159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran:159)
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Suatu hari, Abu Bakr Shidiq, yang ketika itu menjadi Khalifah pertama sepeninggal Rasul, memanggil putrinya, Siti Aisah, yang adalah istri Rasulullah, untuk menanyakan hal apa saja yang telah dilakukan Rasul selama memimpin umat dan belum diperbuatnya selama empat bulan masa pemerintahannya.
“Benar, Ayah, ada hal yang selalu Rasul kerjakan dan ayah belum mengerjakannya....” Kata Aisah.
“Apa itu Nak...?” Tanya Abu Bakr dengan mimik cemas.
“Setiap Ba’da shubuh Rasul selalu pergi kepasar untuk membeli roti yang paling enak, untuk kemudian diberikan kepada seorang Yahudi buta dipinggir jalan dipasar itu....” Kata Aisah.
Menurut riwayat, Rasul melakukan hal itu lama sekali, setiap hari beliau pergi kepasar dan menyuapi Yahudi yang buta itu dengan roti yang dibelinya. Dan selama itu pula, Yahudi tadi mengatakan kepada orang yang menyuapinya, yang tak lain adalah Baginda Rasul, dengan hal-hal yang menjelek-jelekan Rasul.
Namun dengan keluhuran budinya, Rasul tidak pernah merasa sakit hati dan terus melakukan hal yang sama hingga menjelang wafatnya. Dan ini yang kata Siti Aisah belum dilakukan oleh ayahnya, Abu Bakr Shidiq ra.
Mendengar hal itu, keesokan harinya, Abu Bakr Shidiq ra melakukan hal yang sama dengan Rasul teladannya, ia pergi kepasar untuk membeli roti, dan seperti halnya Rasul, ia memberikan roti yang dibelinya kepada Yahudi yang selama ini diberi roti oleh Rasul.
“Terima kasih.....wahai tuan, Muhamad telah wafat, tapi engkau harus tetap berhati-hati dengan ajarannya.............”, Kata Yahudi itu kepada Abu Bakr yang hendak menyuapinya.
Selang beberapa waktu, yahudi itu merasakan adanya perbedaan rasa roti yang sekarang dengan roti yang biasa ia terima selama ini, hingga akhirnya ia menanyakan hal itu kepada Abu Bakr;
“Tuan, roti ini tidak seperti biasanya, rasanya beda dengan selama ini saya terima,dan biasanya roti ini dihaluskan terlebih dahulu sebelum saya makan, apakah tuan orang yang berbeda dengan orang yang selama ini memberi roti dan menyuapi saya?” Tanya Yahudi itu.
Mendengar hal itu, Abu Bakr tidak kuasa menahan tangisnya, demi mendengar apa yang dilakukannya masih jauh dari apa yang telah dilakukan Rasul semasa hidupnya;
“Benar, Pak, Saya Abu Bakr, sementara yang dulu memberi roti dan menyuapi bapak itu adalah Nabi Muhammad, tapi beliau kini telah wafat.............” Abu Bakr tak kuasa lagi meneruskan ucapannya.
Betapa terkejut Yahudi tua yang buta tadi, mendengar bahwa yang dulu selalu memberi roti dan menyuapinya dengan menghaluskannya terlebih dahulu adalah Nabi Muhamad yang selama ini ia hina dengan cacian dan kata-kata yang tidak patut.
“Muhammad?” Iakah orang yang selama ini menyuapiku dengan telaten, namun selama itu pula aku menghinanya?” Kata Yahudi itu.
“Benar, pak !” Sahut Abu Bakr.
“Ya Abu Bakr, betapa luhur budi Nabimu itu, dan aku telah salah dengan memfitnahnya dengan tuduhan keji, maka wahai Abu Bakr, saksikanlah hari ini Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Aku bersaki bahwa Muhammad utusan Allah............”, Kata Yahudi berikrar shahadat karena kemuliaan dan keluhuran budi Rasulullah.
“Ki, bagaimana menurut pendapat Aki mengenai riwayat diatas?” Tanya Maula kepada gurunya.
“Ya, itulah baginda Rasul, manusia agung yang mungkin tidak akan pernah terlahir lagi manusia dengan keluhuran budi seperti beliau....” Kata Ki Bijak, matanya menerawang jauh, seakan membayangkan wajah dan perilaku Rasul agung itu.
“Bagaimana kalau kita kaitkan dengan kondisi sekarang, Ki? Tanya simurid lagi.
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Suatu hari, Abu Bakr Shidiq, yang ketika itu menjadi Khalifah pertama sepeninggal Rasul, memanggil putrinya, Siti Aisah, yang adalah istri Rasulullah, untuk menanyakan hal apa saja yang telah dilakukan Rasul selama memimpin umat dan belum diperbuatnya selama empat bulan masa pemerintahannya.
“Benar, Ayah, ada hal yang selalu Rasul kerjakan dan ayah belum mengerjakannya....” Kata Aisah.
“Apa itu Nak...?” Tanya Abu Bakr dengan mimik cemas.
“Setiap Ba’da shubuh Rasul selalu pergi kepasar untuk membeli roti yang paling enak, untuk kemudian diberikan kepada seorang Yahudi buta dipinggir jalan dipasar itu....” Kata Aisah.
Menurut riwayat, Rasul melakukan hal itu lama sekali, setiap hari beliau pergi kepasar dan menyuapi Yahudi yang buta itu dengan roti yang dibelinya. Dan selama itu pula, Yahudi tadi mengatakan kepada orang yang menyuapinya, yang tak lain adalah Baginda Rasul, dengan hal-hal yang menjelek-jelekan Rasul.
Namun dengan keluhuran budinya, Rasul tidak pernah merasa sakit hati dan terus melakukan hal yang sama hingga menjelang wafatnya. Dan ini yang kata Siti Aisah belum dilakukan oleh ayahnya, Abu Bakr Shidiq ra.
Mendengar hal itu, keesokan harinya, Abu Bakr Shidiq ra melakukan hal yang sama dengan Rasul teladannya, ia pergi kepasar untuk membeli roti, dan seperti halnya Rasul, ia memberikan roti yang dibelinya kepada Yahudi yang selama ini diberi roti oleh Rasul.
“Terima kasih.....wahai tuan, Muhamad telah wafat, tapi engkau harus tetap berhati-hati dengan ajarannya.............”, Kata Yahudi itu kepada Abu Bakr yang hendak menyuapinya.
Selang beberapa waktu, yahudi itu merasakan adanya perbedaan rasa roti yang sekarang dengan roti yang biasa ia terima selama ini, hingga akhirnya ia menanyakan hal itu kepada Abu Bakr;
“Tuan, roti ini tidak seperti biasanya, rasanya beda dengan selama ini saya terima,dan biasanya roti ini dihaluskan terlebih dahulu sebelum saya makan, apakah tuan orang yang berbeda dengan orang yang selama ini memberi roti dan menyuapi saya?” Tanya Yahudi itu.
Mendengar hal itu, Abu Bakr tidak kuasa menahan tangisnya, demi mendengar apa yang dilakukannya masih jauh dari apa yang telah dilakukan Rasul semasa hidupnya;
“Benar, Pak, Saya Abu Bakr, sementara yang dulu memberi roti dan menyuapi bapak itu adalah Nabi Muhammad, tapi beliau kini telah wafat.............” Abu Bakr tak kuasa lagi meneruskan ucapannya.
Betapa terkejut Yahudi tua yang buta tadi, mendengar bahwa yang dulu selalu memberi roti dan menyuapinya dengan menghaluskannya terlebih dahulu adalah Nabi Muhamad yang selama ini ia hina dengan cacian dan kata-kata yang tidak patut.
“Muhammad?” Iakah orang yang selama ini menyuapiku dengan telaten, namun selama itu pula aku menghinanya?” Kata Yahudi itu.
“Benar, pak !” Sahut Abu Bakr.
“Ya Abu Bakr, betapa luhur budi Nabimu itu, dan aku telah salah dengan memfitnahnya dengan tuduhan keji, maka wahai Abu Bakr, saksikanlah hari ini Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Aku bersaki bahwa Muhammad utusan Allah............”, Kata Yahudi berikrar shahadat karena kemuliaan dan keluhuran budi Rasulullah.
“Ki, bagaimana menurut pendapat Aki mengenai riwayat diatas?” Tanya Maula kepada gurunya.
“Ya, itulah baginda Rasul, manusia agung yang mungkin tidak akan pernah terlahir lagi manusia dengan keluhuran budi seperti beliau....” Kata Ki Bijak, matanya menerawang jauh, seakan membayangkan wajah dan perilaku Rasul agung itu.
“Bagaimana kalau kita kaitkan dengan kondisi sekarang, Ki? Tanya simurid lagi.
“Maksud Nak Mas?” Tanya Ki Bijak.
“Ya, Ki, riwayat diatas memberikan pesan kepada kita bahwa Nabi Muhammad senantiasa mengedepankan teladan, pengabdian dan kasih sayang kepada seluruh umat, pun ketika beliau menyebarkan risalahnya, sementara sekarang, setiap orang,setiap golongan, setiap kelompok saling mengklaim bahwa dialah orang atau golongan yang paling mendekati cara dakwah dan pengikut sunnahnya, sementara disisi lain, kadang yang mereka lakukan justru bertolak belakang dengan cara nabi berdakwah seperti riwayat diatas......”Tanya Maula.
“Aaah, itulah kondisi kita saat ini Nak Mas, kita masih sekedar bangga mengaku dan menyebut diri sebagai pengikut nabi, tapi kita kerap melupakan syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang agar diakui sebagai umat nabi Muhammad..”Jawab Ki Bijak.
“Apa saja syarat-syaratnya, Ki? Tanya Maula penasaran.
“Selain sifat kasih sayang seperti tercermin dalam riwayat diatas, seseorang yang mengaku umat nabi Muhammad harus memiliki keteguhan akidah, gemar rukuk dan sujud, sehingga tampak tanda-tanda bekas sujudnya, bahkan sampai di Yaumil akhir kelak, disamping ada beberapa ciri lain yang Aki agak khilaf, insya Allah, Aki akan buka bukunya lagi....”Kata Ki Bijak, yang tanpa sungkan untuk mengakui kealpaanya dengan dua ciri umat nabi yang lain.
“Yang jelas, umat Rasul memiliki akidah yang mumpuni, keyakinan yang kuat, keimanan yang benar, ia memiliki keimanan yang benar terhadap Allah sebagai satu-satunya ilah yang wajib diibadahi dan tidak ada tuhan lain selain-Nya, kemudian kita juga wajib mengimani malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasulnya, mengimani hari akhir serta mengimani qada dan qadr-Nya....”
“Kemudian, umat Rasul adalah umat teladan yang senantiasa menebarkan kedamaian dan kasih sayang atas sesamanya dan bukan umat yang ekstrim, seperti yang selama ini disematkan kepada umat islam, khususnya dinegeri kita ini..”
“Dan yang tak kalah penting bahwa salah satu ciri utama umat Rasul adalah mereka yang taat dan istiqomah untuk ruku’ dan sujud kepada Allah swt, ini ciri umat rasul yang paling mudah dilihat secara kasat mata, yakni mereka mendirikan shalat......”
“Kalau ada orang yang mengaku umat rasulullah, sementara dia tidak shalat, maka berusahalah sekuat tenaga untuk menghindarinya......”Kata Ki Bijak.
“Kenapa, Ki? Tanya Maula
“Orang yang mengaku atau mengatakan ia pengikut nabi muhammad atau orang Islam, sementara ia tidak melaksanakan shalat, sebenarnya ia tengah memproklamirkan dirinya sebagai seorang munafik, antum masih ingat betapa bahayanya orang munafik? Kata Ki Bijak.
“Ya, Ki..” kata Maula
“Ya, itulah orang munafik, jika ia berani berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, bagaimana kita bisa memegang janjinya kepada kita? Kata Ki Bijak lagi.
“Satu hal lagi yang antum harus ingat; bahwa barang siapa berada didalam sebuah golongan, maka ia cenderung kepada golongan itu, akan sangat rugi bagi kita untuk tertulari sifat nifaq hanya karena kita salah pilih teman dan lingkungan....”Kata Ki Bijak lagi.
“Ya, Ki, ana mengerti sekarang, mohon izin Ki, ana ada keperluan lain sebentar, insya Allah ana kembali lagi untuk mendapatkan dua ciri lain dari umat nabi yang aki lupa tadi.....” Kata Maula
Ki Bijak tersenyum, “Insya Allah Nak Mas, aki akan carikan, dan jangan sungkan untuk datang kesini ya Nak, kapan saja Nak Mas mau, pintu pondok ini selalu terbuka untuk nak Mas......”Kata Ki Bijak.
“Insya Allah Ki, Assalamu’alaikum.....”Kata Maula pamit kepada gurunya.
“Walaikumusalaam.............” Balas Ki Bijak mengakhiri percakapan hari itu.
Wassalam
June 26, 2007
No comments:
Post a Comment