35. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu, Ki.....” Sapa Maula, kepada gurunya, Ki Bijak yang tengah membaca tafsir dimihrabnya.
“Walaikumusalam, Mari masuk, Nak Maula.....” Balas Ki Bijak dengan ramah.
Sang murid kemudian masuk kemihrab dan sebelum duduk, sang murid bersalaman sambil mencium tangan sang guru, sebagai rasa hormatnya.
“Dari mana Nak..?” tanya Ki Bijak.
“Sengaja kemari, Ki..., kangen, lama ana tak berkunjung ketempat ini....” jawab sang murid.
“Alhamdulillah....semoga niat antum dicatat Allah sebagai amal ibadah dan dibalasi dengan nilai silaturahim.....” Kata ki Bijak
“Amiiin...” guman Maula pendek.
Setelah ki Bijak memanggil Mbok yang membantunya dipondok itu untuk membawakan singkong rebus hasil dari kebun dibelakang pondok, Ki Bijak dan muridnya terlibat perbincangan yang lumayan serius.
“Ki, bagaimana cara Allah menguji seorang hamba-Nya?” Tanya simurid.
“Allah mempunyai seribu satu (tak terhingga) macam cara untuk memberikan ujian kepada seorang hamba-Nya, bisa berupa keburukan atau bisa juga berupa kebaikan, tapi yang jelas, Allah tidak pernah memberikan suatu ujian kepada seseorang, melainkan Dia hendak memberikan “sesuatu” kepada orang itu.......”Jawab Ki Bijak.
“Ki, ana sering mendengar orang yang sedang sakit, itu tengah diuji oleh Allah, ada orang yang sedang tidak memiliki pekerjaan, ia juga tengah diuji oleh Allah, atau ada orang miskin, itu juga merupakan ujian Allah, kelaparan, rasa takut atau kehilangan orang yang dicintai, itu merupakan ujian dari Allah, tapi tadi Aki bilang, ada ujian dari Allah berupa kebaikan, maksudnya bagaimana Ki?” Tanya sang murid lagi.
“Antum benar, secara umum, kita akan merasa tengah menghadapi ujian Allah manakala kita sedang sakit, ketika kita miskin, saat kita kelaparan atau ditimpa bencana, tapi mari kita perhatikan sekali lagi, apakah mereka yang tengah sehat, sedang dalam keadaan kaya dengan harta berlimpah, dengan menjabat sebuah jabatan penting, apakah itu berarti mereka lepas dari ujian Allah..?” Kata Ki Bijak.
“Misalnya antum seorang manager, manager apalah, apakah manager keuangan, manager produksi, manager pemasaran, atau manager apapun dengan penghasilan yang besar, diberi fasilitas mobil,antum kemudian dipercaya oleh atasan, itu pun sebenarnya merupakan ujian dari Allah.....” Kata Ki Bijak lagi.
“Ana masih belum jelas Ki.....” Kata sang murid polos.
“Seorang manager yang handal dalam mengelola anak buahnya, cakap dalam mengelola pekerjaannya, diuji oleh Allah dengan sebuah ujian Apakah ia juga cakap dalam memanage pengabdiaanya kepada Allah, apakah ia cakap dalam mengalokasikan waktunya untuk Allah, apakah ia bisa membelanjakan penghasilannya dijalan Allah, apakah ia mampu menggunakan fasilitas mobil yang didapatnya untuk berjuang dijalan Allah, apakah ia bisa menjaga amanat Allah sebagaimana ia mampu menjaga kepercayaan atasannya......” , terang Ki Bijak.
“Berat juga ya, Ki......”,Kata simurid.
“Namanya ujian Nak, pasti tidak ada yang mudah....ada banyak contoh disekeliling kita orang-orang yang ketika diuji Allah dengan sakit, dengan kemiskinan, dengan kelaparan bisa lulus dari ujian itu, tapi justru mereka gagal ketika diuji Allah dengan ujian yang terbalut dalam bentuk kebaikan, seperti contoh antum sebagai manager diatas.....”, Kata ki Bijak.
“Analoginya begini, ketika Nak Maula mendaki sebuah gunung misalnya, tentu antum akan sangat berhati-hati mendaki undakan terjal disepanjang pendakian itu, antum mungkin akan membawa bekal yang cukup, antum mungkin akan membawa temali untuk membantu antum, konsentrasi antum juga terjaga demi terhindar dari lubang atau jurang didepan antum, benar begitu.......” , Tanya Ki Bijak.
“Benar Ki, bukan hanya ana, setiap orang mungkin akan melakukan hal yang sama ketika mereka melakukan pendakian.....”, Jawab simurid.
“Sebaliknya, ketika kita hendak menuruni gunung, kita kerap lalai, karena kita menganggap bahwa menuruni gunung tidak akan sesulit pendakiannya, hingga banyak para pendaki yang justru mengalami kecelakaan ketika mereka turun gunung, bukan pada saat mendakinya......”, Kata Ki Bijak lagi.
“Kehidupan kita pun demikian, ketika kita dalam kesusahan, kita demikian taat kepada Allah, rajin kemasjid, rajin tahajud, pokoknya kita berusaha sebaik mungkin untuk bisa lepas dari ujian Allah yang berupa keburukan tadi, tapi justru kita banyak lalai ketika ujian berupa kebaikan menghampiri kita, kita jadi jarang kemasjid, kita jadi malas berdoa, kita jadi enggan tahajud, karena kita merasa tengah menapaki jalan yang landai dan menurun, padahal dibalik turun dan landainya jalan yang kita lalui itu, juga memiliki resiko dan jurang yang sama manakala kita tidak berhati-hati melaluinya.........”, Kata Ki Bijak lagi.
Si murid manggut-manggut tanda mengerti, lalu ia bertanya lagi kepada gurunya;
“Lalu kenapa banyak orang yang tidak tahu atau tidak mengerti bahwa keburukan dan kebaikan itu dua-duanya merupakan ujian dari Allah, Ki.....?”
“Tingkat keimanan dan muslihat setan, itulah yang menjadikan seseorang mengerti atau tidak terhadap hakikat ujian dari Allah......”, Jawab Ki Bijak.
“Maksudnya, Ki?” Tanya Simurid.
“Orang yang memiliki tingkat keimanan yang benar, akan mengetahui bahwa keburukan yang ada padanya adalah dari Allah, sehingga ia akan mengembalikan semua urusannya kepada Allah, karena keyakinanya mengatakan bahwa Allah sajalah yang mampu mengeluarkannya dari kesulitan, lain tidak”
“Sebaliknya, ketika ia mendapatkan kebaikan, berupa harta, tahta atau wanita, ia pun menyadari bahwa semuanya juga berasal dari Allah, sehingga iapun akan mengembalikan semua yang dimilikinya kepada Allah, dengan jalan menggunakan hartanya dijalan Allah, dengan menjadikan kedudukan dan pangkatnya untuk menegakan agama Allah, sehingga ia terpelihara dari sifat ujub, takabur atau sombong dengan kebaikan yang ada padanya....”
“Tidak demikian halnya dengan orang yang tidak beriman dan terperdaya oleh syetan, ketika ia mendapatkan ujian dari Allah berupa keburukan, kemiskinan, sakit atau lainnya, ia akan berontak dengan cara-cara yang tidak benar, ia menuduh orang lain yang telah mendukuninya-lah, ada orang yang menguna-gunanya-lah, kemudian ia berusaha melepaskan kesulitannya dengan mendatangi dukun, peramal,tukang tenung, atau paranormal, dan ini sangat jauh menyimpang bahkan sudah musyrik.....!!”
“Pun ketika ia diberikan ujian berupa kebaikan, kelancaran usaha, penghasilan yang besar, kedudukan atau pangkat dan jabatan, orang yang tidak memiliki stabilitas keimanan yang baik, akan mudah terperdaya oleh muslihat syetan, bahwa apa yang ada padanya adalah semata karena kepintaran dan ilmunya, yang akhirnya ia tergelincir pada sifat sombong dan angkuh, sangat jauh berbeda dengan mereka yang memiliki stabilitas temperatur iman yang benar........”, Jelas Ki Bijak panjang lebar.
Maula mengangguk tanda mengerti; “Lalu bagaimana agar kita bisa selamat menjalani kedua ujian tersebut, Ki.....? Tanyanya lagi.
“Yang pertama dan utama, jaga dan terus perbaiki kualitas keimanan kita, karena keimanan yang mantap merupakan tongkat yang kokoh manakala kita mendaki “gunung ujian – berupa keburukan” yang terjal, dan juga merupakan “temali yang kuat” yang akan memelihara kita untuk tidak terperosok kedalam jurang yang curam manakala kita menuruni “lereng gunung ujian – berupa kebaikan”, keimanan, Insya Allah akan menyelamatkan kita dari kedua ujian tersebut.....” Kata Ki Bijak lagi.
Tanpa terasa dialog kedua orang guru dan murid itu hingga terdengar kumandang adzan dhuhur;
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu, Ki.....” Sapa Maula, kepada gurunya, Ki Bijak yang tengah membaca tafsir dimihrabnya.
“Walaikumusalam, Mari masuk, Nak Maula.....” Balas Ki Bijak dengan ramah.
Sang murid kemudian masuk kemihrab dan sebelum duduk, sang murid bersalaman sambil mencium tangan sang guru, sebagai rasa hormatnya.
“Dari mana Nak..?” tanya Ki Bijak.
“Sengaja kemari, Ki..., kangen, lama ana tak berkunjung ketempat ini....” jawab sang murid.
“Alhamdulillah....semoga niat antum dicatat Allah sebagai amal ibadah dan dibalasi dengan nilai silaturahim.....” Kata ki Bijak
“Amiiin...” guman Maula pendek.
Setelah ki Bijak memanggil Mbok yang membantunya dipondok itu untuk membawakan singkong rebus hasil dari kebun dibelakang pondok, Ki Bijak dan muridnya terlibat perbincangan yang lumayan serius.
“Ki, bagaimana cara Allah menguji seorang hamba-Nya?” Tanya simurid.
“Allah mempunyai seribu satu (tak terhingga) macam cara untuk memberikan ujian kepada seorang hamba-Nya, bisa berupa keburukan atau bisa juga berupa kebaikan, tapi yang jelas, Allah tidak pernah memberikan suatu ujian kepada seseorang, melainkan Dia hendak memberikan “sesuatu” kepada orang itu.......”Jawab Ki Bijak.
“Ki, ana sering mendengar orang yang sedang sakit, itu tengah diuji oleh Allah, ada orang yang sedang tidak memiliki pekerjaan, ia juga tengah diuji oleh Allah, atau ada orang miskin, itu juga merupakan ujian Allah, kelaparan, rasa takut atau kehilangan orang yang dicintai, itu merupakan ujian dari Allah, tapi tadi Aki bilang, ada ujian dari Allah berupa kebaikan, maksudnya bagaimana Ki?” Tanya sang murid lagi.
“Antum benar, secara umum, kita akan merasa tengah menghadapi ujian Allah manakala kita sedang sakit, ketika kita miskin, saat kita kelaparan atau ditimpa bencana, tapi mari kita perhatikan sekali lagi, apakah mereka yang tengah sehat, sedang dalam keadaan kaya dengan harta berlimpah, dengan menjabat sebuah jabatan penting, apakah itu berarti mereka lepas dari ujian Allah..?” Kata Ki Bijak.
“Misalnya antum seorang manager, manager apalah, apakah manager keuangan, manager produksi, manager pemasaran, atau manager apapun dengan penghasilan yang besar, diberi fasilitas mobil,antum kemudian dipercaya oleh atasan, itu pun sebenarnya merupakan ujian dari Allah.....” Kata Ki Bijak lagi.
“Ana masih belum jelas Ki.....” Kata sang murid polos.
“Seorang manager yang handal dalam mengelola anak buahnya, cakap dalam mengelola pekerjaannya, diuji oleh Allah dengan sebuah ujian Apakah ia juga cakap dalam memanage pengabdiaanya kepada Allah, apakah ia cakap dalam mengalokasikan waktunya untuk Allah, apakah ia bisa membelanjakan penghasilannya dijalan Allah, apakah ia mampu menggunakan fasilitas mobil yang didapatnya untuk berjuang dijalan Allah, apakah ia bisa menjaga amanat Allah sebagaimana ia mampu menjaga kepercayaan atasannya......” , terang Ki Bijak.
“Berat juga ya, Ki......”,Kata simurid.
“Namanya ujian Nak, pasti tidak ada yang mudah....ada banyak contoh disekeliling kita orang-orang yang ketika diuji Allah dengan sakit, dengan kemiskinan, dengan kelaparan bisa lulus dari ujian itu, tapi justru mereka gagal ketika diuji Allah dengan ujian yang terbalut dalam bentuk kebaikan, seperti contoh antum sebagai manager diatas.....”, Kata ki Bijak.
“Analoginya begini, ketika Nak Maula mendaki sebuah gunung misalnya, tentu antum akan sangat berhati-hati mendaki undakan terjal disepanjang pendakian itu, antum mungkin akan membawa bekal yang cukup, antum mungkin akan membawa temali untuk membantu antum, konsentrasi antum juga terjaga demi terhindar dari lubang atau jurang didepan antum, benar begitu.......” , Tanya Ki Bijak.
“Benar Ki, bukan hanya ana, setiap orang mungkin akan melakukan hal yang sama ketika mereka melakukan pendakian.....”, Jawab simurid.
“Sebaliknya, ketika kita hendak menuruni gunung, kita kerap lalai, karena kita menganggap bahwa menuruni gunung tidak akan sesulit pendakiannya, hingga banyak para pendaki yang justru mengalami kecelakaan ketika mereka turun gunung, bukan pada saat mendakinya......”, Kata Ki Bijak lagi.
“Kehidupan kita pun demikian, ketika kita dalam kesusahan, kita demikian taat kepada Allah, rajin kemasjid, rajin tahajud, pokoknya kita berusaha sebaik mungkin untuk bisa lepas dari ujian Allah yang berupa keburukan tadi, tapi justru kita banyak lalai ketika ujian berupa kebaikan menghampiri kita, kita jadi jarang kemasjid, kita jadi malas berdoa, kita jadi enggan tahajud, karena kita merasa tengah menapaki jalan yang landai dan menurun, padahal dibalik turun dan landainya jalan yang kita lalui itu, juga memiliki resiko dan jurang yang sama manakala kita tidak berhati-hati melaluinya.........”, Kata Ki Bijak lagi.
Si murid manggut-manggut tanda mengerti, lalu ia bertanya lagi kepada gurunya;
“Lalu kenapa banyak orang yang tidak tahu atau tidak mengerti bahwa keburukan dan kebaikan itu dua-duanya merupakan ujian dari Allah, Ki.....?”
“Tingkat keimanan dan muslihat setan, itulah yang menjadikan seseorang mengerti atau tidak terhadap hakikat ujian dari Allah......”, Jawab Ki Bijak.
“Maksudnya, Ki?” Tanya Simurid.
“Orang yang memiliki tingkat keimanan yang benar, akan mengetahui bahwa keburukan yang ada padanya adalah dari Allah, sehingga ia akan mengembalikan semua urusannya kepada Allah, karena keyakinanya mengatakan bahwa Allah sajalah yang mampu mengeluarkannya dari kesulitan, lain tidak”
“Sebaliknya, ketika ia mendapatkan kebaikan, berupa harta, tahta atau wanita, ia pun menyadari bahwa semuanya juga berasal dari Allah, sehingga iapun akan mengembalikan semua yang dimilikinya kepada Allah, dengan jalan menggunakan hartanya dijalan Allah, dengan menjadikan kedudukan dan pangkatnya untuk menegakan agama Allah, sehingga ia terpelihara dari sifat ujub, takabur atau sombong dengan kebaikan yang ada padanya....”
“Tidak demikian halnya dengan orang yang tidak beriman dan terperdaya oleh syetan, ketika ia mendapatkan ujian dari Allah berupa keburukan, kemiskinan, sakit atau lainnya, ia akan berontak dengan cara-cara yang tidak benar, ia menuduh orang lain yang telah mendukuninya-lah, ada orang yang menguna-gunanya-lah, kemudian ia berusaha melepaskan kesulitannya dengan mendatangi dukun, peramal,tukang tenung, atau paranormal, dan ini sangat jauh menyimpang bahkan sudah musyrik.....!!”
“Pun ketika ia diberikan ujian berupa kebaikan, kelancaran usaha, penghasilan yang besar, kedudukan atau pangkat dan jabatan, orang yang tidak memiliki stabilitas keimanan yang baik, akan mudah terperdaya oleh muslihat syetan, bahwa apa yang ada padanya adalah semata karena kepintaran dan ilmunya, yang akhirnya ia tergelincir pada sifat sombong dan angkuh, sangat jauh berbeda dengan mereka yang memiliki stabilitas temperatur iman yang benar........”, Jelas Ki Bijak panjang lebar.
Maula mengangguk tanda mengerti; “Lalu bagaimana agar kita bisa selamat menjalani kedua ujian tersebut, Ki.....? Tanyanya lagi.
“Yang pertama dan utama, jaga dan terus perbaiki kualitas keimanan kita, karena keimanan yang mantap merupakan tongkat yang kokoh manakala kita mendaki “gunung ujian – berupa keburukan” yang terjal, dan juga merupakan “temali yang kuat” yang akan memelihara kita untuk tidak terperosok kedalam jurang yang curam manakala kita menuruni “lereng gunung ujian – berupa kebaikan”, keimanan, Insya Allah akan menyelamatkan kita dari kedua ujian tersebut.....” Kata Ki Bijak lagi.
Tanpa terasa dialog kedua orang guru dan murid itu hingga terdengar kumandang adzan dhuhur;
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاََّ إِلَهَ إِلاَّ الله
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ
لاَاِلَـهَ إِلاَّ اللهُ
“Sudah masuk dhuhur Nak, Insya Allah kita lanjutkan ba’da dhuhur nanti....”, Kata Ki bijak.
“Iya, Ki, terima kasih, Ki...., semoga ana bisa melawti berbagai ujian dari Allah, do’akan ya Ki.....” Kata Maula sambil beranjak untuk mengabil wudhu dan menunaikan shalat dhuhur dimasjid yang terletak tak jauh dari pondok itu.
Ki Bijak tersenyum, “Insya Allah, amiin.......”, Kemudian beliupun melangkah kemasjid untuk mengimami shalat duhur berjaaah.
Wassalam
Juni 25, 2007
“Sudah masuk dhuhur Nak, Insya Allah kita lanjutkan ba’da dhuhur nanti....”, Kata Ki bijak.
“Iya, Ki, terima kasih, Ki...., semoga ana bisa melawti berbagai ujian dari Allah, do’akan ya Ki.....” Kata Maula sambil beranjak untuk mengabil wudhu dan menunaikan shalat dhuhur dimasjid yang terletak tak jauh dari pondok itu.
Ki Bijak tersenyum, “Insya Allah, amiin.......”, Kemudian beliupun melangkah kemasjid untuk mengimami shalat duhur berjaaah.
Wassalam
Juni 25, 2007
No comments:
Post a Comment