yang mengalami kecelakaan, ada yang sakit, ada yang dikehabisan bekal, dan masih banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak bisa kembali ketempat asalnya....”

“Pun demikian dengan kita, tidak semua orang yang shaum ramadhan lantas berhak mendapatkan gelar “Aidin wal faizin”, karena mereka yang “kembali pada fitrah” itu memerlukan berbagai kriteria dan syarat yang tidak mudah............” Kata Ki Bijak lagi.

“Siapa saja mereka yang bisa “kembali” serta apa saja syaratnya ki.........” Tanya Maula.

“Pertama, seseorang yang benar-benar “kembali” dan “beruntung dan memperoleh kemenangan” adalah mereka mampu memaknai bulan Syawal secara benar....” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya Ki........?” Tanya Maula.

“Syawal, terambil dari akar kata syala ya sulu syawalun, yang artinya “meningkat”, nah mereka, orang-orang yang “kembali” dan memperoleh “keuntungan” adalah mereka yang amal ibadahnya meningkat pasca ramadhan..,

“Kalau dibulan ramadhan kita ditarbiyah untuk qiyamul lail, maka dibulan syawal dan bulan-bulan lainnya, tahajudnya akan semakin giat..”,

“Jika dibulan ramadhan kita dilatih untuk menghatamkan al qur’an dalam sebulan secara berjamaah, maka dibulan syawal dan seterusnya, kita harus lebih rajin lagi tadabur dan tadarus al qur’an....”,

“Mereka yang “kembali” dan beroleh kemenangan juga adalah mereka yang tetap istiqomah shalat berjamaah dimasjidnya, mereka juga tetap istiqomah untuk menjadi seorang penyabar dan penyantun, dan masih banyak lagi indikator yang dapat menunjukan kembali tidaknya seseorang setelah shaum ramadhan......” Kata Ki Bijak.

“Akan halnya mereka yang memperoleh “Faizun”, memperoleh kemenangan atau sebagian mengartikan “beruntung” adalah mereka yang beriman kepada Allah, mereka yang berhijrah dijalan Allah, baik hijrah secara lahiriah, maupun hijrah secara bathiniah, hijrah dari hal-hal yang buruk menuju hal-hal yang baik, hijrah dari sifat-sifat jahiliyah kepada sifat-sifat qur’ani dan islami, serta mereka yang berjihad dijalan Allah dengan jiwa dan hartanya, dan juga mereka yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana termaktub dalam surat At Taubah:20 dan Al Ahzab:71 .....” Kata Ki Bijak sambil mengutip ayat al qur’an;

20. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

71. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.

“Ki, lalu kenapa kita mesti ‘kembali kepada fitrah kita” ki..............” Tanya Maula.

“Karena kita, manusia, akan sangat-sangat merugi dan menderita manakala kita tidak berjalan diatas fitrah kita, salah satu contoh fitrah kita adalah hidup dan berperilaku secara harmonis...” Kata Ki Bijak.

“Hidup harmonis juga salah satu fitrah kita ki.........?”Tanya Maula

“Benar Nak Mas, karena asal kata manusia atau insan sendiri adalah insun (bahasa arab), yang artinya Harmonis, kita diciptakan oleh Allah penuh dengan keharmonisan, penuh keseimbangan, penuh dengan tata nilai dan kebenaran.....”,

“Nah.., kadang seiring perjalanan waktu, nilai-nilai keharmonisan ini tercemar oleh nafsu dan dosa kita, sehingga perjalanan hidup kita tidak lagi seimbang dan limbung, dan pada titik inilah kita harus segera “kembali” kepada keharmonisan kita, kepada fitrah kita, agar kita memperoleh kemenangan dan keuntungan fi dunya wal akhirat.................” Kata Ki Bijak.

“Ki, habbluminnallah wa habblu min annas itukah yang harus kita jaga keharmonisannya...........?” Tanya Maula.

“Benar, itulah yang harus kita jaga, bagaimana kita berhubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, dan kalau boleh Aki tambah, kitapun harus menjaga hubungan baik kita dengan diri kita atau habblu min an nafs serta lingkungan semesta.......” Kata Ki Bijak.

“Habblu min an nafs ki.........?” Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, karena ketika kita bisa berhubungan dengan harmonis dengan diri kita sendiri, dalam arti kita mengenal siapa kita, dari mana kita, dimana kita dan akan kemana kita, insya Allah, kita akan mampu menempatkan diri kita dengan baik, baik ketika kita berhubungan dengan Allah lewat ibadah kita, kita akan mampu menempatkan diri sebagai seorang hamba yang mukhlis dalam melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya, maupun ketika kita berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan, kita akan terhindar dari sifat sombong atau takabur, kita akan terpelihara dari sifat angkuh dan merasa diri lebih baik, lebih hebat dibanding orang lain, karena orang yang mengenal dirinya, tentu akan malu untuk berhubungan dengan Allah, dengan manusia, dengan lingkungan dengan cara yang tidak benar....., karena itu akan bertentangan dengan fitrahnya sebagai manusia........” Kata Ki Bijak.

“Sebaliknya, manakala hubungan kita dengan diri kita sendiripun sudah rusak dan tidak harmonis, bagaimana mungkin kita bisa membina hubungan yang harmonis dengan Allah?, bagaimana mungkin kita bisa menata hubungan yang harmonis dengan manusia lain disekitar kita? atau bagaimana kita bisa memelihara dan berhubungan lingkungan semesta, sementara kita “gagal” dalam menjaga dan membina keharmonisan dengan diri kita sendiri...?” Kata Ki Bijak.

“Bagaimana caranya kita membina hubungan baik dengan diri kita ki...?” Tanya Maula.

“Kenali diri kita, kenali fitrah kita, dengarkan apa yang dikatakan sang diri, jangan membelenggunya dengan nafsu dan keinginan kita, jangan mengekangnya demi kesombongan kita, jangan membelokannya demi kepentingan sesaat kita......, Kata Ki Bijak setengah berfilsafat.

“Misalnya bagaimana ki......?” Tanya Maula.

“Secara fitrah, kita mengakui keberadaan Allah sebagai satu-satunya ilah yang wajib diibadahi, tapi kadang kita membelenggu fitrah itu dengan tidak mengakui adanya Allah hanya karena nafsu kita yang mengatakan bahwa Allah itu tidak ada, bahwa Allah itu bukan apa-apa, ini yang tidak boleh.......”

“kemudian lagi, secara fitrah, kita tahu bahwa kita ini mahluk lemah yang tidak mempunyai kekuatan dan daya apapun bahkan untuk melakukan hal terkecil sekalipun, namun kemudian kita mengekang fitrah kita itu dengan mengatakan bahwa “aku bisa, aku pandai, aku kuat, aku kaya”, ini juga hal yang akan merusak hubungan kita dengan sang diri dan merusak fitrah kita..........”

“Kemudian lagi, kita tahu bahwa satu-satu kebenaran adalah kebenaran Allah yang tertuang dalam al qur’an dan sunnah rasul-Nya, tapi demi kepentingan duniawi kita yang hanya sesaat, sebagian kita rela menukarnya dengan harga yang sangat murah, halal jadi haram, haram menjadi halal dan masih banyak lagi hal yang kerap kita lakukan yang berpotensi memperburuk hubungan kita dengan diri kita sendiri.........” Tutur ki Bijak.

“Jadi bisa tidaknya kita ber-habblu minallah dan berhabblu minannas tergantug bagaimana kemampuan kita ber-habblu min an nafs ya ki............” Kata Maula.

“Coba sekarang Nak Mas tanyakan pada diri Nak Mas, apakah apa yang Aki utarakan tadi benar atau salah, sebagai salah satu latihan bagi Nak Mas untuk mengenal dan berhubungan dengan diri Nak Mas, insya Allah, Nak Mas akan menemukan jawabannya............” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki............” Kata Maula sambil pamitan kepada Ki Bijak.

Wassalam

22 Oktober 2007

Monday, October 8, 2007

KESEMPATAN TERAKHIR

“Ki, Ramadhan tinggal tersisa tiga hari lagi ya ki...................” Kata Maula disela-sela buka shaum.

“Benar Nak Mas, rasanya baru kemarin kita berbicara tentang 10 hari terakhir, tapi sekarang ternyata kita bahkan sudah berada di tiga hari terakhir bulan ramadhan, betapa cepat waktu berlalu..............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, rasanya baru kemarin kita memasuki bulan suci ini, tapi kini kita sudah berada dipenghujunya........” Kata Maula.

“Maka dari itu, betapa meruginya mereka yang menyia-nyiakan modal yang diberikan Allah kepadanya...........” Kata Ki Bijak.

“Waktu itu modal kita ya ki.........” Kata Maula.

“Benar, waktu adalah modal utama kita, karena dengan waktu itulah kita bisa beramal, dengan waktu kita bisa melaksanakan kewajiban kepada Allah, dengan waktu kita bisa menunaikan perintah-perintah-Nya, namun sayang, masih banyak sekali diantara kita yang membiarkan “harta paling berharganya” ditelan masa.......” Kata Ki Bijak.

“Siapa mereka yang membiarkan harta paling berharganya hilang ki.........” Kata Maula.

“Siapapun memiliki kemungkinan menjadi manusia paling rugi dengan menyia-nyiakan waktu, termasuk kita juga Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.

“Termasuk kita Ki......” Tanya Maula.

“Ya, siapapun mereka, yang menghabiskan waktunya dengan berangan-angan kosong, berandai-andai dengan dzikiran umpamanya, misalnya, seandainya, kalau saja, adalah mereka yang menurut Aki kedalam kelompok orang yang merugi............” Kata Ki Bijak.

“Kenapa Ki.........” Tanya Maula.

“Waktu terus berjalan maju, bergerak kedepan, dan orang yang menghabiskan waktunya dengan berangan-angan seperti itu, akan tergilas perputaran roda zaman, karena tidak ada seorangpun yang mampu menghindari perputaran waktu.....” Kata Ki Bijak.

“Seperti Aki pernah baca dalam buku-buku managemen waktu komtemporer yang dikarang oleh para penulis barat, perbedaan antara mereka yang berhasil dan mereka yang gagal hanya perbedaan cara mereka dalam memanfaatkan waktu, mereka yang berhasil adalah mereka yang memanfaatkan setiap detiknya untuk sesuatu yang berguna, sementara mereka yang gagal adalah mereka yang membiarkan waktunya tanpa arti dan tanpa makna, sangat tipis perbedaannya, tapi sangat besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya seseorang............” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, ana juga pernah baca buku itu, tapi kenapa justru orang-orang barat itu yang menulisnya ya ki................” Kata Maula.

“Itu yang harus segera kita perbaiki, Nak Mas, karena jauh sebelum orang-orang barat itu menulis buku-buku managemen waktu seperti itu, Al qur’an telah memberi tahu kita tentang hal itu, tentang betapa pentinnya waktu,yang salah satu diantaranya adalah surat Al Ashr berikut ini

1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

“Surat yang pendek memang, namun mengandung selaksa makna bagi mereka yang mau memperhatikannya, surat yang pendek memang, namun menyimpan seribu arti bagi mereka yang mau mentafakurinya............” Kata Ki Bijak.

“Bahkan lebih jauh, Allah senantiasa menentukan waktu-waktu bagi setiap amaliah yang akan kita lakukan, shalat lima waktu misalnya, mulai dari shubuh hingga isya telah ditentukan waktunya....”

“Shaum pun hanya diwajibkan selama ramadhan, ibadah haji hanya pada bulan Dzulhijah, dan bahkan zakatpun ditentukan kapan waktu dan nasabnya harta yang wajib dizakati, yang menurut Aki semuanya menyiratkan “keteraturan” dan keterikatan kita dengan waktu, karena sekali lagi, waktulah modal utama Allah berikan untuk kita.....” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, surat diatas dengan jelas sekali menyatakan bahwa manusia benar-benar dalam kerugian, sekaligus memberikan “pengecualian” siapa saja yang tidak merugi dalam kehidupannya...........” Kata Maula.

“Ketika kita tidak tahu, maka kita akan rugi, ketika kita tahu kemudian tidak kita amalkan, itu juga kerugian, belum lagi ketika pengetahuan kita tidak kita sampaikan kepada orang lain, pasti kita lebih rugi, terlebih jika kita belum memiliki keikhlasan yang benar untuk menuntut ilmunya, mengamalkannya, atau mengajarkannya kepada orang lain, kita akan menderita kerugian yang sangat........” Kata Ki Bijak.

“Ketika kita miskin, kita rugi, ketika kita kaya, juga rugi, ketika kita bodoh, kita juga rugi, ketika kita pandai, kita juga rugi, kecuali mereka yang melandasi apa yang dilakukannya dengan keikhlasan dan kesabaran, insya Allah merekalah orang yang akan memperoleh keuntungan dari apa yang diusahakannya..........”Kata Ki Bijak.

“Bagaimana halnya kita memanfaatkan tiga hari terakhir ramadhan ini ki....” Tanya Maula.

“Jadikanlah ini kesempatan terakhir kita untuk mendapatkan ridha-Nya..........” Kata Ki Bijak.

“Tidakkah waktunya terlalu sedikit Ki.....” Kata Maula.

“Terlepas dari sedikit atau banyaknya waktu yang tersisa, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita memanfaatkannya, karena boleh jadi waktu yang senggang justru menjadikan kita lalai karenanya..........” Kata Ki Bijak.

“Seperti bulan ramadhan ini, banyak sekali diantara kita yang terjebak dengan kata “nanti”, mau tarawihan, nanti saja, masjidnya masih penuh, akhirnya awal ramadhan, tarawihannya lewat....”.

“Setelah tiba dipertengahan, ketika masjid sudah tidak lagi sepenuh awal ramadhan, masih banyak yang bilang “nanti” saja diakhir ramadhan, sekalian menunggu lailatul qadr, dan kalau sekarang masih bilang “nanti”, lalu kapan lagi......?” Kata Ki Bijak.

“Iya ya ki, kalau bilang “nanti” terus, kapan mulainya...., sedangkan kita sendiri tidak pernah tahu sampai kapan waktu kita yang tersisa..........” Tambah Maula.

“Tidak ada waktu terbaik kecuali “saat ini” untuk melakukan kebajikan...., kita tidak bisa mengatakan nanti saja sedekahnya kalau sudah kaya, karena boleh jadi saat itu tidak akan pernah tiba, kita tidak boleh mengatakan nanti saja kemasjidnya kalau sudah tua, siapa yang menjamin usia kita sampai kepala lima, kita tidak bisa bilang nanti saja shaumnya kalau tidak sibuk, karena justru mereka yang menyepelekan perintah Allah, akan diberikan kesibukan yang luar biasa oleh Allah karena kelalaiannya........ , yang terbaik adalah saat ini, mumpung kita masih diberi waktu........”Kata Ki Bijak.

“Dari itu, gunakanlah waktu tiga hari (insya Allah), yang tersisa ini dengan lebih banyak dimasjid, bukan malah sibuk dimall atau dipasar......” Kata Ki Bijak.

“Iya, ki, insya Allah nanti malam kami akan i’tikaf disini ki....” Kata Maula.

“Syukurlah, semoga niat kalian diridhai oleh Allah swt, insya Allah Aki pun akan kesini nanti malam.............” Kata Ki Bijak sambil mencuci tangan bekas makan.

Sementara santri-santri lain juga melakukan hal yang sama, mereka bersiap untuk menyambut datangnya waktu isya dan tarawihan.

Wassalam

08 Oktober 2007.

LIHATLAH SHALATNYA

“Lihatlah bagaimana shalatnya Nak Mas............” Kata Ki Bijak menjawab pertanyaan Maula tentang bagaimana seharusnya kita menilai baik-buruknya kinerja seseorang.

“Kenapa harus lihat shalatnya ki.........?” Tanya Maula lagi.

“Orang yang shalatnya baik dan benar, dalam arti ia menunaikan shalatnya tepat waktu, sempurna semua rukunya, serta tertib gerakan dan bacaanya, insya Allah kesempurnaan shalatnya akan tercermin dari bagaimana ia bekerja, bagaimana ia berperilaku, bagaimana ia menjalani kehidupannya, karena sesungguhnya shalat yang baik, akan mampu menjadikan orang yang mendirikannya terhindar dari perbuatan keji dan munkar, seperti ayat berikut;

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

“Mereka yang mampu menjaga waktu shalatnya dengan istiqomah, insya allah ia akan menjadi orang yang akan menjaga dan memelihara kualitas pekerjaannya, baik dari segi akurasi dan waktunya........”

“Mereka yang mampu menjaga rukun fi’li shalat dengan baik, insya Allah akan mampu menjaga lidahnya dari perkataan yang tidak berguna, ia akan mampu menjaga matanya dari pandangan yang diharamkan oleh Allah, ia akan mampu memelihara tangannya dari perbuatan keji atau kikir, ia akan menjaga langkah kakinya kearah yang dimurkai Allah, ia insya Allah akan mampu membawa dirinya dengan baik....” Kata Ki Bijak.

“Sebaliknya, mereka yang kerap lalai menunaikan shalat, dengan melalaikan waktunya misalnya, cenderung akan menghasilkan pekerjaan yang kurang bermutu dan tidak efisien........” Kata Ki Bijak.

“Kenapa ki........?” Tanya Maula.

“Shalat adalah fardhu yang ditentukan waktunya bagi setiap kita, kalau ia mampu dan berani mengabaikan waktu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk melaksanakan shalat, niscaya ia lebih mampu dan lebih berani untuk mengabaikan amanah pekerjaan dari atasannya, lha sama Allah saja berani.......!!” Kata Ki Bijak.

“Ki, kalau ada orang yang shalatnya tepat waktu, tapi pekerjaannya molor terus bagaimana ki atau sebaliknya ada orang yang shalatnya telat-telat, tapi pekerjaannya bagus dan tepat waktu bagaimana ki.............” Tanya Maula.

“Nak Mas pernah mendapati orang seperti itu.............?” Tanya Ki Bijak

“Belum pernah sih ki..............” Kata Maula.

“Aki pun belum pernah menemukan orang yang shalatnya baik, tapi melalaikan pekerjaan atau sebaliknya orang yang shalatnya lalai tapi pekerjaanya baik, karena mustahil ayat Allah diatas salah, yang paling mungkin adalah pengamatan kita yang salah............” Kata Ki Bijak.

“Maksudnya ki........?” Tanya Maula.

“Tanpa bermaksud su’udzon, mungkin shalat tepat waktunya pas ada orang yang lihat saja, atau karena ada boss saja, atau karena ada pamrih tertentu, dan shalat yang baik dan tepat waktu yang “kebetulan” seperti itu tidak menjadi jaminan pelakunya terhindar dari perbuatan keji dan munkar yang dimaksud dalam ayat diatas...........” Kata Ki Bijak.

“Seperti Aki katakan diatas, bahwa shalat akan mampu membentuk karakter seseorang apabila shalat yang benar dan tepat waktunya itu dilaksanakan dengan ikhlas dan istiqomah, bukan karena kepentingan lain selain itu.........” Tambah Ki Bijak.

“Ki, bagaimana proses pembentukan karakter dalam shalat itu ki.......?” Tanya Maula.

“Sederhananya begini Nak Mas, dalam shalat kita diwajibkan hanya melakukan gerakan-gerakan yang telah ditentukan, takbir, ruku, sujud dan tahiyat, shalat kita dinyatakan batal, manakala kita secara sengaja melakukan gerakan lain diluar gerakan itu secara berlebihan..........”

“Kemudian, dalam shalat ucapan kitapun dibatasi dengan bacaan yang juga telah ditentukan, ketika kita ruku, sujud maupun tahiyat masing-masing bacaanya sudah ditentukan, kalau kita menukar bacaan ruku untuk bacaan tahiyat atau sebaliknya, shalat kitapun menjadi batal.......”

“Lalu dalam stadium lanjut, ketika kita shalat, hati, rasa dan pikiran kitapun terfokus pada satu titik, yaitu Allah swt, kalau ketika shalat pikiran kita dipasar, hati kita dirumah serta kita meraskan berbagai hal lain selain Allah, niscaya keabsahan shalat kitapun dipertanyakan........”

“Nah dari proses “pelatihan” shalat dengan membatasi bacaan dan gerakan serta hati dan pikiran kita secara terus menerus, secara istiqomah, ditambah dengan kemampuan kita untuk shalat pada waktu yang telah ditentukan, diharapkan hal ini akan membentuk sebuah “pola hidup yang benar” dalam keseharian kita, baik itu pola kita dalam berbicara, cara kita berperilaku, maupun “rasa” kebersamaan kita dengan Allah, sehingga akan menjadi filter yang sangat efektif bagi kita agar terhindar dari perbuatan yang dilarang Allah............” Kata Ki Bijak.

“Dan yang terpenting, ketika hati kita sudah benar shalatnya, ketika kita sudah “merasa” senantiasa dilihat Allah walaupun kita tidak melihat-Nya, insya Allah kita akan berpikir jutaan kali untuk melakukan kesalahan sekecil apapun, karena ia yakin bahwa Allah akan melihat dan membalas apa yang diperbuatnya......” Sambung Ki Bijak.

“Iya ki, ana mengerti sekarang, kenapa masih banyak orang yang secara lahiriah shalat, tapi masih belum memberi “bekas” dalam kesehariaanya..........” Kata Maula.

“Sedapat mungkin bergaulah dengan mereka yang taat dan benar shalatnya, Nak Mas akan banyak mendapat keuntungan dan pelajaran dari mereka.....” Kata Ki Bijak.

“Kalau ana justru “terpaksa” berada diantara mereka yang gemar melalaikan shalat bagaimana ki...?” Tanya Maula.

“Artinya Allah tengah memberi peluang pada Nak Mas untuk menambah pahala dengan memberikan contoh dan teladan yang baik pada mereka, anggap itu sebagai ladang dakwah, meski tidak harus lewat tabligh misalnya, tapi dengan berusaha menjadikan diri Nak Mas sebagai orang yang mengindahkan waktu-waktu shalat, insya Allah itupun sebuah kebajikan.........” Kata Ki Bijak.

40. Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

Hanya itu yang keluar dari mulut Maula, ia bermohon kepada Allah agar dijadikan orang yang mampu mendirikan shalat dengan baik dan benar.

“Amiiin..............” Ki Bijak mengaminkan do’a Maula.

Wassalam

October 05, 2007

Friday, October 5, 2007

SIAPA MAU MENDAKI, IA AKAN TIBA DIPUNCAK

“Kenapa Nak Mas, kok kelihatannya lelah sekali.........”Tanya Ki Bijak

“Tidak apa-apa Ki, ana baru datang tadi, hanya sedikit lelah, jalanan macet sekali ki........” Kata Maula.

“Jangan mengeluh ya Nak Mas, anggap saja ini adalah anak tangga yang memang harus Nak Mas daki untuk tiba dipuncak...............”Kata Ki Bijak.

“Insya Allah Ki, meski memang agak berat ana menjalaninya.........” Kata Maula.

“Semoga tingginya undakan yang tengah Nak Mas titi ini, akan mengantar Nak Mas pada puncak tertinggi pula.......” Kata Ki Bijak.

“Begitukah sunnatullahnya ki...........?” Tanya Maula.

“Benar Nak Mas, begitulah sunnatullahnya, siapa yang mau mendaki, maka ia akan tiba dipuncak yang dituju, dan semakin tinggi ia mendaki, semakin tinggi pula puncak yang akan dicapainya.............” Kata Ki Bijak sambil tersenyum.

“Benar Ki, dulu ana suka naik gunung, semakin tinggi gunung yang ana daki, semakin berat rintangan menghalangi, semakin “puas” rasanya ana bisa tiba dipuncak gunung itu.............” Kata Maula mengingat pengalamannya dulu bersama teman-temannya.

“Ya seperti itu Nak Mas, sementara mereka yang tidak pernah mau mendaki, tentu mereka tidak akan pernah merasakan betapa nikmatnya tiba dipuncak...., pun demikian halnya dengan kehidupan kita, anggap saja apa yang tengah Nak Mas jalani sekarang ini adalah tanjakan terjal yang membentang disepanjang jalan kehidupan Nak Mas, tapi percayalah bahwa tidak ada gunung yang tidak berujung, setinggi apapun gunung itu, niscaya ia akan mempunyai puncak diatasnya, Aki senantiasa berdoa untuk Nak Mas bahwa suatu hari nanti Nak Mas akan tiba dipuncak tertinggi dalam perjalanan hidup Nak Mas.........” Kata Ki Bijak lagi.

“Amiin, terima kasih Ki, semoga ana diberi kekuatan oleh Allah untuk menjalani semuanya ki.........” Kata Maula.

“Memang demikianlah seharusnya, tidak akan pernah ada kapal yang sampai keseberang pulau, jika kapal itu takut menghadapi gelombang..........”

“Tidak akan pernah ada kabilah yang berdagang, jika mereka takut dengan badai gurun ditengah jalan..........”

“Tidak akan pernah ada kapal terbang, jika pilotnya takut ketinggian........., pun demikian dalam berbagai hal lainnya, tidak akan pernah ada “kehidupan” bagi mereka yang takut menghadapinya...........” Kata Ki Bijak.

“Jadi semuanya ada tantangannya ya ki...........” Kata Maula.

“Benar Nak Mas, tak akan ada orang yang akan disebut pahlawan jika ia tidak pernah berperang menegakan kebenaran, tidak akan pernah ada predikat juara bagi mereka yang tidak mengikuti pertandingan atau perlombaan, tidak akan pernah ada orang yang “berhasil” jika ia tidak pernah mau menjalani ujian-ujian untuk menggapai keberhasilannya..........”Kata Ki Bijak.

“Lalu apa yang harus kita lakukan untuk dapat menaklukan semua tantangan yang akan kita hadapi ki...........” Tanya Maula.

“Pertama kita harus memiliki tongkat atau pegangan untuk telekan kita Nak Mas, dan sebaik-baik pegangan adalah keimanan yang kokoh kepada Allah swt......” Kata Ki Bijak.

“Kenapa keimanan menempati urutan teratas dalam persiapan kita ki.....” Tanya Maula.

“Keimanan yang kokoh merupakan sebuah buhul yang sangat kuat untuk menopang kita ketika kita limbung mendaki tanjakan yang terjal, keimanan yang kokoh merupakan temali yang kuat yang akan menahan kita dari keputus-asaan manakala kita terpeleset kedalam lubang-lubang curam sepanjang perjalanan kita, sekaligus merupakan “kendali” bagi kita ketika kita sudah benar-benar tiba dipuncak..........” Kata Ki Bijak.

“Kenapa kita masih perlu pegangan dan kendali ketika kita sudah sampai dipuncak ki........?” Tanya Maula.

“Karena ketika kita sudah sampai dipuncak keberhasilan, kita sering lupa diri, kadang kita berteriak histeris atau melompat kegirangan sebagai ungkapan kegembiraan kita, namun tak jarang ekpresi kebahagian yang berlebihan seperti itu melalaikan kita sehingga kita jatuh terpelanting karenanya, Nak Mas mengerti yang Aki Maksud..........” Tanya Ki Bijak.

“Ya ki, ana juga pernah beberapa kali menemukan orang yang seperti itu, ketika ia mendaki jalan kesuksesan, ia sangat berhati-hati sekali, pegangan dan temalinya selalu menyertainya, ia rajin memohon kepada Allah, baik kepada sesama dan sebagainya, tapi ketika ia sudah sampai dipuncak kesuksesan, ia melupakan semuanya, ia baru sadar lagi ketika dia sudah jatuh terpelanting kelereng kehancuran lagi.........” Kata Maula.

“Ya, seperti itu Nak Mas, nah dengan tetap memegang kendali keimanan yang kita bawa dari mulai dari kaki gunung, lereng, hingga kepuncak, insya Allah kita tidak akan menjadi sombong karena kita telah dipuncak, kita tidak akan lupa dengan apa yang telah menemani dan membantu kita selama perjalanan, sehingga ia bisa berada dipuncak keberhasilannya dalam waktu yang relatif lama sesuai yang ditentukan oleh Allah untuknya.........” Kata Ki Bijak.

“Jadi orang yang jatuh bangkrut atau miskin lagi setelah ia berhasil dan kaya, bukan semata-mata karena faktor dari luar ya ki, misalnya ana sering dengar orang yang mengkambing hitamkan orang lain yang mengakibatkannya......” Kata Maula.

“Kalaupun ada faktor dari luar, itu hanya sekedar cara Allah untuk mengingatkan mereka yang lalai Nak Mas, karena menurut hemat Aki faktor internal-lah yang paling berpengaruh terhadap kejatuhan atau kebangkrutan kita, seperti kita tiba-tiba bersikap lain terhadap teman atau saudara, intensitas waktu kita untuk Allah juga menjadi sedemikian sempit karena kesibukan kita, dan faktor-faktor internal lainnya, faktor-faktor internal itulah yang lebih dominan dari faktor eksternal yang Nak Mas sebut tadi.......” Kata Ki Bijak lagi.

“Lalu apa yang harus kita miliki untuk menghadapi ujian kehidupan kita ki.....?” Tanya Maula.

“Berbekallah dengan cukup, itu yang kedua..........” Kata Ki Bijak.

“Pasti bukan sekedar bekal makanan khan ki....?” Kata Maula.

“Benar, bukan sekedar makanan, dan sebaik-baik bekal adalah Taqwa kita kepada Allah swt...........” Kata Ki Bijak.

“Bukankah bekal taqwa itu dikaitkan dengan perintah haji ki.........?” Tanya Maula.

“Benar, ayat yang menyatakannya demikian, namun Aki melihatnya dari sisi lain Nak Mas, bahwa berbekal taqwa dalam pengertian kita mematuhi apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang juga applicable dalam setiap aspek kehidupan kita, karena dengan mematuhi apa yang telah Allah gariskan dalam perjalanan atau pendakian kita, insya Allah kita tidak akan terperosok kedalam jurang kegagalan, yang banyak menimpa mereka yang tidak mengindahkan larangan-larangan Allah swt.........” Kata Ki Bijak.

“Bekal selanjutnya adalah Ilmu Nak Mas........., ilmu ibarat senter yang akan membantu kita menapaki setiap tanjakan dengan selamat, ilmu akan menghindarkan kita dari bebatuan yang licin atau tajam dalam perjalanan dan pendakian kita, ilmu juga yang akan memberikan penerangan kepada kita tentang apa yang harus kita lakukan dan bagaimana cara melakukannya dengan baik dan benar, karena untuk mencapai puncak, kita tidak cukup hanya mengandalkan semangat yang besar saja, tapi juga kita perlu ilmu dan ketrampilan yang memadai untuk mencapainya.........” Kata Ki Bijak.

“Alhamulillah, lebih ringan beban ana rasanya sekarang ki, semoga benar bahwa ana tengah mendaki sekarang, dan semoga pula Allah memberi kekuatan dan menuntun ana untuk mencapai puncak keberhasilan, doakan ya ki..........” Kata Maula.

“Ya Nak Mas, persiapkanlah selalu bekal yang tadi kita bicarakan, insya Allah setinggi apapun tanjakan yang akan Nak Mas lalui, akan bisa dilalui dengan selamat sampai puncak tertinggi................” Kata Ki Bijak.

“Amiin, semoga ya ki............” Kata Maula sambil menyalami Ki Bijak untuk pamitan.

Wassalam

October 04, 2007

Tuesday, October 2, 2007

SAATNYA 1X10 TERAKHIR

“Alhamdulillah, insya Allah besok kita akan memasuki fase 10 terakhir ramadhan ya ki............” Kata Maula

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...............” Kata Ki Bijak.

“Kok Innalillahi wa inna ilaihi raji’un ki.......?” Tanya Maula heran.

“Tidakkah kita merasa kehilangan dengan berlalunya 2 x 10 hari pertama ramadhan Nak Mas....?” Kata Ki Bijak.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, benar ki, tanpa terasa hari-hari agung itu telah berlalu dari kita ya ki..........” Kata Maula.

“Kita memang wajib bersyukur karena kita telah diberi kekuatan untuk melalui dan menjalani 2 x10 pertama ramadhan, tapi juga wajib merasa cemas dengan berlalunya waktu-waktu itu.....” Kata Ki Bijak.

“Kenapa kita harus cemas ki....?” Tanya Maula.

“Pertama kita harus merasa cemas dengan berlalunya waktu itu, adakah kita sudah melalui dan mengisinya dengan baik dan benar...?” Kata Ki Bijak.

“Alangkah ruginya kita kalau 2 x10 ramadhan kita yang hampir berlalu ini, sementara kita tidak bisa memaksimalkannya, karena waktu tidak mungkin bisa kita undur barang sedetikpun, kita tidak mungkin bisa menemukan waktu dan saat yang sama dengan apa yang telah kita lewati, itulah kenapa kita harus merasa cemas, jika kita telah kehilangan 2x10 hari pertama kemarin......” Kata Ki Bijak.

“Kedua, kita juga harus cemas, karena belum tentu kita dipertemukan lagi dengan waktu-waktu itu..........., karena tidak ada jaminan bagi kita bahwa kita akan dipertemukan lagi dengan ramadhan yang akan datang..............” Kata Ki Bijak.

Maula terdiam menyadari kebenaran ucapan Ki Bijak.

“Ki, adakah sesuatu yang bisa lakukan untuk menebus waktu-waktu yang telah berlalu ki.........” Tanya Maula.

“Meski tidak akan sama persis, tapi setidaknya kita bisa memaksimalkan 1x10 hari terakhir Nak Mas..........” Kata Ki Bijak.

“Bagaimana cara memaksimalkannya ki.....” Tanya Maula.

“Rasulullah memberi contoh bagaimana seharusnya kita memaksimalkan 1x10 hari terakhir ramadhan ini Nak Mas, yaitu dengan cara I’tikaf dimasjid........” Kata Ki Bijak.

“Iya Ki, beberapa tahun yang lalu ana pernah melakukan I’tikaf dimasjid At-tin, tapi sekarang ana harus kerja ki..........” Kata Maula.

“I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri, yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr…., itu pengertian syar’i-nya…”,

“Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana hati kita tetap “terpaut dan menetap” kepada Allah, terlepas dari apakah kita berada dimasjid atau tidak…………” Kata Ki Bijak.

“Ada beberapa “kesalahan” yang umum kita temukan pada acara i’tikaf yang biasa dilakukan orang kebanyakan orang, mungkin benar secara lahiriah mereka berada dimasjid, tapi hati mereka kadang jauh entah berada dimana, amalan-amalannya pun banyak yang sama sekali tidak terkait dengan apa yang dicontohkan Rasulullah....”,

“Ada yang datang kemasjid, tapi tujuannya untuk mencari relasi bisnis, ada yang datang kemasjid tujuannya mencari teman, ada yang datang kemasjid hanya karena ikut-ikutan, sehingga meskipun secara lahiriah diam mukim dimasjid, handphone selalu berdering untuk urusan duniawi, pikirannya bercabang dengan urusan lebaran, pembicaraannya tak lepas dari masalah uang , dan masih banyak lagi amaliah yang dilakukan oleh mereka yang secara lahiriah berdiam dimasjid, tapi tidak mengerti pemahaman i’tikaf yang baik dan benar............” Kata Ki Bijak.

“Ki, bagaimana seharusnya melakukan i’tikaf yang benar......? Tanya Maula.

“Kalau memang kita memiliki waktu yang luang untuk beri’tikaf dimasjid, lakukanlah dengan niat dan cara yang benar sebagaimana tuntunan Rasulullah......., yaitu dengan berniat i’tikaf, berdiam diri didalam masjid untuk melakukan dzikir, tadarus dan tafakur serta dalam keadaan suci dari najis dan hadats..............” Kata Ki Bijak.

“Tapi kalau kondisinya seperti Nak Mas sekarang, setidaknya kita harus berusaha menjadikan semua tempat sebagai masjid, agar hati kita sebagai “menetap” disana untuk melakukan aktivitas I’tikaf, yaitu dzikir, tadarus, tafakur serta amaliah lain yang mungkin bisa dilakukan hati kita dalam upaya kita mengingat Allah, mudah-mudahan ini tidak akan mengurangi nilai penghambaan kita disisi Allah swt...........’Kata Ki Bijak.

“Mudah-mudahan ana tidak terlambat ya ki.....” Kata Maula.

“Insya Allah Nak Mas, sekaranglah saatnya kita melakukan sprint di etafe terakhir, kita kerahkan seluruh potensi yang kita miliki untuk mencapai garis finish terdepan, jangan setengah-setengah, karena inilah momen terbaik kita untuk menggapai ridha-Nya, menjadi orang yang mendapatkan janji Allah sebagaimana yang tersimpul dalam huruf Ramadhan itu sendiri........” Kata Ki Bijak.

“Memangnya ada apa didalam huruf Ramadhan itu ki.........”Tanya Maula.

“Sebagaimana Nak Mas tahu, kata “Ramadhan” terdiri dari lima huruf, masing-masing “Ra” yang berarti “Rahmat, kemudian huruf “Mim” yang berarti “Maghfurah”, lalu huruf “Dhad” yang berarti “Dhamanun lil Jannah – jaminan surga”, Huruf “Alif” yang berarti “Amanuun min narr – terhindar dari neraka” serta “Nun” yang berarti Nurullah – cahaya Allah”, inilah yang Allah janjikan kepada mereka yang masuk finish dalam lomba Ramadhan dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan syari’at dan hakekat yang benar.........” Kata Ki Bijak.

“Waah, hebat benar makna huruf ramadhan ya ki........” Kata Ki Bijak.

“Hal yang kecil sebenarnya, namum hal itu semakin menguatkan keimanan kita bahwa Ramadhan adalah sebuah bulan yang benar-benar didesign oleh Allah untuk kita yang mau mendapatkannya...........” Kata Ki Bijak.

“Siapa orang yang tidak mau ki...........” Tanya Maula.

“Banyak Nak Mas, tengok dijalan dan dipasar, diterminal atau diMal-mal, disana dengan mudah kita akan menemukan contoh orang-orang yang “tidak mau” mendapatkan ramdhan yang Allah siapkan untuk mereka..........” Kata Ki Bijak.

“Iya ki, pagi tadi saja ada sekelompok pemuda yang minum kopi ditengah-tengah jalan yang ramai, tak ada rasa risih apalagi merasa bersalah, ditengah orang-orang yang tengah melaksanakan shaum.........” Kata Maula, merujuk apa yang ditemukannya pagi tadi.

“Dan masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu disekitar kita Nak Mas.......”Kata Ki Bijak.

“Untuk itu pandai-pandailah Nak Mas memilih teman dan lingkungan, karena teman dan lingkungan yang tidak steril dari bibit-bibit penyakit kesombongan seperti itu, berpotensi untuk menular dan menjangkiti orang-orang didekatnya............”Nasehat ki Bijak.

“Iya Ki...........” Kata Maula sambil pamitan.

Wassalam

October 02, 2007