Dalam perjalanan pulang setelah Kaizen Meeting di Jakarta, kami, penulis, former Assistant General Manager Autopart serta Pak sopir yang baik hati, terlibat pembicaraan yang sangat menarik selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu setengah jam itu;
“Cas, kamu kan suka baca al qur’an tidak?” Tanya Pak AGM yang bijak itu.
“Alhamdulillah pak, dikit-dikit” Jawab penulis, karena memang demikianlah keadaanya.
“Kamu tahu apa isi kandungan al qur’an?”
Penulis sejenak terdiam, menyadari kekurangan penulis mengenai apa yang ditanyakan;
“Saya hanya tahu sedikit, Pak, saya hanya sedikit tahu kalau al qur’an terdiri dari 6,236 ayat, 114 Surat yang terbagi dalam 30 Juzz menurut susunan al qur’an Ustmani yang umum kita pakai sekarang” Jawab penulis.
“Lalu.......?”
“Al qur’an secara garis besar menurut pendapat sementara kalangan, kandungan isinya terbagi kedalam tiga atau empat kategori, yaitu mengenai Tauhid, Hukum-hukum, serta kisah orang-orang terdahulu, lalu ada yang menambahkan bahwa al qur’an juga memuat berita tentang masa yang akan datang (hari kiamat dan alam akhirat)” Jawab penulis.
“Kamu tahu dari sekian ribu ayat yang kamu sebutkan tadi, ayat mana yang paling penting untuk kamu pahami dan kamu hayati kandungannya?”
“Menurut saya, semuanya penting, pak, karena semua ayat, surat dan juzz al qur’an saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lainnya”, Jawab penulis
“Secara umum kamu benar, tapi kamu harus cari satu ayat saja, yang dengan ayat itu, Insya Allah kamu akan menjadi orang yang bahagia”, Paparnya.
“Ayat kursi, pak? Tanya penulis penasaran.
“Ayat kursi memang benar ayat yang agung dalam al qur’an, sehingga banyak ulama yang menyatakan berbagai fadhilah, hikmat serta kandungan yang terdapat dalam ayat kursi, tapi bukan itu ayat yang saya maksud” Paparnya.
“Surat Al Ikhlas, Pak?”
“Kenapa Surat Al Ikhlash?”
“Dari apa yang saya pahami, dan beberapa buku yang pernah saya baca, surat al ikhlas memuat unsur ketauhidan yang merupakan pokok dari ajaran Islam, yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Allah adalah Esa, bahwa Allah adalah satu-satunya tempat kita bergantung, Dia-lah Allah yang tidak beranak dan diperanakan serta tidak ada yang setara dengan Dia, dengan demikian, ketika kita bisa memahami hakekat kandungannya, berarti kita sudah memahami 1/3 kandungan al qur’an, yaitu Tauhid” Jawab penulis, merunut pada apa yang pernah penulis baca.
“Itu juga mungkin benar, tapi bukan itu yang saya maksud”
“Apa ya Pak?” Penulis tak menemukan ayat atau surat yang dimaksud dalam perbendaharaan ruang pengetahuan penulis.
Beliau tersenyum, “Coba kamu pikirkan ayat berikut;
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].(Al Baqarah:156)
[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.
Kenapa “"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”? Bukankah kalimat ini adalah kalimat yang biasa kita ucapkan ketika kita mendengar seseorang yang meninggal dunia?
Bukankah kalimat ini adalah kalimat yang biasa tertulis dikeranda untuk mengantar jenazah ketempat peristirahatannya yang terakhir?
Ada banyak sekali pertanyaan yang muncul didalam benak penulis, tapi rasa penasaran dan pertanyaan yang silih berganti bermunculan itu tak sempat terucap keluar, hingga beliau meneruskan penjelasannya;
“Kapan kamu merasa bahagia?” Tanya beliau
“Saat saya mendapatkan apa yang saya inginkan, bisa berupa uang, barang atau sesuatu yang lain yang menurut saya perlu untuk didapatkan” Jawab penulis
“Kapan kamu merasa tidak bahagia?” Tanya beliau lagi
“Saat saya merasa kehilangan sesuatu, saat saya takut sesuatu, saat saya tidak memiliki apa yang saya butuhkan menurut saya, saat saya sakit, saat saya ditimpa sesuatu suatu “musibah........” Papar penulis fasih, karena memang sebagian dari kita (penulis khususnya), lebih banyak ingat akan penderitaan dibanding dengan nikmat Allah yang telah demikian banyak tercurah dan terlimpah pada kita.
“Apakah kamu merasa bahwa apa yang kamu dapatkan sehingga mampu membutmu bahagia adalah hasil usahamu semata?
“Apakah rasa kehilangan, rasa khawatir, rasa takut, dan berbagai rasa yang membuat kamu seolah orang yang paling menderita itu adalah semata-mata terjadi begitu saja?”
“Tidak, kebahagiaan yang kamu dapat dan kamu rasakan, penderitaan yang kamu alami atau sesuatu yang kamu takutkan, bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, tapi merupakan sebuah skenario besar dari Penciptamu, agar kamu bisa dengan benar mengucapkan “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun” Papar beliau dengan arif dan bijaksana.
Penulis terdiam, masih belum sepenuhnya mengerti uraian dan paparan beliau, hingga beliau melanjutkan;
“Kita bisa “membuat” kebahagiaan dan surga dihati kita, dengan mensyukuri segala nikmat yang Allah telah berikan kepada kita, sekecil apapun nikmat itu menurut kita, ketika kita menyadari itu adalah pemberian dari Allah, maka kita akan sangat bahagia karenanya, kita akan berbunga-bunga ketika kita menyadari bahwa Allah memberi kita sesuatu sebagai bukti Keagungan dan Rahman Rahim-Nya.
(Penulis belakangan menganalogikan uraian tersebut seperti ini; ketika kita diberi “sesuatu” oleh orang yang kita cintai, terlepas dari apapun bentuk dan bendanya, kita akan sangat bahagia karenanya, apalagi jika kita tahu yang memberi sesuatu itu adalah Allah, sang pemilik cinta yang hakiki, sang pemilik karunia yang abadi, tidakkah kita akan merasa bahagia karenanya?).
“Kita bisa “membuat” neraka dihati kita dengan berlaku kufur terhadap pemberian dan nikmat Allah.
Kalau kita diberi kesehatan, kemudian kita menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah, niscaya akan terbentuk neraka dalam hati kita, kita akan merasa dikejar-kejar rasa bersalah dan dosa, kita akan dituntut oleh fitrah kebenaran yang ada didalam hati kita dengan dakwaan yang akan membuat kita serasa dineraka karenanya.
Kalau kita diberi rezeki yang berlimpah, kemudian kita membelanjakannya dijalan setan, untuk berjudi, untuk berjina, untuk mendhalimi sesama, berlaku kikir, pelit, medit, merege hese cap jahe, dan menjadikan harta dan kekayaan yang kita miliki sebagai sekutu bagi Allah, niscaya neraka akan segera menyebar seantero hati dan jiwa kita. Fitrah Rabbaniyah kita, rasa sayang yang ada didalam hati kita, rasa cinta, rasa kemanusiaan kita, akan mengejar pertanggung jawaban dari kita, mengejar kita denga pertanyaan dan serangkaian “serangan” yang akan membuat kita tak nyaman karenanya.
Ketika kita diberi amanah berupa ilmu dari Allah, kemudia kita hanya menggunakannya untuk berbangga diri, untuk menjadi ahli debat semata, untuk membodohi orang lain, maka kita pun telah membuat neraka dihati kita.
Kekufuran, baik itu ketika kita diberi waktu lapang dan kesehatan, baik itu ketika kita dititipi harta dan kekayaan, baik itu ketika kita diamanahi ilmu dan pengetahuan, akan menjadikan manusia yang senantiasa merasa gerah, merasa kepanasan, merasa tidak aman, merasa tidak nyaman, merasa panik, takut dan lain sebagainya, seolah kita tengah berada didalam neraka.
Sebaliknya, Allah menggambarkan syurga sebagi tempat nan teduh penuh pepohonan rindang, gemericik air mengalir, buah-buahan yang tersedia, bidadari bermata jeli, dipan-dipan yang terbalut sutera nan lembut, nyaman, aman, tentram dan bahagia, bukankah kita bisa membuatnya, membuat kenyamanan, ketentraman dan kebahagian itu dalam hati kita dengan mensyukuri nikmat-Nya?.
Hati yang tentram, aman, bahagia, tak ada rasa sedih yang berlebihan, tak ada tangis yang berlebihan, tak ada rasa takut yang tak beralasan, dapat terbentuk manakala kita menyadari bahwa semua yang ada pada kita, baik itu bahagia maupun derita menurut kita, toh semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Apa yang patut kita banggakan, sehingga kita menjadi sombong karena ilmu, amal dan harta kita, kalau kita menyadari semuanya adalah sebentuk karunia Allah, yang kapanpun, ketika Allah menghendaki, semuanya akan kembali kepada-Nya.
Apa yang patut membuat kita bingung dan ketakukatan, kalau kita meyadari betapapun kita kekurangan, betapapun kita miskin, betapapun kita menderita, toh semua juga berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Jika kita bisa membuat “surga” dihati kita dengan mensyukuri nikmat-Nya, lalu kenapa kita justru membangun “neraka” dengan berlaku kufur terhadap nikmat-nikmat-Nya?
Ada surga dihatimu, ada surga dihati orang-orang yang pandai bersyukur, ada surga dihati orang-orang yang berserah diri pada Allah semata, ada surga dihati orang-orang yang mampu memaknai dan memahami ““Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”
Wassalam
Maret 12, 2007
Monday, March 12, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment