Friday, July 6, 2007

NILAI SEBUAH PRINSIP

Assalamu’alaikum…….”, Sapa Maula

“Walaikumusallam…….Nak Maula, masuk Nak Aki dibelakang…….” Kata Ki Bijak.

Maula beranjak masuk dan langsung kebelakang pondok Ki Bijak, disana ia menemukan sosok gurunya sedang asyik membersihkan ikan-ikan yang lumayan besar.

“Maaf Nak tangan aki kotor….” Kata Ki Bijak ketika Maula mengulurkan tangannya untuk sungkem.

“Ikan dari mana Ki…., banyak sekali…? Tanya Maula.

“Ya Nak Mas, kemarin Ki Sobar datang kemari dan mengantarkan ikan-ikan ini, katanya dia habis memancing, dan hasilnya lumayan banyak, jadi ia bagikan untuk Aki disini……”Kata Ki Bijak.

“Ki Sobar?, siapa beliau Ki……? Tanya Maula.

“Oh ya Aki lupa menceritakan mengenai saudara-saudara aki kepada Nak Mas, Ki Sobar adalah saudara Aki yang paling dekat Nak Mas….? Kata Ki Bijak.

“Saudara kandung, Ki…? Kata Muala

“Bukan, Nak Mas, tapi persaudaraan kami jauh lebih erat dan lebih hangat bahkan dalam beberapa hal melebihi persaudaraan yang didasarkan ikatan darah……” Kata Ki Bijak.

“Persaudaraan antara kami terjalin karena kesamaan akidah, visi, pola pikir dan tujuan yang sama, sehingga kami saling mengashi, saling mencintai dan saling menghornati semata karena Allah, bukan berdasar harta atau kepentingan lainnya…” Kata Ki Bijak

“Memangnya Aki punya berapa saudara, Ki……? Tanya Maula penasaran

Ki Bijak menghela nafas panjang, kemudian ia mulai bertutur tentang kehidupannya dulu bersama-sama saudaranya.

“Sebenarnya Aki memiliki tiga saudara Nak Mas, kami berempat, Aki sendiri, Ki Sobar, Ki Alim dan yang tertua Ki Murka, dulu tinggal bersama Ki Ageng Luhur Budi dan Nyi Ageng Kasih, dipondokan sederhana, yang dikenal orang dengan pondok At Taqwa……” Ki Bijak sambil menerawang kemasa lalunya.

“Lalu Ki……” Maula tidak sabar menanti kelanjutan cerita gurunya.

“Kami berempat tumbuh besar dan belajar bersama, Aki, Ki Sobar, Ki Alim dan Ki Murka mendapat perlakuan yang sama dari Ki Ageng Luhur Budi dan Nyi Ageng Kasih, kami begitu diperhatikan dan disayang oleh kedua orang tua yang baik hati itu…..”

“Tiap pagi kami diajari berbagai ilmu dan kebajikan, kami dilatih untuk menjadi orang-orang yang menegakan perintah agama, kami dididik untuk menjadi orang-orang yang menjunjung tinggi nilai dan menghormati sesama manusia, hingga kami menjelang dewasa, kemudian setelah dibekali dengan berbagai bekal dipondok itu, kami berempat merantau untuk menambah pengalaman kami…………..”

“Suka dan duka kami lalui bersama, Aki selalu bertanya dan bermusyawarah dengan Ki Sobar dan Ki Alim mengenai berbagai hal yang kami temukan sepanjang perjalanan kami, kadang Aki meminta pendapat dan saran pada Ki Sobar dan Ki Alim mengenai apa yang aki alami atau ketika aki tidak mengerti tentang sesuatu hal, pun sebaliknya, Ki Sobar dan Ki Alim-pun sering meminta pendapat Aki mengenai banyak hal, kami bertiga seiring sejalan, menembus halangan, menghadapi rintangan, dan kebersamaan itu hingga kini masih terpelihara dengan baik, seperti Ki Sobar tadi, ia selalu saja menyempatkan mampir ke pondok Aki kalau ia berkesempatan lewat kemari…….” Kata Ki Bijak.

“Lalu bagaimana dengan Ki Murka, Ki….., tadi Aki tidak menyembut-nyebut Ki Murka dalam perjalanan Aki…..? Tanya Maula.

Kembali Ki Bijak menghela nafas, matanya menerawang……………….

“Yaa, itulah Nak Mas, aki sangat sedih kalau aki mengingat bagaimana akhirnya kami harus berpisah dengan Ki Murka……” Kata Ki Bijak.

“Kenapa Ki……?.” Tanya Maula.

“Kami tidak sejalan lagi dengan pemikiran dan pemahaman Ki Murka, yang selalu saja merasa lebih tua, selalu saja merasa lebih pintar, selalu saja malas ketika kami ajak berdiskusi, sehingga kami akhirnya memutuskan berpisah, kami tidak lagi sejalan dengan Ki Murka yang selalu mengedepankan amarah dan emosi, selalu berkata takabur, selalu membanggakan diri dan selalu merasa bahwa ia yang terbaik, , sementara orang lain tidak ada apa-apanya, serta keinginan dan nafsunya terhadap duniawi yang menurut kami sudah melewati batas , perbedaan prinsip inilah yang kemudian memisahkan kami, Nak Mas…….” Kata Ki Bijak.

“Ki, apakah kita boleh memutuskan pertemanan, Ki……………?” Tanya Ki Bijak.

“Berat sekali memang untuk memutuskan berpisah dengan Ki Murka ketika itu, tapi ada yang jauh lebih penting dari sekedar persaudaraan Nak Mas, yaitu nilai-nilai ketaatan kepada Allah, keluhuraan budi dan sifat tawadlu yang selama ini kami junjung tinggi, kami harus rela berkorban demi sebuah kebenaran dan kemurnian akidah kami…….” Kata Ki Bijak.

Maula mengangguk tanda mengerti, “Ki, ikannya sudah bersih semua, mau dibakar atau dimasak, Ki……?” Tanya Maula.

“Dibakar saja ya Nak,biar tidak terlalu repot…..” Kata Ki Bijak.

Maula kemudian mengumpulkan kayu bakar untuk memanggang ikan-ikan tersebut, sambil terus berbincang dengan gurunya.

“Ki, kenapa ikan laut tidak asin ya Ki, padahal air laut kan Asin, Ki…………..?” Tanya Maula, sambil membolak-balik ikan bakarnya agar tidak gosong.

“Karena ikan-ikan itu “hidup” Nak Mas…..” Jawab Ki Bijak.

“Maksudnya Ki……?” Tanya Maula.

“Ikan dilaut akan menjadi asin, manakala ikan itu sudah mati, tapi selama ikan itu hidup, ikan tersebut tidak akan terpengaruh oleh air laut yang asin sekalipun…..” Kata Ki Bijak.

“Pun dengan kita Nak Mas, kadang kita tidak bisa memilih tempat yang sesuai dengan keinginan kita, kadang kita terpaksa atau dipaksa untuk berada ditengah-tengah lingkungan yang “asin’ yang kita tidak suka, dan itulah hidup, seperti ikan laut tadi, kita tidak harus larut dalam kehidupan yang “asin” meskipun kita hidup dilingkungan tersebut……”

Ki Bijak memandang wajah muridnya, kemudian ia meneruskan pituturnya;

“Selama kita memiliki landasan akidah yang benar, pemahaman syari’at yang memadai, kemudian kita juga memiliki prinsip yang kokoh, insya Allah kita tidak akan terpengaruh oleh “keasinan” lingkungan kita…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang gemar meninggalkan shalat, jangan terpengaruh, Nak Mas harus tetap memegang prinsip bahwa shalat adalah kebutuhan selain juga kewajiban yang disyari’atkan…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang lalai menunaikan zakat, maka Nak Mas tetap harus menunaikan kewajiban itu, meski mungkin Nak Mas menjadi satu-satunya orang yang melakukannya…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang dengan senang hati meninggalkan shaum ramadhan, maka Nak Mas harus tetap menjalankannya, meski perih, haus dan dahaga melilit perut dan tenggorokan kita…..”

“Kalau Nak Mas berada ditengah-tengah lingkungan atau orang yang gemar berkata dusta, berkata vulgar atau bercakap yang tidak manfaat, biasakan Nak Mas untuk tetap melafadzkan dzikir dan sedapat mungkin untuk tidak terlalu banyak mendengar ucapan orang-orang pandir seperti itu……, insya Allah, selama kita berpegang pada prinsip yang benar, akidah yang kokoh, syari’at yang memadai, kita tidak akan menjadi “asin” karena pengaruh lingkungan kita…….” Kata Ki Bijak.

“Kurang bijaksana rasanya kalau dikit-dikit kita menyalahkan lingkungan, menyalahkan orang lain, karena lingkungannya tidak benarlah, karena temannya jahatlah, untuk mencari pembenaran dan kambing hitam atas kesalahan kita…………”

“Sebaik-baik kita adalah mereka yang mampu merubah kondisi lingkungan dan orang disekitar kita dengan keluhuran budi dan akidah yang benar, bukan sebaliknya, justru malah kita yang menjadi korban lingkungan dan pergaulan kita………………” Kata Ki Bijak lagi.

“Ana sekarang mengerti Ki, kenapa ikan laut tidak asin, Ki, bolehkan suatu saat ana berguru pada Ki Sobar atau Ki Alim, Ki….? Kata Maula penuh harap.

“Belajarlah pada mereka Nak Mas, Ki Sobar akan membantu mengajarimu bagaimana kita menyikapi cobaan yang pasti Allah berikan kepada kita, sementara Ki Alim akan semakin menambah wawasan dan pengetahuanmu, semoga engkau kelak akan menjadi seorang Maula yang bijak, penuh kesabaran dan beilmu pengetahuan……” Kata Ki Bijak.

“Terima kasih, Ki……..” Kata Maula sambil menyodorkan sebungkus nasi dan sepotong ikan bakar yang sudah matang, kedua orang guru dan murid itu kemudian menyantap makan siangnya dengan nikmat dan dipenuhi rasa syukur kepada Allah swt sang pemilik ikan dan berterima kasih kepada Ki Sobar yang mengantarkannya.

Wassalam.

July 6, 2007

No comments:

Post a Comment