“Nak Mas pernah lihat mobil
kelebihan muatan seperti ini dijalan raya?” Tanya Ki Bijak sambil menunjukan sebuah
gambar mobil yang oleng hampir jatuh.
“Bukan pernah lagi Ki…, hampir
setiap hari ana lihat banyak mobil-mobil seperti ini, yang bawa sayuran,yang
bawa mebel, yang bawa besi tua dan banyak lagi, memang ada apa dengan gambar
mobil ini Ki….” Tanya Maula.
Ki Bijak menarik nafas
dalam-dalam; “Menurut Nak Mas, apa yang mungkin akan terjadi dengan mobil yang
overloaded seperti ini…” Alih-alih menjawab pertanyaan Maula,Ki Bijak justru
memberikan pertanyaan lanjutan mengenai mobil kelebihan muatan.
Mau tak mau Maula segera
memperhatikan gambar yang ditunjukan gurunya dengan lebih seksama, sesaat
kemudian Maula menjawab;
“Yang jelas, mobil ini tidak akan
bisa berjalan dengan cepat Ki….” Kata Maula.
“Lalu….?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Sangat beresiko untuk mengamali
kecelakaan, seperti gambar ini, mobil ini sudah oleng dan bisa
terbalik,kemudian yang sering ana lihat dijalanan, sering juga mobil yang
kelebihan muatan seperti ini patah as, pecah ban atau bahkan masuk keparit
karena sopirnya tidak bisa mengendalikan kemudi yang berat Ki….” Jawab Maula
lagi.
Ki Bijak manggut-manggut; “Bagaimana
kemungkinan mobil-mobil dengan muatan seperti ini untuk sampai ketempat tujuan Nak
Mas….?” Tanya Ki Bijak lagi.
“Mobil-mobil dengan kondisi
seperti ini, memiliki resiko yang jauh lebih besar untuk tidak bisa sampai
ketempat tujuan dibanding dengan mobil yang tidak memiliki muatan atau muatanya
standard…..” kata Maula.
“Boleh Aki simpulkan seperti ini
Nak Mas,semakin banyak muatan,semakin banyak resiko dan semakin kecil peluang
untuk sampai ketempat tujuan….;sebaliknya, semakin sedikit muatan,semakin kecil
resiko,dan semakin besar peluang untuk sampai pada tujuan…?” Kata Ki Bijak.
“Iya Ki…,kira-kira seperti itu…..”
Kata Maula yang masih belum menangkap kearah mana gurunya akan membawa analogi
mobil overloaded ini.
Sejurus kemudian, Ki Bijak
meneruskan pituturnya;
“Nak Mas.., ibadah kita ini
ibarat mobil, ibarat ‘kendaraan kita’ untuk sampai kepada Allah……” Kata Ki
Bijak dengan tenang.
“Ibadah kita ibarat kendaraan
kita untuk sampai kepada Allah Ki..?” Tanya Maula.
“Ki Bijak mengangguk; “Benar Nak
Mas….; shalat yang kita dirikan dengan ikhlas; adalah kendaraan kita untuk mendapatkan
ridha Allah swt….”
“Zakat yang kita tunaikan, juga
merupakan kendaraan kita untuk mendapatkan ridha Allah…”
“Shaum yang kita laksanakan,juga
merupakan kendaraan itu untuk menggapai ridho,rahmat dan ampunan Allah….”
“Ibadah haji kita, adalah
kendaraan kita untuk dapat mencapai jannahnya Allah….”
“Pun dengan ibadah-ibadah yang
lain yang disyari’atkan,yang kemudian dilaksanakan dengan ikhlas, adalah
kendaraan kita untuk dapat ‘sampai’ kepada Allah…..” kata Ki Bijak memberikan
beberapa analogi.
“Lalu Ki…..?” Tanya Maula.
“Lalu kalau kemudian shalat kita ‘ditumpangi’
keinginan untuk disebut ahli ibadah alias riya, maka shalat kita sama dengan
mobil yang dibebani muatan yang berlebih tadi Nak Mas.., akan menjadi ‘berat,
gampang oleng dan sangat mungkin shalatnya tidak sampai kepada Allah…”
“Kalau kemudian zakat kita,’ditumpangi’
dengan keinginan untuk menjadi kaya,boleh jadi zakat kitapun seperti mobil yang
kelebihan muatan, menjadi ‘berat,menjadi oleng dan mungkin tidak akan sampai
kepada Allah, hanya sampai pada tingkatan menjadi ‘orang kaya’ didunia fana ini….”
“Kalau kemudian shaum kita, ‘ditumpangi’
dengan keinginan untuk menjaga nama baik dimata atasan,menjaga wibawa dimata
bawahan,atau hanya karena ikut-ikutan atau malu kepada selain Allah, maka
itupun seperti kendaraan yang membawa beban, shaumnya akan terasa berat,
niatnya menjadi oleng,dan sangat mungkin shaumnya tidak akan sampai kepada
Allah….”
“Pun ketika kita berangkat ke
tanah suci Mekah, tapi kemudian keberangkatan kita kesana ‘ditumpangi’ dengan
niat atau keinginan untuk mendapatkan gelar atau panggilan Bapak haji atau Ibu
Hajjah;maka itu sama dengan kendaraan yang membawa muatan yang berat, gelar
Haji dan Hajjahnya mungkin dapat, tapi belum tentu nilai ibadahnya tidak sampai
kepada Allah…..”
“Pun ketika kita ber-qurban pada
hari idul adha, tapi kemudian qur’ban kita ‘ditumpangi’ oleh muatan rasa malu
ketetangga kalau tidak qurban;atau gengsi karena kita orang kaya, maka itupun
sama dengan kendaraan yang membawa beban berat, nilai ibadah qurbannya sangat
mungkin tidak sampai kepada Allah…..” Kata Ki Bijak panjang lebar.
Maula kembali memperhatikan
gambar mobil yang nampak oleng karena kelebihan muatan yang tadi ditunjukan
gurunya;
“Astaghfirullah……;ana juga masih
merasa seperti itu Ki…, dalam shalat, ana masih sering kefikiran
keinginan-keinginan kepada selain Allah…;pun ketika ana menunaikan zakat, ada
saja rasa dihati ini sesuatu pengharapan kepada selain Allah….;astaghfirullah….astaghfirullah….”
Kata Maula dengan nada berat, dirinya seperti dihadapkan pada sebuah cermin
besar,kemudian dia seperti melihat kedalam cermin tersebut segala bentuk ibadah
yang pernah dan telah dilakukannya selama ini, dan ternyata masih banyak coreng
moreng, masih banyak yang buram, masih banyak yang ditumpangi muatan-muatan
kepada selain Allah……
“Ki….; bantu ana untuk
memperbaiki diri Ki…..” Kata Maula kemudian.
Ki Bijak tersenyum mendengar
perkataan muridnya, “Mohonlah kepada Allah Nak Mas, semoga disisa umur kita
kedepan, ibadah yang kita lakukan, benar-benar murni sebagai bentuk pengabdian
kepada Allah semata, dan bukan karena hal lainnya.
Maula mengangguk pelan sambil
kemudian memejamkan matanya, bermunajat kepada Allah agar diberi kemampuan
untuk memperbaiki diri dan ibadahnya…………….
Wassalam
09 Januari 2014
No comments:
Post a Comment