“Assalamu’alaikum...................” Uluk salam dari Ki Bijak diluar pagar rumah Muala.
“Walaikumusalam warahmatulahiwabarakatuh........” Jawab Maula sambil bergegas menuju pintu, demi mengenal suara dari orang yang memberi salam diluar sana.
“Aki, masuk ki..............” Kata Maula sambil menyalami tangan gurunya.
Dua orang guru dan murid itu kemudian beranjak masuk keruang tamu, yang ketika itu nampak lengang, yang ada hanya beberapa buah buku yang berserakan sehabis dibaca.
“Pada kemana Nak Mas, kok sepi......?” Tanya Ki Bijak.
“Sudah pada tidur Ki, mungkin kelelahan, tadi siang lari-larian terus............” Jawab Maula.
“Nak Mas sendiri sedang baca buku apa, banyak sekali....................?” Tanya Ki Bijak sambil memperhatikan beberapa buku yang tampak dimeja.
Maula terdiam sebentar, ia agak ragu untuk mengatakan hal apa yang tengah dicarinya dibuku-buku yang barusan dibacanya.
“Anu Ki, tadi sore Dinda menanyakan kepada ana, “Pah, kenapa manusia harus beriman Pah...?” Kata Muala menirukan pertanyaan putri sulungnya.
“Lalu Nak Mas.........?” Tanya Ki Bijak.
“Iya Ki, besok Dinda ada ulangan pelajaran agama, salah satu soal latihannya adalah pertanyaan tadi Ki, ana agak susah untuk menjelaskannya, karena jujur, ana tidak siap dengan pertanyaan seperti itu.............” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum, “Lalu Nak Mas coba mencari jawabannya dibuku-buku ini......” Tanya Ki Bijak.
“Ya Ki, ana tadi baca beberapa buku yang mungkin bisa membantu ana menjawab pertanyaan Dinda tadi.........” Kata Ki Bijak.
“Sudah ketemu Nak Mas..............?” Tanya Ki Bijak.
Maula menggeleng, “Belum Ki........” Jawabnya pendek.
“Nak Mas, boleh Aki tahu kenapa sebelum membangun rumah, hal pertama yang harus dibuat adalah pondasinya dulu...?” Tanya Ki Bijak.
“Ya karena rumah yang dibangun tanpa pondasi yang kuat, akan mudah roboh ki, mungkin hanya karena angin yang tidak terlalu besar, rumah itu akan roboh, atau ketika beban diatasnya terlalu berat, rumah itu juga rentan untuk ambruk, jadi menurut ana, kekuatan pondasi sebuah rumah, akan sangat menentukan kokoh tidaknya bangunan yang ada diatasnya, bukan demikian ki.........” Kata Maula berhati-hati.
Ki Bijak tersenyum, “Nak Mas benar, setinggi apapun bangunan yang akan dibangun, akan sangat tergantung pada pondasinya dulu, ketika pondasinya kokoh, gedung bertingkat puluhan pun mampu berdiri dengan kokoh, sebaliknya, rumah yang dibangun tanpa pondasi yang kuat, tidak akan kuat menahan beban diatasnya, meskipun beban itu tidak terlalu berat.........” Kata Ki Bijak.
“Nak Mas pernah perhatikan pepohonan disekeliling kita...?” Tanya Ki Bijak.
“Ya Ki.........” Jawab Maula.
“Pohon beringin yang didepan balai desa itu misalnya, untuk bisa menahan beban batangnya yang besar dan daunnya yang lebat dan rindang, pohon beringin memiliki akar yang kuat, selain menghujam kedalam tanah, akar serabutnya juga menjalar disekililing pohon itu, sehingga pohon itu bisa tetap kokok meskipun hujan deras dan angin lebat dan panas terik matahari menimpanya sepanjang musim............” Kata Ki Bijak.
“Nak Mas bayangkan jika pohon beringin itu tidak memiliki akar yang kuat, pohon itu pasti akan tumbang, tidak mampu menahan berat batang dan dahan serta dedaunannya......” Kata Ki Bijak.
Maula nampak tercenung sejenak, “Lalu ki........?” Tanya nya sejurus kemudian.
“Kembali kepada pertanyaan Dinda tadi, “kenapa manusia harus beriman”, karena iman yang benar dan kuat, laksana pondasi yang kokoh dalam struktur sebuah bangunan, karena iman yang sehat, laksana akar pohon yang menghujam ketanah dan mengakar yang mampu menopang beban batang dan pohonnya..........” Kata Ki Bijak.
“Shalat yang dilaksanakan tanpa dilandasi oleh keimanan yang benar, sama sekali tidak akan memberi “kesan” apapun bagi yang melakukannya, shalat yang tidak dilandasi iman yang benar, tidak akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar, meskipun secara lahiriah, mungkin ia orang yang sangat rajin kemasjid misalnya, tapi sekali lagi, tanpa iman yang benar dan kuat, tanpa pondasi yang kokoh, tanpa akar yang menghujam, bangunan shalatnya akan sangat rentan dari keruntuhan, pohon shalatnya akan sangat rentan untuk tumbang diterpa angin kemaksiatan, istilahnya STMJ............” Kata Ki Bijak
“STMJ..? Apa itu ki........?” Tanya Maula
Sambil tersenyum Ki Bijak menjawab “STMJ itu Shalat Terus Maksiat Jalan”, karena itu tadi, shalatnya tidak memiliki pondasi iman yang benar dan kuat.........” Sambung Ki Bijak.
“Pun demikian halnya dengan Zakat yang dibayarkan tanpa dilandasi oleh keimanan yang benar, cenderung melahirkan muzaki atau “dermawan gadungan”, yang zakatnya tidak lebih dari perbuatan riya atau untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau pamrih dan kepentingan sesaat, sekali lagi, tanpa iman yang benar, tanpa pondasi yang kokoh, tanpa akar yang kuat, semua amal yang dilakukan sangat mungkin tidak mendapatkan imbalan pahala disisi Allah swt kelak.......” Kata Ki Bijak.
“Puasa yang dilaksanakan tanpa keimanan yang benar, tidak lebih sebuah penderitaan untuk menahan haus dan lapar, tak akan bisa mencapai esensi puasa sebagai sarana pelatihan untuk mengendalikan iradah kita, pelatihan ketaatan kita, pelatihan untuk bisa memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan dalam keseharian kita, puasa yang tidak dilandasi pondasi iman yang kokoh dan akar keyakinan yang kuat, tidak lebih seperti puasanya ular, yang ketika selesai puasa justru tambah rakus dan ganas.......”
“Pergi haji yang dilaksanakan demi mengejar titel semata, tanpa dilandasi pondasi iman yang kuat, hanyalah penghamburan uang tanpa makna, karena mereka yang melandasi ibadah hajinya dengan keimanan sajalah yang akan memperoleh janji Allah yaitu mendapatkan surga-Nya............” Kata Ki Bijak.
“Demikian penting posisi keimanan dalam kehidupan kita ya ki.........” Kata Maula.
“Bahkan sangat-sangat penting Nak Mas, kalau Aki boleh bilang, iman adalah ruh kehidupan kita, ketika iman tidak lagi kita miliki, sesungguhnya pada saat itu kita sudah ‘mati’....., mungkin jasad kita masih bergerak, mungkin kita masih kelihatan “rajin shalat’, masih taat zakat, masih melaksanakan puasa, bahkan berulang kali pergi haji, tapi ketika ruh semua ibadah yang kita lakukan tersebut tidak lagi ada pada saat kita melakukannya, semuanya akan menjadi mubazir dan sia-sia............” Kata Ki Bijak.
“Ki, lalu kenapa justru Dinda yang mendapat pertanyaan seperti itu ki..........?” Tanya
Ki Bijak tersenyum, “Itu hanya salah satu cara Allah untuk mengingatkan kita, Nak Mas......” Kata Ki Bijak.
“Untuk mengingatkan kita ki......?” Tanya Maula keheranan.
“Ya Nak Mas, syari’atnya pertanyaan itu memang disampaikan kepada Dinda, tapi Aki justru melihat pertanyaan itu untuk kita, untuk Nak Mas, untuk Aki, bahkan untuk semua orang Nak Mas...........” Kata Ki Bijak.
“Ana masih belum paham benar ki.............” Kata Maula.
“Nak Mas, seperti tadi Aki katakan, bahwa iman adalah merupakan “ruh” bagi kehidupan kita, hingga tanpa iman yang benar, kita akan kehilangan “arah” dan pijakan dalam kehidupan ini......”
“Seseorang yang menjadi presiden, yang tidak dilandasi dengan iman yang kuat, dalam arti dia tidak mempercayai rukun iman yang enam, cenderung untuk menjadi seorang diktator, merasa paling berkuasa, dan bisa berbuat apapun dengan kekuasaanya, ketiadaan iman akan mengakibatkan dia kehilangan kontrol dan kendali terhadap kekuasaan yang dipegangnya.............”
“Seseorang yang menjadi pejabat, sementara ia tidak memiliki iman yang kokoh, cenderung akan menjadi seperti Haman, pejabat yang doyan menjilat, pejabat yang suka makan uang rakyat, pejabat yang “menjual” undang-undang dan peraturan demi kepentingan pribadi dan golongannya....”
“Seseorang yang menjadi pegawai, sementara imannya lemah, maka pegawai itu akan cenderung menjadi pemalas, pegawai yang suka mencari muka didepan atasan demi gaji dan jabatan, tak peduli dengan teman dan kawan...........”
“Jadi apapun kita, ketika iman yang merupakan pondasi dan ruh kehidupan kita tidak ada, maka semuanya tidak akan bermakna apa-apa disisi Allah dan dimata manusia.........” Kata Ki Bijak.
“Jadi Ki...........” Tanya Maula.
“Jadi pertanyaan “kenapa manusia harus beriman” yang Dinda ajukan kemarin adalah sebuah pertanyaan yang “seharusnya” kita tanyakan pada diri kita masing-masing, seberapa besar dan kuat kualitas iman kita, bahkan seharusnya lagi, pertanyaan itu kita ajukan sebelum kita mengajukan pertanyaan pada diri kita ingin jadi apa, karena tanpa iman, apapun yang kita sandang, semuanya tidak lebih dari aksesoris yang menipu diri sendiri.........” Kata Ki Bijak.
“Terima kasih Nak, kau ajari papa sesuatu yang demikian berharga.....” Guman Maula, matanya menerawang, membayangkan wajah lugu putri cantiknya.
Hari makin beranjak malam, Ki Bijak pamitan pulang, sementara Maula masih berdiam sejenak mengulas apa yang baru diterimanya dari putri dan gurunya hari itu.
Wassalam
September 01, 2007
Monday, September 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment