“Alhamdulillahirabbil’alamin........sudah selasai ki.......” Kata Maula dengan nafas yang masih sedikit terengah-engah.
“Alhamdulillah, sudah selesai semua Nak Mas.....?” Tanya Ki Bijak
“Ya Ki, tadi lantai atas sudah kami bersihkan semua, insya Allah masjid ini sudah siap menyambut datangnya bulan ramadhan ki.........” Jawab Maula.
“Syukurlah Nak Mas, sekarang kita punya satu tugas bersih-bersih lagi Nak Mas....” Kata Ki Bijak.
“Masjid yang mana yang belum dibersihkan ki.....?” Tanya Maula sedikit heran.
“Masjid yang ada disini Nak Mas.....”Kata Ki Bijak sambil menunjuk ulu hatinya.
“Maksud aki hati kita ki............?” Tanya Maula.
“Ya Nak Mas, bukan hanya masjid lahiriah saja yang harus kita bersihkan untuk menyongsong datangnya bulan suci ini, tapi hati kita pun harus benar-benar bersih sebelum kita memasuki bulan suci ramadhan, agar hati kita benar-benar mampu memaknai ramadhan dengan benar........” Kata Ki Bijak .
“Ki, apakah semua amal ibadah yang selama ini kita lakukan belum mampu membersihkan hati kita ki........? Tanya Maula.
“Nak Mas perhatikan, insya Allah masjid kita ini selalu dibersihkan oleh santri tiap hari, disapu bahkan setiap dua atau tiga hari sekali dipel, kacanya dibersihkan tapi Nak Mas lihat, ketika kita membersihkannya barusan, lantainya tetap terdapat kotoran dan debu, begitupun dengan hati kita ini Nak Mas....” Kata Ki Bijak.
Maula menoleh kelantai masjid yang baru saja ia bersihkan bersama santri lainnya, dan benar kata ki Bijak, air yang digunakan untuk membersihkan lantai tadi nampak kehitaman akibat kotoran dan debu dari lantai masjid.
“Nak Mas, hati kita ini ibarat lantai atau kaca ini, meski senantiasa kita bersihkan, tapi kita harus tetap berhati-hati, karena “debu-debu” tidak akan pernah bosan untuk mengotorinya......”
“Disani, dihati kita ini, mungkin ada “debu riya” atas ibadah yang kita lakukan, disana mungkin ada “debu ujub” dengan amal yang telah kita lakukan, disana mungkin ada “debu kesombongan” yang tanpa kita sadari menempel didinding dan lantai hati kita......” Kata Ki Bijak.
Maula terdiam, ia merenungi perkataan Ki Bijak.
“Nak Mas harus waspada bahwa “riya, ujub dan takabur” merupakan debu-debu bathiniah yang sangat halus dan tidak kasat mata, sehingga kadang kita tidak menyadari bahwa dalam dinding hati kita terdapat debu-debu yang mengotorinya, karena kalau kita lihat sepintas, mungkin kita sudah merasa hati kita sudah “bersih” dengan ibadah yang telah kita lakukan, ketika kita melihatnya sambil lewat, mungkin kita tidak akan menemukan debu riya, kotoran ujub serta jamur-jamur kesombongan yang menempel pada hati kita, untuk itulah, mari kita gunakan momentum ramadhan ini untuk benar-benar membersihkan debu dan kotoran yang mungkin masih tersembunyi jauh dilubuk hati kita......” Kata Ki Bijak.
“Ki, ketika tadi ana berangkat kesini untuk membersihkan masjid, ada sedikit perasaan dalam hati ana, “kok orang lain tidak pada datang kemasjid ya.....”, apakah itu juga merupakan sebuah debu dihati ana ki......” Tanya Maula.
“Bisa jadi demikian Nak Mas, ketika kita merasa bahwa kita “lebih baik” dengan pergi untuk membersihkan masjid, sementara orang lain tidak, itu merupakan sebuah “potensi” yang dapat ditunggangi setan untuk menggelincirkan kita pada sifat ujub, sombong atau riya, dan itu tidak boleh lagi ada dihati kita, apapun yang kita lakukan, niatkan sepenuhnya hanya karena Allah, bukan karena antum pengurus masjid, bukan karena antum tidak enak sama aki atau karena antum malu pada santri lain, tapi sekali lagi harus benar-benar lillahita’ala....” Kata Ki Bijak.
“Lalu bagaimana kita membersihkan hati kita ini Ki...........” Kata Maula.
“Nak Mas harus ingat selalu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un......” Kata Ki Bijak.
“Maksudnya ki...........?” Tanya Maula.
“Allah yang menggerakan hati Nak Mas untuk berangkat kemasjid ini, Allah yang melangkahkan kaki Nak Mas kesini, Allah yang menggerakan Nak Mas untuk menyapu dan mengepel lantai serta kaca-kaca masjid ini, tanpa qudrat dan iradah Allah, maka Nak Mas tidak akan sampai kesini........” Kata Ki Bijak.
“Jadi ki..........” Kata Maula.
“Jadi kalau Allah yang menggerakan hati kita, Allah yang meringankan langkah kita, Allah yang mengayunkan tangan kita untuk membersihkan masjid ini, masih pantaskan kita merasa lebih baik dari orang yang tidak pergi kemasjid.....?” Kata Ki Bijak lagi.
“Tugas membersihkan hati ini jauh lebih berat dari apa yang barusan Nak Mas dan teman – teman lakukan dengan membersihkan masjid ini...........” Kata Ki Bijak.
“Kenapa ki..............” Tanya Maula.
“Kalau debu dan kotoran yang menempel dilantai dan kaca masjid ini, jelas nampak terlihat oleh kita, sehingga dengan mudah kita membersihkannya, lain halnya dengan debu – debu yang ada didalam hati kita, sangat sulit kita melihatnya, bahkan tak jarang ketika orang lain memberi tahu kita bahwa kita memiliki sifat riya, sifat ujub dan takabur, kita sama sekali tidak mau tahu dan tidak pernah peduli, karena kita tidak merasa memilikinya, kita sudah merasa baik, kita sudah merasa benar, kita sudah merasa melakukan semua perintah, dan ini yang membuat proses pembersihan hati jauh lebih sulit untuk dilakukan.....” Kata Ki Bijak.
“Lalu bagaimana kita mengetahuinya ki........” Tanya Maula.
“Banyak-banyaklah minta pendapat kepada orang alim, dekati mereka, orang-orang zuhud yang tidak pernah silau dengan pujian dari orang lain, dari sana, kita akan bisa mengukur betapa apa yang telah kita lakukan, masih jauh dari kata baik dan benar, dari sana pula kita akan menyadari bahwa kita sama sekali tidak patut bangga apalagi menjadi sombong dengan apa yang telah kita perbuat........” Kata Ki Bijak.
“Nak Mas perhatikan kaca yang nampak sangat bersih ini..........” Kata Ki Bijak sambil menunjuk kaca jendela yang tepat berada disamping mereka.
“Coba Nak Mas ambil tissue, dan gosokan pada kaca ini...........” Kata Ki Bijak.
Maula melakukan apa yang diperintahkan gurunya, ia mengambil selembar tissue dan mengelap kaca disebelahnya.
“Perhatikan Nak Mas, ketika kaca yang nampak bersih ini dilap dengan tissue yang putih, maka akan nampak dengan jelas kotoran yang menempel pada kaca tersebut, meskipun baru saja kita bersihkan tadi......, lain halnya kalau kita gosok lagi kaca ini pakai kertas koran, meskipun mungkin debunya lebih banyak, tapi tidak akan terlihat karena kertas korannya sendiri berwarna-warni......” Kata Ki Bijak.
“Pun demikian dengan kita, kalau amaliah kita diukur dengan amaliah preman, pasti kita akan merasa sudah demikian baik, atau kalau ibadah kita dibandingkan dengan orang yang tidak shalat, ya tentu kita lebih baik.........”
“Tapi Nak Mas harus ingat, bahwa untuk urusan ibadah, kita harus melihat keatas, melihat yang “lebih putih”, melihat ibadahnya orang – orang shaleh, ibadahnya orang-orang alim, ibadahnya mereka yang wara dan zuhud, sehingga akan “nampak bintik-bintik hitam dan bolong-bolongnya ibadah kita, itulah kenapa tadi aki mengatakan bahwa ada satu tugas berat lagi bagi kita setelah ini, yaitu membersihkan “lantai dan dinding serta kaca hati kita” dari debu – debu yang mengotorinya......” Kata Ki Bijak.
“Baru setelahnya, kita memohon maaf kepada orang tua dan keluarga terdekat kita untuk mengikhlaskan dan memaafkan kesalahan kita, agar kita bisa menjalani ramadhan ini dengan penuh kekhusyuan....” Kata Ki Bijak.
“Ki, tapi umumnya orang-orang ramai-ramai mengucapkan permohonan maaf lewat e-mail atau SMS kepada rekan-rekan dulu ki..........” Kata Maula.
“Hal itu tidak sepenuhnya salah, atau mungkin aki yang kolot ya Nak Mas...., karena Aki berpikir, bahwa orang tua kitalah yang sangat mungkin merasa sakit hati, karena kita tidak pernah menjenguknya, istri kitalah yang mungkin merasa didhalimi ketika kita menumpahkan kekesalan berbagai masalah dikantor, anak-anak kitalah yang paling merasa tidak nyaman manakala kita cemberut, jadi menurut aki, alangkah baiknya sebelum kita meminta maaf kepada orang lain, orang tua kita, anak dan istri kita dulu yang kita mintai permohonan maafnya, baru setelah itu orang – orang disekitar kita.......” Kata Ki Bijak.
“Iya Ki, ana sering melihat orang – orang ramai menyampaikan permintaan maaf kepada rekannya, bahkan pakai puisi segala, tapi kepada orang tua kandungnya sendiri bahwa telpon tidak, kepada istri dan anaknya, dianggap tidak perlu minta maaf...........” Kata Maula.
“Untuk itu, mari kita beri contoh kepada mereka dengan contoh dan suri tauladan yang baik dan benar, itu juga dakwah namanya Nak Mas.....” Kata Ki Bijak.
“Iya Ki......Insya Allah.....................” Kata Maula mengakhiri perbincangan untuk kemudian shalat dhuhur.
Wassalam
September 10,2007.
Monday, September 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment