Pak ustadz, katanya Allah akan mengabulkan segala permohonan kita, tapi kok setelah sekian lama saya berdo’a dan memohon kepada Allah, do’a saya belum terkabul juga ya pak...”
“Pak Ustadz, ajari saya do’a yang mustajab, agar keinginan saya cepat terkabul”.
“Saya sudah mengamalkan do’a ini dan itu, tapi kok tetap saja hidup saya begini..”
“Saya sudah baca ayat kursi 100x, Fatihah 100x, dan falaqbinas masing-masing 100x, tapi kok keinginan dan do’a saya belum terkabul juga....”
Dan masih banyak sekali keluhan dan rengekan sebagian kita, kenapa do’a kita seakan tidak pernah diijabah oleh Allah Swt.
Ada apa dengan do’a kita? Sehingga Allah seakan enggan untuk mengabulkannya?
Sebelum kita terperosok lebih dalam untuk berpransangka yang tidak baik kepada Allah dengan “ditundanya” permohonan kita, mari sejenak kita tengok lagi dua ayat dibawah ini.
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al Baqarah:186)
60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".(Al Mukmun:60)
[1326] yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
Pertama – Bahwasanya Allah itu dekat;
Kedua – Bahwa Allah akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Nya
Ketiga - Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Nya) dan hendaklah mereka beriman kepada-Nya
Keempat - Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Nya akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina"
Bahwa Allah itu dekat, “Nahnu aqrabuu ilaihi min habliwarid – sesungguhnya Kami lebih dekat dari urat lehernya”, sehingga ketika kita hendak memohon kepada Allah, kita tidak perlu jauh-jauh ketempat tertentu, seperti mendatangi kuburan orang-orang shaleh yang justru sangat mungkin dijadikan setan untuk menggelincirkan kita kepada kemusyrikan. Tak jarang kita mendengar sebagian orang yang berkata “ Nih ane habis ziarah dari makam Mbah itu, sehingga dagangan ane laris” atau sebaliknya, “Ahh gara-gara ane lama tidak nyekar ke makam mbah itu, jadi begini deh...”.
Allah tidak pernah menutup pintu atau membatasi waktu kepada siapapun yang hendak memohon kepada-Nya, tapi justru kadang kita yang membuat urusan berdo’a ini menjadi sedemikian merepotkan.
Do’a adalah bahasa hati, bukan sekedar bahasa lisan. Do’a apapun yang kita baca, berapa banyakpun lembaran yang kita hapal, sebagus apapun do’a yang kita ucapkan, makakala hati kita tidak turut serta ketika kita berdo’a, niscaya do’a itu tidak akan sampai kepada Allah.
Bunda penulis pernah bercerita bahwa ketika beliau dimadrasah dulu, kelas tempat beliau belajar dilalap api, tapi kobaran api yang demikian besar itu serta merta padam manakala Pak Kyai berdo’a dengan “hanya” mengucapkan “Bismalahirahamanirahim”.
Sebaliknya, ungkapan-ungkapan diatas, yang sangat mungkin setelah si orang tersebut membaca berbagai do’a yang panjang dan melelahkan, tapi tetap saja mereka mengeluh karena doanya tidak dijawab Allah, dan pasti, bukan do’anya yang salah, tapi masalahnya ada pada hati orang-orang yang berdo’a tersebut.
Kualitas mustajab tidaknya sebuah do’a, bukan do’a apa yang dibaca, tapi seberapa besar keterikatan hati yang membaca do’a tersebut dengan sang pemilik do’a, yaitu Allah Swt.
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, jangankan yang diucapkan, yang terbersit dalam hatipun niscaya Allah akan mengetahuinya.
Ini yang kemudian disinyalir sebagai pangkal pokok “kegagalan” do’a kita. Mulut kita berucap
“ Ya Allah, beri hamba-Mu rezeki yang halalan thoyibah wasiah, tapi kadang hati kita berkata sebaliknya “ Ahh ngapain susah-susah shalat dan mengabdi kepada Allah, atau “Aah, kalau nunggu yang halal, kapan gue bisa kaya” dan lain sebagainya.
Ini yang harus segera kita perbaiki, permohonan yang kita ucapkan secara lisan, harus disertai niat dan gerak hati yang bersih, bahwa permohonan dan do’a kita adalah sebagai bentuk penghambaan dan pengakuan akan keterbatasan kita, pengakuan atas existensi Allah Yang Maha Mengabulkan, dan kita sepenuhnya bersandar pada kebijaksanaan Allah, bahwa rezeki yang sedikit atau berlebih adalah tetap sebagai karunia yang telah diperhitungkan dengan sempurna oleh Allah Swt, karena tidak sedikit rezeki yang berlimpah justru menjerumuskan kita pada jurang kenistaan, sebaliknya, rezeki yang sedikit tak jarang menjadikan berkah tersendiri bagi kita.
Perbaiki sikap santun kita kepada Allah swt dengan senantiasa berkhusnudzan, dengan berbaik sangka kepada Allah Swt.
“Aku terserah prasangka hamba-Ku saja, kalau ia berprasangka baik, maka baik pula baginya, kalau ia berprasangka buruk, maka buruk pula baginya”
Kita harus ingat, kita ini pemohon, kita ini hamba, kita ini yang memiliki ketergantungan kepada Allah, maka kita pun harus bersikap sebagaimana layaknya seorang hamba, bukan sebaliknya, seolah-olah kita sebagai “tuhan” sehingga merasa berhak untuk menuntut permohonan kita cepat dikabulkan, rezeki kita minta yang banyak, dan lainnya, sekali lagi, yang berhak menentukan kapan dan berapa banyak rezeki itu Allah, bukan kita!
Kita juga harus bersikap layaknya orang yang sangat tergantung pada Allah, bukan sebaliknya. Kadang kita sudah merasa berhak “mengintimidasi” Allah dengan amal ibadah yang sudah kita lukakan “ Ya Allah, saya sudah tahajud semalaman, sudah berdzikir sekian puluh ribu kali,.......” , kita harus sadar sepenuhnya, jangankan sekedar tahajud semalam suntuk, seandainya kita mampu berdiri tahajud tujuh hari tujuh malampun, pasti tidak akan sebanding dengan nikmat kantuk yang Allah berikan kepada kita, pasti tidak akan sebanding dengan banyaknya oxigen yang kita hirup untuk nafas kita, dan pasti kalau kita mau itung-itungan antara amal ibadah kita dengan nikmat Allah, kita tidak akan mampu membayar kekurangannya.
Jadi kewajiban kita adalah berdo’a, dan apakah do’a kita akan diijabah dengan segera, apakah do;a kita akan ditunda, apakah do’a kita akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik menurut Allah, itu adalah mutlak hak prerogatif Allah Swt.
Hal ketiga yang kerap kita lupa adalah “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Nya) dan hendaklah mereka beriman kepada-Nya”. Kesibukan kita memohon kepada Allah, justru kadang melalaikan kita untuk memenuhi kewajiban kita untuk menjalankan perintah Allah swt, kesibukan kita untuk meminta kepada Allah, justru kadang melalaikan keimanan kita kepada Allah swt.
Padahal sebagaimana firman Allah diatas, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, beriman dengan benar dulu, dan turuti perintah-Nya dulu, Insya Allah, dengan kemurahan-Nya, Rahmat dan karunia Allah akan tercurah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan menuruti perintah-Nya.
Hal keempat,
55. Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[549].(al A'raf:55)
Hati dan suara yang lembut, ini adalah tatakrama kita sebagai hamba kepada Allah sang Pencipta. Kadang kita ini lucu, berdo’a sambil teriak-teriak histeris menyerupai peribadatan Yahudi atau Nasrani. Ingat, kita bukan Yahudi atau Nasrani, kita adalah Muslim yang diperintah Allah untuk berdo’a dengan hati yang merendah dan suara yang lembut, santun penuh etika.
Insya Allah, do’a kita akan dijawab oleh Allah manakala kita sudah memenuhi persyaratan – persyaratan diatas, beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, memenuhi segala perintah-Nya, dan dengan hati yang dipenuhi nilai-nilai ketaqwaan dan kelembutan serta suara yang santun pula...., Amiin.
Wassalam
April 05, 2007
No comments:
Post a Comment