Thursday, June 14, 2007

MULUTMU, HARIMAUMU

Sebagaimana telah disinggung dalam artikel terdahulu, bahwa salah satu hikmah penciptaan mulut kita yang satu, sementara telinga dan mata kita masing-masing sepasang, adalah bahwa kita harus lebih banyak melihat, harus lebih banyak mendengar daripada bicara, karena memang lidah tak bertulang, kata orang, sangat rentan terhadap kesalahan, baik salah ucap, salah kata, atau salah tempat kala kita berbicara.

Dalam tataran normatif, pembicaraan kita, kata-kata yang akan keluar dari mulut kita, seharusnya setelah apa yang akan kita sampaikan itu telah melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang, sehingga apa yang terucap oleh bibir kita, tidak menyinggung perasaan orang lain atau bahkan menyakiti orang lain, sebaliknya, justru apa yang kita sampaikan dapat merupakan obat atau penawar bagi berbagai masalah atau setidaknya merupakan sesuatu yang informatif dan berguna bagi orang lain.

Tapi ya itu tadi, karena lidah kita tak bertulang, semakin sering kita berbicara, maka potensi kita untuk membuat kesalahan dalam pembicaraan kita semakin besar, kadang kita lupa dengan siapa yang sedang kita ajak bicara, kadang kita lupa dalam kondisi apa kita berbicara atau kadang kita terlalu cepat dalam berbicara sehingga menimbulkan salah interpretasi dari lawan bicara kita.

Lidah, suatu ketika bisa lebih tajam dari pedang sekalipun! Luka tergores atau tertusuk pedang mungkin sakit, tapi “luka hati” akibat ketajaman lidah kita, jauh lebih sakit dan membekas lebih dalam, hingga kadang ada orang yang tidak bisa melupakan rasa sakit hatinya yang diakibatkan oleh ucapan seseorang.

Untuk itu kita dituntut untuk berlaku bijak dalam menggunakan lidah kita, jangan sampai apa yang kita ucapkan akan menimbulkan suatu kemudharatan bagi orang lain atau bahkan terhadap diri kita sendiri.

Ada banyak orang yang justru celaka dengan ucapannya sendiri, meski kadang ketika ia mengucapkan kata-kata itu mungkin tidak sepenuhnya menyadari akibat apa yang akan ditimbulkannya, jadi sekali lagi, jauh lebih bijak jika kita mampu mengendalikan lidah kita, daripada kita menyesal dikemudian hari akibat kesalahan kita dalam mengolah lidah kita.

Kemampuan berbicara, tidak selamanya berkonotasi negatif sebagaimana uraian diatas, tentu dengan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Ada banyak contoh bagaimana seseorang mampu memaksimalkan potensi berbahasanya sebagai alat atau senjata dalam berbagai aktivitas kehidupannya.

Ibnu Abbas, adalah salah seorang sahabat yang dikarunia Allah ketajaman lidah yang sangat fasih, sehingga dalam sebuah riwayat, beliau, dengan izin Allah berhasil “mengembalikan” 20,000 dari 24,000 orang yang menentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam beberapa hal; riwayat lengkapnya seperti berikut;

Ketika sebagian sahabat memencilkan dan menghina Khalifah Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali, "Ya, Amirul Mukminin, izinkanlah saya mendatangi mereka dan berbicara kepadanya."

Kata Ali, "Saya khawatir risiko yang mungkin engkau terima dari mereka."

Jawab Ibnu Abbas, "Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa."

Ibnu Abbas masuk ke dalam majlis mereka. Dilihatnya mereka orang-orang yang sangat rajin beribadah. Mereka berkata, "Selamat datang, hai Ibnu Abbas. Apa maksud kedatangan Anda kemari?"

Jawab Ibnu Abbas, "Saya datang untuk berbicara dengan tuan-tuan."

Sebagian yang lain berkata, "Katakanlah, kami akan mendengarkan bicara Anda."

Ibnu Abbas berkata, "Coba tuan-tuan katakan kepada saya, apa sebabnya tuan-tuan membenci anak paman Rasulullah yang sekaligus suami anak perempuan beliau (mantu Rasulullah), dan orang yang pertama-tama iman dengan beliau?"

Jawab mereka, "Kami membencinya karena tiga perkara."

Tanya Ibnu Abbas, "Apa itu?"

Mereka menjawab, "Pertama, dia bertahkim (mengangkat hakim) kepada manusia tentang urusan agama Allah. Kedua, dia memerangi Aisyah dan Muawiyah, tetapi dia tidak mengambil harta rampasan dan tawanan. Ketiga, dia menanggalkan gelar Amirul Mukminin dari dirinya, padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya.

Kata Ibnu Abbas, "Sudikah tuan-tuan mendengar Alquran dan hadis Rasulullah yang saya bacakan? Tuan-tuan tentu tidak akan membantah keduanya. Apakah tuan-tuan bersedia mengubah pendirian tuan-tuan sesuai dengan maksud ayat dan hadis tersebut?"

Jawab mereka, "Tentu!"

Kata Ibnu Abbas, "Masalah pertama, bertahkim kepada manusia dalam urusan agama Allah. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, siapa saja di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (Al-Maidah: 95), Saya bersumpah dengan tuan-tuan menyebut nama Allah. Apakah putusan seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan perdamaian antara kaum muslimin yang lebih penting ataukah seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?"

Jawab mereka, "Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian di antara mereka yang lebih penting."

Kata Ibnu Abbas, "Marilah kita keluar dari persoalan ini."

Kata Ibnu Abbas, "Masalah kedua, Ali berperang tetapi dia tidak menawan para wanita seperti yang terjadi pada masa Rasulullah. Mengenai masalah ini, sudikah tuan-tuan mencaci Aisyah, lantas tuan-tuan halalkan dia seperti wanita-wanita tawanan yang lain-lain. Jika tuan-tuan mengatakan "Ya," tuan-tuan kafir. Dan, jika tuan-tuan menjawab, dia bukan ibu kami, tuan-tuan kafir juga. Allah SWT berfirman: "Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka." (Al-Ahzab: 6)."Nah, pilihlah mana yang tuan-tuan suka. Mengakui ibu atau tidak”.

Kata Ibnu Abbas, "Ali menanggalkan gelar 'Amirul Mukminin' dari dirinya. Sesungguhnya ketika Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, mula-mula Rasulullah menyuruh untuk ditulis, inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah. Lalu kata kaum musyrikin, "Seandainya kami mengakui engkau Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Karena itu, tuliskan nama engkau saja, "Muhammad bin Abdullah."Rasulullah memenuhi permintaan mereka seraya berkata, "Demi Allah, aku adalah Rasulullah, sekalipun kalian tidak mempercayaiku.

"Bagaimana?" tanya Ibnu Abbas, "Tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar 'Amirul Mukminin' itu kita tanggalkan saja?

Jawab mereka, "Ya Allah, kami setuju.", hingga diakhir riwayat, hanya 4,000 orang saja yang masih membangkang pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Kenapa “lidah” Ibnu Abbas lebih tajam dari kelebatan pedang pasukan sayyida Ali yang berkali-kali memerangi kaum pembangkang namun belum jug berhasil, sementara “hanya” dengan senjata lidah yang fasih, Ibnu Abbas berhasil mengembalikan mereka kedalam barisan kaum muslimin dibawah pimpinan Ali bin Abi Thalib?.

Mari kita perhatikan jawaban-jawaban dan argumen Ibnu Abbas dalam memecahkan masalah; "Sudikah tuan-tuan mendengar Alquran dan hadis Rasulullah yang saya bacakan?”

Jadi salah satu factor terpenting dari keberhasilan diplomasi Ibnu Abbas adalah karena beliau menggunakan landasan yang paling benar, yaitu Al qur’an dan hadits; disamping tentu saja pemahaman dan ilmu beliau yang sangat-sangat mumpuni.

Perkataan, argument atau dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits adalah senjata yang paling ampuh, yang tidak akan mungkin mampu didebat oleh siapapun, dan itu yang dilakukan Ibnu Abbas, beliau memberikan penjelasan dan argumennya hanya berdasarkan Al qur’an dan hadits, jauh dari perkataan yang hanya mengandalkan pikiran dan logika, apalagi dengan dalih yang dibuat-buat.

Jadi, agar lidah kita terjaga dari hal-hal yang merugikan kita dan orang lain, sedapat mungkin kita menyandarkan ucapan kita berdasarkan al qur’an dan hadits.

Pun dalam pembicaraan dan perkataan kita sehari-hari, biasakan berbicara dengan al qur’an dan hadits, ketika ada hal-hal yang diperselisihkan, kembalikan dan cari jawabannya dengan merujuk pada keduanya, bukan dengan mengedepankan ego dan dalil yang cenderung membenarkan asumsi dan pemikiran masing-masing.

Kita bisa merubah “mulutmu, harimaumu” menjadi “mulutlku, singaku”, kita bisa menjadi singa podium yang ahli dan handal dalam berdakwah, kita bisa menjadi singa podium yang ahli dalam memompa semangat perjuangan seperti halnya Bung Tomo dulu, kita bisa menjadi singa podium dalam memaparkan gagasan kita seperti halnya Bung Karno dulu, dengan demikian, bukan saja kita bisa memberdayakan potensi lisan kita, insya Allah kita juga bisa mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dari lisan dan lidah kita.

Setuju? Mari kita tinggalkan kebiasan berkata-kata yang tidak perlu dari sekarang, mari kita tinggalkan pembicaraan yang tidak patut dari sekarang, mari kita mulai berkata-kata yang santun, ilmiah, bermanfaat dan qur’ani.

Wassalam

June 14, 2007.

No comments:

Post a Comment