“Pak Ustadz, sekarang ini ana ingin sekali menjadi mesantren, menjadi santri, karena dulu saya tidak sempat mesantren….” Penulis menuturkan keinginan yang sekian lama terpendam untuk bisa memperdalam ilmu agama dipesantren.
“Jadi menjadi santri itu gampang, antum tinggal mendaftarkan diri pada pesantren tertentu yang antum suka, maka jadilah antum seorang santri……” Kata Pak Ustadz.
“Yang sulit dan memerlukan proses yang panjang adalah menjadi “santri jadi”, bukan sekedar “jadi santri”, lanjut pak ustadz.
“Antum tahu apa bedanya jadi santri dan santri jadi?” Tanya Pak Ustadz.
Penulis menggelengkan kepada tanda belum mengerti arah pembicaraan pak ustadz, apa bedanya jadi santri dan santri jadi, wong hanya penempatan katanya saja kok yang dibalik, pikir penulis ketika itu.
“Seperti yang penah ana jelaskan dulu, bahwa banyak orang yang jadi santri, ribuan jumlahnya murid yang menuntut ilmu dipesantren, dan mereka disebut santri atau santriwati, tapi dari sekian ribu orang yang jadi santri tersebut, mungkin hanya segelintir orang saja yang merupakan “santri jadi” sekeluarnya dari pesantren…..” Papar Pak Ustadz.
“Maksudnya pak?” Tanya penulis.
“Iya, untuk menjadi seorang “santri jadi” seseorang harus melalui berbagai tahapan dalam belajar dan kehidupannya, bukan sekedar mendaftar dipesantren, ngaji kitab, belajar bahasa arab dan lainnya, lebih dari itu seseorang yang ingin menjadi santri jadi harus juga mempelajari “kitab-kitab yang tidak tertulis”, tapi tetap harus ia baca dan bahkan lulus tidaknya seseorang untuk menjadi “santri jadi” diukur dari kemampuannya memahami kitab-kitab yang tidak tertulis tersebut…..” Kata Pak ustadz lagi.
“Antum boleh hapal banyak kitab, antum pun mungkin bisa baca kitab kuning, antum juga mungkin bisa arab gundul, atau mungkin antum fasih baca al qur’an serta hapal banyak hadits, tapi jangan berpuas diri dulu, karena itu belum lengkap sebelum antum mampu menjadikan apa yang antum pelajari tersebut menjadi sesuatu yang ter-sirah dalam kehidupan antum sehari-hari, sebelum antum mampu melaksanakan surah dengan benar dan antum memiliki sarirah yang benar juga…..” Kata Pak Ustadz.
“Sirah, Surah dan Sarirah, apa itu Pak Ustadz? Tanya penulis
Surah diartikan sebagai pemahaman dan pengamalan ubudiyah secara benar. Apa yang antum pelajari dipesantren menngenai, baik syari’at shalat, syari’at zakat dan puasa serta rukun dan fardhu yang menyertainya, tidak lantas menjadikan antum disebut santri jadi sebelum antum benar-benar melaksanakan shalat dengan benar, baik rukun dan syaratnya, baik ketepatan waktunya serta hadirnya hati kala antum shalat, pun demikian halnya dengan puasa dan zakat yang syari’atnya antum hapal, itu pun harus antum pahami dan amalkan dengan benar…….” Kata Pak Ustadz
Sementara Sirah artinya gambar atau pengejawantahan dari apa yang disebutkan dalam surah tadi. Shalat yang benar harus nampak dalam kehidupan sehari, zakat harus teraplikasi sepanjang hayat dikandung badan, puasa harus ditunailkan dengan penuh keimanan dan kesabaran serta hajipun antum harus berusaha sekuat tenaga laksanakan untuk kemudian nilai-nilainya antum gambarkan dalam pitutur dan perilaku antum sehari-hari".
Sarirah, berarti 'rahasia' atau 'paling dalam', menunjukkan hati, perasaan atau pikiran, seorang santri jadi adalah seseorang yang hati, pikiran dan perasaannya terpola secara Islami. Hatinya hanya untuk Allah, perasan dan pikirannya hanya untuk Allah serta tiada yang lebih merisaukannya hati, pikiran dan perasaanya daripada kehilangan cahaya imaniah dalam bathinnya, sehingga hidup dan kehidupannya diabdikan secara penuh untuk Allah dan Islam yang terwujud dalam Surah dan Sirah diatas.
(*) Kitab tak tertulis yang dimaksud adalah mengamalkan ubudiyah disertai dengan keimanan dan keikhlasan, tanpa ada pamrih atau pamer, tanpa merasa lebih baik dari ubudiyah orang lain, serta nilai-nilai yang terkandung dalam ubudiyah, seperti shalat yang mencegah kemunkaran, zakat yang mensucikan, serta puasa sebagai pelatihan terhadap kesabaran, harus teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, dan itu memerlukan proses dan waktu yang relative lebih lama daripada menghapal dan memahami teori syari’atnya.
Untuk menjadi ikhlas dalam beribadah perlu proses, untuk menjadi muzaki yang ikhlas perlu proses, untuk menjadi manusia yang sabar perlu proses, semuanya perlu proses, dan karena itulah sikap istiqomah (Kontinuitas) dalam beribadah menjadi salah satu sikap yang sangat ditekankan oleh baginda Rasul dan syari’at Islam.
“Apa ana terlambat untuk menjadi seorang santri jadi Pak ustadz?” Tanya penulis, menyadari demikian berat tantangan dan kualifikasi untuk menjadi seorang santri jadi, dan bukan sekedar menjadi santri.
“Seperti ana jelaskan diatas, untuk menjadi seorang santri jadi memerlukan proses dan waktu yang lama, dan siapapun bisa melakukannya dengan izin dan pertolongan Allah swt, dan satu lagi, tidak ada kata terlambat untuk menjadi seorang santri, seseorang yang memiliki pemahaman dan pengamalan ubudiyah yang benar, untuk bisa menampilkan citra dan sosok islam secara benar dan untuk mampu berpola pikir secara benar pula”. Kata Pak Ustadz lagi.
“Bismillahirahmanirrahim, niatkan belajar antum untuk Allah semata, niatkan amal antum untuk Allah semata, serta luruskan hati, pikiran dan perasaan antum untuk hanya menuju kepada Allah semata, untuk bermaksud kepada Allah semata, insya allah antum bisa menjadi seorang santri jadi……” Papar Pak Ustadz.
“Siapapun bisa menjadi seorang santri jadi”, saya, anda, kita semua bisa menjadi seorang santri jadi, jadi sekaranglah saatnya kita mulai belajar memahami permasalahan ubudiyah secara benar, kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari dengan menyertakan hati, pikiran dan perasaan kita pada saat mengamalkannya serta mengarahkan hati dan pikiran kita pada Allah dan Islam semata.
Kenapa kita harus memiliki ketiga-tiganya agar kita menjad seorang santri?
Pemahaman syari;at yang luas dan memadai (Surah), tanpa disertai aplikasi dalam kehidupan nyata (Sirah), ibarat pohon yang rindang, kuat dahannya, lebat daunnya, tapi tidak menghasilkan buah, tidak banyak memberi manfaat pada penanamnya, apalagi bagi orang lain.
Sebaliknya, Sirah saja, pengamalan saja tanpa didasari oleh pemahaman syari’at yang benar, sangat riskan terhadap virus-virus pembusukan amal. Ibarat buah yang dipetik dari pohon yang gersang, layu dan hampir mati, niscaya buah yang dihasilkannya pun tidak akan sesegar buah yang dipetik dari pohon yang subur dan kuat dahannya.
Sementara Sarirah adalah ibarat akar yang menghujam kedalam tanah untuk menopang dahan yang kuat dan daun yang lebat akan tidak mudah goyah atau patah oleh terpaan angin yang kencang atau hujan yang mengguyur dengan deras, sehingga buah yang dihasilkannya pun manis, lezat lagi bermanfaat..
Akar yang kuat (sarirah), pohon yang subur (Surah), akan menghasilkan buah yang segar lagi bermanfaat (Sirah) bagi penanamnya, yaitu kita dan juga bagi orang lain.
Wassalam
April 25, 2007
No comments:
Post a Comment