“Agama adalah ibarat pohon yang rindang dan besar, akarnya kokoh menghujam kebumi, dahan dan daunnya rindang meneduhkan, sementara akhlaq adalah buahnya” Kata Pak Ustadz dalam sebuah perbincangan.
“Seseorang yang memiliki ilmu dan pemahaman agama yang baik adalah ibarat pohon yang rindang lagi meneduhkan, tapi belum lengkap jika belum mewujudkan ilmu dan pemahamannya itu dengan akhlaq yang baik dalam kehidupannya”. Lanjut Pak Ustadz.
“Coba antum pikir, jika didepan rumah kita, ada sebatang pohon mangga yang sehat batangnya, lebat daunnya, tapi pohon mangga itu tidak berbuah, apa yang akan antum lakukan terhadap pohon mangga tersebut” Kata Pak Ustadz beranalogi.
“Tentu saya akan menebangnya, Pak? Jawab penulis
“Kenapa?” Tanya Pak Ustadz lagi
“Karena saya menanam pohon mangga itu untuk mendapatkan buahnya, sementara kalau pohon itu tidak berbuah, untuk apa? Mending saya tebang untuk dijadikan kayu bakar “ Jawab penulis.
“Itulah perumpamaan seseorang yang berilmu tapi tidak beramal dan berahlaq dengan ilmunya, ia tidak akan banyak bermanfaat bagi orang lain, seperti pohon mangga tadi, seorang yang berilmu tapi akhlaqnya masih jelek, ia hanya akan menjadi kayu bakar” Jelas Pak Ustadz.
Akhlaq berasal dari kata “Khuluq” yang berarti budi pekerti/karakter, kebiasaan dan perangai, yang secara terminologis didefiniskan bahwa Akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwa tanpa adanya berbagai pertimbangan, tanpa paksaan, spontan sehingga membentuk pribadi seseorang tersebut.
Agama (Islam) adalah akhlaq; “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” (HR Bukhari), maksudnya bahwa risalah Islam yang dibawa Baginda Rasulullah bertujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlaq berdasarkan syari’at al qur’an yang agung.
Lalu bagaimana kesempurnaan akhlaq itu bisa terwujud?
Akhlaq adalah buah dari ibadah yang dilaksakan dengan ilmu dan iman yang benar, seperti shalat, “shalat adalah ibarat pohon ibadah, sementara mencegah perbuatan keji dan munkar adalah buahnya” sebagaimana digambarkan Allah dalam ayat berikut;
45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al ankabut:29)
Pun demikian dengan ibadah-ibadah lainnya, shaum adalah pohon ibadah, dan taqwa adalah buahnya, Zakat adalah pohon ibadah, sifat dermawan adalah buahnya, ke baitullah adalah pohon ibadah, haji mabrur adalah buahnya.
Ibadah apapun yang kita lakukan tanpa menghasilkan sesuatu yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan kita secara nyata adalah ibarat pohon tanpa buah, dan hanya akan menjadi kayu bakar.
Kalau tidak agama yang tidak disertai akhlaq, maka sebaliknya tidak ada akhlaq yang mulia bagi mereka yang tidak beragama.
Agama dan syari;at adalah sekumpulan pedoman atau buku panduan untuk membentuk manusia berakhlaq, dan hanya dengan mengikuti syari;at dan agama dengan benar sajalah akhlaq mulia itu akan terbentuk.
Kalau kita menyaksikan orang tidak beragama kemudian “berakhlaq mulia”, itu adalah bohong, dan tidak lebih dari pandangan mata kita yang tertipu. Kadang kita dengar orang kafir baik hati, orang tak shalat tidak sombong,orang yang tidak pernah bayar zakat malah kaya, orang yang tidak puasa juga tidak apa-apa, itu adalah pandangan mata kita, karena kita sama sekali tidak mengetahui dibalik kebaikan hati sikafir itu adalah tipu daya setan untuk menguji iman kita, dibalik orang yang tidak shalat itu tidak sombong ada simpul-simpul setan yang siap menjerat kita, dibalik orang kaya yang tidak bayar zakat itu ada perangkap setan berupa kekikiran terhadap kita dan dibalik orang yang tidak puasa itu tidak apa-apa itu ada sebuah lubang yang siap menelan kita kedalam jurang dosa apabila kita tertipu dan terperdaya olehnya.
Setan mengemas semuanya dengan sangat baik, karena memang itu adalah tugasnya, dan tugas kita jangan sampai tertipu dengan kemasan yang dibuat setan, dan bahwa orang yang beragama yang benar adalah mereka yang mengutamakan akhlaq dan akhlaq adalah buah dari keberagamaan yang dilaksanakan secara benar.
Apa tolok ukur kita dalam menilai kebaikan “akhlaq seseorang?
21. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Suri teladan dan tolok ukur “kebenaran” Akhlaq yang baik adalah Rasulullah, karena beliau adalah panutan yang sudah digaransi oleh Allah tentang kebenaran dan keluhurannya.
tapi khan Rasul sudah tidak ada?
Maka bertanyalah pada al qur’an, karena akhlaq beliau adalah Al qur’an; seperti yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Siti Aisyah ra.
Berikut sepenggal kisah keteladan dan keluhuran akhlaq Rasulullah;
Dalam sebuah riwayat diceritakan ketika baginda Nabi membawakan barang bawaan seorang perempuan tua yang sangat kerepotan dengan barang bawaannya. Nabi ketika itu membawa bagian terberat dari barang bawaan si wanita tua. Disepanjang perjalanan, wanita tua itu selalu mengatakan;
“Hai tuan, anda harus berhati-hati dengan orang yang bernama Muhammad, karena dia seorang tukang sihir dan pendusta, maka jika engkau bertemu dengannya, maka berhati-hatilah terhadap tipu daya....” dan masih banyak lagi cerita si wanita tentang “kejelekan” akhlaq nabi. Hingga ketika baginda Rasul sampai dirumah si wanita tua dan mennrunkan barang bawaanya, wanita tua itu mengucapkan terima kasih atas pertolongannya dan menanyakan siapa namanya,
“Saya muhammad nek....” Jawab Baginda Rasul tenang. Betapa wanita tua itu terkejut bukan kepalang, karena orang yang ia jelek-jelekan sepanjang perjalanan tadi, adalah justru manusia mulia yang telah menolongnya, ia pun menangis dan masuk islam.
Dalam riwayat lain, Baginda Rasul setiap hari menyuapi seorang Yahudi yang buta matanya. Makanan Yahudi itu selalu dihaluskan terlebih dulu sebelum nabi menyuapinya. Setiap hari hal ini dilakukan Baginda Rasul, dan setiap hari pula Yahudi yang buta itu mengata-ngatai nabi dengan perkataan yang tidak benar seperti halnya wanita tua tadi, hingga baginda Rasul meninggalpun si Yahudi tidak tahu bahwa orang yang menyuapinya setiap hari itu adalah Baginda rasul.
Kebiasaan nabi yang menyuapi Yahudi yang buta ini kemudian diteruskan oleh Abu Bakar Shidiq, karena beliau ingin meniru keluhuran akhlaq nabi. Abu Bakar setiap hari pergi kerumah si Yahudi untuk melakukan hal yang sama dengan yang pernah dilakukan oleh nabi.
Tapi satu kebiasaan nabi yang luput dari perhatian Abu Bakar adalah nabi selalu menghaluskan makanan si Yahudi sebelum menyuapinya, sehingga si Yahudi itu berkata;
“Kenapa sekarang makanan ini tidak dihaluskan dulu?” Pasti engkau bukan orang yang biasa menyuapiku setiap hari, ia sangat baik hati dan luhur budi, sehingga tanpa aku minta pun ia datang menyuapiku dengan menghaluskan makananku terlebih dulu, lalu siapakah engkau?” Tanya Yahudi itu.
Abu Bakar berurai air mata mendengar penjelasan yahudi tersebut, ia merasa bahwa kebaikan yang dilakukannya jauh sekali dari apa yang pernah dilakukan nabi, dengan terisak ia menjawab;
“Saya Abu Bakar, kek, sementara orang yang menyuapimu dulu adalah Muhammad bin Abdulah......., sekarang manusia mulia itu telah berpulang ke rahmatullah, dan aku ingin meniru akhlaqnya yang luhur, namun seperti katamu tadi, aku tidak seperti beliau.....” Jawab Abu Bakar terbata-bata.
Yahudi buta tadi terkejut bukan kepalang mendengar penjelasan Abu Bakar bahwa orang yang selama ini menyuapinya adalah Muhammad Rasulullah yang selama ini ia kecam dan dijelek-jelekan, end toh nabi tetap berlaku baik terhadapnya.
Ia menangis menyadari kekeliruanya selama ini, dan diakhir riwayat Yahudi itu berikar Syahadat sebagai tanda keislamannya.
Masih banyak perilaku Rasul yang sangat mulia, seperti ketika beliau berjalan di Thaif dan beliau dilempari dengan batu oleh penduduknya hingga berdarah, namun ketika Malaikat Jibril menawarkan bantuan untuk menghancurkan penduduk Thaif tersebut, beliau melarangnya dan justru mendo’akan agar orang-orang yang tidak mengetahuii kebenaran risalahnya tersebut mendapat hidayah dari Allah swt.
Pun ketika Futhul Mekkah, beliau sama sekali tidak dendam terhadap orang dan kaum yang telah memusuhi dan melarang dakwahnya, yang keluar dari bibirnya yang mulia justru tebaran perkataan kebebasan dan kedamaian bahkan terhadap mereka yang memusuhinya sekalipun.
Ditengah ketakutan kaum quraisy terhadap pasukan kaum muslimin, Rasulullah (SAW) bertanya kepada orang-orang Quraisy: "Apakah yang kalian kira akan kuperbuat terhadap kalian pada hari ini?" Mereka berkata, "Kebaikan, sebab engkau adalah kerabat kami yang berbudi luhur." Sampai disini, Rasulullah (SAW) mengatakan kepada mereka," Akan kuperlakukan kalian sebagaimana halnya Nabi Yusuf (AS) memperlakukan saudara-saudaranya." Dan Rasulullah (SAW) menyatakan pemberian maafnya yang begitu besar, beliau pun membacakan kalimat maaf Nabi Yusuf (AS);Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, (Yusuf:92)
Dengan kata lain, Nabi (SAW) mengatakan, "Kalian bebas dari segala tuntutan. Tak seorangpun akan membahayakan kalian pada hari ini." Betapa tak ada contoh lain dalam sejarah kehidupan manusia, sebuah pemberian maaf yang begitu besar kepada musuh yang sangat haus-darah.
Subhanallah, betapa luhur dan agung akhlaq Baginda Rasul mulia itu.
Dan tugas kita adalah kalaupun kita tidak atau belum bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam ahlaq kita, setidaknya kita bisa menghargai dan membalas jasa orang lain dengan hal yang sepadan, syukur kalau kita bisa membalas kebaikan itu dengan hal yang lebih baik;
86. Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (An nissa:86)
Jelas bedanya pohon yang menghasilkan buah dengan pohon yang rindang tanpa buah, jelas bedanya antara orang yang beragama dengan sebaliknya, dan luhur tidaknya akhlaq-lah yang membedakannya.
Wassalam
April 16, 2007
No comments:
Post a Comment