Wednesday, April 18, 2007

BAYI, SANG GURU MUNGIL

“You are my little angle” Demikian sebuah ungkapan beberapa orang tua untuk menggambarkan kekagumannya kepada sang buah hati, seorang bayi mungil. Berlebihan memang, tapi benarlah adanya jika sesosok bayi mungil yang lucu itu adalah juga guru bagi kehidupan kita, para orang tua.

Tak usah malu atau segan untuk belajar dari seorang bayi sekalipun, karena bayi mengajari kita dengan banyak hal, yang mungkin kita tidak temukan diseminar atau bangku kuliahan.

5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering, Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Al Hajj:5)

Pernahkah kita merenungi ayat diatas? Bahwa kita, yang sekarang tampak tinggi besar dan gagah, juga mengalami suatu masa dimana kita menjadi seorang bayi.

Bunda kita mengandung kita selama kurang lebih sembilan bulan dengan susah payah, pun ketika hendak melahirkan, bunda berjuang diambang batas antara hidup dan mati dengan bermandi keringat dan darah. Setelah kita lahir, kita tidak lantas menjadi sosok yang mandiri, lagi bunda memberikan air susu, menyuapi, mengganti popok kita yang basah, meski ditengah kantuk yang mendera, bunda melakukan semuanya demi kita, anaknya yang tercinta.

Tak akan cukup tulisan ini menggambarkan betapa besar cinta kasih dan pengorbanan orang tua kita untuk membesarkan kita, sehingga dalam sebuah riwayat, seorang sahabat yang ingin membalas budi baik orang tuanya, menggendong ibunya berkeliling thawaf sebanyak tujuh putaran, tapi ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw, apakah apa yang ia lakukan sudah cukup untuk membalas budi baik ibunya, Rasul menjawab;

“belum, seandainya engkau menggendong ibumu pulang pergi dari Mekah ke Madinah (jaraknya sekitar 450 KM - pen) sebanyak tujuh kali pun, itu belum cukup membalas jasa ibumu.....”

Kembali kepada pokok tulisan ini, bahwa dari seorang bayipun kita bisa belajar.

Pertama, bahwa hidup adalah sebuah proses, satu hari, dua hari, seminggu lalu sebulan, setiap pergantian waktu, bayi mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tingkatan usianya. Baik buruknya pertumbuhan dan perkembangan bayi, secara syari’at sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti faktor lingkungan dimana bayi itu tumbuh dan berkembang, faktor orang tua yang merawatnya, faktor asupan makanan dan vitamin yang diberikan padanya dan juga faktor internal dari dalam tubuh bayi tersebut seperti tingkat kekebalan tubuhnya (Sistem imunnya) terhadap berbagai virus dan penyakit.

Proses sebenarnya tidak hanya terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik seseorang. Belajar juga memerlukan proses, mencapai tingkatan ibadah yang baik juga merupakan proses, mencapai derajat kesabaran juga proses, menjadi seorang mukhlis juga proses, menjadi orang yang bertaqwa juga proses, jadi dari sini kita bisa belajar untuk tidak berputus asa dalam upaya kita menyempurnakan syari;at kita.

Tak perlu malu untuk mulai belajar mengaji sekarang saat kita sudah jenggotan, kalau memang kita belum bisa baca al qur’an

Tak perlu segan untuk bertanya tentang shalat yang benar jika memang kesempatan kita baru sekarang

Tak perlu enggan untuk belajar wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah karena itu demi keselamatan hidup kita

Tak perlu malu kemasjid hanya karena takut shalat kita dikatakan belum benar, sekali lagi bahwa semuanya melalui proses, melalui undakan dan anak tangga yang mesti dititi dan dinaiki satu persatu.

Kedua, bahwa asupan yang diterima sibayi, harus sesuai kapasitasnya. Bayi hanya mengkonsumsi ASI exclusive selama enam bulan, kemudian sesudahnya, ketika usia dan kapasitasnya bertambah, asupan yang masuk pun bertambah, selain ASI, ada susu formula sebagai tambahan ada makanan atau bubur bayi yang disertakan sebagai asupan.

Kita kadang lupa dengan kapasitas kita, sehingga kita kerap menyalahkan Allah yang memberikan rezeki yang sedikit kepada kita, kita tidak pernah bertanya sebesar kapasitas kita, kapasitas ibadah kita, kapasitas keilmuan kita, kapasitas ketaqwaan kita, karena sangat boleh jadi ketika kita diberi Allah sesuatu yang melebihi kapasitas yang kita miliki, harta kita justru akan menjadi bumerang bagi kita.

Ketika seorang anak usia sepuluh tahun diberi uang satu juta oleh orang tuanya, itu bukan merupakan sebuah pilihan bijak, karena justru dengan uang yang lebih besar dari kapasitas sianak, akan membahayakan bagi anak itu sendiri.

Ketika kadar keimanan kita belum lagi kokoh, ketika shalat kita belum lagi benar, ketika zakat kita belum lagi dibayar, kemudian kita diberi cobaan berupa harta yang banyak, sangat boleh jadi iman kita jadi labil, kita justru malah mentuhankan harta, sangat boleh jadi shalat kita jadi terbengkalai karena kesibukan mengurus harta, sangat boleh jadi kita menjadi kikir karenanya.

Ingin rezeki bertambah? Siapkan kapasitas iman kita, syukur kita, ilmu kita, agar karunia Allah yang tercurah tidak menjadi bumerang bagi kita.

Ketiga, menjelang usia enam bulan, bayi biasanya mulai belajar bicara. Bahasa yang digunakan bayi ketika mulai belajar berbicara sangat aneh dan tidak karuan seperti orang meracau, tidak ada yang mengerti apa maksud ucapannya.

Ada banyak orang tua seperti kita yang kadang ngomongnya seperti bayi, asal ngomong, asal bunyi, tidak dipikir dulu, persis seperti orang meracau.

Bilangan usia seseorang tidak bisa menjadi jaminan untuk menjadikan orang tersebut bisa berbicara bijak layaknya orang dewasa, pantas jika kemudian ada yang mengatakan bahwa tua adalah kepastian, dewasa adalah pilihan.

Bertambahnya usia adalah sebuah sunnatullah yang tidak akan dapat dibendung oleh apapun, tapi untuk menjadi seseorang yang dewasa adalah sebuah pilihan yang harus ditentukan oleh masing-masing kita.

Kita sering mendengar orang yang usianya sudah kepala lima, tapi ngomongnya asal keluar, kita sering mendengar seorang manager yang bicara ngalor-ngidul, kita sering mendengar pejabat yang statementnya asal bunyi, sekali lagi usia, pangkat dan jabatan seseorang tidak menjadi jaminan bahwa ia sudah bisa berbicara, bahkan sebaliknya sebagian mereka masih tampak seperti bayi yang baru belajar bicara.

Keempat, bayi masih sangat rentan terhadap kondisi lingkungan, ia mudah terserang berbagai jenis penyakit akibat perubahan cuaca misalnya.

Pun demikian halnya dengan kita, kita harus benar-benar menjaga kesehatan keimanan kita, menjaga keikhlasan niat kita dari pengaruh buruk lingkungan sekitar. Ada banyak virus-virus kemusyrikan yang berterbangan disekitar kita. ada banyak kuman-kuman kekufuran yang berada ditengah-tengah kita, dan kita harus waspada terhadap gangguan mereka agar keimanan dan rasa syukur kita bisa tumbuh dan berkembang dengan benar dan terjaga.

Masih banyak hal yang kita bisa pelajari dari sang guru mungil kita, hanya perlu sedikit kejelian kita agar pesan Allah lewat sang bayi dapat kita cerna.

Kita tidak mungkin menjadi bayi selamanya, yang hanya menggantung semuanya pada orang lain, kita, pada suatu saat harus bisa berjalan dan menjalani kehidupan sendiri, dan itu perlu proses yang harus kita siapkan dari sekarang, agar kita tidak menjadi benalu bagi orang lain, agar kita bisa berbicara layaknya orang dewasa, agar kita bisa imun terhadap berbagai gangguan iman dan aqidah, agar kapasitas kita memenuhi syarat bagi rahmat Allah yang senantiasa tercurah.

Wassalam

April 18, 2007

No comments:

Post a Comment